pintu – 4
*TW: suicidal attempt , harsh words.
Dulu gue merasa takjub untuk datang ke kota ini. Ini bukan Jakarta yang banyak dianggap sebagai tempat dengan banyaknya pekerjaan. Ini Bandung, kota yang bisa mengabulkan mimpi orang yang paling gue sayang.
Entah apa yang ngebuat gue dulu seyakin itu buat nemenin dia datang ke sini. Padahal di saat itu gue masih kebingungan dengan dia yang tiba-tiba menerima tawaran dari perwakilan agensi yang menghubunginya berkat video cover yang ia buat.
Isi kepala si Binar ini terpenuhi dengan berbagai cara supaya pacarnya bisa meraih apa yang dia mau. Termasuk dengan putus hubungan.
Suatu hari, atasannya menemui gue. Dia menawari gue sebagai manajer mereka karena dia sadar kalau gue udah akrab aja sama yang lain. Saat itu, baik gue atau Gibran gak mengatakan bahwa kami punya hubungan.
Namun entah dari mana, orang ini bisa tahu. Lalu dia menjelaskan perihal beberapa perjanjian yang perlu Gibran turuti kalau dia dan teman-temannya mau debut. Salah satunya adalah perihal gak boleh pacaran sebelum dua tahun karir berjalan.
Gue sebagai budak cintanya tentu setuju tanpa mengatakan ini kepada Gibran. Sebagai gantinya, gue bisa jadi manajer mereka dan membuat gue gak akan jauh dari dia.
Namun, Gibran gak berpikiran demikian. Dia gak mau karena secara gak langsung udah membuang gue. Gue menjelaskan kenapa gue perlu melakukan itu, tapi dia merasa itu adalah hal percuma. Alhasil kami berdebat dan berakhir Gibran meninggalkan gue sendiri untuk merenung.
Yang tanpa disangka, pertengkaran kami disaksiin sama Aru. Makanya dia tahu gimana hubungan gue sama Gibran walau gak terlalu detail.
Sekarang, gue kembali teringat sama malam itu. Bedanya kali ini bukan Gibran yang akan meninggalkan gue, tapi sebaliknya.
Sekarang bukan cuma Aru yang mengetahui bagaimana kacaunya hubungan kami berdua. Namun Ian dan Januar, seseorang yang katanya suka sama gue turut menyaksikannya.
“Ngobrol yang bener,” kata Aru, “urang gak bakal bukain kuncinya sebelum kalian berdua damai. Terserah apa pun keputusannya nanti, asal damai.”
Januar sama Ian keluar, lalu disusul Aru. Gue hendak berlari karena gue gak merasa memerlukan ini. Namun gue kalah cepat dengan suara khas pintu yang dikunci.
Gue menghela napas, lalu jatuh merosot di dekat pintu.
“Aru gak akan tega. Sebentar lagi juga dia buka,” kata Gibran yang tampak tenang. Berbanding terbalik dengan kalimatnya di group chat tadi yang memancing emosi.
Gue gak membalas. Untuk beberapa menit, baik gue atau Gibran gak ada yang bersuara.
“Dulu gue gak tiba-tiba mau nerima tawaran agensi ini. Malam itu gue diusir dari rumah, mereka gak menganggap gue lagi, dan gue frustasi. Waktu itu gue mikir kalau nerima tawaran agensi ini adalah cara paling cepat untuk gue menjauh dari rumah.”
Gue menoleh dan Gibran masih ada di posisinya yang tadi. Duduk menghadap ke arah cermin ruang latihan, tapi matanya setia menatap kaki.
Kami berdua saling membelakangi dalam posisi yang cukup jauh. Namun karena hanya ada kami berdua, gue bisa mendengar suaranya dengan jelas.
“Papa gue menentang anak-anaknya buat bermusik. Tapi gue gak paham kenapa dia gak sekeras itu sama Dika. Adek gue masih boleh kalo mau dengerin radio, adek gue boleh punya gitar di rumah, bahkan sekecil latihan nyanyi buat ujian pun, dia gak diprotes.”
Gibran berhenti sejenak. “Beda sama gue. Gue harus sembunyi-sembunyi kalau mau dengerin musik, bersenandung pun kadang takut. Bahkan gue pernah dipukul cuma karena mau jadi penyanyi.”
“Waktu ketemu sama lo tuh gue ngerasa aman, Nar. Lo dengan suka hati dengerin nyanyian gue. Gak ada yang tahu mimpi yang gue mau selain lo, Binar. Cuma lo yang mau dengerin mimpi gue dan nemenin gue kejar itu. Cuma lo.”
Mendengar itu gue berdiri, berjalan menuju Gibran dengan pelan. Seakan dunia memang sengaja melambat untuk kami berdua.
Gue berdiri menatap punggungnya. Kepalanya masih setia menunduk dan gue belum mau untuk merengkuh cowok yang udah lama gue dampingi ini.
“Ibu gue sakit, Dika marah sama gue karena kelihatan gak peduli. Gue gak tahu apa yang dia omongin sama lo, yang pasti Dika berharapnya lo bisa bikin gue pulang ke sana.”
Gue gak tahu Gibran sadar atau enggak keberadaan gue yang udah ada di dekat dia.
“Ke sana udah gak seharusnya gue sebut buat pulang. Gue udah diusir, udah dibuang, udah gak dibutuhkan. Buat apa coba mereka masih nagih keberadaan gue?”
“Binar, gue mau tetap teguh sama pikiran itu, tapi gak bisa. Gue takut kalau ibu pergi ... walau udah lama gak ketemu, gue masih tahu kalau dia hidup dengan layak aja udah cukup. Gak kayak sekarang, sakit ... gue gak mau.”
“Gibran,” panggil gue pada akhirnya. Gue ikut duduk di sebelahnya lalu mengusap pundak cowok itu.
Ibunya sakit disaat dia belum akur sama keluarganya, terus di sini juga Aksa lagi siap-siap buat keluarin single baru. Gibran makin dibuat penuh pikiran, makin enggan berbicara dia butuh apa.
Gibran mendongak. Menatap gue lalu berkata, “Gue juga takut kalau lo pergi, Binar.”
Gue menghela napas tanpa sadar. Gue merasa kalau buat saat ini yang paling kami butuhkan bukanlah satu sama lain. Kami memerlukan ruang buat merenung sendiri.
“Gibran, lo bisa temuin ibu lo. Sebentar aja, kasih dia lihat kalau lo baik-baik aja. Biar dia gak banyak pikiran dan mendukung kondisinya buat stabil,” ucap gue, mengalihkan pembicaraan.
“Lo gak perlu bicara sama mereka. Dengan ngasih lihat wajah lo ke ibu lo aja itu udah cukup. Pelan-pelan bertahap, mungkin lo bisa jadiin mereka sebagai tempat pulang lagi.”
Gibran tidak membalas, dia malah menatap gue semakin lekat.
“Apa yang mau lo omongin? Jangan dialihin.”
Kan.
Dia pasti nyadar.
“Pengunduran diri gue disetujui sama bos. Jumat ini gue udah resmi bukan lagi manajer kalian.”
“Bin—”
Gue mengisyaratkan pada dia untuk diam. “Gue belum selesai.”
Gibran kembali diam.
“Gue bisa menangkap kenapa lo bersikap kayak gini akhir-akhir ini. Maaf karena gue malah nambah beban pikiran lo dengan sikap gue ini. Gue cuma mau tahu sedikit karena mau gimanapun gue pacar lo, Gib.”
Gue menghela napas. “Gue merasa kita perlu ruang masing-masing, Gib. Buat merenung dan memperbaiki apa yang dirasa salah di diri sendiri. Mungkin gue bakal pulang langsung habis dari sini Jumat nanti.”
Gibran meraih tangan gue yang ada di pundaknya. Mengecup telapak tangan gue dengan dalam.
“Selama merenung itu, gue mau kita jadi dua orang yang gak kenal satu sama lain, Gib.”
“Gue butuh lo supaya tetep waras, Binar.”
Gue menggeleng. “Lo bukan butuh gue, lo butuh buat menuhin keinginan kecil lo untuk lihat ibu secara langsung.”
Gibran menggelengkan kepalanya. “Enggak, gue butuh lo.”
“Tapi gue merasa kita butuh untuk diri masing-masing selama beberapa waktu. Setelah itu, apa pun keputusan kita nantinya gue bakal terima.”
“Keputusan apa lagi?”
“Keputusan lanjut atau enggak.”
Gibran terdiam. “Oke,” katanya dengan pelan dan melepas tangan gue yang tadi ia genggam.
“Maksud lo kita break sebulan, 'kan? Oke, gue terima. Asal lo tetep balik ke gue, Bin.”
Gue menggigit bibir bawah gue tanpa sadar. “Kita ini dari dulu disuruh pisah terus, nyadar gak? Lo kalau gagal ngerebut hati bokap gue mungkin dia gak akan ngebiarin gue nemenin lo kesini. Lalu disuruh putus sama bos dan sekarang ... kita disuruh pisah sama keadaan. Gue sama lo sama-sama gak baik dan kita gak bisa untuk jadi healing masing-masing.”
“Jujur dengan semua itu. Gue ngerasa kalau jalan yang kita raih gak searah, Gib.”
Gibran mendengus lalu mundur. Menciptakan ruang lebih luas antara gue dan dia.
“Kalau lo mau putus bilang. Jangan lama-lama di sini, gue nyesel udah cerita. Lo kalau mau pergi, ya, pergi aja. Gak usah peduliin gue lagi.”.
Gibran bangkit berdiri. Lalu berjalan ke arah kamar mandi dan gue sekali lagi didahului oleh pintu yang tertutup. Gue mengetuk pelan pintu itu.
“Gue cuma butuh kita buat masing-masing untuk beberapa saat, bukan selamanya. Maaf, Gibran, gue agak kesusahan buat bangun kepercayaan sama lo lagi.”
Gibran masih diam di dalam sana. Mengabaikan gue dan gak ada suara air atau benda lain yang tengah digunakan.
“Gue cuma pergi sebentar sambil meyakinkan diri kalau kita layak satu sama lain. Banyak kemungkinan bisa terjadi, Gib.”
“Salah satunya adalah dengan lo yang ninggalin gue dan pas kita ketemu lagi lo mau kita putus,” ucap Gibran terdengar pelan dari dalam.
Gue menggeleng. “Bukan gitu maksud gue—”
“Lo pergi aja! Gue mau sendiri, tolong... please gue mohon.”
Gue mundur selangkah ketika tidak sengaja melihat jari patungnya bergerak. Entah karena ada sesuatu atau memang diarahkan dari dalam.
“Oke,” kata gue, “take your time. Kita ketemu lagi pas lo udah mau bahas kotrak itu.”
“Gue pamit duluan,” sambung gue. Gibran kalau udah kayak gini beneran gak mempan dinasihati. Gue sekali lagi harus menunggu dia buat menjelaskan semuanya.
Tadinya gue mau pergi, tapi gue keburu denger suara teriakan dari dalam. Itu suaranya Gibran disusul sama suara benda yang berjatuhan.
“Gue benci banget, Anjingg! Semuanya aja ninggalin gue! Bangsat!”
“Harusnya gue yang ninggalin mereka! Gue mau mati aja, anjing.”
Gue langsung berlari ke arah pintu yang Aru kunciin. Menggedornya dengan panik supaya mereka mau membuka pintunya. Untung Aru dengan cepat membuka pintu itu.
“Kenapa?”
“Gibran ... di kamar mandi—gue gak tahu.”
Tiga cowok itu langsung menghampiri kamar mandi yang ada di pojok ruangan. Gue mengekori mereka dengan perasaan takut luar biasa.
Gue gak tahu kalau Gibran bisa bersikap begitu.
“Gak ada suara apa-apa, Nar,” ucap Januar.
“Tapi tadi dia banting-banting barang, terus ngumpat terus-terusan. Guys, tolong ....”
Aru buru-buru mendobrak pintu itu. Butuh tiga kali dorongan sebelum akhirnya pintu mau terbuka.
dan kami melihat tubuh Gibran tergeletak di lantai kamar mandi yang dingin. Dengan botol kecil yang entah isinya apa ada di tangan kanannya.