pilihan
tags: character crossover, kosasra x ednamy, sana and anna, marriage life, typos.
Gue sering ada di posisi di mana gue adalah sosok yang ditanya. Dituntut sebuah jawaban.
Menjadi seorang guru yang gak akan mungkin melewatkan harinya tanpa menjawab pertanyaan murid.
Menjadi seorang sahabat yang ditanya saran juga pendapatnya.
Menjadi seorang anak yang kini lebih sering ditanya gimana kabarnya.
Menjadi seorang istri yang ditanya apa kegiatan yang bakal dilakukan esok hari atau sekedar apa yang gue inginkan untuk dia beli di perjalanan pulang.
Menjadi seorang ibu yang pasti bakal selalu ditanya tentang bagaimana gue mengurus anak.
Gue jarang merasa keberatan dengan hal itu.
Namun, berbeda lagi ketika gue ditanya tentang apa gue menyesali keputusan gue atau alasan kenapa gue mengambil keputusan itu.
Ada satu masa ketika gue akan mengobrol dengan Jeongyeon dan Momo aja. Tanpa kosasra bagian cowok.
Jeongyeon akan bercerita bagaimana suka dukanya bekerja sebagai dokter hewan. Dia yang pada dasarnya kelewat sayang harus dituntut membelah bagian tubuh hewan itu kalau ada operasi. Juga hal lain yang dia keluhkan tapi ujungnya berhasil dia lakukan dengan baik.
Momo akan bercerita bagaimana kesehariannya di sanggar. Melatih anak-anak menari, mendengarkan cerita mereka, bahkan kadang harus membawa salah satunya ke rumah sakit gara-gara terjatuh saat menari.
Lalu gue, si Sana ini dibandingkan bercerita tentang kesehariannya di sekolah. Gue malah cerita gimana perkembangan anak gue, dia yang sudah mulai merangkak, mulai menyukai makanan tertentu dan sebagainya.
Lalu gue gak akan mengeluh gimana berisiknya murid ketika gue mengajar. Gue malah akan mengeluh gimana sibuknya suami gue yang kadang ketika sampai rumah pun harus melanjutkan pekerjaannya secara diam-diam setelah gue tertidur.
Kita bertiga seumuran, tapi kalau dipertemukan dalam kondisi kayak gini. Gue selalu berpikir kalau gue melangkah terlalu jauh.
Kadang kalau seharian itu capek, gue kerap membayangkan gimana kalau saat ini gue masih hidup hanya sebagai seorang anak, bukan ibu. Mungkin gue bisa banyak membuat video seperti dulu atau jalan-jalan tanpa kepikiran apa-apa selain titipan ibu gue.
Masih di saat yang sama ketika Selena dengan jelas tertidur di gendongan gue.
“Hey, jangan ngelamun.”
Entah kenapa.
Ketika perlahan gue merasa muak dengan keadaan akibat bayangan-bayangan itu. Si dia ada, mengambil alih dengan mudah, memberi gue ruang buat beristirahat. Meski pada faktanya dia cuma baru tidur selama satu jam semalam.
“Maaf.”
“Gak papa. Jadi, gak ke kafenya kamu?” tanya dia, menanyakan ulang pernyataan gue semalam.
Melihat kantung matanya, gue seketika ngerasa bersalah. Padahal dia sama sekali gak tahu apa yang gue pikirin barusan.
“Mau,” ucap gue, “kamu bisa gak?”
Hari Minggu seharusnya banyak dihabiskan di rumah. Ketika dengan jelas ini tanggal merah buat dia dan gue. Tapi kami jarang ngehabisin Hari Minggu bareng-bareng karena dia selalu ngasih gue me time untuk pergi kemana pun sendirian atau sama temen yang lain.
Tanpa dia dan Selena.
“Loh kok tanya aku? 'Kan, kamu yang mau pergi.” Dia mengambil alih Selena dari gendongan gue untuk dia letakkan di tempat tidur. Omong-omong, gue lagi duduk di sofa yang ada di kamar.
“Ya perginya sama kamu,” ucap gue dan si dia malah senyum.
“Ini, 'kan, hari di mana Sana cuma perlu jadi dirinya sendiri? Take your time, aku sama Selena nunggu di rumah. Mobil sama cc-ku bawa aja.”
“Ih ... serius. Masa aku terus yang dikasih waktu jadi diri sendiri.”
Dia malah tertawa. “Ya serius dong. Pas kamu pergi, aku juga bisa jadi diri sendiri.”
“Kapan? 'Kan, ada Selena.”
“Nanti siang. Aku udah undang Jihoon, Jun, sama Wonwoo buat datang. Mau ngobrol, mau main kartu, mau mengenang. Mereka juga seneng kalau diganggu suara nangisnya Selena. Kalau kamu masih ragu, ya udah, dua jam aja perginya.”
Rambut gue diusap dan gue spontan memejamkan mata. Semenjak kehadiran Selena, semenjak gue kembali bekerja, rasanya bersentuhan sama dia bisa terhitung jari.
Pas malam pun, pelukan buat ngejar ngantuk. Namun, gue harus siap ketika gak sengaja kebangun menemukan dia yang tengah fokus pada laptopnya.
Dia ini jauh lebih capek dari gue. Jadi seorang bos, jadi seorang anak, jadi seorang kakak, jadi seorang ayah, jadi seorang sahabat, dan juga gak jarang kosasra sama asrama masih butuh ketuanya alias dia.
“Minggu depan kita stay cation gimana? Selena nanti titip ke ibu kamu.”
Gue pada akhirnya mengangguk. Setuju. Mau bagaimana pun, pada dasarnya dia gak mau membiarkan gue merasa bersalah.
Secapek apa pun dia.
“Dua jam aja,” kata gue dan dia ketawa lagi.
“Iya dua jam. Lebih juga gak papa sih, siapa tahu kamu nemu hal menarik buat dipelajarin. Hati-hati bawa mobilnya terus kabarin kalau ada apa-apa. Oke?”
Dia berkata sambil mengeluarkan dompetnya. Gue langsung menahan gerakannya itu dan menggeleng.
“Gak usah. Ini, 'kan, me time masa pake uang kamu. Gaji aku juga gede walau belum bisa bikin kartu item kayak kamu.”
“Oke siap dah,” balasnya debgab nada jenaka yang gak pernah berubah dari dulu.
Kafe yang mau gue datangi itu kafe baru. Gue tertarik karena kata rekan-rekan gue yang beberapa di antaranya udah gak bisa makan manis sering-sering. Menu less sugar di sana bisa bikin puas.
Gue penasaran.
Nama kafenya Kwonazaki. Meski itu terhitung kafe baru dan ini kunjungan pertama gue. Mendengar namanya, gue merasa gak asing.
Ketika gue masuk, harum kopi langsung menyapa penciuman gue. Tahu gini harusnya gue paksa suami gue buat ikut mengingat dia sesuka itu sama kopi.
Mungkin lain kali.
“Selamat datang di Kwonazaki. Mau pesan apa?” tanya seorang perempuan yang ada di kasir.
Gue gak langsung menjawab. Melihat je arah menu kemudian menatapnya lagi.
“Saya dengar menu less sugar di sini enak-enak. Apa Anda punya rekomendasi?”
“Tentu. Sejauh ini menu yang paling disenangi orang-orang itu chocolate brownies. Kami sebenarnya tidak menggunakan gula di sini, tapi tetap manis dan gak bikin eneg. Tapi kalau kamu memang tidak biasa memakan yang seperti itu, saya sarankan membeli yang biasa saja.”
Gue mengangguk. Di rumah gak pernah kepikiran untuk makan yang gak terlalu manis sebenarnya. Baik gue sama dia sama-sama suka walau harus sambil minum kopi.
“Saya mau coba yang biasa satu dan yang itu satu. Uhm, sama almond cake satu. Minumnya iced coffee saja.”
Dia senyum. “Baiklah, silahkan tunggu pesanannya diantarkan.”
“Ah tunggu. Sebenarnya saya merasa penasaran dengan resepnya ... kalau boleh, saya mau mengobrol dengan pemiliknya. Kira-kira bisa tidak, ya?”
Cewek di depan gue itu cantik, rambut pirangnya yang diikat juga senyum yang gak bisa gak gue akui menawan.
“Boleh. Kebetulan saya sedang senggang.”
“Eh ... Anda?”
Dia ketawa pelan. “Salam kenal, saya Anna Kwon. Pemilik kafe ini.”
“Mari.”
Gue mengikuti ke arah mana dia membawa gue. Anna sempat berbicara dulu kepada pegawainya untuk menyiapkan pesanan gue. Lalu kami berdua pun duduk di meja yang sama.
“Kamu penasaran dengan resep yang mana?” tanya dia langsung tapi terdengar ramah.
“Coffee cake, suami saya sangat suka kopi tapi sejauh ini saya belum menemukan resep yang menurut saya enak.”
Dia terdiam sebentar lalu berkata, “Suami?”
Gue mengangguk dengan kaku. Aneh emang, ya?
“Oh my god, you look so young. Saya kira kamu masih mahasiswa,” kata dia sambil terkekeh.
“Saya sudah lulus 2 tahun yang lalu,“jawab gue, sedikit gak menduga kalau reaksi dia bakal kayak gitu.
“Ah begitu? Kita cuma berbeda 2 tahun kalau begitu. Baiklah, mari kita bahas coffee cake-nya.”
Cewek itu menatap gue kemudian tersenyum tipis. “Oh iya, what's your name?“l
“Sana.”
“Okay, Sana. Sebenarnya coffee cake ini terhitung lebih mudah. Sewaktu saya masih belajar dulu, ini sering direkomendasikan untuk dibuat oleh pemula.”
Gue menyimak setiap apa yang dia katakan. Mulai dari resep-resep yang sering dia gunain sampai ke tips pas panggang atau kukus kuenya.
Kami berdua berbincang sampai tanpa sadar brownies yang gue beli hampir habis. Sumpah, ya, ini enak banget. Mau yang less sugar atau yang biasa, sama-sama luar biasa rasanya.
“Kalau suami kamu memang gak keberatan sama makanan manis. Saya sarankan tidak perlu memberinya menu less sugar asal jangan sering-sering saja. Terlebih kalau dia orang sibuk, makanan manis bisa menghibur dan membuatnya lebih rileks.”
Gue tersenyum lebar sambil mengangguk. Mengobrol sama orang ini, nyaman. Kita belum seharian mengobrol bahkan sejam pun belum. Namun rasanya, kita adalah dua orang teman lama yang baru ketemu lagi.
“Kami sama-sama suka manis. Dulu zaman kuliah dengan tujuh orang lain, kami bisa ngehabisin martabak ketan dua kotak! Dipikir-pikir terlalu berlebihan tapi itu memang terjadi,” ucap gue diakhiri ketawa.
Kalau diingat lagi, itu emang sedikit konyol sih. Saking asiknya, kosasra sampai lupa sama kesehatan masing-masing. Untung sekarang udah pada sadar diri.
Anna menatap gue lembut. “Kamu sama suami kamu sebelumnya teman dekat, ya?”
Gue mengangguk. “Iya, kami sebelumnya memang sempat dekat. Cuma sempat menjauh juga karena sesuatu. Saya gak nyangka kalau akhirnya saya sama dia bisa sama-sama.”
“Memang terkadang ada hal tak terduga yang terjadi. Kadang disertai harapan, kadang juga tidak. Kita cuma bisa menerima,” kata Anna. Kalimatnya itu membuat dahi gue mengernyit seketika.
“Saya kurang setuju. Kita gak 'cuma' bisa menerima. Kita bisa menerima seraya mengubah. Kalau tetap diam alias pasrah itu terpaksa dan pura-pura ikhlas,” jawab gue yang sukses ngebuat dia terdiam cukup lama.
“Kita gak akan berkembang kalau tetap kayak gitu. Aduh, maaf, kalau semisal ucapan saya ngebuat kamu ngerasa tersinggung.”
Anna dengan cepat menggeleng selepas gue berkata demikian. Kata dia sambil tertawa canggung, “Maaf, saya kelepasan ngelamun.”
Ada jeda sebelum Anna kembali berkata, “Sana, saya boleh tanya sesuatu? Di luar kue.”
“Mau tanya apa?”
“Apakah kalian sudah mempunyai anak?” Gue kira mau nanya apa, ternyata pertanyaan umum.
Gue mengangguk. “Anak saya baru 10 bulan kemarin.”
“Selamat! Apakah saya boleh bertanya satu hal lagi?”
Dia tersenyum, tapi terlihat lebih dipaksakan? Entahlah, mungkin cuma perasaan gue aja.
“Maaf kalau semisal saya menyinggung, jika keberatan kamu tidak usah menjawabnya. Kamu terbilang masih muda lalu tadi kamu juga bilang kalau suami kamu orang yang sibuk. Apa kalian berdua tidak keberatan memilih jalan ini?”
Untuk ke sekian kalinya, gue ditanya lagi pertanyaan ini. Gue sendiri sampai hafal sama jawaban seperti apa yang akan gue berikan.
“Gini, Kak. 'Kan, setiap orang berhak mengambil pilihan yang memang dia mau. Di sisi lain, setiap pilihan yang kita ambil akan selalu disertai dengan sanggup atau tidaknya kita dalam bertanggung jawab terhadap pilihan itu.”
Gue berhenti sejenak. “Jadi, walau kadang saya capek, saya ngeluh, saya kepengen balik kayak dulu lagi. Saya selalu keinget sama itu. Pernah sekali saya ada di titik muak, saya pergi dan gak kasih kabar ke suami saya dan menutup akses komunikasi kami untuk sementara. Namun, pada saat saya pulang, saya menemukan mereka berdua sedang tertidur.”
“Dia kelihatan gak nyenyak sama sekali dan saya yakin tubuhnya pasti pegel karena sehabis pulang dari kantor dia harus mengurus anak kami. Belum lagi, dia tak berhenti menghubungi saya. Saat itu, saya menyesal karena sempat ingin lari dari pilihan saya sendiri. Saya nyari lupa kalau kami menjalaninya berdua, bukan masing-masing. Kamu, 'kan, menikah.”
Gue gak paham kenapa, tapi Anna malah ngelamun lagi. Apa perkataan gue menyinggung dia, ya?
Mungkin saatnya mengalihkan pembicaraan.
“Kalau kakak sudah menikah?” tanya gue.
“Sudah,” jawab dia, “saya ... dijodohkan.”
Oke. Sekarang gue paham kenapa dia ngelamun setelah dengar ucapan gue tadi.
“Kakak tidak menolak?”
Anna menggeleng. “Tidak, awalnya saya memang kurang yakin. Tapi makin lama saya sadar betul kalau dia a nice man, a very nice man.”
“Ah, syukurlah kalau begitu. Lalu yang membuat Kak Anna kepikiran karena...?”
Gue menebak aja sih, tapi kayaknya itu benar. Terlebih dengan reaksi yang Anna keluarkan.
“Karena teman lamanya ada. Saya sadar kalau mereka hanya teman dan dia pun selalu bertanya apakah saya nyaman atau tidak jika kami bertiga makan bersama. Namun tetap saja saya tak merasa baik karena temannya ini seperti tahu segalanya tentang suami saya—bahkan lebih dari dirinya sendiri.”
Gue terdiam, mencerna baik-baik kalimatnya yang terkesan cepat itu. Anna tampak menunggu reaksi gue.
“Lalu kamu tetap bilang nyaman meski pada faktanya kamu gak nyaman?”
Anna mengangguk. “Meski begitu, setidaknya saya bisa tahu apa lagi yang disukai oleh suami saya lewat perbincangan kami.”
Gue pun yakin kalau mereka bahkan belum mengungkapkan perasaan masing-masing lewat kata. Cuma dengan bahasa tubuh yang kadang itu kurang memuaskan untuk satu manusia.
“Kenapa kamu bisa menilai dia adalah orang yang baik?” tanya gue, walau belum diminta tapi setidaknya gue perlu memastikan beberapa hal sebelum kasih saran nanti.
“Dia selalu mendukung saya. Kafe ini awalnya nyaris jadi mimpi saya yang terkubur, tapi karena dia saya bertekad untuk mewujudkannya. Bahkan dia sendiri yang mendesain bangunnya. Lalu urusan rumah yang tak begitu dibebankan kepada saya walau kami hanya tinggal berdua, dan hal lainnya.
“Sikap dia yang selalu memastikan sebelum melakukan pun, membuat saya merasa kalau saya penting untuknya karena saya secara tidak langsung selalu ikut mempertimbangkan hal yang akan dia pilih.”
Anna meneguk tehnya ketika sudah mengatakan dialog cukup panjang itu.
Gue menegakkan duduk. “Kak, tahu gak kalau kunci sebuah hubungan itu kejujuran dan kepercayaan. Kalau kamu ngasih jawaban yang gak jujur dia akan merasa kalau kamu tak mempermasalahkannya.”
“Mungkin awalnya biasa aja, tapi makin lama kepercayaanmu ke dia makin tipis, Kak,” sambung gue.
“Sedihnya lagi, kalau semisal kita udah punya anak. Muncul pertengkaran-pertengkaran akibat kepercayaan yang berkurang, lalu anaknya mendengar semua itu secara langsung. Kalau sudah seperti itu, kita secara tidak langsung menyakiti seseorang yang gak salah juga, bukan?”
Anna mengangguk dan tersenyum canggung. “Benar ... saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya.”
Hening di antara kami untuk sejenak. Hingga kemudian gue memilih untuk kembali berkata, “Kak, saya boleh kasih saran?”
Anna tak langsung menjawab, dia mempertimbangkan. Untungnya,dia setuju sama hal itu.
“Untuk hal-hal yang gak diketahui oleh kamu tentang suami kamu, lebih baik tanyakan secara langsung. Kalian bisa mengobrol dan itu juga bisa ngurangin kecanggungan yang ada di antara kalian berdua,” ucap gue.
“Terus soal perasaanmu juga, Kak. Kalau dia tanya antara nyaman dan gak nyaman, maka jawab sesuai yang kamu rasain. Kalian bakal saling jujur dan itu bukan hal yang buruk.”
“Ketiga, gak ada salahnya kalau kamu curiga. Asal jangan main menuduh sebelum kamu bertanya atau punya bukti. Saya bisa memastikan kalau dia bakal lebih nyaman jika kamu tak pasif dalam hubungan kalian berdua.”
Ketika gue kadang mengeluhkan gimana temen-temen gue masih bisa berkembang tanpa ada yang menuntut mereka untuk cepat pulang. Gue ketemu seseorang yang bahkan belum benar-benar bisa mengenali suaminya sendiri.
Dia cewek di depan gue, Anna.
Anna tersenyum tipis tapi terlihat begitu tulus. Walau dia belum berkata apa-apa, tapi entah kenapa gue jadi lebih dulu terharu ngelihat itu.
“Makasih banyak, Sana. Kalau hari ini kita tidak mengobrol mungkin saya akan menyesali apa yang saya rencanakan untuk dilakukan tadi.”
Gue berdiri dan dia pun ikut berdiri. Kami berpelukan secara singkat sambil menempelkan kedua pipi masing-masing bergantian.
“Tidak perlu berterima kasih dan selamat mencoba, Kak Anna. Saya harap pernikahan kalian bisa terjaga hingga kalian tua nanti.”
Anna mengangguk. “Saya juga berharap begitu untuk kamu dan keluargamu, Sana. Semoga kalian senantiasa diberi kebahagiaan.”
Lalu, kami pun berpisah. Gue dengan cepat menaiki mobil, gak sabar buat bercerita tentang hari ini ke dua kesayangan gue di rumah.
Obrolan antara gue dan Anna sedikit memberi gue sentilan karena teringat bagaimana gue dulu ketika Selena lagi rewel-rewelnya.
Hal yang selalu gue sesali walau dia selalu meyakinkan gue semuanya baik-baik aja.