maland – Tentang jenuh

Jihoon as Riki. Chaeyoung as Viva.


“Sedih gak sih? Kayak gini terus,” kata Riki.

Raut wajahnya kesal, napasnya sedikit memburu. Lengkap dengan tangan yang bergerak malas-malasan dan kaki yang sesekali dihentakkan ke lantai.

Ia meminta pengertian dari orang di hadapannya. Sialnya, orang yang nyaris mengisi waktunya seumur hidup itu tidak banyak mengeluarkan reaksi.

Kadang, Riki membenci fakta kalau anak ini perempuan. Entah jiwa yang tertukar atau apa, tapi Viva itu malesin banget. Anehnya, Riki akan selalu bisa menghadapi perempuan itu.

Orang-orang di sekitar mereka, mungkin selalu melihat interaksi mereka sebagai love-hate. Faktanya, mereka tidak lebih dari teman yang saling membenci. Sayangnya, tidak bisa untuk tidak saling melempar perhatian juga.

Seseorang yang kita benci justru menarik perhatian lebih besar, 'kan?

“Viv, gue lagi ngomong sama lo.” Ada penekanan dalam kalimat itu, membuat Viva menghela napas.

“Lo sedih kenapa? Kerjain ajalah,” kata Viva pada akhirnya.

Diberi balasan begitu, Riki malah menghentikan gerak tangannya. Dia bersandar, menyamankan posisinya, kemudian memandang remeh orang di depannya.

Ah, tidak.

Dia tidak meremehkan Viva, ia hanya meremehkan dirinya sendiri.

“Gue sedih soalnya kayak gini terus. Orang aneh mana yang sedih aja punya tanggal setiap bulannya?”

“Lo gak sedih,” kata Viva, “lo emang aneh.”

Riki berdecak. Menceritakan isi hati pada Viva memang selalu menyebalkan, tapi tak ada orang lain yang bisa diajak deep talk sebaik dia. Riki benci Viva, tapi kenapa ia tidak keberatan kalau mereka selalu bersama?

“Viv, lo juga sering gini. Tiba-tiba ngerasa sedih tanpa alasan, itu bisa berlangsung seminggu lebih.”

Berhasil.

Riki berhasil memancing Viva. Dari gerakannya yang tiba-tiba terhenti dan napas yang diambil dengan berat hati, Viva tahu bahwa dirinya berhasil didorong hingga pojok ruangan oleh Riki.

“Gue sadar diri, oke? Kalau udah kayak gitu gue bisa apa selain nerima rasa sedih gue?”

Jika mereka tidak punya rasa dendam satu sama lain. Mungkin keduanya bisa lebih jujur kalau apa yang tengah mereka bahas bukan perkara rasa sedih.

“Iya dah, terserah lo,” jawab Riki dengan malas. Ia meraih lem, kembali melanjutkan kerajinan yang sempat tertunda.

Mereka sedang menjalani hukuman sebenarnya. Video permainan mereka yang diunggah tiga hari yang lalu banyak meminta agar mereka merekam bagaimana Riki dan Viva dihukum.

Ada kamera di antara keduanya.

Pola antara keduanya yang berdebat kemudian saling perhatian, menarik minat penonton sendiri. Hukuman menjalankan kerajinan bersama yang nantinya akan diberikan pada seseorang itu, cukup menyiksa.

Keduanya tidak boleh saling melempar bentakan, pelototan atau amarah. Sehingga setiap penekanan kalimat yang sebelumnya mereka lemparkan, selalu terucap dengan nada yang datar dan malas.

Mungkin saja, editor mereka akan banyak memotong adegan nantinya.

“Tapi, Rik,” ucap Viva tiba-tiba, “kalau lagi kayak gitu yang gue rasain bukan sedih.”

Oh.

Tampaknya ada seseorang yang berusaha menghancurkan tembok harga dirinya sendiri.

“Terus apa?” tanya Riki, meski sendiri bisa menebak apa jawaban Viva. Saling benci tak membuat ia tak mengakui kalau di antara keduanya, terlampau banyak kesamaan.

Salah satu alasan kenapa Riki mempertahankan rasa bencinya pada Viva.

“Gue jenuh,” jawab Viva, sesuai dugaannya.

“Ada masanya gue ngerasa jenuh sama diri gue, kehidupan gue, dan segalanya. Gue jenuh sama lo, kerjaan gue, organisasi, status kita—pokoknya semua tentang diri gue sendiri, gue ngerasa jenuh.”

Riki sedikit heran, Viva masih mempertahankan raut datarnya. Padahal Riki bisa merasakan emosi dalam kalimat yang diucapkan perempuan itu.

“Mau dilampiasin jadi rasa sedih terus nangis, gak bisa. Apalagi gue paksa buat jadi bahagia dan ketawa. Rasanya kalau udah kayak gitu, gue gak berhak nerima segala perasaan. Cuma kosong, dan itu gak enak banget.”

Setiap waktu yang dilalui dengan Viva, kebanyakan diisi perdebatan tidak jelas. Mereka sering terlibat pembicaraan yang mendalam, tapi mungkin ini pertama kalinya Viva membiarkan dirinya menjadi topik pembicaraan.

Biasanya perempuan itu hanya menanggapi apa yang Riki bahas.

Mungkin ini juga pertama kalinya Viva menyuarakan apa yang ia rasakan. Biasanya Riki hanya bisa menebak dari raut wajahnya, gaya bicara, dan seberapa tinggi minat perempuan itu terhadap sesuatu.

“Kalau udah kayak gitu lo gimana, Viv?”

Viva membiarkan pertanyaan Riki itu menggantung di udara. Perempuan itu memusatkan perhatiannya pada apa yang ia kerjakan. Tak lama ia berkata, “Gue biarin semuanya mengalir. Tahu-tahu gue bisa tertarik sama sesuatu lagi, tahu-tahu gue bisa seneng karena hal sepele lagi.”

Bukan tanpa alasan Viva mendapatkan julukan manusia mengalir. Sikapnya yang kerap spontan tanpa ekspresi wajahnya, dan tentang hal-hal yang ia alami dalam kehidupannya.

Viva selalu membiarkannya mengalir.

“Lo gak capek apa-apa dibawa mengalir?”

“Tentu aja capek. Tapi, daripada gue banyak mikir jelek sampai mau pamitan sama dunia. Gue pikir lebih baik kayak gitu,” ucap Viva.

Riki mengangguk paham.

“Lo pernah kayak gitu?” tanya Viva kemudian.

“Lo serius nanya sama gue?”

Anggukan dari Viva membawa helaan napas panjang dari lawan bicaranya. Riki mengusap wajahnya, kenyataan bahwa ia sekali lagi sama seperti Viva, sungguh membuat pikirannya memberontak.

“Iya, gue sama kayak lo. Selalu bersembunyi dibalik kata sedih, padahal gue gak ngerasain apa pun. Jenuh sama kosong, kayak ada yang hilang tapi gue ngerasa gak perlu cari apa-apa.”

Viva mengangguk paham. Penggunaan kata yang terkesan berbelit, tak membuat keduanya butuh waktu lebih lama untuk mengerti.

Seperti apa yang Riki akui sebelumnua, mereka terlalu banyak memiliki kesamaan. Apa yang keduanya alami, rasanya dapat ditebak dengan mudah karena mereka selalu menyikapi dengan cara yang hampir sama.

“Bedanya, gue gak kayak lo, Viv. Gue gak ngebiarin semuanya mengalir, gue salalu berusaha ubah itu jadi rasa sedih biar gue tahu kalau gue tetep harus berjuang buat kehidupan gue.”

Viva menatap lurus pada Riki. “Bukannya rasa sedih bakal membuat lo mau pergi dari dunia, ya?”

Riki menggeleng. “Awalnya gue juga mikir gitu. Tapi, gue pikir lagi gak ada yang salah dari rasa sedih. Gue cuma perlu akui dia kemudian gue bakal tahu apa yang harus gue rubah.”

Viva mengangguk paham. Ia paham, tapi ia tak berminat menerapkan metode yang sama.

“Okay, gak papa. Lo berhak menyikapi semua hal sesuai pemikiran lo,” balas Viva seraya kembali fokus. Kini keduanya kembali menjalankan hukuman dengan benar, tanpa ada perbincangan yang terjadi lagi.

Selalu seperti ini.

Namun keduanya sama-sama semakin memahami setelah itu. Tentang perasaan yang selalu berhak diterima, tentang rasa jenuh yang berhak disingkirkan dengan cepat atau dibiarkan mengalir secara perlahan, serta tentang pemikiran yang berhak disuarakan.

Riki dan Viva mungkin memiliki rasa benci untuk satu sama lain. Akibatnya persaingan yang pernah terjadi, atau pertengkaran hebat yang melibatkan keduanya di masa lalu.

Namun, keduanya tak akan bisa mengelak kalau mereka cocok. Tanpa perlu menyuarakan rasa, hanya dengan gaya bicara pun, keduanya bisa saling memahami suasana hati masing-masing.

Mereka sudah mengisi kehidupan masing-masing terlalu lama, dan selalu menyembunyikannya dalam rasa benci yang sebenarnya tak lagi nyata.

“Nanti, biar gue aja yang edit. Gue khawatir Sifa masukin bagian diskusi kita nanti,” ucap Riki, “kita gak bisa ngelawak lagi kalau orang-orang tahu kita ini partner deep talk.

Viva tersenyum tipis. “Good luck, selamat membujuk Sifa. Gak lagi-lagi gue ngalir dalam game, males sama lo terus.”

Riki berdecih, dengan pelan ia menendang kaki Viva di balik meja.

“Gue juga gak sudi sama lo terus.”

Baiklah, pegang kalimat itu. Jangan sampai mereka ketahuan pulang bersama nanti.