pintu – last

Dulu, Johan bilang tindakan gue yang memilih untuk suka secara diam-diam adalah hal yang percuma. Orang yang gue suka gak akan ngelirik gue ketika gue gak melakukan satu tindakan pun. Dunia gak akan berbaik hati buat nyenengin gue perihal cinta yang terbalas tanpa perlu diungkapkan.

Gue awalnya gak benar-benar mendengarkan apa kata dia. Sampai akhirnya Nayla malah memilih buat berjalan sama Arsean, gue akhirnya paham apa maksud Johan ngomongin semua itu.

Gue belajar dari itu. Gue gak mau itu terulang lagi.

Jadi, gue mengejar Cici. Gue menjadi rela ketika beberapa kali dia tanpa sadar melihat gue sebagai Aru. Gue paham betul gimana peran Aru untuk dia, terlebih ketika peran yang seharusnya mereka ketahui sejak awal malah diketahui secara tiba-tiba dan segala ekspetasi hancur seketika.

Setelah cukup lama mengejarnya, setelah beberapa kali uluran tangan gue disambut dengan baik, setelah kalimat sayang gue dengarkan secara langsung dari si cantik.

Semuanya tetap terasa menyenangkan kala gue mendengar dia berucap, “Aku udah siap, Kang. Kalau kamu mau kita lanjut.”

“Beneran?”

Cici ngangguk. “Aku gak tahu harus bales kebaikan Kang Jo kayak gimana lagi. Kang Jo pasti maunya aku sama kamu, terus kita bikin kenangan bareng, 'kan?”

“Tapi, aku gak mau kalau kamu mau karena harus balas aku.”

“Enggak, Kak. Serius. Aku sayang sama kamu, aku mau hidup sama kamu. Aku butuh kamu.”

Gue terdiam sebentar. Di titik ini, mengekspresikan kesenangan gue bukanlah prioritas. Gue perlu memastikan apa Cici nyaman dengan keputusannya ini atau tidak.

“Aru?”

“Aku udah bilang ke kamu, 'kan, Kang? Aku udah lihat Aru sebagai saudara. Pas liburan kemarin, kita ngobrol. Aku sama Aru udah sepakat buat damai soal kenangan yang ada, Kang.”

Gue menatap dia, mencari keseriusan lewat tatapan matanya. Gue menemukannya.

“Ini serius?”

“Serius, Kang Joshua. Mau bohongan emangnya?”

Gue menggeleng dengan pasti. “Ya, enggak dong, Sayang.”

“Aku maunya tunangan dulu tapi, Kang. Soalnya agensi ....”

Gue mengangguk paham. Meski dia belum menyelesaikan pembicaraannya tapi gue tahu maksud dia apa. Agensi di mana nama Cici ada sebagai modelnya punya peraturan tersendiri.

“Gak papa. Tapi beneran, 'kan, kamu mau nikah sama aku?”

“Iya. Bener. Serius. Gak bohong. Asli.”

Gue tertawa kecil mendengar balasannya dan Cici juga ikut tertawa setelah itu. Perempuan itu meregangkan tangannya lalu berkata, “Peluk?”

“Peluk,” jawab gue dan melakukan satu kata yang sama-sama kami ucapkan barusan.

Gue bisa merasakan Cici menenggelamkan kepalanya di ceruk leher gue. Lalu dia mengeratkan pelukannya terlebih ketika telinga kami menangkap suara barang yang dijatuhkan. Suaranya berasal dari ambang pintu rumah yang selalu sengaja dibiarkan terbuka ketika gue berkunjung ke sini.

Gue menoleh untuk melihat siapa orang yang baru menjatuhkan barangnya itu. Gue secara spontan menahan napas kala ada sosok Aru di sana. Yang ia jatuhkan adalah plastik berisi cemilan yang selalu ia beli sebelum pulang ke sini.

Gue berusaha untuk melepaskan pelukan kami berdua. Namun, Cici malah mengeratkannya. Tampaknya Cici sadar dari awal kalau ada Aru mengingat dia memang duduk menghadap pintu.

Aru dengan gelagapan memunguti makanan yang ia jatuhkan. “Ma-maaf ganggu,” katanya lalu menghilang di balik pintu kamarnya.

“Ci?”

“Biarin kayak gini dulu, Kang. Aku masih butuh pelukan.”

Gue sadar bahwa pelukan yang Cici berikan bukan soal kebahagiaan tentang status hubungan yang baru direncanakan untuk naik. Namun, juga untuk kesedihan karena dia juga melepaskan Aru.


Gue mungkin gak akan mengikuti dunia musik kalau aja gak gabung di radio. Gue juga mungkin gak akan ketemu sama orang ini kalau aja gak keluar dari radio.

Aru, begitu orang-orang akrab memanggilnya. Seorang penyanyi yang gue rasa sering gabut karena sampai buka layanan curhat. Anehnya, ketika dia merasa nyaman dia malah mengaku dan ngajak berteman. Uang yang dia dapatkan dari menyewakan telinganya, gue rasa gak benar-benar dia butuhkan.

Cowok yang sekarang rambutnya lagi diwarnain pirang itu menatap gue. “Kenapa ngelihatin urang?”

Oh, ya. Jangan lupain gaya bahasanya yang cukup unik buat seorang idol.

Gue ngegeleng. “Gak papa, masih gak nyangka aja. Lo beneran ke Bali, Kak,” ucap gue.

Dia malah cengengesan. “Gawean, Sob.”

“Teh Nay ngomongin di grup,” ucap gue agak menggantung, “Soal Kang Jo yang ngelamar Teh Cici.”

Gue bisa lihat ada perubahan raut wajahnya. Cuma sebentar karena setelah itu dia malah cengengesan.

“Iya, urang udah tahu.”

“Lo gak papa?” tanya gue memastikan. Padahal gue tahu jelas apa jawabannya.

“Haha kurang ajar kayaknya kalau urang bilang apa-apa. Tapi urang gak papa, kok, makanya ini untung dikasih libur sehari sebelum balik ke Bandung,” katanya.

“Padahal lo seharusnya hadir karena lo kembarannya, tapi lo malah jalan sama gue.”

“Syukurnya, Cici ngasih keringanan buat gak datang, Na.”

Kak Aru mulai jalan lagi.

“Di sini udah ada minimarket yang jual onigiri gak, sih, Na?” tanya dia.

“Ada. Lo mau?”

Kak Aru ngangguk. “Ayo beli, urang yang traktir kayak biasanya.”

Kayak biasanya.

Gue yakin dia gak sadar ngomong begitu. Faktanya ini baru pertama kali gue ketemu langsung sama dia setelah selama ini cuma komunikasi lewat chat aja.

Namun, gue memilih buat gak bahas itu. Gue mengangguk seraya memimpin jalan kami berdua menuju tempat yang Kak Aru mau.

Kak Aru jadi lebih sumringah setelah melihat makanan berbentuk segitiga itu. Sejujurnya gue gak terlalu doyan, tapi sekali-kali gak pala buat beli. Terlebih gue gak tahu kapan lagi bisa berjalan beriringan sama orang ini.

“Lo tuna mayo, 'kan? Nih,” kata dia dengan ringan. Secara ajaib, gue pun bisa mengingat rasa onigiri apa yang pernah Teh Cici beli sewaktu kita nyelesain film.

Dunia kayaknya mau ngetawain gue hari ini.

“Makasih, Kak ... tapi gue mau yang spicy.”

Kak Aru diam, dia kayaknya sadar kalau dia gak lagi sama seseorang yang ada dalam pikirannya sekarang. Dia agak gelagaapn ketika mengambil kembali onigiri itu.

“E-eh hampura.

Gue mengangguk. “Gak papa.”

'Gue juga nunggu Teh Cici nikah.'

Ke mana keyakinan gue dulu ketika berani ngetik itu? Sekarang ketika gue benar-benar menemui Kak Aru, yang secara gak langsung juga membuktikan tentang semua ucapan cowok itu soal berdamai tentang Teh Cici. Gue tiba-tiba menjadi ciut.

Faktanya, Kak Aru sama sekali belum berdamai. Dia cuma pura-pura supaya Teh Cici bisa lega ngejalanin kehidupannya sama Kak Jo.

Ya Tuhan.

Setelah membeli minuman, kami berdua duduk di kursi yang emang disediakan di bagian luar minimarket. Gue sebenarnya gak berselera untuk menyantap makanan yang ada di genggaman gue sekarang.

“Oh iya, Na. Thanks buat bajunya waktu itu. Padahal urang belum ulang tahun lagi, tapi udah lo kirim aja, “ ucap dia.

Gue mengangguk. “Sama-sama. Gue kirim soalnya lagi kaya.”

Dia ketawa. Tawa formalitas kalau lo mau gue tegesin.

“Makasih juga udah suka sama urang,” ucap Kak Aru tanpa berminat untuk melihat ke arah gue.

“Tapi tolong jangan ditunggu, Na. Urang gak yakin urang masih bisa berfungsi apa enggak ketika sama orang baru. Urang sadar betul kalau buat sekarang, urang belum bisa. Paksain bisa pun, urang cuma bakal nyakitin. Kayak tadi.”

Dia sadar.

Kak Aru ngelihat gue. “Maaf, Na. Tapi urang mohon jangan nunggu urang, jangan ngeharapin urang. Lo berhak ngedapatin orang yang bisa bahagiain lo secepatnya.”