part of taksa, Kana Larena.

Jun as Kana. Tzuyu as Larena.


“Kok cemberut?” tanya Kana sembari menyerahkan helm pada Larena. Kekasihnya itu tidak menjawab, dia malah mengambil helm itu dengan sedikit kasar lalu memakainya. Tanpa kata dia langsung menaiki jok belakang motor Kana.

Kana mengerjap bingung. Ia sedikitnya sudah sadar dengan apa yang membuat Larena bersikap demikian. Laki-laki itu kemudian kembali melajukan motornya.

Biasanya Kana akan langsung mengantarkan Larena ke rumahnya. Namun untuk hari ini, Kana malah merubah tujuan mereka. Motor Kana kini berhenti di parkiran taman yang pernah mereka datangi untuk piknik.

Larena belum turun, dia meremat jaket yang Kana kenakan. Dengan lemah dia berkata, “Aku mau pulang, Kak.”

Kana menyentuh lutut yang lebih muda. “Kita lihat danaunya sebentar, yuk? Kamu mau ditanya-tanya sama mama nanti?”

Larena menggeleng lalu menarik napasnya dalam-dalam. Ia melepaskan helmnya lalu menerima uluran tangan yang lebih tua.

“Sini, duduk di sini. Aku beliin es krim dulu,” ucap Kana. Laki-laki itu kini sudah kelewat hafal soal bagaimana ia harus menyikapi suasana hati Larena.

Tak membutuhkan waktu lama, Kana kembali dengan satu buah es krim cokelat. Ia menyerahkan salah satunya pada Larena dan perempuan itu menerimanya walau tidak seantusias biasanya.

“Mereka nyebelin lagi, ya?” tanya Kana, langsung pada intinya.

Larena mengangguk. “Iya! Aku tahu aku kelihatan curang karena aku yang pegawai biasa tiba-tiba diumumin sebagai calon pengganti pimpinan cuma karena aku anaknya yang punya perusahaan. Aku gak minta buat dilahirin jadi anaknya papa, aku gak minta buat dapet kemudahan posisi dalam bekerja, aku gak minta buat diangkat jadi pimpinan secepat mungkin. Mereka kenapa terus ngeremehin aku sih, Kak?”

Napas Larena yang memburu membuat Kana mengusap pundak kekasihnya. Ia memilih untuk tak berkata apa-apa dulu, membiarkan Larena untuk mencurahkan isi hatinya terlebih dahulu.

“Aku udah berusaha supaya dilihat layak. Mereka bahkan sampai bahas kalau papa pasti nyesel masukin aku ke perusahaan di depan papa sendiri! Papa udah bahas kalau dia yakin sama aku tapi para direksi itu—argh, nyebelin parah!”

Selesai mengucapkan itu, Larena menyuapkan es krimnya dengan rakus. Tidak ingin marah-marah pada Kana, kekasihnya tidak salah apa-apa sampai harus Larena jadikan pelampiasan.

“Gini loh, Dek. Sebenarnya kamu udah layak dan mereka iri sama hal itu,” ucap Kana.

“Mungkin iya, kamu dapat kemudahan karena status kamu adalah anak yang punya perusahaan. Tapi kamu juga berusaha dan gak terima itu mentah-mentah. Kamu belajar terus setiap hari dan sekarang lihat? Papa kamu udah sepenuhnya percaya sama kamu, sayang.”

Larena menatap pada Kana, bibirnya kini terlihat cemberut dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Nah begini, kalau Larena sudah ada di puncak emosinya dia akan menangis. Kana tidak menahan dirinya untuk memeluk perempuan itu.

“Kakak ... aku ... aku mau keluar aja—hiks. Aku mau kerja di bengkel kakak aja.”

“Jangan dong, masa cantik-cantik jadi tukang servis? Mending kamu di perusahaan aja, ya? Jadi orang yang punya nama besar dan bikin bangga orang tuanya.”

“Aku sebel banget, Kak. Kayak ... kenapa, sih, harus sampai segitunya? Kalau ... kalau mereka gak suka aku, kenapa harus dibawa ke setiap rapat?” Larena mengatakan itu sembari sesenggukan. Kana mengelus punggungnya, berusaha menenangkan kekasihnya itu.

“Mereka itu sebenarnya ngelakuin hal yang gak benar, Sayang. Kamu bilang ke papa kamu, pasti ada orang yang lebih layak buat jadi direksi. Gak papa disangka ngadu, tapi mereka udah gak profesional. Mereka udah gak bener kerjanya.”

Kana menjauhkan dirinya lalu menangkup sisi wajah Larena dengan kedua tangannya. Ibu jari Kana bergerak untuk menghapus jejak air mata yang lebih muda.

“Aku percaya kamu pasti bisa ngelewatin semuanya. Aku udah nyaksiin gimana Rendra sama Awan sebelum ada di posisi mereka sekarang. Terus sekarang kamu. Orang-orang di sekitar Kana tuh orang-orang hebat semua. Aku tahu kamu pasti bisa pimpin mereka dengan baik,” ucap Kana diakhiri dengan senyum meyakinkan.

Larena menggeleng walau gerakannya terbatas karena tangan Kana masih membingkai wajahnya. “Gak ... aku cuma anak manja yang ngerasa perlu dijaga terus-terusan. Padahal aku udah gede, udah kerja.”

Sebenarnya, jika ini Larena mengucapkan itu kala mereka sedang kencan. Mungkin Kana sudah menyerang pipinya dengan kecupan karena gemas. Namun karena Larena sedang sedih, Kana hanya bisa menekan pipi yang lebih muda. Membuat bibirnya jadi mengerucut lucu.

“Kamu kalau udah nenek-nenek pun, pasti bakal aku jagain terus, Sayang. Bukan cuma aku, sama semuanya. Papa sama mama kamu juga walau udah pisah tetap selalu berusaha jaga kamu sama-sama, 'kan? Mau umur kamu seberapa pun, mau kamu setinggi apa pun. Larena tetap layak buat dijagain.”

“Bahkan sekarang, Larena udah bisa jagain orang, 'kan? Kayak waktu itu, kamu jagain aku dari mantan-mantanku.”

Larena menyentuh sebelah tangan Kana, menggenggamnya ketika ia rasa tekanan di pipinya berkurang. Matanya kembali berkaca-kaca ketika mata mereka saling bersinggungan.

“Kakak ... makasih ... aku gak tahu kalau gak ada Kak Kana mungkin aku cuma bakal nangis semalaman.”

“Boleh, Sayang. Kamu kalau main sedih gak ada yang larang. Asal jangan lama-lama dan lakuin apa yang seharusnya, ya? Berani, 'kan, buat jujur sama papa?”

Larena mengangguk. “Harus!”

Kana tersenyum tipis, lalumengecup pipi kanan Larena. “Pinter, sayangnya Kakak.”

Setelah itu tubuh Kana kembali dipeluk oleh yang lebih muda. “Jangan cium-cium, kita masih di tempat umum. Ih Kak Kanaaaa!”

Kana tertawa, membalas pelukan Larena dengan sedikit erat guna melampiaskan kegemasannya. “Maaf-maaf, kalau sama kamu berasa dunia milik berdua soalnya.”