part of ssydra; peran.


“Oci, Uyon. Sini, deh!”

Kedua anak itu mendekat dengan langkah pelan, ada diantara kagum dan bingung dengan makhluk kecil yang ada dalam gendongan mama.

“Ini Yena, adek kalian. Tolong bantu mama sama papa buat jaga adek, ya?”

“Nda bisa jaga, Oci masih kecil.” Soonyoung atau yang akrab dipanggil Oci itu menjawab dengan suara yang kecil.

“Bisa kok, Oci bakal jadi abang yang hebat. Tolong jaga Yena sama Youn kalau mama sama papa lagi gak bisa nemenin kalian, ya?”

Kepalanya diusap pelan agar anak itu semakin merasa yakin, Soonyoung akhirnya mengangguk. Dia membalas, “Hm! Oci bakal jaga adek sama Youn!”

“Anak baik.”

“Y-youn juga!”

Tawa terdengar di ruangan itu, tangan yang semula mengusap kepala Soonyoung beralih pada Seungyoun.

“Iya, Youn juga anak baik. Kalian bertiga harus saling sayang dan saling jaga, ya?”


Waktu melaju. Soonyoung dan Seungyoun mulai memasuki usia sekolah, kegiatan mereka tidak hanya dilakukan di rumah. Keduanya mulai memiliki teman, dipusingkan dengan tugas atau bermain di luar rumah sampai sore.

Selalu ada Yena yang menunggu mereka di balik pintu rumah. Menyambut kedua kakaknya dengan senyuman cerah meskipun sempat dikecewakan karena Soonyoung dan Seungyoun selalu pergi lagi setelah mengganti seragam mereka.

Namun, di hari itu berbeda.

Tidak ada Yena yang membukakan pintu, tak ada senyuman bahkan teriakan adiknya yang selalu menjadi sambutan. Rumah hening, bahkan mama tidak menonton acara televisi sore favoritnya.

Soonyoung lebih dulu datang ke rumah, ia meletakkan bola di dekat pintu. Kepalanya bergerak mencari keberadaan dua perempuan kesayangannya.

“Youn pulang!” Sama dengan Soonyoung tadi, Seungyoun langsung kebingungan karena tidak menerima sambutan seperti biasanya.

“Loh Yena sama mama mana?” tanyanya pada Soonyoung.

“Enggak tahu,” ucap Soonyoung berhenti sejenak, “kita cari ke kamar, yuk?”

Seungyoun mengangguk, sekarang dua anak itu berjalan terburu-buru ke arah kamar Yena. Sesuai dugaan, yang dicari memang ada di sana. Mama duduk di pinggir ranjang, sementara si bungsu tampak berbaring dengan plester demam di dahinya.

“Abang udah pulang ternyata. Maaf, ya, mama sama adek gak bisa nyambut kalian.”

Dua anak laki-laki itu tidak menjawab, mereka berjalan mendekat. Dua pasang mata itu terlihat bergetar begitu melihat Yena yang tertidur dengan wajah pucat.

“Adek sakit, jadi gak bisa main sama kalian hari ini. Abang sekarang mandi dulu, ya, terus makan. Selesai makan nanti baru kerjain tu— “

Mama menghentikan kalimatnya karena Soonyoung tiba-tiba memeluknya. Seungyoun ikut menyusul tak lama kemudian. Mama menatap khawatir begitu mendengar isakan.

“Loh, kenapa nangis?” tanyanya dengan lembut.

Soonyoung mendongakkan kepalanya, ada jejak air mata di wajahnya. Dengan pelan ia kemudian berkata, “Mama, maafin Oci ... Oci gak bisa jaga adek sampai dia sakit kayak gini. Maaf Oci malah main terus—hiks.”

“Y-youn juga minta maaf, Ma. Youn lupa buat ngajak main adek, terus adek sakit gini Youn malah seneng-seneng sama teman yang lain.”

Mama tersenyum tipis mendengar itu, kekhawatirannya tentang Yena yang terabaikan oleh kedua kakaknya memudar.

Ia mengusap rambut dua anak laki-lakinya dan berucap, “Iya, mama maafin. Sekarang kalian bersih-bersih terus makan dan kerjain PR-nya. Kalau itu semua udah selesai, gantian sama Mama buat jaga Adek.”

Dua anak itu kompak mengangguk. Mama mengusap kepala mereka, ia kemudian berucap, “Abang-abang, jangan pernah tinggalin adeknya sendiri lagi, ya?”


Ketika Soonyoung dan Seungyoun memasuki sekolah akhir, keduanya kembali disibukkan oleh dunia masing-masing. Soonyoung dan Seungyoun sama-sama mengikuti komunitas yang sesuai dengan hobi mereka.

Ini membuat waktu mereka di rumah hanya saat malam dan sebelum berangkat sekolah, hari libur pun tidak jarang mereka mempunyai agenda sendiri.

Jangankan dengan Yena, dengan satu sama lain pun, mereka sudah jarang menghabiskan waktu bersama.

“Abang!” panggil Yena mendekat pada Soonyoung yang tengah melepas sepatunya. Yang lebih tua tersenyum tipis dan bertanya, “Kenapa, hm?”

“Besok, 'kan, libur. Main, yuk?” ajak Yena dengan antusias seraya duduk di sebelah sang kakak.

“Abang besok ada kegiatan, Dek.”

Yena mengerucutkan bibirnya, kesal karena Soonyoung memberikan jawaban yang sama dengan Seungyoun. Dia menunduk, jika terlalu kesal ia akan menangis. Si gadis September menutup wajahnya dengan tangan, tidak menginginkan Soonyoung untuk melihatnya menangis.

Soonyoung jelas tahu. Ia terdiam sejenak, bingung harus bersikap bagaimana agar Yena tidak sedih lagi. Kepalanya spontan menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, Seungyoun baru saja keluar dari kamarnya. Menyadari punggung Yena bergetar, dia langsung mendekat.

“Kok nangis?” tanyanya seraya mengusap punggung Yena, bermaksud menenangkan.

“Dek, gimana kalau so—”

“Gak usah.” Ucapan Soonyoung dipotong. Yena berdiri dan mengusap kasar wajahnya sendiri.

“Gak usah repot-repot ngeluangin waktu buat aku. Aku harusnya udah terbiasa ditinggal sendiri.” Yena berbalik, pergi menuju kamarnya secepat yang ia bisa.

“Adek kenapa?” tanya mama yang datang dari arah dapur.

“Adek marah karena Oci nolak ajakan mainnya,” lirih Soonyoung.

“Tadi ... Youn juga diajak tapi gak bisa. Besok Youn ada acara,” sambung Seungyoun.

Semenjak Yena sakit waktu itu, keduanya selalu mengusahakan waktunya untuk Yena. Namun, semenjak disibukkan dengan komunitas masing-masing. Mereka sedikit kewalahan dan kembali terlarut dengan dunia luar.

“Abang lagi sibuk, ya?” tanya mama dan langsung diangguki oleh keduanya.

“Gak papa, besok biar mama yang temani adek. Selain jadi abang, kalian juga jadi diri sendiri. Nikmati kegiatan kalian, ya. Mau jadi sibuk juga tidak apa-apa selama tidak negatif. Tapi, mama minta satu hal ... boleh?”

“Boleh, Ma.”

“Sesibuk apapun kalian nanti, tolong jangan pernah lupain adek, ya?”


“Abang, ayo ke pantai lihat sunset!”

“Siap!”

Mobil yang sempat terhenti itu kini kembali melaju. Ada tawa yang terjadi di antara penumpangnya. Soonyoung menyetir, Seungyoun duduk di sebelahnya sibuk dengan kamera dan Yena di kursi belakang tengah menghabiskan sebuah permen kapas.

“Akhirnya kesampaian juga kita jalan-jalan gini,” celetuk Seungyoun.

“Susah nih, Adek kita lagi sibuk-sibuknya,” sahut Soonyoung diakhiri sebuah tawa kecil.

“Gantian, dulu kalian yang ninggalin gue karena sibuk!” sindir Yena tapi tak membuat kedua kakaknya tersinggung.

“Jadi sibuk itu nyenengin, lo ngerasainnya sekarang, 'kan?”

“Iya sih, Bang. Mana murid-murid susah diatur, padahal udah pada gede?”

“Gak papa, pengalaman. Manusia emang beda-beda, 'kan. Jangan terlalu keasikan juga, sih, lo masih muda dan masih banyak hal yang bisa lo eksplorasi.”

“Iya, Abang. Lo udah ngomong itu berapa kali coba?” Yena mendengus dan Seungyoun tertawa mendengar balasan yang dikeluarkan oleh Yena.

Mobil itu kembali berhenti, sudah tiba di tujuan akhir mereka. Yena yang pertama kali keluar dari mobil langsung berlari ke arah pantai, sementara Seungyoun sesekali berhenti untuk mengambil foto jika ada objek menarik di sekitarnya. Soonyoung hanya berjalan santai sembari mengawasi kedua adiknya dari belakang.

Mereka duduk di atas pasir, tidak memperdulikan kalau pakaian yang dikenakan akan kotor nantinya. Menatap langit, menunggu matahari untuk pulang setelah menjemput malam.

“Dulu, mama sering ngajak kita lihat ginian, ya. Sebelum itu kejadian dan kita harus pergi, sih,” ucap Seungyoun sembari memandang langit dengan menerawang.

“Emang selalu gue, ya, yang mulai konflik di antara kita. Kalau diinget lagi,” balas Yena dengan tenang.

“Gak ada yang dari lo. Kita gagal jaga lo, Yena,” balas Soonyoung.

“Gue deh, yang mulai. Kalau gue gak nolak megang perusahaan, mungkin kita sampai saat ini gak akan tahu kenyataan itu,” sahut Seungyoun dan ketiganya tertawa bersamaan setelah mendengar itu.

“Gak papa. Walau bukan saudara kandung, kita tetap hidup sebagai hubungan itu. Sesuai permintaan mama, setidaknya kita gak bikin dia sedih lagi,” ucap Yena kemudian memeluk lututnya sendiri.

Kejadian waktu itu adalah ingatan paling buruk yang ada di hidupnya—hidup mereka. Namun, mau sampai kapan pun mereka tak akan bisa lepas dari hal itu.

Mereka hanya bisa terus melangkah, berusaha untuk semakin pulih, dan menjalani semuanya seperti awal lagi.

“Kalau diinget lagi, emang mama tuh jarang minta gak sih? Terlebih tentang lo. Sejauh ini kayaknya dia cuma minta tiga hal sama kita yang berkaitan sama lo,” ucap Soonyoung mengalihkan topik pembicaraan.

Seungyoun mengangguk menyetujui ucapan Soonyoung, ikut mendukung laki-laki itu untuk mengalihkan pembicaraan.

“Tentang gue?” tanya Yena, “apa emangnya?”

Lihat?

Mereka sama-sama tahu bahwa topik sebelumnya tak akan menjadi topik yang nyaman dibicarakan oleh ketiganya.

“Buat saling jaga dan sayang,  buat gak ninggalin lo sendiri dan buat gak lupain lo sesibuk apa pun kita. Permintaan mama gak susah dan emang udah seharusnya dilakuin, tapi gue sama Youn sering kewalahan,” ujar Soonyoung, memelan di akhir karena perasaan bersalah yang tak kunjung dapat ia hilangkan.

“Manusia tuh kadang bisa ngejalanin peran banyak tapi sering ngelupain bahwa mereka juga berperan buat diri sendiri. Sebaliknya, gue sama Oci terlalu sering jadi diri sendiri sampai kadang bisa lupa sama lo,” sambung Seungyoun.

Yena terdiam. Tunggu, kenapa suasana di antara mereka kembali terasa sedih?

“Maaf ya, Dek? Pas lo sibuk kayak sekarang aja, gue sama Youn gak selalu bisa dengerin lo. Lo malah dukung kita berdua buat berjuang keras dapetin orang lain.”

Yena mendongakkan kepalanya agar air matanya tidak turun. Kakak-kakaknya ini kenapa sih? Tujuan mereka hari ini, 'kan, jalan-jalan, menghabiskan waktu bersama dengan perasaan senang. Bukannya malah sedih-sedihan begini.

“Jangan kayak gitu ih, Abang!”

Soonyoung dan Seungyoun kompak tergelak karena Yena memukul lengan mereka cukup keras. Posisi Yena memang ada di antara keduanya.

“Maaf-maaf, habis suasananya mendukung.”

“Bang, kalian tuh gak perlu minta maaf karena merjuangin orang lain. Kalian berhak bahagia dan hidup sama orang yang kalian sayangi, okay?!”

“Okay,” sahut keduanya bersamaan dengan nada ceria.

“Pokoknya gue bakal marah kalau kalian sampai nyerah! Tolong jangan cupu!”

Soonyoung dan Seungyoun tertawa lagi. Yena selalu lucu di matamereka, ancaman barusan itu memang sebuah ancaman. Yena tentu akan melakukannya.

“Sekalian, deh.” Yena menggantungkan kalimatnya untuk menatap keduanya bergantian.

“Gue juga mau bilang makasih banyak karena kalian berdua selalu jadi abang terbaik buat gue. Maaf dulu gue kebanyakan nuntut waktu kalian. Sekarang peran kalian gak cuma Soonyoung dan Seungyoun yang sebagai anak atau abang. Tapi kalian juga jadi bos, jadi model, jadi pacar buat pacar kalian masing-masing.”

“Lo berdua keren banget karena bisa ngelakuin itu semua,” ucap Yena kemudian tersenyum lebar.

“Lo juga keren tau, Dek!” balas Seungyoun seraya mencubit pipi Yena dengan gemas. Soonyoung hanya terkekeh melihat itu.

“Satu lagi, gue juga punya peran sebagai cewek dan pacar. Jadi, tolong posesif-nya tahu waktu, karena gue juga mau pacaran kayak kalian! Jangan aneh-anehin cowok gue, Abang!”

Tawa terdengar lagi, Soonyoung mengusak pucuk kepala adiknya. Sementara Seungyoun malah menyandarkan dirinya pada Yena.

“Baiklah, Adek sayang. Kami akan berusaha melaksanakannya!”

Yena tertawa mendengar balasan itu. Perempuan itu kemudian berteriak, “Gila, gue pokoknya sayang abang-abang gue banget!”

“Abang-abang lo juga sayang sama lo!” Mereka juga membalas dengan teriakan. Mengabaikan sekitar mereka, hanya ada kehangatan yang mereka rasakan bertiga.

Seiring gelap yang datang, dia selalu mensyukuri kehadiran Soonyoung dan Seungyoun dalam kehidupannya. Untuk Yena, mereka selalu jadi kakak yang terbaik.

Di sisi lain, Seungyoun dan Soonyoung juga sama. Mereka mengharapkan kalau Yena tak akan pernah disakiti lagi. Dari apa pun yang ada di dunia ini.