part of ednamy ; Marvin, Cherry.
Lee Know as Marvin. Sakura as Cherry.
note : tell about someone's pregnancy, switch roles. kayaknya bisa buat geli.
My Cherry: Kamu udah mau pulang? Our baby wants chocolate ice cream, pap 🥺
Marvin menghela napas begitu membaca notifikasi ponselnya. Memang bukan hal yang sulit untuk sekedar membeli es krim cokelat. Namun dalam keadaan ingin cepat pulang karena padatnya pekerjaan, Marvin merasa ini lebih berat dari biasanya.
Marvin mengambil napasnya dalam-dalam. “Ayo, jangan gini, Vin. Kamu yang mau punya anak,” gumamnya, berusaha menyemangati diri sendiri.
Marvin datang ke rumah dengan membawa satu cup es krim yang diinginkan oleh Cherry dan setumpuk beban untuk menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Marvin sengaja membawanya agar di hari libur besok, ia benar-benar bisa beristirahat.
“Ini es krimnya,” kata Marvin.
Mata Cherry berbinar melihat es krimnya. “Thank you so much, Pap!”
Marvin tersenyum tipis. “Sama-sama. Aku ke kamar dulu, ya. Aku mau lanjutin kerjaan aku.”
“Loh? Makan dulu, Marvin.”
Marvin menggeleng. “Nanti aja, ini biar aku tenang. Tadinya aku mau lembur tapi kasihan kamu.”
“Sebentar aja, Marvin. Makan dulu, aku udah mas—”
“Kamu tuh paham gak, sih? Aku mau nyelesain kerjaan aku! Aku juga mau istirahat dengan tenang. Aku bukan kamu yang enak diem di rumah!”
Selesai mengatakan itu, Marvin langsung masuk ke kamar mereka dengan menghentakkan kakinya. Pintu pun ia banting, entah sengaja atau tidak.
Cherry mengusap perutnya. Dari wajahnya, terlihat jelas kalau ia sedih. Perempuan itu menghela napasnya, mencoba memaklumi.
“Looks like tonight it's just the two of us, Dear. Don't be angry, ok? Your papa is tired,” ujar Cherry sembari menunduk. Menatap ke arah perutnya yang sudah membesar.
Begitu Cherry masuk ke kamar, Marvin seperti tak menyadarinya. Entah cuma pura-pura atau tidak, yang pasti Cherry sudah mengantuk dan ingin segera berbaring di tempat tidur. Ia tidak ingin memikirkan hal itu lebih lanjut.
Perempuan itu memutuskan untuk tak mengajak suaminya berbicara. Tanpa kata dia berbaring di tempat tidur lalu memejamkan matanya. Perlahan pergi untuk menjemput mimpi.
Marvin sendiri masih fokus pada laptopnya. Laki-laki itu baru selesai sekitar pukul 11. Dia menoleh ke arah jam lalu ke arah istrinya yang sudah nyenyak.
Marvin meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Laki-laki itu duduk diam untuk beberapa menit sebelum menyusul Cherry untuk menjemput mimpinya sendiri.
Marvin terbangun dengan rasa tak enak pada perutnya. Juga mual yang tak seperti biasanya. Dia berjalan lemah ke arah mandi yang ada di kamar mereka, mungkin ini karena semalam ia tak memasukan sesuap makanan pun ke dalam tubuhnya.
Rasa mualnya semakin menjadi, tapi ketika ingin Marvin muntahkan hanya air liur yang keluar. Laki-laki itu spontan memejamkan matanya ketika sekali lagi merasakan sesuatu pada perutnya. Tidak terlalu sakit memang, tapi rasanya tetap aneh. Marvin merasa ada seseorang yang menendangnya dari dalam.
“Marvin?” panggil Cherry, sepertinya perempuan itu hendak membangunkannya lalu mengajak Marvin untuk sarapan seperti biasanya.
“Cherry, aku di sini,” sahut Marvin, berharap itu bisa terdengar oleh istrinya.
Untungnya, Cherry benar-benar mendengar itu. Cherry masuk ke kamar mandi dan mendapati Marvin yang terduduk lemas di atas toilet. Perempuan itu lantas mendekat dan berlutut di hadapannya.
“Astaga, mual lagi?”
Marvin mengernyit mendengar itu. 'Lagi? Perasaan baru hari ini dah mualnya.'
“Iya,” balasnya, mengabaikan rasa penasarannya.
“Kita harus bicarain ini ke dokter nanti,” ucap Cherry lalu berdiri membantu Marvin untuk berdiri juga. Ketika sudah berdiri, barulah Marvin menyadari ada yang aneh dengan istrinya.
“Sayang?”
“Hm?”
“Perut kamu kok rata? Anak kita ke mana, Sayang?”
Cherry menatapnya heran. Tangan perempuan itu bergerak dan mata Marvin mengikuti arah gerakannya. Hingga pada akhirnya tangan itu berhenti di atas perutnya.
Cherry mengelusnyan pelan lalu berkata, “Ini. Anak kita di sini, Marvin. Kamu kok aneh-aneh aja nanyanya?”
“HAH?!”
Baiklah, Marvin tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang. Sebenarnya pemandangan Cherry menyiapkan sarapannya bukan hal yang aneh. Yang aneh adalah karena perut perempuan itu tidak besar seperti yang seharusnya. Lebih anehnya lagi, perut besar itu kini berpindah pada tubuhnya.
Gila, gila, gila! Itu adalah yang menjadi isi pikiran Marvin sejak tadi.
Cherry meletakkan sepiring nasi goreng juga segelas susu di hadapan Marvin. Perempuan itu memegang pundak suaminya lalu mengecup pipi kanannya sekilas.
“Aku harus ke butik. Katanya Beby bakal ke sini jam 4-an, dia hari ini agak senggang jadi mau aku suruh ke rumah. Aku bakal usahain buat pulang sebelum jam segitu. Makanannya jangan lupa dihabisin, susunya juga jangan dibuang lagi kayak waktu itu, ya.”
Marvin mengerjapkan matanya. “Terus kamu sarapannya gimana?”
“Aku udah nyiapin roti, aku bakal makan di sana nanti. I'm sorry, ini urusannya lumayan penting. But i have to take care of you first,” balas Cherry. Marvin jadi sadar kalau apa yang perlu perempuan itu bawa sudah Cherry simpan di atas meja makan.
“Hari ini sarapan sendiri dulu, ya. Buat makan siang nanti tinggal angetin yang udah aku siapin. Kalau mau ngemil jangan aneh-aneh, do you remember what foods are good for our baby? Oh iya, biskuit dari dokter juga belum kamu makan. Aku simpan di laci kayak biasa. In case nanti kamu bingung.”
Marvin tidak menjawab, masih mencerna semua ini.
“Aku berangkat dulu, Marvin. Hati-hati di rumah, kabarin aku kalau ada apa-apa. Oh iya, kamu gak perlu ngelakuin pekerjaan rumah! Itu sama aku aja nanti. Ponsel kamu ada di ruang tengah, ya.”
“But Cherry, ini hari lib—” Belum sempat Marvin menyelesaikan kalimatnya, Cherry sudah menghilang dari pandangan.
Laki-laki itu mendengus lalu dengan malas-malasan ia menghabiskan nasi goreng yang sudah Cherry buatkan. Ketika sedang sibuk mengunyah, ia melirik pada perutnya yang menonjol. Tangannya menggebrak pada meja makan.
“What's wrong with today? Why am i like this? Huh!” keluhnya sembari menatap pada langit-langit dapur. Hanya sebentar sebelum ia kembali menyuapkan nasi goreng pada mulutnya.
Nanti dulu mengeluhnya, ia merasa lapar sekarang.
Setelah selesai makan, dengan sedikit kesusahan Marvin meletakkan bekas makannya di wastafel. Biasanya Marvin akan langsung mencucinya, tapi kali ini ia merasa malas.
“Biar aku aja yang cuci bekas makan kita. Kamu istirahat dulu.”
“Aku aja, Marvin. I'm fine, kok! Kamu mandi sana, pasti capek habis kerja.”
“Tapi kamu lagi hamil.”
“I'm fine, sayang. Aku kalau keberatan suka bilang ke kamu, 'kan?”
Marvin termenung karena tiba-tiba mengingat itu lagi. Laki-laki itu tiba-tiba menganggukkan kepalanya, lalu berusaha lebih lama berdiri untuk mencuci piring yang tadi ia gunakan untuk makan.
Selesai makan, Marvin membawa segelas air untuk duduk di ruang tengah. Napas laki-laki itu sedikit memburu, dia menyamankan duduknya lalu bersandar pada sofa.
Marvin memejamkan matanya. “Tuhan, bahkan belum sejam aku bawa perut ini. Tapi rasanya capek ... banget.”
Marvin baru sebentar tapi sudah mengeluh lelah. Bagaimana dengan Cherry yang sudah membawa bayi mereka hampir delapan bulan lamanya?
“Oh, god ...,” gumam Marvin ketika merasakan rasa sakit pada punggungnya. Padahal ia belum banyak bergerak. Hanya turun dari kamar, makan, mencuci piring, lalu berjalan ke sini. Tapi sepertinya sudah banyak yang ia keluhkan.
“Aku bukan kayak kamu yang enak di rumah!“
Ucapan yang ia ucapkan semalam pada Cherry kembali terngiang dalam kepalanya. Cherry tidak pernah benar-benar mengeluhkan semua ini. Namun terkadang Marvin dapat menangkap apa yang ia rasakan lewat tingkah lakunya.
Sekarang Marvin secara langsung merasakannya sendiri.
Walau Cherry mengambil cuti dan diam di rumah. Dia tidak benar-benar menikmati keberadaanya di rumah yang tak banyak berkegiatan. Banyak keluhan yang Cherry rasakan tapi tak pernah ia katakan. Keluhan yang kini Marvin rasakan sendiri.
Marvin menyesal.
Laki-laki itu menyingkap baju yang ia kenakan. Marvin meringis karena merasa aneh ketika melihat bagaimana bentuk perutnya sekarang.
Perutnya terasa gatal, tapi Marvin ingat kalau itu tidak boleh digaruk. Biasanya Cherry akan memakai lotion khusus. Namun benda itu kini ada di kamar dan Marvin merasa kesusahan untuk sekedar mengambilnya.
Marvin mengelus perutnya, ini terasa aneh tapi menenangkan disaat yang sama. Baru sebentar ia menikmati itu, perutnya kini terasa mulas. Mata Marvin tanpa sadar berkaca-kaca akibat nyeri yang ia rasa.
Laki-laki itu berusaha meraih ponselnya yang ada di atas meja. Cherry benar-benar menyimpannya di sana karena tahu Marvin akan banyak diam di ruang tengah.
Dengan tangan gemetar, Marvin berusaha untuk menghubungi Cherry. Beruntung, tak butuh waktu lama untuk Marvin mendengar suara istrinya.
“Marvin? Boleh tunggu sebentar? Ini aku ada kli—”
“Sa-sayang, per—ssh perut ... perut aku mules banget rasanya.”
“Tolong tunggu sebentar, Marvin. Ini klienku cuma punya waktu sebentar dan aku gak mungkin relain dia gitu aja. Dia punya nama besar dan itu bagus buat butikku ke depannya.”
“Tapi, perut aku, Cherry. Ini mules ... aku harus—hiks ... gimana? Tolongin aku.”
“Iya, Marvin Sayang, sebentar. Habis dia pergi aku langsung pulang. Ini penting buat aku, tunggu, ya.”
Telepon itu dimatikan secara sepihak oleh Cherry.
“Cherry ... argh!” Marvin meringis, ia tanpa sadar mencengkeram perutnya yang terasa mulas. Mana mungkin ia akan melahirkan sekarang, 'kan? Ini belum waktunya.
Membayangkan bagaimana ia akan melahirkan nanti, rasanya ... tidak, Marvin tidak sanggup membayangkannya.
“Cherry,” panggilnya dengan napas memburu. Pada seseorang yang kini tak bersamanya.
“Cherry, tolong. Ya Tuhan ....”
Marvin terus merapalkan nama Cherry. Berharap dengan itu Cherry bisa muncul dihadapannya. Namun sosok itu tak kunjung muncul.
“Cherry, sayang. Maaf ... maaf, tolongin aku huhu.”
“Cherry, aku ... aku gak kuat. Cherr—”
“Marvin! Kamu kenapa?”
Guncangan pada tubuhnya membuat Marvin membuka matanya. Napas laki-laki itu memburu lengkap dengan keringat dingin yang membasahi bagian atas tubuhnya.
Marvin menatap kosong pada lampu kamarnya, sebelum melihat ke arah samping di mana ada Cherry yang menatapnya khawatir. Secara spontan mata Marvin berpindah pada perut Cherry yang masih besar, lalu pada perutnya sendiri yang sudah kembali seperti biasa.
Jadi, yang ia alami tadi hanyalah mimpi?
Laki-laki itu dengan terburu berubah posisinya menjadi terduduk. Marvin menarik Cherry ke dalam pelukannya. Menelusupkan kepalanya ke ceruk leher istrinya.
“Marvin Sayang, kenapa?”
Marvin menggeleng sebagai jawaban. Tidak ingin membahas soal mimpinya pada Cherry.
“Maaf,” ucap Marvin sembari melepaskan pelukan keduanya. Sekarang kedua tangannya memegang lengan Cherry.
“Aku minta maaf buat ucapanku semalam. Sumpah ... maaf, aku gak akan kayak gitu lagi, Sayang. Maaf, maaf, maaf.”
Cherry mengerjapkan matanya bingung. “Gak papa, aku paham kalau kamu capek dan butuh istirahat.”
Marvin menggeleng tidak terima. “Kamu lebih capek! Aku tahu, aku minta maaf gak seharusnya aku kayak gitu.”
“Kamu udah bawa bayi kita hampir delapan bulan. Udah banyak keluhan yang kamu rasain. Perut gak enak, sakit punggung, mual ... pokoknya semuanya. Maaf aku gak ngertiin itu, padahal kamu cuma butuh waktu aku tapi aku malah—maaf, Cherry. Aku nyesel banget,” sambung Marvin.
“Padahal dia anak aku juga tapi aku malah kesel pas dia mau sesuatu, aku malah marah pas kamu ngajak makan. Aku buruk banget! Kamu juga, udah ngerasain gak enaknya. Kenapa gak pernah bilang ke aku, sih?!”
Cherry tersenyum tipis. Tangan kanannya bergerak untuk mengusap pipi suaminya.
“Marvin, tenang,” ucap perempuan itu. Butuh beberapa menit sebelum akhirnya napas Marvin kembali normal.
“Memang selama kehamilan ini aku ngalamin beberapa hal yang rasanya gak enak banget di badanku. Tapi kata siapa aku gak pernah bilang? Aku bilang, Sayang. Aku minta kamu pijat aku, aku minta kamu buat menuhin ngidamnya aku, bahkan aku minta kamu buat sekedar olesin lotion.”
Marvin menatap Cherry sendu. “Tapi kamu gak pernah kelihatan gak suka atau sebel sama apa yang kamu alami. Pasti rasanya capek, 'kan? Sayang, aku minta maaf.”
Kini kedua tangan Cherry sudah membingkai sisi wajah suaminya. Laki-laki itu tampak lucu dengan wajah sedih dan pipi yang sedikit menggembung akibat ditekan oleh tangan Cherry.
“Jangan minta maaf terus, dong. Aku jadi sedih,” balas Cherry.
“Maaf ... tapi aku gak bisa berhenti. Aku nyesel banget,” ucap Marvin lemas.
“Ya udah aku maafin.”
Cherry menatap mata Marvin lekat. “Kamu tahu gak kenapa aku gak pernah nunjukkin kalau aku gak suka sama yang aku alami?”
Marvin menggeleng.
“Because it's our baby. So, i'm trying to enjoy it all. Aku gak mau sebel sama hadiah yang Tuhan titipin buat kita jaga seumur hidup, Vin.”
—honeyshison.