Metanoia 1 : Dekat.
Suasana di ruangan itu canggung.
Baik Soonyoung ataupun Sana tak banyak bersuara. Ini sebenarnya bukan hal yang aneh, tapi bedanya kali ini adalah adanya kecanggungan diantara keduanya.
Soonyoung menghela napasnya, sudah cukup. Rasanya aneh sekali harus bekerja dalam suasana seperti ini. Sungguh tidak nyaman. Ia memutuskan untuk bersuara lebih dulu. Meminta maaf.
Pesan semalam tidak diberi balasan oleh Sana, membuat Soonyoung berpikiran kalau Sana tidak nyaman dengan pesan yang ia kirim.
“Sana, saya minta maaf kalau apa yang saya katakan semalam membuat kamu tidak nyaman.”
Diam, tak ada balasan cepat seperti yang biasa wanita itu berikan. Namun, jarinya yang tengah mengetik sempat terpaku beberapa saat sebelum memilih untuk diturunkan, menumpu pada kedua pahanya.
“Pak, maaf semalam saya tidak balas lagi. Saya ... saya hanya bingung mau membalas seperti apa,” jawab Sana diakhiri sebuah ringisan.
Soonyoung mengerjapkan matanya beberapa kali. “Saya kira kamu tidak balas karena lupa, marah-marah dulu ke Eunbi.”
Sana meringis sekali lagi, ucapan Soonyoung tidak sepenuhnya salah, selain bingung ia juga terlanjur mengomel kepada Eunbi. Rupanya Eunbi memintanya membicarakan apa yang membuatnya kesal dari sikap Soonyoung adalah untuk dikatakan pada orangnya langsung. Malu, kesal dan bingung bercampur menjadi satu sehingga perempuan itu tidak membuka ponselnya lagi sampai sekarang.
Hening terjadi lagi. Membuat Soonyoung memutuskan untuk kembali berucap, “Kamu kenapa tiba-tiba kepikiran untuk berhenti?”
Sana terdiam untuk beberapa saat, cepat atau lambat Sana pasti akan mengatakan hal ini kepada Soonyoung. Bertahun-tahun menjadi rekan kerja, bukan berarti tak pernah terjadi obrolan pribadi diantara keduanya. Sering, malah.
“Itu ... ibu sudah mulai menuntut saya untuk menikah. Katanya saya terlalu fokus dengan pekerjaan sehingga belum punya calon di umur saya sekarang. Jadi, saya diminta untuk berhenti, Pak.”
Soonyoung mengukir senyuman tipis, kemudian dia berkata, “Saya juga dituntut hal yang sama, Sana. Rasanya pasti berat kalau saya menikah dan istri saya tidak akan percaya pada saya karena saya punya kamu sebagai PA.”
Sana mengernyit, Soonyoung adalah orang yang profesional, istrinya pasti akan mengerti. Lagi pula Sana tidak bisa menjamin keberadaannya sebagai PA akan berlanjut sampai Soonyoung menikah nanti.
“Kan nanti saya berhenti, Pak ...,” jawab Sana terdengar ragu.
Ada hening lagi diantara keduanya.
“Kamu belum mempunyai calon, 'kan?” Sana mengangguk sebagai jawaban.
“Bagaimana kalau kita menuntaskan tuntutan itu bersama-sama?”
Sana menunjukkan raut herannya. Kerutan terlihat jelas di dahi wanita itu, ia takut salah menduga. Kalimat Eunbi kembali terdengar dalam pikirannya.
“Maksudnya, Pak?”
“Kita menikah, Sana.”
Tenang.
Nada suara Soonyoung teramat tenang, laki-laki itu seperti biasanya, seakan apa yang ia ucapkan merupakan tawaran pekerjaan atau bujukan agar idenya diterima. Sana menjilat bibir bawahnya, merasa gugup tiba-tiba karena tatapan Soonyoung begitu lurus dan lekat.
Berbeda dengan Sana yang sedang menahan dirinya untuk tidak meneriakan kata 'gila' kepada atasannya itu.
Tak kunjung menerima jawaban, yang lebih tua bangkit dari duduknya. Dua malam terakhir pikirannya dipenuhi oleh hal ini. Apa yang Eunbi dan Chaeyoung sarankan memang masuk akal, hanya saja ia takut hal ini akan merubah segalanya.
Ia tidak mau kalau nantinya, hubungannya dengan Sana memburuk, hanya itu saja.
Menikah dengan Sana setidaknya lebih baik daripada seseorang yang dipilihkan oleh sang ibu. Seseorang yang belum Soonyoung ketahui dengan jelas, apalagi ini soal pernikahan, bukan hanya sekedar pacaran.
Jaraknya dan Sana kini hanya dibatasi oleh meja kerja wanita itu. Soonyoung masih mempertahankan tatapannya kepada Sana, sehingga perempuan itu seakan membeku di tempatnya.
Soonyoung menumpukan badannya pada kedua tangan yang ia letakkan di atas meja. Badannya sedikit membungkuk guna mendekatkan wajahnya pada Sana. Sana spontan memundurkan badannya, tapi terhalang, jadi sekarang dirinya hanya bersandar agar jaraknya dengan Soonyoung cukup jauh.
Semakin sempit jaraknya, semakin sulit untuk mengelak. Soonyoung tengah mencoba membuktikan kalimat itu sekarang.
“Sana, saya merasa lebih baik menikah dengan seseorang yang sudah saya kenal dibandingkan yang hanya sekedar tahu,” ucap Soonyoung pelan, “kamu tidak perlu berhenti bekerja jika menikah dengan saya. Sisi baiknya, kita tidak akan lagi dikejar tuntutan.”
“Apakah kamu setuju, Sana?”
Pernikahan bukanlah hal sepele, dia bukanlah sebuah akhir, melainkan awal yang baru. Perkataan Soonyoung seakan pernikahan adalah akhir dari tuntutan yang diterimanya, sementara Sana tidak berpikiran demikian. Setelah menikah, ia yakin akan lebih banyak tuntutan yang datang.
Namun, ketika dirinya berhasil dibuat tenggelam oleh tatapan tajam Soonyoung, tanpa sadar kepala Sana bergerak untuk mengangguk. Berlawanan dengan apa yang ada dalam pemikirannya, ia juga berkata, “Baik, Pak. Saya setuju untuk menikah dengan Bapak.”
Soonyoung tersenyum miring dan kembali menegakkan dirinya. Tangannya bergerak untuk mengelus pelan pucuk kepala perempuan itu.
“Terima kasih banyak, Sana. Untuk hadir di kehidupan saya sampai detik ini, terima kasih.”
Lagi.
Ada terima kasih lagi yang diucapkan Soonyoung. Sungguh, Sana tidak tahu apa alasan Soonyoung selalu mengakhiri percakapan mereka dengan kata itu akhir-akhir ini.
—honeyshison.