Part Of Taksa – BiCa

Bisma menghentikan laju motornya. Hari ini sudah lumayan membuat suasana hatinya memburuk. Ditambah malam ini ia resmi menjadi bahan taruhan. Harapan Bisma hanya ada pada Awan, ia harap laki-laki itu tidak akan mengingkari ucapannya.

Sikap Bisma pada Caca bukan berarti dia tidak suka. Pertama, Caca selalu menghubungi Bisma ketika dia ada di suasana hati yang buruk. Kedua, Bisma heran kenapa Caca bisa-bisanya menantang Awan—terlebih dia juga menginginkan Bisma sebagai taruhan.

Bisma benar-benar tidak ingat siapa Caca. Namun, opsi yang mengatakan Caca menyukainya juga rasanya tak mungkin. Perempuan itu seperti punya dendam padanya, tapi dendam apa?

Laki-laki itu berhenti untuk menghubungi teman-temannya. Tak seperti biasa yang selalu datang bersama Kana atau Rendra karena malas menyetir, hari ini Bisma datang sendiri karena harus menyelesaikan tugasnya yang deadline-nya tiba-tiba diganti lebih dulu.

Tempat itu sudah ramai, lebih ramai dari biasanya. Kabar Awan akan bertanding dengan seorang perempuan tampaknya menjadi daya tariknya.

Lalu, Bisma bingung ada di mana tiga temannya.

Belum sempat pesannya terkirim, tangan seseorang tiba-tiba merebut ponselnya.

“Lo apa-apaan sih?! Balikin HP gu—”

“Santai dong, Kak Bisma.”

Jika mengingat foto profil kontaknya, Bisma yakin inilah orang uang bernama Caca itu.

Perempuan itu dengan santainya melihat isi pesan yang terpampang di layar ponsel yang lebih tua. “Oh ternyata, lo jadi bayinya mereka?”

Bisma berdecak. “Balikin gak?!”

Caca tersenyum. “Santai, Kak.”

Perempuan itu meraih tangan Bisma kemudian mengembalikan ponselnya lagi. Namun, Caca malah mengenggam tangan yang lebih tua setelahnya.

Dia mengukir senyuman manis. “Udah gue balikin, ya.”

Bisma mengernyit, menatap perempuan itu heran. Dia menjauhkan tangannya, tapi gagal. Bisma tidak mungkin menambah kekuatannya karena mau bagaimanapun sosok ini adalah seorang perempuan.

“Kak, gue Friska,” ucapnya sembari mengeratkan genggamannya. Raut wajahnya berubah, tak ada senyum palsu seperti yang ia perlihatkan sejak tadi.

Caca mendekatkan wajahnya. Menatap lekat Bisma yang spontan mundur.

“Kak, remember those blue letters you threw away in front of everyone? Lo buang semua itu setelah temen-temen lo ngeledekin karena tahu siapa yang ngasih surat itu.”

Caca kembali pada posisi awalnya. Ia sekali lagi mengukir senyuman penuh arti.

“Surat itu selalu atas nama Friska, cewek yang katanya cupu abis di sekolahan,” ucap Caca penuh penekanan, “and that girl is me, Kak.”

Setelahnya ia melepaskan tangannya.

“Semoga beruntung, Kak.”

Kemudian berbalik dan pergi begitu saja dari hadapan Bisma yang membeku di tempatnya.


“Lo ngelamun, is everything alright, Bis?” tanya Kana. Semenjak datang dengan keadaan linglung, Bisma tak kunjung berkata apa-apa. Bahkan di saat Caca dan Awan sudah sama-sama menantang angin.

Rendra melirik. “Jadi, bisakah gue simpulin kalau kalian berdua punya kenangan yang buruk?”

Bisma mengusap wajahnya kasar. “Buruk, buruk banget.”

“Gue udah jahat sama dia,” sambungnya.

“Apa yang udah lo lakuin?” tanya Kana membuat Bisma melihat ke arahnya.

“Kan, lo inget gak surat-surat yang gue dapetin pas sekolah?”

Kana terdiam sebentar, mengingat. Setelahnya, laki-laki itu langsung mengangguk.

“Ingat-ingat! Yang suratnya lo buang di depan anak-anak lain, 'kan? Lo buang karena itu dari—oh wait! Jangan bilang kalau Caca adalah—”

Yes, that's her.

Rendra diam, dia tidak tahu menahu persoalan ini. Berbanding terbalik dengan Kana yang sudah menganga karena tak menyangka.

“Jadi, lo pasrah karena ngerasa bersalah?” tanya Rendra, diam-diam menyimpulkan sendiri.

“Rendra, lo harus tahu kalau itu kelakuan paling brengsek yang pernah Bisma lakuin. Dulu gue marahin dia abis-abisan,” ucap Kana, “tentu aja dia ngerasa bersalah!”

“Kenapa gak dari dulu tebus dan minta maafnya?” tanya Rendra lagi.

“Apesnya, cewek itu ngehilang setelah kejadian itu. Dia baru kembali sekarang,” jawab Kana lagi. Padahal Rendra bertanya pada Bisma.

“Oke. Berarti apa pun hasil akhirnya nanti, mau Awan atau Caca yang menang. Lo tetap harus minta ampun,” ucap Rendra seraya menepuk bahu Bisma dua kali, menyemangati.

Bisma mengangguk. Dia sudah bingung harus berkata apa lagi. Kana sudah mewakilkan apa yang ada di kepalanya.

“Sekalian juga kasih tahu. Lo gak benar-benar buang surat itu. Setelah semua orang pulang, lo waktu itu ambil lagi dari tong sampah, 'kan,” sambung Kana kemudian mengikuti gerakan yang dilakukan Rendra padanya tadi.

“Iya.”

Cukup lama sampai suara motor mulai terdengar lagi. Seakan sudah tahu apa siapa yang akan menang, semua orang di sana tak merasa terkejut sama sekali.

Sekali lagi, Awan kembali berhasil menguasai jalanan.

“Lo keren, kitten!” teriak Kana langsung. Awan dari kejauhan melepas helmnya lalu tersenyum bangga ke arah teman-temannya.

“Anak itu minta apa buat ditaruhin dari pihak lawan?” tanya Bisma, ia baru sadar kalau ia tidak tahu menahu tentang apa yang diminta Awan kalau dirinya menang.

“Oh itu, dia gak minta anggota butterfly kok. Cuma minta sedikit isi dompet mereka,” jawab Kana dengan nada santai.

“Definisi sedikit buat Awan tuh berapa coba?” balas Bisma. Rasa bersalahnya membuat ia merasa tertekan dengan apa yang diminta oleh Awan.

“Kalau ngerasa berat, lo bayarin aja punya Caca,” usul Kana.

Bisma menarik napasnya dalam-dalam. “Iya.”

“Minta maaf juga, jangan lupa jelasin,” ucap Kana lagi dan Bisma lagi-lagi membalas, “Iya.”

Awan menghampiri mereka dengan Caca yang ada di belakangnya.

“Nah, sekarang tell me. Kenapa lo mau Bisma buat taruhannya?”

Caca memutar bola matanya malas. Dia memeluk helmnya erat-erat.

“Gue yakin Kak Bisma udah paham apa alasan gue.”

“Itu Bisma, bukan gue,” jawab Awan.

Caca menghentakkan kakinya, ia tidak tahu kalau ternyata Awan jauh lebih menyebalkan dari Bisma.

“Gue marah sama dia. Banyak yang bilang kalau Bisma geng Taksa paling bersih di antara tiga anggota lainnya. Padahal dia sama aja, dan gue korbannya!”

Sekarang, Caca sudah tidak ragu untuk melampiaskan amarahnya.

“Apa yang udah dia lakuin sama lo?” tanya Awan.

“Gue ngeremehin dia, di hadapan orang-orang,” jawab Bisma seraya maju, mendekat ke arah Caca.

Awan menatap kedua temannya yang lain, dan Kana serta Rendra sama-sama melemparkan tatapan yang menyuruh Awan untuk tak berbicara dulu.

“Buat kejadian waktu itu, gue gak benar-benar buang suratnya. Gue ambil lagi—semuanya. Gue gak beneran mau ngerendahin atau ngeremehin lo dan perasaan lo.”

Bisma menatap pada Caca lekat. “Tapi, apa pun itu, gue minta maaf, Friska.”

Meski suasana ramai, tapi antara Caca dan Bisma terasa hening. Keduanya masih saling berpandangan untuk beberapa detik. Hingga akhirnya raut wajah Caca berganti, menatap Bisma remeh.

“Semudah itu lo minta maaf? Gak bisa, ya, Kak Bisma.”

“Lo mau apa? Gue bakal laku—”

“Berlutut,” potong Caca.

“Hah?”

“Berlutut sekarang, Kak Bisma. Di depan orang-orang ini,” ucap Caca lagi seraya mendongakkan kepalanya.

“Sesudahnya, minta ampun sama gue.”

Bisma adalah sosok dengan gengsi yang tinggi, melebihi Awan. Anggota Taksa yang dikenal paling kasar karena perkataannya yang jarang dikontrol. Bisma juga paling sering mengeluarkan umpatan.

Namun, sosok itu kini berlutut. Di hadapan Caca, perempuan yang baru saja dikalahkan oleh Awan.

Lalu, meminta ampun.


Sorry for typo.