Part Of Taksa – JenWan.

Wonwoo as Awan. Jennie as Jennifer.

cw // kiss scene note : latar waktunya berbeda dengan yang ada dalam thread utama.


Awan itu bisa dibilang keren. Motor bisa ia kendalikan dalam kecepatan tinggi, tidak pernah bosan menantang angin, dan semua itu ia lakukan tanpa gentar sama sekali.

Bukan cuma di dunia balapan, di kampus pun sebenarnya Awan sempat jadi primadona. Namun, tidak ada yang seberani itu untuk mengusiknya.

Jika di kampus, di setiap langkah yang Awan ambil akan ada sepasang kaki lain yang mengiringi. Sepasang kaki milik Jennifer, kekasihnya. Alasan kenapa tak banyak yang mendekati Awan secara terang-terangan, tidak seperti saat di arena karena tak semua tahu tentang Jennifer pacaranya Awan.

Jennifer jauh lebih dikenal dibanding Awan kalau di kampus. Wajahnya yang sering menghiasi cover majalah membuatnya cukup mendapat banyak tatapan setiap lewat.

Awan mungkin banyak memimpin permainan dalam dunia malamnya. Ia juga bisa membuat Kana, Bisma, dan Rendra menuruti semua perkataannya. Namun, jika berhadapan dengan Jennifer dia akan mencicit seketika.

Entah apa alasan Awan bisa bersikap demikian. Kenyataan yang dapat dilihat, Awan lebih takut pada Jennifer daripada ayahnya sendiri.

Kalau kata Kana, Jennifer itu bosnya Awan, bukan pacarnya. Akibat saking seringnya ia melihat Awan menurut pada perempuan itu.

Awan tak akan merasa harga dirinya terinjak jika itu Jennifer yang melakukannya. Perempuan itu dapat mendatangi Awan, memasangkannya plester demam di depan lawan dan seluruh penonton balapan usai kemenangan yang laki-laki itu raih.

Awan? Sama sekali tak mempermasalahkannya.

Herannya, Awan tak pernah kapok untuk menguji kesabaran Jennifer. Seperti sekarang.

What do you want to do, Awan?” tanya Jennifer ketika Awan tanpa berkata menariknya bangkit dari kursi di tengah makan malam yang belum usai.

Awan tak menjawab, dia menarik Jennifer untuk meninggalkan ruangan itu. Telinganya panas mendengar perkataan ayahnya yang sangat tidak enak didengar.

Jennifer paham, makanya ia hanya bertanya tanpa mengajukan protes dalam sebuah aksi.

Awan membawa Jennifer ke kamarnya. Kamar yang sudah lama tak ia tempati akibat tidak betah. Awan lebih senang berada dalam apartemennya.

“Duduk, Jen,” ucap Awan sembari mendorong kursinya ke arah Jennifer. Perempuan itu menurut.

Awan berbalik, mengambil sesuatu dari lemari di sana.

“Aku nyimpen satu kamera di sini,” kata Awan, “mau jadi objek fotoku gak?”

Jennifer sudah tidak asing dengan kamera. Namun, ia tetap menunjukkan raut tidak sukanya dalam memandang Awan.

“Kamu mau aku photoshoot dadakan setelah dengan gak sopannya narik aku pergi gitu aja dari meja makan?”

Tanpa merasa bersalah, laki-laki itu mengangguk.

You look beautiful tonight—sayang kalau kamu dan gaun hitam ini gak diabadikan.”

I can use this whenever you want, Awan,” jawab Jennifer, “tapi makan malam ini nentuin hubungan kita ke depannya.”

“Gak, ini cuma mau ngubah dunia aku—bukan hubungan kita.”

So, i'm not your world anymore? Begitu?”

Awan bungkam. Laki-laki itu meringis setelahnya, tak berani menatap Jennifer. Ia harus kuat dengan pilihannya, Awan tak mungkin meninggalkan dunia balapnya hanya untuk Jennifer.

Selama ini juga Jennifer mendampinginya, lantas kenapa Awan harus memilih jalan yang lain?

Hening cukup lama, membuat Jennifer menarik napasnya panjang. “Fine, you can take picture of me, Awan.”

Jennifer tahu, Awan akan tersenyum.

“Hehehe, thanks.” Awan menyalakan kameranya.

“Kamu duduk aja, ya,” sambungnya dan Jennifer mengangguk.

Jennifer sudah sangat terbiasa dengan kamera. Meski suasana hatinya tengah memburuk akibat tingkah Awan, ia tetap bisa mengendalikan ekspresi wajahnya.

Pemotretan dadakan ini, tetap berhasil ia buat selayaknya pemotretan dengan bayaran tinggi yang ia ambil.

“Awan, kamu masih bisa ikut balapan kalau kerja di perusahaan.”

Awan menghentikan gerakan jarinya. Laki-laki itu menatap pada Jennifer.

“Aku gak bisa, Jen. Papa bakal terus ngatur aku sesuai ekspetasinya, dan aku gak mampu dengan itu.”

Awan menghindari mata mereka untuk bertemu.

“Ya udah,” ucap Jennifer, “sekarang berlutut deh, Wan. Fotonya bakal bagus.”

Awan menurut, tapi posisi mereka masih mempunyai jarak cukup jauh.

“Deketan,” kata Jennifer lagi dan tentu Awan akan menurut juga. Perempuan itu kemudian sedikit menunduk, menatap pada lensa kamera dengan lekat. Awan menjadi gugup seketika, padahal ini tahun ketiga mereka menjalin hubungan.

Awan cukup mengerti kalau Jennifer juga menginginkan dirinya untuk bekerja di perusahaan—sesuai yang ayahnya bicarakan saat makan malam tadi. Topik pembicaraan yang paling tidak Awan sukai.

Jawaban yang Awan berikan pada ayahnya selalu sama. Namun, jika Jennifer yang meyakinkannya Awan butuh usaha lebih.

Jadi,

“Aku tetep gak mau kerja di sana, sayang.”

Awan tak boleh lemah pada Jennifer kali ini.

“Kana suka sama dunia otomotif kayak kamu. Dia punya bengkel sendiri dan mampu buat ikut jual beli motor, 'kan? Bisma apalagi, udah banyak lagu yang dia buat. Bahkan Rendra juga kerja di perusahaan. Mereka semua, masih bisa ikut kamu balapan, Awan. Padahal ini udah mau dua tahun kita lulus.”

Awan menggeleng. “Aku bukan mereka.”

I know,” ucap Jennifer, “aku cuma mau ngomong kalau kamu gak akan benar-benar ninggalin dunia kamu itu.”

“Aku tetep gak mau kerja di perusahaan, Jen. Pemasukanku juga lancar tiap bulan, kok.”

“Iya kalau kamu menang terus? Suatu saat, kamu juga bisa kalah dan harus nyerahin harta kamu karena taruhan.”

Awan menggeleng. “Aku gak akan kalah. Kamu pernah lihat aku kalah? Waktu sakit aja, aku bisa menang.”

Jennifer menghela napasnya. Pandangan tajamnya kita berganti menjadi lebih lembut. Jika dengan opininya tadi, Awan tetap kukuh dengan keputusannya. Maka, ia harus mengganti cara penyampaiannya.

Kedua tangannya bergerak untuk membingkai kedua sisi wajah Awan. Jennifer berhasil membuat Awan mau menatapnya.

Ia paham kalau Awan menghindari kontak mata antara mereka agar dirinya tak luluh begitu saja.

Kepala Jennifer semakin mendekat pada kekasihnya itu. Sebelum akhirnya membawa Awan ke dalam ciuman cukup panjang.

Meski pada awalnya sedikit terkejut karena Jennifer yang memulai duluan—secara tiba-tiba. Ujungnya Awan ikut terlarut juga, ia turut memegangi sebelah pipi Jennifer. Hanya satu sisi karena tangan satunya masih memegang kamera.

Ciuman itu terputus. Jennifer menatap Awan lekat sebelum mengusap bekas pertemuan bibir mereka di dagu Awan.

“Awan, ayahku tadi bilang kalau kamu mau nikah sama aku. Kamu harus kerja di perusahaan,” ucap Jennifer dengan pelan dan sedikit lambat.

Bahu Awan sedikit bergetar akibat mendengar itu. Awan menggeleng kecil, ia hendak menolehkan kepalanya untuk menghindari tatapan Jennifer lagi. Namun, kali ini gagal karena tangan Jennifer masih menghiasi wajahnya.

“Awan, kamu bilang aku itu langitnya kamu karena kamu mau aku selalu nemenin kamu, 'kan?”

Awan mengangguk.

“Sekarang kamu nolak untuk kerja, berarti kamu nolak untuk jadi suami aku juga, dong?”

Laki-laki itu langsung menggeleng ribut. “Mana mungkin!”

Jennifer tersenyum melihat reaksi Awan. Sekarang, Awan bisa merasakan kalau pipinya sedikit ditekan.

“Kalau gitu, kerja, Awan. Aku gak mau punya suami berandalan,” ucap Jennifer dengan penuh penekanan.

Masih dalam pengaruh tatapan kekasihnya, Awan tanpa sadar mengangguk. Jennifer tersenyum puas sebelum mengecup bibir Awan sekali lagi. Hanya kecupan ringan.

Perempuan itu bangkit kemudian berlari kecil menuju keluar kamar. Dengan sedikit berteriak ia berkata, “Papa, Ayah, Awan katanya mau kerja di perusahaan!”

Mata Awan membulat mendengar itu. Baru menyadari kalau Jennifer berhasil mengendalikan dirinya tadi. Ia buru-buru bangkit untuk mengejar Jennifer.

“Tunggu, Jen!” teriaknya yang tentu diabaikan. Memang percuma, karena mau bagaimanapun sekali lagi Awan berhasil dikalahkan oleh Jennifer.

Selalu.

Perkataan Kana tentang Jennifer adalah bosnya Awan, tampaknya telah terbukti sekali lagi.