part of taksa – trio gemini.
Jujur, waktu kecil sebenarnya Rendra tidak menyukai Larena. Anak ini datang-datang minta dijaga, berlagak seperti ekor, dan mengadu setiap detik.
“Kak Lendla, aku ikut!”
“Kakakkk.”
“Mama, Kak Len gak baik sama Lena.”
Rendra kesal, Larena bahkan melebihi sikap Cesi—adik dia yang sesungguhnya.
Beranjak remaja, Rendra malah bertanya-tanya. Sudah banyak omongan tidak enak yang sampai di telinga Larena, sudah banyak kaki yang menjauh darinya. Namun, kenapa tak sekali pun Rendra melihat Larena sedih?
Larena itu sebenarnya baik, ada di umur remaja menjadikannya tidak lagi mudah mengadu. Larena sering dijauhi—yang sampai saat ini belum Rendra ketahui apa alasannya—di sisi lain anak ini juga dapat dimanfaatkan dengan mudah.
Saat itu, mungkin saat Rendra baru dilantik jadi Ketua Osis. Rendra dengan posisi barunya, tentu akan lebih sibuk lagi. Laki-laki itu memang pandai mengendalikan, tapi bukan berarti dia tak pernah kewalahan.
Rendra jadi sering di sekolah, jarang memperhatikan keadaan rumah dan sekitarnya. Termasuk tentang Larena yang sering membawa pulang banyak buku milik teman-temannya ke rumah.
Dia kecolongan.
“Kenapa bukan cuma buku lo aja di sini?”
“Oh itu ... temenku minta tolong supaya aku bantu kerjain tugas mereka, Kak. Jadi,kalau istirahat aku boleh bareng mereka.”
“Ini namanya bukan bantuin lagi. Lo ngerjain tugas mereka. Gak, jangan dikerjain.”
“Kak Rendra jangan gitu! Ini biar aku ada temen pas istirahat aja. Kak Rendra pikir sendirian itu enak? Enggak!”
Untuk Rendra yang sering dikelilingi banyak orang karena jabatan, tentu dia akan bilang sendirian itu enak. Namun untuk seorang Larena yang di rumah pun sering sendirian ... rasanya Rendra maklum dengan keadaan di mana malah dia yang kena marah.
Minta bantuan Cesi pun agak susah, adiknya itu kalau disuruh akan susah. Terlebih kelas Larena dan Cesi yang ada di gedung berbeda.
“Harus banget, ya, lo kerjain semua ini?”
“Iya ... aku gak mau kesepian di sekolah, cukup di rumah aja. Aku juga jadi gak kepikiran Kak Rendra yang sekarang sering pulang telat dengan ngerjain tugas ini.”
Dari situ, Rendra berusaha mengatur waktunya agar waktu luangnya lebih banyak. Ia berusaha untuk menemui Larena setiap hari dan kadang malah membantunya mengerjakan tugas yang bukan milik Larena.
“Nanti kalau bagi rapot bilang, ya. Gue mau ikut.”
“Buat apa?”
“Gue mau ngomong sama temen-temen lo. Soalnya mereka mau temenan sama lo, kan?”
“Iya! Oke nanti aku kasih tahu kakak!”
Rendra masih ingat, ekspresi Larena yang menjadi cerah ketika ia berkata demikian. Yang Larena tidak tahu, Rendra menceramahi mereka habis-habisan. Entah apa saja yang cowok itu katakan, intinya setelah itu tak ada lagi tugas yang dilimpahkan pada Larena.
Larena tak perlu usaha lagi untuk menemukan teman di jam istirahat.
Berkat kejadian itu juga. Larena yang awalnya selalu melihat Rendra sebagai penjaganya, perlahan merubah pandangannya. Cewek itu kagum, dia semakin mau bersama Rendra, semakin berani untuk menghubungi yang lebih tua duluan.
Larena menjadikan Rendra sebagai cinta pertamanya.
“Kak Rendra, udah punya pacar belum?”
“Kenapa nanya?”
“Soalnya aku mau jadi pacar Kak Rendra. Aku suka sama kakak.”
Perbedaan umur sampai tiga tahun, membuat Rendra tak pernah serius dalam menanggapi Larena.
Rendra tak ingin memberikan banyak pengaruh pada yang lebih muda kalau usia remajanya. Cowok itu cuma menjalankan amanat yang diberikan padanya sejak dulu; menjaga Larena.
Memasuki bangku perkuliahan, Rendra menjadi jarang berinteraksi secara langsung dengan Larena. Dia hanya memastikan lewat pesan, menanggapi dengan baik segala cerita yang Larena bagi, lalu menyempatkan diri untuk sekedar melihat Larena sekilas sebelum berangkat ke kampus.
Masa kuliah bisa dibilang menjadi masa di mana Rendra paling sering berulah. Banyak hal baru yang ia coba. Salah satunya adalah dengan terbentuknya taksa.
Di masa kuliah pula, ia memberanikan dirinya untuk mendekati Shanaya. Sosok yang saat sekolah menarik perhatiannya—alasan terbesar Rendra tak pernah menanggapi rasa suka Larena.
Larena tak pernah berubah. Cewek itu masih sering mengabari Rendra, membagi ceritanya, dan kadang meminta pendapat. Walau Larena tahu Rendra tak secepat itu dalam menanggapi pesannya.
Rendra juga sering pulang malam. Dari situ Larena menyimpulkan kalau perkuliahan memang sesibuk itu.
Caraka Tarendra memang akan selalu Karena kagumi sampai kapanpun. Namun, ia tak akan mengelak kalau Rendra adalah patah hati keduanya—setelah ayah.
“Kenalin ini Shanaya, Rena.”
“Pacar gue.”
Hal yang pertama kali Rendra lakukan ketika Kana mengirim foto Larena ke grup adalah mengakui kalau dunia memang sempit. Ia selalu memikirkan siapa yang bisa membantunya dalam menjaga Larena.
Namun, cewek itu jarang sekali membahas romansa. Rendra paham betul kalau diam-diam Larena masih menaruh harapan. Dia agak ciut karena Naya menunjukkan keposesifannya pada yang lebih muda. Naya sadar kalau Larena menaruh hati pada pacarnya.
Lalu di saat kebingungannya itu, muncul Kana yang mengagumi Larena. Awalnya Rendra tidak yakin, meski mereka berteman dan Rendra membutuhkan seseorang untuk menjaga Larena. Taksa adalah pilihan terakhir, ketika semua cowok di dunia ini sudah habis. Terlebih jika itu Kana, seseorang yang terbukti mempermainkan banyak hati.
Segala kata yang Kana ucapkan, segala janji yang Kana berikan padanya demi Larena yang bahkan belum ia kenal secara benar. Membuat Rendra sedikit memberi kesempatan pada cowok itu untuk mendekati Larena. Terlebih cowok itu benar-benar memutuskan dua pacarnya.
Ia juga tak berharap banyak mengingat Larena yang sulit didekati. Namun sepertinya Kana dan beruntung memang sulit dipisahkan. Cowok itu malah dapat kerja dengan mengajari Larena mata kuliah yang tak dipahami.
Belum lagi dengan kenyataan mereka yang ternyata satu jurusan. Rendra merasa kalau dunia memang merencanakan ini untuk keduanya.
Rendra tahu, Larena menyukainya. Rendra juga tahu kalau Kana serius dengan ucapannya.
Rendra mengamati setiap interaksi keduanya yang semakin lama semakin dekat. Hingga ia akhirnya bisa bernapas lega karena Kana mampu menjaga Larena—begitu pula sebaliknya.
“Jadi, selamat ulang tahun kita!” seru Larena dengan nada ceria yang tak pernah hilang. Wajahnya berseri sembari mengangkat satu kue ulang tahun untuknya.
Rendra dan Kana saling memandang. Tak menyangka kalau Larena seniat ini dalam mempersiapkan ulang tahun mereka. Ada tiga kue berukuran kecil di atas meja, tiga balon berbentuk huruf yang dirangkai menjadi 'HBD', dan tiga bando dengan bentuk berbeds-beda.
Larena mengambil bandi berbentuk kue ulang tahun dengan banyak lilin, lalu memakainya. Ia mengambik yang berbentuk tanduk lalu menyerahkannya pada Rendra. Sisanya, yang berbentuk pita ia serahkan pada Kana.
“Kakak-kakak pake juga, ya!”
“Ini harus banget, ya, aku yang pita? Warna pink pula,” balas Kana.
Larena mengangguk. “Iya, harus! Soalnya itu lucu, Kakak!”
“Oke sip, dibilang lucu. Beneran gue pake nih,” kata Kana berhasil membuat Larena tertawa. Puas melihat Kana yang memakai aksesoris satu itu.
Rendra diam-diam tersenyum tipis melihat itu.
“Kak Rendra juga pake, yaa!” Rendra menurut tanpa banyak suara.
“Kita harus cepet-cepet mulai. Aku cuma dikasih waktu satu jam sama Kak Naya buat pinjem Kak Rendra.”
“Santai aja, Dek. Yang diomelin nanti pasti Rendra, bukan kamu,” balas Kana sambil merangkul yang lebih muda. Namun tidak lama, Larena sudah menjauhkan dirinya.
“Uh, Kak Kana gak tahu aja Kak Naya itu galak.”
Rendra tertawa lalu ikut duduk bersama dua orang itu. “Santai aja, dia gak serius. Tapi jangan sampai seharian juga, sih.”
Larena mengangguk. “Iya, dong. Gak mungkin seharian. Kak Rendra kan harus ngerayain sebagai suami, terus anak, terus temen juga, 'kan?”
“Gak ada acara taksa. Gak pernah ngerayain ulang tahun bareng,” jawab Kana dan Rendra mengangguk untuk itu.
“Oh oke deh,” balas Larena seraya menyalakan lilin di setiap kuenya.
Sebenarnya ulang tahun Rendra masih besok dan ulang tahun Kana sudah lewat beberapa hari. Ini hari ulang tahunnya Larena. Ada di satu bulan yang sama dengan jarak hari yang tak jauh, membuat Larena berinisiatif untuk membuat acara ini.
Mumpung Rendra juga sedang pulang ke sini.
“Dek, kata kamu, 'kan, tadi ngerayain sebagai pasangan dan yang lainnya. Ini kita ngerayain sebagai apa?” tanya Kana memancing. Walau sebenarnya ia juga paham apa alasan Larena membuat acara ini.
“Uhm ... sebagai orang berharga buatku?” Mau gimanapun, Kak Kana sama Kak Rendra udah jaga aku selepas ayah pergi. Kalian juga sama-sama orang yang pernah aku sayang.”
“Oh, jadi aku juga pernah?”
“Iya, kalau sekarang, 'kan, aku cinta sama kakak.”
Tawa Kana lepas, Larena juga iku tertawa. Rendra tersenyum, tapi memilih untuk tak berkata apa-apa dulu.
“Bisa aja dah lo bikin gue bahagia,” balas Kana sambil mengusak rambut Larena. Sukses membuat bando yang dikenakannya terjatuh.
“Ih, Kakak!”
“Maaf-maaf, nih, aku pakein lagi.”
“Kalian berdua, semoga bisa sama-sama terus, ya,” ucap Rendra tiba-tiba, membuat pasangan itu jadi melihat ke arahnya.
“Kan, inget janji gue soal nyakitin Larena. Gue beneran gak bohong, gue serius bakal mukul lo kalau gue sampai tahu lo nyakitin anak ini. Gue gak peduli kita temenan atau enggak. Lo nyakitin dia, lo kelar.”
Kana mengangguk. Meski ucapan Rendra serius, tapi cowok itu malah memasang wajah datar dan mengacungkan ibu jari. Ngajak ribut.
“Larena juga, jaga yang bener temen gue, ya? Jangan sampai dia jadi bego lagi. Ini belum sempat gue ucapin dulu, tapi gue sangat berterima kasih buat semua perhatian lo. Termasuk perasaan lo buat gue, maaf karena gue gak bisa balas itu dulu. Tapi lo tahu, 'kan? Gue tetep sayang sama lo dan jagain lo.”
Larena tersenyum dan memasang pose hormat—pose andalannya terhadap semua perintah yang Rendra beri.
“Lo berdua harus jaga satu sama lain. Jangan lupa jaga hubungan kalian berdua juga. Gue juga mau bilang makasih karena lo berdua udah ngejaga masing-masing sejauh ini dengan baik. Inget, ya, kalau ada masalah sebisa mungkin kalian omongin dulu pake kepala dingin.”
Rendra menatap dua orang itu bergantian, lalu tersenyum hangat. “Gue tunggu kabar baik dari lo berdua.”