metanoia-3


“Akhirnya, bangun ... merasa baikan gak?”

Yang pertama kali Sana lihat ketika membuka matanya adalah lampu. Perempuan itu menoleh ke asal suara, ada Eunbi di sana. Sana sedikit merasa kecewa karena yang pertama kali ia lihat bukanlah Soonyoung. Sana menepis rasa kecewanya, dia adalah wanita yang akan berumur tiga puluh tahun, perasaan semacam ini seharusnya tak perlu ia rasakan.

“Lumayan,” balasnya sembari memijat pelipisnya sendiri.

“Tadi dokter kesini. Katanya lo kecapekan dan banyak pikiran? Intinya sekarang habis makan dan minum obat langsung tidur lagi, ya. Besok ambil cuti dulu, okay?”

Sana hanya mengangguk sebagai balasan. Ketika menatap sekeliling ia baru sadar kalau ini bukanlah di kamar apartemen miliknya. Namun, bukan juga tempat yang asing untuknya.

“Ini rumah Pak Kwon?”

Eunbi mengangguk. “Iya, tadi anaknya panik banget, jadi Seungwoo mutusin buat manggil dokter aja.”

“Ah gitu, ya. Bantuin dong, Kak, gue mau duduk,” ucap Sana dan langsung dituruti oleh Eunbi. Sana memandangi pintu kamar dan Eunbi langsung memahaminya.

“Kalau lo cari Soonyoung, dia lagi buat bubur. Agak lama mungkin ... soalnya dia pasti malu.”

“Malu?” tanya Sana.

“Dia panik sambil nangis, mana terus nyalahin diri sendiri. Pas dokter datang pun sempet dia marahin, Seungwoo bahkan kena tonjok gara-gara dokternya lama dateng. Ujungnya mereka malah berantem.”

Sana membulatkan matanya, memandang Eunbi tidak percaya. Mana mungkin seorang Kwon Soonyoung panik hanya karena dia pingsan, 'kan? Bahkan sampai menangis dan marah-marah tidak jelas. Rasanya itu bukanlah Soonyoung.

“Gue jujur kok, terserah lo mau percaya atau nggak.” Eunbi menggantungkan kalimatnya, dia menatap lekat pada sahabatnya itu, kemudian memegang kedua tangan Sana.

“Gue tahu kalian mutusin menikah supaya gak lagi dituntut, gue juga tahu kalau hubungan kalian makin berkembang tiap harinya. Terlepas dari semua itu, gue lega sepupu gue bakal berakhir sama lo, Sana,” ucap Eunbi diakhiri dengan senyuman tulus.

Entah kenapa, Sana merasa bahwa ia tak pantas mendapatkan kalimat itu. Ditambah dengan kalimat yang diperdengarkan Jinhyuk tadi pagi.

Belum sempat membalas ucapan Eunbi, pintu kamar terbuka, mengalihkan fokusnya keduanya. Ada Soonyoung dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih, laki-laki itu tampak sedikit kacau. Di belakangnya ada Seungwoo yang kemudian memberikan isyarat pada Eunbi untuk keluar.

“Sana, Soon gue sama Eunbi pamit, ya. Semoga lekas sembuh, Sana,” ucap Seungwoo, dan Sana hanya tersenyum tipis sambil mengangguk. Tak lama kemudian, pintu itu kembali tertutup.

Soonyoung duduk di sisi kanan Sana. Tanpa kata ia menyuapkan sesendok bubur. Senyuman terukir ketika Sana menerima suapannya. Keduanya terlibat hening sampai obat masuk ke dalam tubuh Sana. Soonyoung meletakkan bekas peralatan makan itu di atas laci, ia akan menyimpannya kalau perempuan itu sudah terlelap.

“Kamu sekarang istirahat disini, ya, saya di ruang tengah jadi kamu teriak saja kalau butuh sesuatu. Tapi, jika tidak sanggup, bisa telepon atau chat saya. Saya akan keluar kalau kamu sudah tidur.”

Sana menatap pada Soonyoung, tak dapat ia pungkiri ada perasaan hangat yang ia rasakan. Meski percakapan yang terjadi di antara mereka masih cenderung formal.

“Pak, keputusan kita itu benar atau nggak? Maksud saya, pernikahan adalah pilihan, tapi kita karena tuntutan.”

Soonyoung tidak langsung membalas, dia memandang pada Sana. Kedua kalinya Sana menanyakan perihal ini, perempuan itu pasti berhasil dibuat ragu oleh ucapan Jinhyuk tadi pagi.

“Sana, saya tahu kalau kita sama-sama punya tuntutan untuk menikah karena umur. Namun, saya memilih kamu.”

Satu.

“Terlepas dari tuntutan itu, saya memang tidak pernah berharap tapi saya pernah memikirkan bagaimana kalau seandainya kamu adalah orang yang mendampingi saya sebagai istri? Ketika tuntutan itu semakin gencar diberikan, pikiran saya selalu terarah pada kamu.”

Soonyoung tersenyum, sebenarnya ia merasa malu mengatakan itu pada Sana.

“Di umur saya yang sekarang, saya yakin kalau apa yang saya punya sudah cukup untuk melamar seseorang. Saya selalu ingat kata Papa, kalau saya harus menikah dengan seseorang yang tahu buruknya saya sebelum menikah dan mau mengubah itu bukan sekedar menerimanya.”

“Sana, kamu seperti itu,” sambung Soonyoung seraya memegang pipi kanan yang lebih muda.

Dua.

“Kita jadi rekan tidak di waktu yang sebentar. Kita tahu kebohongan masing-masing dan sering dibuat bahagia bersama tanpa disadari. Saya paham kalau kamu adalah orang yang saya butuhkan untuk menjadi pasangan hidup saya.”

Tiga.

“Tak ada yang menduga kalau kita akan ada di hubungan romansa, termasuk diri kita sendiri. Benar, 'kan?”

Sana mengangguk, dirinya selalu berhasil dibuat bungkam oleh setiap kalimat yang diucapkan Soonyoung sebelumnya. Lidahnya terasa kelu, perasaannya jauh tak menentu. Namun, perasaan bahagia jauh lebih banyak mendominasi.

“Itu membuat kita sama-sama tidak pernah memasang ekspetasi tinggi terhadap diri masing-masing. Kita tahu dengan jelas kalau sesudah menikah akan lebih banyak tuntutan yang datang bukan bahagia selamanya. Tapi, kita bisa bahagia bersama tanpa menjadikannya sebagai tujuan.”

Empat.

“Saya tidak bisa menjamin akan terealisasikan atau tidak, karena kita hanya bisa merencanakan. Namun, saya akan selalu berusaha untuk mewujudkannya.” Soonyoung tersenyum lembut, ia mengusap pipi Sana dengan ibu jarinya secara perlahan.

“Jika kamu tanya keputusan ini benar atau tidak, untuk saya jawabannya iya. Untuk kamu bagaimana? Dalam hubungan ini, bukan hanya ada saya, Sana.”

Lima.

Hanya lima poin, tatapan yang tulus dan senyuman yang tidak pernah lepas, Sana tahu kalau keraguannya hanya percuma. Sejak keputusan itu diambil sekitar tiga bulan yang lalu, seharusnya detik ini Sana tidak pernah mempertaruhkan keyakinannya hanya karena perkataan orang yang bukan peran utama dalam cerita mereka.

Mereka mau belajar bersama, mau untuk saling memahami. Belum lagi, dengan persiapan yang telah mereka lakukan. Maka hal apa lagi yang harus Sana tuntut agar Soonyoung menawarkan jaminan yang lain?

Untuk sekarang, semua sudah cukup.

“Pak, jawaban saya juga iya. Maaf, karena saya sekali ragu sama Bapak ....”

“Ssst, gak papa. Sekarang kamu istirahat ya, supaya bisa lekas sembuh,” ucap Soonyoung seraya membimbing Sana agar membaringkan dirinya. Perempuan itu hanya menurut

“Pak Kwon,” panggil Sana ketika laki-laki itu menyelimuti tubuhnya.

“Iya?” balas Soonyoung tanpa menatapnya.

“Saya percaya sama Bapak.”

Kedua pasang mata itu kembali bertemu. Soonyoung sekali lagi menunjukkan senyumannya. Ia kemudian berkata, “Terima kasih banyak, Sana. Saya akan berusaha untuk terus menjaga kepercayaannya. Kamu juga jaga kepercayaan saya, ya?

Sana tersenyum malu dan mengangguk, debaran yang selalu ia rasakan bersama Soonyoung terasa semakin jelas. Ia menikmati hal itu.

Soonyoung mengusap rambut Sana pelan. “Tidur ya.”

Sana menurut dan mulai memejamkan matanya. Soonyoung memandang Sana dengan kehangatan yang sejauh ini baru ia tunjukan pada keluarganya.

Ketika sudah yakin Sana tertidur, Soonyoung memberanikan diri untuk mencium tangan perempuan itu.

“Terima kasih karena selalu menemani saya. Besok pagi buka pesan saya ,ya, Sana.  Saya sebenarnya malu tapi mau kamu dengar itu,” ucap Soonyoung diakhiri dengan tawa kecil.

Soonyoung tidak mengharapkan balasan. Ia yakin Sana sudah pergi ke alam mimpi.

God, i really love this person. Let me take care of her as best i can,” ucap Soonyoung sebelum memutuskan untuk keluar dari kamar.

Ketika suara pintu tertutup terdengar, Sana membuka matanya. Ia pura-pura tertidur karena merasa malu terus ditatap oleh Soonyoung.

Sana langsung mengambil ponselnya yang mungkin sengaja Soonyoung letakkan di dekat lampu tidur. Ada lagu yang dikirimkan oleh laki-laki itu, dan Sana segera memutarnya dengan volume pelan agar tidak ketahuan oleh si pemilik kamar.

Sepanjang lagu itu terdengar, Sana tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Suara Soonyoung masuk dengan ringan ke dalam telinganya. Membuat jantungnya berdetak lebih cepat dengan sopannya

'My love only amounts to this, but my heart won't change, it's only for you.'

Ketika mendengar itu, Sana tidak bisa menahan dirinya sendiri.

“Pak, saya sudah bilang belum kalau saya sayang sekali sama bapak?!” teriaknya seketika. Masa bodoh dengan fakta ia yang pura-pura tidur tadi.

Kwon Soonyoung terlalu sayang untuk ia lewatkan.

Di luar kamar, Soonyoung berusaha menyembunyikan wajahnya pada lengan sofa, dari telinganya yang memerah terlihat jelas kalau laki-laki itu malu.

Soonyoung tidak membalas secara keras hingga Sana dapat mendengarnya. Suaranya teredam akibat menenggelamkan kepalanya pada lengan sofa.

Ia berkata, “Saya juga sayang kamu, Sana.”