pintu – 5

“Ini gak papa kita mampir?” tanya Joanna ketika Binar malah membawa mereka ke dorm Aksa.

Sepulang dari liburan, Binar mengajak Joanna dan dua temannya untuk jalan-jalan. Cici yang memang lebih dulu kenal dengan Binar tentu menyetujuinya. Sedangkan Monna, Binar menganggap ini sebagai jalan damai karena dulu tanpa sadar ia sempat mengibarkan bendera perang pada perempuan itu.

“Gak papa. Bentar doang, kok, lagian kalian kenal mereka,” ucap Binar dan mereka bertiga cuma bisa menurut dan membuntuti.

Sewaktu masuk, empat orang itu sedang bersantai di ruang tengah. Televisi menyala tapi tak ada satu pun yang fokus ke benda itu.

Januar berbaring di karpet dengan ponsel yang ia angkat tinggi, Aru sibuk mencoret-coret kertas yang diyakini berisi formasi dance mereka, Ian bermain game, dan Gibran yang sepertinya tertidur dengan bersandar pada Aru.

“Heh, cowok gue kok gak dipindahin ke kamar?” Itu adalah kalimat pertama yang Binar ucapkan.

Aru menatapnya bingung. “Ngapain sampe harus dipindahin?” tanyanya lalu melihat pada Gibran yang kepalanya ada di pundaknya.

“Oh tidur. Teu nyadar euy,” kata Aru diakhiri dengan tawa kecil.

Walah aya tamu,” ucap Januar selaku yang pertama menyadari kalau Binar tidak datang sendiri. Ian yang semua tak peduli jadi menurunkan ponselnya untuk melihat siapa yang datang.

Alis Ian terangkat secara spontan begitu mendapati Joanna ada di sana. Sebelahan dengan Cici pula. Kalau ini terjadi dua tahun lalu, mungkin ini akan menjadi situasi yang amat tak mengenakkan untuknya.

“Gue mau main sama mereka. Jangan diganggu,” ucap Binar dengan galak.

“Belum ngapa-ngapain, Bos,” balas Januar.

“Kalian duduk dulu aja,” kata Binar, beralih pada tiga orang yang ia bawa ke sini. Perempuan berambut sebahu itu mendekat ke arah Gibran.

“Ayo pindahin, Ru,” ucap Binar, masih mementingkan keadaan Gibran. Yang diminta menghela napasnya dan menurut.

Memang semenjak kejadian waktu itu, mereka jadi terkesan memanjakan Gibran. Walau faktanya laki-laki itu adalah ketua mereka. Namun, itu pun mereka lakukan karena khawatir terulang lagi.

Seperti yang sudah terbiasa, Aru tampak tak kesusahan menuruti keinginan Binar untuk memindahkan Gibran ke kamarnya. Januar dan Ian pun tak menunjukkan tanda kalau mereka ingin membantu. Lalu Binar membuntuti langkahnya.

Cici mengerjapkan matanya. “Aru angkat Gibran sendiri? ” tanya Cici tanpa sadar.

Januar mengangguk seraya berdiri. “Santai, udah biasa kita saling angkat satu sama lain. Kalian mau minum apa? Ada teh sama jus apel doang, sih.”

“Gak usah repot-repot. Kita cuma anter Binar nganterin barang,” jawab Momo tapi ucapannya itu seperti tak dihiraukan oleh Januar. Laki-laki itu tetap mengambil tiga kotak teh dingin dari kulkas.

“Ini aja, yak. Gak repot, kok, tinggal ngambil,” ucap laki-laki kelahiran Juni itu.

“Barangnya dibawa Binar, ya?” tanya Ian, ikut berinteraksi.

“Iya, ada di tas dia,” jawab Joanna yang membuat Ian menahan napasnya tanpa sadar.

Aduh, anjir. Gini amat aing, batin Ian.

“Mungkin itu obatnya Gibran,” ucap Januar, “kalian gimana, nih? Udah ada rencana apa gitu? Si Binar sama Gibran baru lamaran.”

Awalnya, Januar mengucapkan itu tanpa beban. Namun, begitu ia melihat Monna laki-laki itu spontan menutup mulutnya sendiri. “Eh, Mon, sorry—”

“Gak papa, hei! Santai. Binar juga udah cerita di mobil tadi,” jawab Monna.

“Santai aja. Monna juga ada cowok sekarang,” sambung Joanna yang membuat Monna menyikutnya pelan karena malu.

“Kalian berdua gimana?” tanya Joanna, berusaha mengakrabkan dirinya lagi dengan dua laki-laki itu.

Januar dan Ian saling berpandangan mendengar pertanyaan itu. Lalu tertawa entah karena apa.

Joanna mengernyit. “Bentar, maksud tweet kalian itu ... kalian pacaran?”

Ian menggeleng dengan cepat. “Enggak, emang itu dia doang yang gelo. Gue belum ada rencana dulu buat sekarang, agak pusing juga pacaran pas masih jadi artis.”

Ian menatap pada Cici dan perempuan itu hanya tersenyum canggung. Paham kalau yang Ian secara tak langsung sedikit menyinggung hubungan mereka dulu.

“Gue belum mau soalnya, 'kan, lo jadi calon adek iparnya Gibran,” jawab Januar tanpa beban. Ian yang ada di sebelahnya tanpa ragu menyikut perutnya cukup keras.

Ari maneh, tong waka ngagelo,” kata Ian.

Cici dan Monna menertawakan itu. Sedangkan Joanna cuma menunjukkan giginya. Bingung harus bereaksi apa dengan kalimat yang Januar berikan.

Nyeri, dikit,” ucap Januar seraya mengusapi perutnya.

“Jadi, gimana, nih, calonnya Bang Dika?”

Joanna terkekeh canggung. “Biarin Gibran sama Binar dulu kalau gitu.”

“Kalau lo gimana, Ci?” tanya Januar. Entah sengaja atau tidak, yang jelas dia menanyakan itu kala Aru sudah keluar dari kamar Gibran.

Cici melirik pada Aru sekilas sebelum menjawab. “Tunggu kabar baiknya aja, ya.”


“Gue udah bilang ... bangun aja, jangan digendong mulu. Kasian mereka,” protes Gibran pada Binar setelah Aru keluar.

“Gak papa. Orang mereka mau, kok,” ucap Binar.

“Ya iya, mereka mana mungkin nolak lo.”

“Ssstt.” Binar meletakkan jari telunjuknya. “Biarin mereka sayang sama lo, Gib.”

Gibran terdiam, memilih untuk tak membalas lagi. Binar tersenyum puas lalu mengeluarkan barang yang menjadi alasannya ke sini.

“Ini cemilan, pokoknya jangan keseringan tidur kayak tadi, ya? Bikin lagu baru atau apa, kek. Terserah asal jangan terlalu capek juga,” ucap Binar dan Gibran mengangguk. Walau dalam hati ia tak benar-benar bisa menjamin kesanggupannya.

“Terus gue udah ngomong sama Pak Bos, kita bisa pulang setelah syuting kalian selesai. Dari Bali kita langsung ke sana, tapi cuma dikasih tiga hari,” ucap Binar.

Gibran mengangguk sekali lagi. “Oke, makasih, Binar.”

Binar tersenyum lalu memberiksn tepukan pelan pada pipi kekasihnya itu. “Sama-sama, gue cuma mau sampai itu aja. Gue gak enak sama mereka bertiga kalau kelamaan.” mereka bertiga.”

Binar yang hendak berdiri, tangannya di tahan oleh Gibran. Mau tak mau perempuan kelahiran Febuari itu mempertahankan posisi duduknya di sisi ranjang Gibran.

Gibran mengusap tangan yang ada di genggamannya dengan perlahan. Lalu mengangkat tangan itu dan mengecupnya.

“Makasih karena udah percaya buat ngabisin sisa waktu lo sama gue. Maaf gue belum bisa bertindak banyak buat pertemuan keluarga kita, tapi gue janji nanti gue bakal nunjukin kesungguhan gue sama lo,” ucap Gibran diakhiri dengan senyuman tipis.

Binar mengerjap, tak terbiasa dengan Gibran yang tiba-tiba romantis seperti ini. Gibran bukan tipe orang yang menikmati kontak fisik.

Gibran menegakkan duduknya, lalu sebelah tangannya bergerak untuk menghiasi sisi wajah milik Binar. Dengan perlahan dia mencuri satu kecupan dari bibir Binar, lalu seolah itu bukan hal yang menimbulkan efek besar, dia menepuk puncak kepala kekasihnya pelan.

Have fun main sama mereka.”