pintu – 2

Gue gak pernah membayangkan ada di posisi ini. Menjadi satu-satunya wanita diantara tiga pria dalam sebuah pertemanan membuat gue merasa gak butuh cinta.

Gue tahu, mereka bertiga sama-sama pernah naksir sama gue. Gue juga sadar kalau gue menaruh hati ke salah satunya.

Gue paling kenal sama Johan, kita udah dari kecil bareng-bareng. Situasi menjadi aneh ketika dia menyatakan perasaannya, gue menolak itu karena tahu ada orang lain yang suka suka sama dia. Kalau kalian menebak seseorang itu adalah Diva, maka jawabannya adalah iya.

Lalu Joshua ... satu-satunya orang yang sempat gue taksir dan kami sama-sama paham buat gak melanjutkan rasa itu. Memilih mundur sebelum menyatakan.

Sedangkan Sean, dia itu bisa dibilang yang paling susah ditebak dibandingkan yang lain. Hari ini dia muji gue, sorenya dia jalan sama yang lain. Alasan kenapa gue gak pernah menanggapi Sean dengan serius.

Sosok Arsean yang sama dengan yang kini ada di hadapan gue. Sosok yang sedari tadi masih diam setelah banyaknya kalimat yang gue keluarkan.

“Gue gak suka lo asal ambil keputusan. Asal menyebut diri lo sebagai seseorang buat gue. Asal dalam ngeklaim gue jadi milik lo.”

“Hubungan tuh dua orang, Sean. Bukan satu. Bukan cuma lo yang berhak menentukan. Pernah gak sekali aja lo tanya gue maunya gimana?”

“Keluarga lo juga sama aja! Mereka dengan bangga ngumumin apa aja rencana mereka buat kita. Sedangkan keluarga gue tahu aja enggak. Mereka gak butuh pendapat keluarga gue. Itu sama aja kayak gak butuh gue buat hadir.”

“Atau dari yang paling sederhana aja, deh. Lo pernah nanya gak perasaan gue buat siapa?”

“Gue cuma mau bantu lo biar lo gak ditanya-tanya lagi. Lo malah ngelunjak, tahu gak?”

Hening. Dia masih belum ngomong. Nepatin ucapannya untuk gak ngomong sebelum gue.

“Udah,” kata gue, “gue udah selesai.”

Sean natap gue ragu-ragu. Kayaknya ucapan gue tadi emang cukup nampar dia.

“Gue minta maaf karena ngebuat lo ngerasain semua itu. Gue gak akan memberi pembelaan apa-apa, gue jelas salah.”

“Jelasin.”

“Hah?”

“Jelasin kenapa lo bersikap kayak gitu, Arsean.”

Sean diam, gak langsung jawab.

“Kita temenan udah lama dari kuliah sampai sekarang hujan udah eksis. Selama itu, lo gak pernah sekalipun menunjukkan ketertarikan lo buat gue. Sikap lo ke gue tuh agak beda dengan sikap lo ke Johan atau Joshua.”

“Jadi, gue sempat hopeless. Gue gak pernah ekspetasi kita bakal ada di posisi kayak gini. Ketika ide untuk bawa lo ketemu orang tua gue dan mereka setuju. Gue bego karena malah keterlaluan seneng padahal kita bukan siapa-siapa, Nay.”

“Lo baik dan selalu mau bantuin gue. Gue makasih untuk itu. Gue ini si gak tahu diri yang malah manfaatin kebaikan lo. Gue gak peduli sama pendapat lo karena keterlaluan seneng. Di sisi lain, gue takut lo bakal pergi dari gue, Nay. Terlebih setelah lo jalan sama Marvin kemarin yang gak bilang ke gue.”

“Pikiran gue kacau kemarin, orang tua gue juga terus ngerecokin gue soal kita. Gue sampai bilang ke grup untuk batalin itu ... iya, bego banget, emang.”

“Intinya gue minta maaf buat semua itu, Nay. Gue bakal usahain keadaan jadi seperti yang lo mau.”

Gue diam, menatap Sean menyelidik. Penjelasannya agak bikin gue marah, jujur. Emang Arsean bego.

“Lo maunya kayak gimana?” tanya gue.

“Gue maunya kita sama-sama. Tapi kalau lo emang gak mau, gue bisa kubur itu, Nay. Gue bakal bilang juga ke mereka kalau kita putus supaya mereka berhenti dengan rencana pernikahan kita.”

“Jujur, Sean. Lo emang bego dan rasanya gue mau marah dengerin penjelasan lo,” jawab gue. “Tapi lo belum ngajuin pertanyaan itu ke gue.”

“Pertanyaan ap—oh ....”

Sean diam lagi, gue tahu dia lagi mempersiapkan hatinya untuk apa pun jawaban yang gue beri nanti.

Sebenarnya jika dari awal dia nanya gue baik-baik, gue akan lebih mempertimbangkan dan gak ngibarin bedera perang kayak sekarang. Selama gue ditanya, selama pendapa gue dianggap penting, selama perasaan gue dihargain.

“Nayla, lo maunya kita gimana?”

dan gue rasa, sekarang pun gue akan tetap melakukannya.