berbagi
Mereka selesai berjualan lebih cepat dari biasanya. Sesuai dengan yang dibicarakan di group chat tadi siang.
Para perempuan memang pulang lebih awal karena harus menggoreng makanan yang akan mereka bagikan nanti.
“Bentar dah, gue pengen beli cigor dulu,” ucap Oci sembari meletakkan barangnya kembali di meja untuk mengambil uang dari saku jaketnya.
“Harus banget lo beli cilok tiap hari?” tanya Jun.
“Harus. Gak ada cilok, darah gue gak ngalir,” jawab Oci dengan asal membuat Zidan langsung memukul pundaknya.
“Ngaco.”
“Ya elah, Yang. Mukul mulu. Aduh, ngilu banget.” Oci bertingkah seakan ia kesakitan, padahal tidak sama sekali.
Wira membenarkan kacamatanya. “Ya udah, nanti lo nyusul aja, ya, Ci.”
Oci mengacungkan ibu jarinya seraya menjauh dari mereka. “Oke!” balasnya cukup keras.
“Ayo, balik sekarang. Jeje udah nge-chat disuruh cepet.”
Oci mengangkat sebelah alisnya begitu melihat Caca dan Momo bekerja sama untuk membawa meja.
“Lah, kok malah lo berdua? Yang lain ke mana?” tanyanya seraya mengambil alih meja itu. Tanpa kata, dia malah menitipkan ciloknya pada Caca. Kalau pada Momo, pasti perempuan itu menganggap kalau Oci sengaja memberinya.
“Udah pada duluan, ini dibawa karena gak muat gitu, deh,” balas Momo.
Oci mengangguk paham kemudian berjalan mendahului keduanya. Sebenarnya mejanya tidak begitu berat karena bukanlah meja kecil. Namun, dibawa sendirian dari sini sampai ke masjid memang akan cukup melelahkan.
“Gak mau digotong aja?” tanya Caca.
“Gak usah, santai aja. Lagian kenapa malah lo berdua yang ambil?”
“Soalnya yang lain udah pada sibuk. Udah rame di sana, anak-anak yang ngaji mau bukber.”
Oci mengangguk paham. Sisa perjalanannya hanya ia pakai untuk mendengarkan obrolan Caca dan Momo.
Suasana masjid memang lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena adanya anak-anak yang akan bukber di sana.
Oci langsung menaruh mejanya dan Wira tanpa kata langsung menyimpan gelas-gelas berisi minuman yang mereka buat.
“Kenapa bawa meja lebih dah?” tanya Oci.
“Yang satu dipinjem anak-anak, buat lauk mereka,” balas Wira seraya menunjuk dengan dagunya.
“Oh.”
Caca menarik pelan lengan jaket laki-laki gemini itu. “Oci, ini ciloknya.”
“Oh iya, thanks, Ca.”
Jun mengamati para anak-anak itu. “Kayaknya asik, kita gak mau join apa?”
“Ngaco, yang ada mereka belum ngalas udah lo habisin,” balas Momo. Julid pada Jun seperti biasanya.
“Aku salah apa, ya, Kak Momo?” Balasan dari Jun itu membuat Momo memutar bola matanya malas.
“Udah, jangan berantem,” ucap Jeje menengahi ketika Momo baru membuka mulutnya.
Perempuan itu mengeluarkan kantong plastik hitam berisi enam botol air putih untuk mereka membatalkan puasa nanti. “Nanti pada minum ini dulu, ya. Terus habis itu makan risolnya yang udah gue pisahin, ada di dalem.”
Semuanya mengangguk dan secara nyaris bersamaan mereka berkata, “Siap, Mami.”
“Aduh, tumben sekali Nak Momo ... biasanya ibunya,” ucap seseorang yang menghampiri mereka.
Momo hanya tertawa canggung lalu menyerahkan satu kotak berisi risol juga piscok yang mereka buat dan segelas minuman. “Iya, nih, Pak. Sekalian habis jualan tadi.”
“Semoga laku terus, ya, jualannya. Istri saya pernah beli sekali waktu itu, katanya enak.”
“Aamiin, makasih banyak, Pak.”
“Nanti kalau saya punya info kerjaan, pasti akan saya kasih tahu,” ucap bapak itu.
“Tahu aja, Pak,” balas Caca.
“Minta do'anya, ya, Pak. Semoga kami-kami ini segera dapet panggilan kerja,” sambung Jeje.
“Pasti, pasti akan dido'akan. Kalian ini sudah seperti anak saya. Untuk sekarang, tetap berusaha dan jangan lelah berbuat kebaikan, ya. Kalau kita berbuat baik, pasti balasannya pun akan baik juga. Entah itu kita sadari atau tidak.”
Satu per satu apa yang mereka siapkan diberikan pada orang-orang yang datang ke masjid. Mendekati waktu berbuka, semakin banyak yang datang sekaligus untuk melaksanakan shalat maghrib berjama'ah di sana.
“Saya baru lihat Zidan lagi, loh. Sudah besar rupanya.”
Zidan hanya mengangguk dengan kaku. Senyum yang ia tunjukan pun terpaksa.
Jun merangkul. “Iya, nih, Pak. Emang agak susah diajak keluar, tapi sekarang dia keluar tiap hari buat jualan.”
“Aduh, kalian ini rajin sekali. Semoga jualannya habis terus, ya.”
“Aamiin, minta do'anya juga, ya, Pak. Kami ini pengen cepet dapet panggilan kerja, udah lumayan lama nganggur,” ucap Oci dengan nada bercandanya. Bapak itu tertawa.
“Iya, saya do'akan. Supaya cepat dapat jodoh mau sekalian? Udah pas, loh, kalau kalian mau menikah.”
“Waduh, gak usah repot-repot, Pak. Duit buat ngebiayain diri sendiri aja masih susah,” balas Jun membuat Jeje menyikutnya pelan.
“Jodoh nanti dulu mungkin, ya, Pak. Lagian masih muda kitanya, kerjaan juga bun dapet. Masa tiba-tiba nikah,” sahut Wira diakhiri dengan tawa hambar.
“Loh, bukannya Zidan sama Amora mau menikah? Istri saya dapat kabarnya dari ibu kalian kalau arisan.”
Zidan dan Momo saling berpandangan sebelum sama-sama bergidik ngeri.
“Salah, Pak. Yang mau nikah tuh, ikan saya sama ikannya Zidan,” balas Momo ngawur.
“Udah, Pak. Ayo siap-siap buat shalat,” ajak Oci mengalihkan pembicaraan. “Sama kalau ada info kerjaan, bisa lah, ya, Pak.”
“Bisa apa, toh, Sa? Saya udah pensiun gini.”
“Ya siapa tahu, Pak. Hahaha.”
“Kamu ini, Sa. Ada-ada aja.”