pintu – 3
Gue sebenarnya berusaha keras untuk gak menaruh ekspetasi apa-apa tentang kedatangan Aru ke rumah malam ini. Soal lamaran yang selalu dilempar Monna dan Joan sebagai ledekan pun ... agak gak mungkin.
Pernyataan gue tentang perasaan aja jarang dibalas. Gimana bisa dia tiba-tiba datang melamar?
Memang gak ada yang gak mungkin, tapi gue juga gak mau terlalu berharap. Udah capek banyak sakit hati belakangan ini.
Bertemu dengan Aru, biasanya membuat gue gak perlu mikir harus gimana penampilan gue. Namun sekarang, entah kenapa gue pengen kelihatan berbeda. Apalagi ada papanya Aru juga.
“Aru sama papanya udah berangkat, Ci?” tanya mama ketika gue turun dan ikut bergabung dengan dia untuk duduk di sofa.
“Udah tadi ngehubungin Cici.”
Kepribadian Aru yang ceplas-ceplos membuat dia bisa dengan cepat akrab sama mama. Biasanya mama gak menyukai laki-laki yang bersama gue, tapi untuk Aru berbeda. Kalau boleh jujur, gue merasa aneh karena mereka bersikap seolah udah kenal lama. Padahal kalau bukan karena gue, mama sama Aru gak akan pernah saling melihat.
Suara pintu yang diketuk mengalihkan atensi kami berdua. Oleh karena itu, gue dengan cepat berdiri untuk membukanya. Sedangkan mama kembali ke meja makan, merapihkan makanan yang semua sudah ia tata.
Sesuai dugaan gue, itu adalah Aru dan papanya. Aru senyum canggung sedangkan papanya menatap gue agak aneh. Bagaimana, ya, menjelaskannya ... tapi beliau menatap gue seolah gue adalah luka dari masa lalunya.
“Silahkan masuk, Aru dan ... Om.” Gue berucap dengan canggung, bingung harus memanggil dia apa.
“Makasih, Ci,” ucap Aru dan dengan langkah yang lambat ia masuk ke dalam. Padahal biasanya Aru akan bersikap seolah ini adalah rumahnya dan tak ada yang mempermasalahkan hal itu.
Papanya masih diam di ambang pintu. Gue mau gak mau juga tertahan di posisi ini.
“Kamu yang namanya Rhiana?” tanya dia.
Gue mengangguk, jarang ada yang mengenali nama depan gue. Gue lebih akrab dipanggil Sashi atau Cici dibandingkan dengan Rhiana. Mungkin Aru yang ngasih tahu dia.
“Iya tapi lebih akrab dipanggil Cici.”
“Ah dari Sashi, ya?” Gue mengangguk sebagai balasan.
“Kamu tahu? Nama Aru itu Randi Arusha dan nama kamu Rhiana Sashi. Randi artinya serigala yang kuat sedangkan Rhiana itu ratu yang hebat. Arusha artinya matahari dan Sashi artinya bulan.”
Gue sedikit mengernyit mendengar itu. Kenapa dia tiba-tiba menjelaskan arti dari nama kami berdua?
Lalu ... kenapa dia menjelaskan seolah dia adalah orang yang memberi nama kami berdua?
“Nama kalian berdua itu cocok untuk anak kembar,” ucapnya meninggalkan tanda tanya besar dalam pikiran gue.
Namun, gue tak ingin bertanya lagi. Alhasil yang gue katakan selanjutnya adalah, “Mari masuk, pak.”
Dia menurut, menyusul Aru untuk masuk. Gue mengarahkannya menuju ke ruangan di mana meja makan berada. Di mana mama sama Aru berada.
Lalu ketika papanya Aru dan mama saling melempar tatapan, situasi aneh terjadi. Mama mengambil langkah mundur dan kepalanya menggeleng ketika papanya Aru berusaha untuk mendekat.
Gue melihat pada Aru karena tak mengerti dengan situasi ini. Aru cuma menunduk dan gue yakin dia mengetahui alasan kenapa mama mengeluarkan reaksi kayak gitu waktu lihat papanya.
“Harsha, tunggu.”
“Ka-kamu—be-berarti dia ....” Mama dengan susah payah berusaha untuk bicara. Ia menunjuk pada Aru dan papanya langsung mengangguk seolah bisa memahami apa maksud mama meski kalimatnya tidak tuntas.
Aru juga masih setia menunduk. Gue semakin yakin tentang dia yang tahu kenapa mama dan padanya bersikap seperti barusan. Di sini, cuma gue yang gak tahu apa-apa.
“Iya, dia Randi Arusha. Dia sudah besar, 'kan? Begitu juga dengan Rhiana,” ucap papanya Aru lalu menunjuk pada gue dan anaknya secara bergantian. Gue semakin bingung dengan situasi yang tengah terjadi sekarang.
“Mereka anak kita berdua, Sa.”
Gue terdiam. Kepala gue serasa dijatuhi batu besar ketika mendengar itu.
“A-anak?”
“Iya, Rhiana. Kamu dan Aru adalah anak kami berdua. Kalian di lahirkan di hari yang sama. Saya bersyukur masih bisa melihat kamu setelah dewasa seperti ini.”
Gue beralih pada Aru. Dia memejamkan matanya erat, seperti berusaha untuk tak mendengar semuanya. Aru tak menginginkan kenyataan ini, begitupun dengan gue.
Gue menarik lengan Aru. Lalu berusaha membuatnya supaya dia mau untuk melihat gue.
Gue ini si manusia yang masih menolak paham. Di antara semua kemungkinan tentang pertemuan malam ini, gak pernah terlintas sekalipun di kepala gue kalau kenyataan seperti ini yang akan gue terima. Gue gak butuh. Gue gak mau.
“Aru, jelasin ....”
Aru menatap gue dengan takut dan matanya yang bergetar. Lalu dengan pelan ia berkata, “Yang dibilang bapak itu bener. Kita saudara, Ci.”
Jika bisa, gue ingin meminta untuk tuli sejenak agar tak pernah mendengar kalimag itu dari Aru. Rasanya lebih sesak ketika Aru sendiri hang mengatakannya. Gue benci ... benci banget.
Setelah semua ini, setelah semua yang gue dapatkan dari Aru. Rasanya gue akan lebih menerima kalau dia menolak perasaan gue karena dia memang gak suka sama gue, bukan karena kenyataan kalau ternyata kita sedarah. Kenyataan yang benar-benar gak gue butuhin untuk gue ketahui.
“Lo tahu ini dari lama? Kalian sengaja kesini cuma buat bilang itu?” tanya gue lagi.
Aru tanpa menunggu lama menangguk. Ia yang enggan menatap gue membuat kepala gue terasa semakin penuh. Rasanya, gue siap untuk meledak kapan saja sekarang.
Gue mencengkeram jaket yang dipakai oleh Aru. Menatapnya dengan sengit. “Bilang kalau itu bohong, Ru! BILANG!”
Aru tetap diam, tak berani untuk menatap gue. Gue melihat pada mama, meminta penjelasan. Namun dia malah sudah menangis di sana dan papanya Aru ... gue belum punya alasan untuk gak membenci dia sekarang. Melihat reaksi mama, gue tahu kalau ini bukanlah mimpi di siang hari. Ini nyata dan ini menampar gue kelewat keras.
“Terus kenapa lo baru ngasih tahu sekarang, Arusha? Lo bisa bilang lebih awal dan GUE GAK PERLU NGERASA SAKIT KAYAK GINI!”
“KENAPA LO SELALU ADA BUAT GUE DAN NGEBUAT GUE BERGANTUNG SAMA LO? LO BAHKAN BIKIN GUE SAYANG DAN BERHARAP SAMA LO. LALU UJUNGNYA LO MALAH NAMPAR GUE DENGAN KENYATAAN INI?!”
“Kenapa, Ru? Kenapa ... hiks.”
Air mata sialan. Gue gak butuh Aru melihat gue dalam keadaan lemah lagi.
“Cici, maaf.” Suara Aru lemah. Dia terjatuh dan berlutut di hadapan gue.
“Ci, urang juga benci sama kenyataan ini. Urang benci harus ganti rasa sayang urang jadi rasa sayang seorang kakak. Perasaan lo itu gak sepihak, urang juga mau dan berharap punya hubungan sama lo.”
“Tapi bukan hubungan kayak gini yang urang mau.”
Iya, gue tahu. Bukan hubungan kayak gini yang kami berdua mau. Kenapa dunia malah jadi jahat dengan mengungkapkan kenyataan satu ini?