Ruang.

Tags: Dancer!Sy, dancer!Sn, partner, mention of death, insecure, and maybe implicit content.

Notes: Ini sekitar 4k words, aku harap kalian gak akan bosan bacanya dan cerita ini rawan typo. Apa yang disajikan disini, masih kupelajari, jika ada kesalahan jangan ragu untuk koreksi, ya. Aku berharap untuk beberapa feedback. Enjoy the ride!


Satu per satu peserta yang mengikuti lomba itu berdatangan, membuat kursi yang disediakan di sana makin terisi. Minatozaki Sana adalah salah satunya.

Perempuan itu melihat ke sekitar, di sini ia belum mengenali siapa-siapa. Sang pelatih yang datang bersama ke sini, ada di ruangan yang berbeda.

Bukannya ia tak bisa memulai sebuah pembicaraan dengan orang yang duduk di sebelahnya. Sana sedang gugup dan itu membuat lidahnya terasa kelu.

Seseorang mendekat ke arahnya. Sana bisa menebak apa alasan orang itu, ada satu kursi kosong lagi di sisi Sana yang lain. Laki-laki berambut pirang itu tersenyum tipis ke arahnya, sadar kalau dia diperhatikan oleh Sana.

“Ini kosong, 'kan?” tanyanya dan Sana hanya bisa mengangguk.

Laki-laki itu duduk, menyamankan dirinya di sana. Suasana tak terlalu bising sebenarnya. Mau bagaimanapun, ini adalah hari pertama.

Sana sedikit heran dengan laki-laki yang baru duduk di sebelahnya ini. Ketika yang lain—termasuk Sana sendiri—memakai pakaian yang cenderung formal. Laki-laki ini malah tampil dengan santai.

Kaos hitam dan dibalut kemeja kotak-kotak yang didominasi warna kuning, serta celana training. Rambut pirangnya saja tak benar-benar ia tata dengan rapih.

“Sendirian? Maksud gue, lo ikut ini sendirian? Gak ada temennya?”

Tiba-tiba ditanya begitu, membuat Sana spontan mengangguk.

“I-iya, sendirian.”

“Sama,” balasnya.

Sana pikir, interaksi mereka akan berhenti sebatas itu saja. Nyatanya tidak.

Para penyelenggara kompetisi ini sudah berdiri di depan dan menjelaskan ulang bagaimana program ini akan berjalan. Termasuk tentang partner menari yang ditentukan oleh mereka.

Begitu nama Sana disusul nama partnernya disebut, perempuan itu menegakkan duduknya. Ia belum bisa mengenali semua peserta, ia takut mendapat partner yang kurang baik. Belum lagi ini adalah kompetisi pertamanya.

Minatozaki Sana and Kwon Soonyoung.

Pandangan Sana menyebar, mencari seseorang yang setidaknya memiliki reaksi yang sama dengannya—mencari keberadaan rekannya.

Pundak Sana tahu-tahu disentuh, pelakunya adalah laki-laki tadi.

Sorry,” katanya sambil menjauhkan tangan, “lo yang namanya Minatozaki Sana?”

Sana mengerjapkan matanya sebelum mengangguk. Laki-laki itu kemudian tersenyum tipis sambil berkata, “Gue Kwon Soonyoung. Um, salam kenal?”

Pikiran Sana tentang tidak akan adanya lagi interaksi di antara keduanya terbukti salah. Mereka bahkan akan terus berurusan hingga kompetisi menari ini selesai.

Sana balas tersenyum. Ada harapan dalam hatinya kalau ini akan berjalan dengan lancar—ya, harapan.

“Salam kenal, Soonyoung.”

“Kalau terlalu panjang, you can call me Soon.

Sana mengangguk. “Okay, Soon.”

Soonyoung tersenyum puas mendengar itu. Tak ada percakapan lagi, keduanya kini kembali fokus menyimak setiap apa yang dibicarakan penyelenggaranya.

Ketika sudah selesai, Soonyoung lebih dulu bangkit. Hari ini hari pertama, belum ada kegiatan yang berjalan selain pengumumannya saja.

Besok, barulah para peserta akan menampilkan tarian solo yang sudah diperintahkan untuk mereka persiapkan. Perintah itu datang bersama dengan email yang menyatakan bahwa mereka diterima menjadi salah satu peserta perlombaan ini.

Soonyoung hanya berdiri, tidak langsung pergi. Ia mengeluarkan kartu namanya kemudian memberikan benda itu pada Sana.

“Hubungi gue duluan, ya. Selesai acara besok, kita lanjut diskusi,” ucap laki-laki itu dan Sana sekali lagi memberinya sebuah anggukan.

Soonyoung tersenyum tipis lagi. Ia mengusak pelan rambut Sana, kemudian melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Sana yang mematung akibat ulahnya barusan.

Sana menyentuh bagian atas kepalanya, yang tadi Soonyoung sentuh. Perempuan itu tanpa sadar tersenyum, hatinya terasa hangat tanpa alasan yang jelas. Mata Sana memandang pada kartu nama yang ada di tangannya.

“Oh, dia bukan beneran penari,” ucap Sana pada dirinya sendiri. Pasalnya yang tertulis di kartu nama Soonyoung, bukanlah bidang pekerjaan yang berhubungan dengan tari.

Sana akhirnya berdiri. Perempuan itu memandang sekitar sebelum mengikuti peserta lain untuk pergi meninggalkan ruangan itu.

Ia berharap ini bisa berjalan dengan baik.


Dancing with stranger adalah nama dari kompetisi yang akan berjalan selama satu bulan ini.

Meski namanya demikian, tapi bukan berarti peserta harus menampilkan tarian sesaat setelah partnernya diketahui. Peserta akan mendapatkan partner yang bisa dipastikan belum pernah ia kenali sebelumnya, dan mereka akan berjuang bersama selama kompetisi ini berjalan.

Ada tiga babak yang akan dimulai di minggu berikutnya. Untuk minggu pertama, mereka akan menampilkan tarian solo yang memang sudah diperintahkan untuk dipersiapkan sebelumnya.

Pesertanya tidak banyak, hanya sekitar tiga puluh orang. Ini pun akan semakin berkurang seiring dengan berjalannya kompetisi. Di minggu pertama belum ada eliminasi karena mereka masih menari sendiri.

Mata Sana sedari tadi tak berhenti memancarkan sebuah kekaguman. Semua peserta yang tampil sebelum maupun sesudahnya benar-benar mempunyai ciri khas masing-masing.

Ketika giliran Soonyoung, Sana berusaha agar dirinya benar-benar fokus. Laki-laki itu tampil dengan pakaian serba hitam. Sebelum musik menyala, mata mereka sempat bertemu. Disusul dengan senyuman miring yang Soonyoung berikan, yang entah apa artinya.

Yang jelas, Sana benar-benar dibuat fokus pada Soonyoung. Matanya terus melihat ke arah laki-laki itu meski Soonyoung tak lagi berdiri di atas panggung. Hingga acara di hari itu selesai.

“Hm, jadi genre apa yang mau lo pake di babak pertama?” tanya Soonyoung sesaat setelah dirinya mendatangi Sana.

Sana mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia belum lama mendalami tari—selama ini ia hanya menyukainya. Jadi, ketika ditanya seperti ini Sana belum bisa memberi banyak pendapat lewat perkataan.

“Bingung karena gaya tari kita tadi beda?” tanya Soonyoung dan Sana akhirnya mengangguk.

Apa yang Soonyoung katakan tidak ada salahnya, walau pada kenyataannya itu bukan alasan utama Sana. Namun, agar Soonyoung yang menyuarakan pendapatnya dulu, Sana harus mengakui ini.

“Lo tadi balet, 'kan, gue modern. Gimana kalau,“—Soonyoung mengeluarkan ponselnya untuk mencari satu video yang ada dipikirannya—”kayak gini?”

Soonyoung menunjukkan satu video berisi dirinya yang sedang menari.

“Gue awalnya mau pake tarian ini, tapi buat solo menurut gue agak kurang cocok. Kalau lo mau coba, kita bisa ubah beberapa gerakannya buat nyesuain sama gaya tari lo.”

Sana tidak langsung menjawab, dan Soonyoung membiarkannya. Perempuan itu memperhatikan video yang Soonyoung tunjukkan dengan teliti.

“Bentar, ini lo buat koreografinya sendiri?” tanya Sana setelah video itu selesai.

Soonyoung mengangguk dan Sana dengan spontan berkata, “Wow.” Membuat Soonyoung terkekeh geli seketika.

“Boleh, ayo pake ini,” ucap Sana dengan antusias.

“Tubuh lo biasa sama tarian lain selain balet, 'kan?” tanya Soonyoung memastikan.

Sana mengangguk. “Hm! Biasa, kok. Gue pilih balet karena ngerasa itu yang paling gue kuasai.”

“Oke, good. Kita mulai latihan besok, ya? Mau di tempat siapa?”

Sana mengernyit. “Gak akan di ruang latihan?”

“Gue pikir gak akan kondusif. Gak cuma kita aja yang pake soalnya. Terus gerakannya juga bakal ada yang diubah—kasarnya kita perlu ngekonsep lagi. Nanti kalau udah fix semuanya, kita ke ruang latihan buat mantepin. Meminimalisir kemungkinan gerakan kita dicuri sama peserta lain juga.”

Sana mengangguk paham. Untuk seseorang yang pekerjaannya tidak berhubungan dengan tarian, Soonyoung sepertinya sangat memahami dunia ini.

“Boleh tanya satu hal lagi gak?” tanya Sana.

“Apa?”

“Kenapa lo pilih lagu have mercy? Lagu ini, 'kan, punya arti yang lumayan dalam.”

Soonyoung tersenyum. “Simpulin apa aja, sesuka lo. Gue gak masalah, kok. Yang jelas gue pilih lagu ini karena lirik bagian akhirnya.”

Sana mengerjapkan matanya. Maaf, tapi laki-laki ini jadi terlihat aneh di matanya setelah mengatakan itu.

We try?” tanya Sana, menebak lirik bagian akhir yang Soonyoung maksud.

Soonyoung mengangguk, kemudian berdiri. Tangannya kembali bergerak untuk mengusak rambut Sana, seperti apa yang kemarin ia lakukan.

We try,” ucapnya, “we will try tomorrow. See you, partner.

Kemudian pergi begitu saja.


Good, saya suka kalian pilih lagu ini. Apakah kalian sama-sama menjadikan tarian sebagai awal kehidupan yang baru?” komentar salah satu juri setelah lampu yang awalnya hanya menyoroti keduanya kembali menerangi seluruh bagian.

Sana memandang ke arah Soonyoung sekilas. Laki-laki itu yang mendapat mikrofon dari pembawa acara. Soonyoung mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum memberi anggukan mantap.

“Iya, seperti itu. Sebenarnya tarian itu untuk saya pribadi dulu sempat jadi dunia saya, tapi karena sesuatu saya tidak menari dalam waktu yang lama. Sekarang, saya baru mencoba menari lagi.”

Ah, pantas saja waktu Soonyoung hanya memberi kepastian tentang lirik akhirnya saja.

Sana kemudian mendapatkan mikrofon dari Soonyoung. Jujur, tarian bukan langkah awal dari kehidupannya yang baru. Sana belum sampai ke tahap itu. Namun, mengingat ia baru mendalaminya akhir-akhir ini, Sana bisa menyimpulkan seperti yang juri katakan.

“Saya juga, tepatnya lebih ke mendalami tarian akhir-akhir ini. Awalnya hanya saja jadikan kegiatan pengisi waktu luang saja.”

Juri itu memberikan raut wajah puasnya. “Oh, kalian perpaduan yang cocok, ya. Yang satu baru kembali, dan satunya baru mendalami tapi sudah bisa membuat koreografi dengan makna yang cukup dalam.”

Soonyoung dan Sana sontak memperlebar senyuman mereka bersamaan. Tak menyangka akan mendapatkan komentar demikian. Terlebih, ada beberapa gerakan yang mengharuskan mereka melakukan skinship dan itu masih sedikit kaku karena keduanya gugup.

Selesai dari penilaian tiga juri. Keduanya kembali ke ruang tunggu, tempat peserta lainnya juga. Disini reaksi mereka terhadap peserta yang lain sesekali akan disorot.

Ketika keduanya sudah sama-sama duduk, Soonyoung mengajaknya untuk melakukan tos. Sana langsung melakukannya, sekali lagi keduanya mengukir senyuman lebar.

“Hey, kalian berdua chemistry-nya mantep banget! Pantes jarang ke tempat latihan, itu triknya, 'kan?”

Salah satu peserta yang ada di depan keduanya berbalik dan berkata demikian. Sana mengangguk, meski itu bukan trik seperti apa yang laki-laki itu ajukan.

Namun, saran Soonyoung tentang tidak sering berlatih di ruang latihan membuat keduanya bisa akrab. Walau ujungnya tetap gugup sampai sedikit kaku ketika naik ke atas panggung.

“Oke deh, babak berikutnya kalau lulus gue coba triknya.”

Kalau lulus.

Mendengar itu membuat Sana terdiam seketika. Ia melirik pada Soonyoung yang kini fokus pada tampilan peserta lain yang ditayangkan di televisi besar yang disimpan di ruangan ini.

Keraguan muncul dalam diri Sana. Mungkinkah mereka akan lulus?

Soonyoung melirik ke arah Sana sekilas, tadinya. Namun, melihat perempuan itu yang tiba-tiba terlihat pucat membuat Soonyoung menyimpulkan kalau Sana kepikiran akibat ucapan peserta tadi.

Tangan Soonyoung, entah untuk ke berapa kalinya mendarat di pucuk kepala Sana. Mengusak rambutnya dengan pelan dan berkata, “Jangan ngeraguin diri lo. Inget, we just try, the result is up to fate.

Sana tersenyum tipis, dan mengangguk. Entah kenapa ia merasa nyaman dan aman setiap Soonyoung mengusak rambutnya.

“Soonyoung, kalau babak ketiga bisa jalan. Lo mau kita bawa tarian jenis apa?”

Soonyoung tidak langsung membalas. “Hmm, babak kedua juga belum?”

“Nanya aja, soalnya yang paling sulitnya tuh emang di babak tiga gak sih?” tanya Sana.

“Ohh, babak ketiga tuh kita nampilin cerita lewat tarian, 'kan? Gimana kalau kontemporer? Feel-nya suka lebih dapet, tapi kalau mau balet juga boleh.”

Sana mengangguk. “Ayo coba kontemporer.”

Soonyoung tersenyum tipis. “Yakin? Bakal lebih banyak skinship loh,” katanya.

Sana memutar bola matanya malas. “Lo pikir balet enggak?”

Soonyoung terkekeh. “Kontemporer lebih intim sih, menurut gue. Tapi, dua-duanya sama-sama cowok banyak ngangkat.”

“Tetep aja kalau balet, cewek yang lebih sering ngelakuin fouettés.”

Soonyoung terdiam sebentar, mengingat gerakan apanyang Sana sebutkan barusan. Laki-laki itu kemudian menjentikkan jarinya.

“Ah, itu. Gue pernah coba, tapi gak sampe 32 kali. Lo bisa?”

Sana mengangguk dengan bangga. “Bisa, dong. Awalnya gue sering jatuh sih, tapi sekarang udah gak kayak gitu.”

Soonyoung menepuk-nepuk kepala Sana pelan. “Emang lo yang paling keren.”


Mereka lulus.

Babak pertama dan kedua sama-sama bisa mereka raih. Omong-omong, tentang babak kedua. Untuk bisa melewati babak itu, peserta harus membuat koreografi baru dengan lagu yang dipilihkan oleh juri.

Soonyoung dan Sana mendapat lagu We Don't Talk Anymore, sekali lagi mereka memakai gaya tarian yang tidak jauh berbeda dengan penampilan bersama yang mereka tampilkan pertama kali.

Para juri sepertinya menyukainya. Gerakan yang Soonyoung dan Sana ciptakan seakan sudah bagian dari lagu itu.

Bersama dengan Soonyoung selama kompetisi ini, membuat Sana lebih banyak mengembangkan ide. Kala keduanya membuat koreografi bersama, Soonyoung pasti tidak akan langsung memutuskan. Ia akan meminta pendapat Sana lalu sebaliknya juga begitu.

Keduanya juga sama-sama berbagi pengalaman mereka lewat tarian. Kemudian, Sana bisa tahu kalau Soonyoung sempat akan mengikuti kompetisi ini sebelumnya. Namun, ia masih belum tahu kenapa Soonyoung membatalkan niatannya.

Sekarang keduanya sedang berdiskusi untuk babak ketiga. Cerita yang mereka dapatkan lumayan menyedihkan. Cerita itu mengisahkan sepasang kekasih yang semakin sering bertengkar, tapi tak mampu untuk mengakhiri hubungan mereka.

Kisah dengan penuh amarah, dan berakhir menyedihkan karena si tokoh perempuan mengalami kehilangan. Prianya pergi dari dunia, meninggalkannya sendirian ketika mereka belum sempat bertegur sapa karena masih dalam pertengkaran.

“Sana, kayaknya pas tampil nanti biar makin dapet lo pake cat kuku merah. Boleh gak?” tanya Soonyoung.

“Bisa, sih. Tapi biar dapet apa?” tanya Sana.

Feel-nya, pas lo cekik leher gue. Marahnya pasti dapet banget.”

Mata Sana membulat. “Ih, jadi ditambahin?”

Soonyoung mengangguk. “Apa lagi yang cocok buat deskripsiin kemarahannya kalau bukan itu?”

“Kalau lo yang cekik gue gimana?”

Soonyoung terdiam sebentar kemudian menggeleng. Dia membalas, “Enggak deh, Na. Soalnya di ceritanya gue yang pergi, 'kan? Makin kerasa nyesek kalau lo yang ngelakuinnya.”

Sana diam mempertimbangkannya. Apa yang Soonyoung katakan memang benar, tapi rasanya Sana tidak sanggup jika harus melakukan gerakan seperti itu.

“Lo gak harus beneran cekik gue, Na.” Soonyoung seolah paham dengan apa yang dipikirkan Sana. Entah apa alasannya, tapi laki-laki itu seakan tahu apa yang akan membuat Sana merasa nyaman.

“Lo sekarang coba dulu, deh,” ucap Soonyoung seraya menarik Sana agar berdiri.

Sesuai rencana mereka, Soonyoung akan berlutut ketika Sana mencekiknya. Sekarang laki-laki itu sudah melakukan hal itu, sementara Sana masih berdiri dengan kaku.

“Soonyoung, everything will be okay?

Just try, Sana. Gue bakal bilang kalau sakit atau apa,” ucap Soonyoung dengan tatapan meyakinkannya.

Sana menarik napasnya dalam-dalam, mempersiapkan diri.

Ready?” tanya Soonyoung dan Sana mengangguk.

“Oke, mulai. Satu, dua, tiga!”

Sana mendekat dengan gerakan yang lambat—tidak ini bukan karena ia takut, tapi gerakan tariannya memang seperti itu. Setelah sampai di hadapan Soonyoung, Sana lantas membungkuk dan mencekik leher laki-laki itu. Tidak benar-benar mencekik, tentu saja.

Soonyoung menahan tangan Sana yang ada di lehernya. Laki-laki itu tersenyum hangat. “Lo bisa, Na. Coba jari lo agak diteken ke belakang leher gue, biar makin kelihatan lagi mencekiknya. Pakai kuku juga gak papa.”

“Gak mau,” balas Sana, tapi ia tetap menekan jarinya pada leher belakang Soonyoung.

Good,” ucap Soonyoung kemudian tangan laki-laki itu berpindah pada pinggang Sana. Melanjutkan tarian mereka tanpa aba-aba, dan Sana tentu bisa mengimbanginya.

Keduanya menari tanpa iringan musik. Hanya memanfaatkan ketukan yang disuarakan oleh Soonyoung lewat hitungan. Sana melakukan gerakan memutar sebanyak tiga kali dengan kaki yang berjinjit, gerakan itu terhenti dengan Sana yang menabrak tubuh Soonyoung.

Kedua tangan Sana ada pada dada Soonyoung, menahan agar tubuh mereka tidak terlalu berdekatan. Sementara itu, kedua tangan Soonyoung ada di pundak Sana. Mencoba melakukan tujuan yang sama.

“Jangan muter sambil maju,” ucap Soonyoung.

Sorry, gue suka refleks.”

It's okay. Kita bisa coba lagi. Lebih hati-hati, ya? Kalau gue gak sempet nahan pas lo maju, lo bisa aja cedera, Na.”

Sana mengangguk. Ia menatap Soonyoung dalam. Meski keduanya sudah melewati banyak gerakan tari yang memerlukan sentuhan secara langsung, Soonyoung masih terkesan kaku kalau keduanya tidak sedang menari.

Seperti sekarang.

Seharusnya, jika saja Sana tidak spontan maju. Soonyoung menghentikannya dengan menarik pinggang Sana. Sekarang laki-laki itu malah memegang pundaknya.

“Lo juga jangan reflek pegang pundak gue mulu,” kata Sana membalikkan keadaan. Soonyoung terkekeh kecil. “Sorry, gue, 'kan, mikirnya nolongin. Jadi, refleks.”

Sana tersenyum geli. “Sama aja.”

Entah sadar atau tidak. Tangan Sana yang semula menahan tubuh keduanya agar tidak menempel kini malah beralih. Ia mengalungkan lengannya leher Soonyoung. Membuat tubuh keduanya semakin dekat sehingga Soonyoung mau tidak mau menjadi memegang pinggang Sana. Mencegah perempuan itu untuk semakin mendekat padanya.

“Na?” tanya laki-laki itu, heran dengan alasan Sana melakukan itu.

“Soonyoung, can i kiss you?


Kepala Sana terasa penuh pagi itu. Rasanya pusing sekali, dan ia merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Namun, mau bagaimanapun latihan ini harus tetap berjalan.

“Hari ini kita gak usah praktek,” ucap Soonyoung yang baru datang dengan membawa sepiring nasi goreng, untuk Sana.

“Empat hari lagi, Soon,” jawab Sana.

“Gue tahu. Gak papa, kita udah selesai ngekonsep ini. Sekarang lo makan dulu.”

Sana menggeleng. “Kita bahkan belum nyempurnain konsepnya?”

Soonyoung menghela napasnya. Tidak pernah menyangka akan berdebat dengan Sana, sejauh ini mereka selalu mempunyai pikiran yang sejalan. Oleh karena itu, koreografi yang dibuat oleh mereka jarang selesai dalam waktu yang lama.

Fine. Kita mulai nanti sore, sekarang lo makan terus habis itu istirahat,” ucap Soonyoung seraya mengeluarkan buku sketsanya. Memeriksa ulang pola tari yang akan keduanya lakukan.

“Siang aja.”

Soonyoung menatap Sana jengah. Dia khawatir perempuan itu akan kesakitan, tapi Sana tampaknya tak menginginkan hal itu.

“Emang gak sakit? Na, inget, yang sekarang lebih rumit gerakannya.”

Sana menarik napasnya dalam-dalam. Ia paham apa alasan Soonyoung menahannya untuk tidak berlatih hari ini, ia paham laki-laki itu khawatir dengan kondisinya. Namun, Sana jauh lebih mengkhawatirkan kompetisi ini.

Selangkah lagi. Mereka berdua perlu menampilkan hasil semaksimal mungkin.

“Kita udah sejauh ini, dan selama itu kita selalu dapat komentar bagus. Performa kita gak boleh turun. Kita harus menang, Soonyoung.”

Gerakan tangan Soonyoung yang semula sedang mencoret-coret kertas itu terhenti. Raut wajahnya menjadi datar seketika.

Sorry, semalem harusnya gue nahan. Sekarang lo makan, nanti siang gue ke sini lagi,” ucapnya dan berlalu dari hadapan Sana.

Tanpa usakan di rambut seperti yang biasanya laki-laki itu lakukan.


Soonyoung benar-benar mendatangi Sana kembali ketika tengah hari. Tanpa ada ekspresi tertentu atau senyuman tipis yang biasa laki-laki berambut pirang itu lakukan.

“Yakin?” tanyanya pada Sana yang sudah berdiri. Sana mengangguk, meyakinkan dirinya. Ia tak selemah itu.

Okay,” balas Soonyoung kemudian menyalakan musik dari ponselnya.

Awalnya, mereka berdua menari dengan lancar. Meski sesekali Sana akan meringis, tapi ia masih bisa mengendalikan dirinya.

Tampaknya, hari itu benar-benar tak menginginkan Sana untuk melewatinya dengan baik. Hampir seharian Soonyoung tak bersikap hangat. Sekarang kepala Sana terasa kembali pusing akibat kepalanya yang terisi penuh dengan pikiran negatif.

Ketika mereka sampai di bagian yang mengharuskan Sana meloncati Soonyoung, ada hal tidak baik yang terjadi padanya. Sana kehilangan keseimbangan sehingga kakinya bertabrakan dengan tubuh Soonyoung. Hal itu membuat Sana jatuh tersungkur ke lantai.

Sana tak bersuara, tapi air matanya yang sontak mengalir adalah reaksi dari rasa sakitnya.

Soonyoung dengan sedikit terburu mendekat ke arahnya. Dengan gerakan panik ia mengangkat tubuh Sana dan memindahkannya ke atas tempat tidur.

“Ya Tuhan, mana yang sakit?”

Sana tidak menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menahan diri agar tangisannya tidak semakin keluar.

Soonyoung menggigit bibir bawahnya, tidak sanggup melihat Sana seperti ini.

“A-ayo, ke klinik.”

“G-gak. Soon, gue gak papa.”

“Gak. Pokoknya lo harus tetep diperiksa.” Tanpa meminta persetujuan Sana, Soonyoung kembali mengangkat tubuh itu. Membawanya menuju klinik dengan langkah yang terburu.

Sepanjang perjalanan, Sana harus menyembunyikan wajahnya pada dada Soonyoung. Tak ingin orang-orang yang mereka lewati melihat tangisannya.


Buruk.

Sana benar-benar menghancurkan semuanya. Kakinya cedera dan ia diharuskan untuk berhenti menari di sementara waktu.

Padahal babak ketiga akan dilaksanakan empat hari lagi.

Di ruangan bernuansa putih itu, Sana tidak bisa menghentikan tangisannya. Sesekali ia akan meracaukan permintaan maaf pada Soonyoung.

“Sana, jangan terus-terusan minta maaf sama gue,” ucap Soonyoung, setelah lumayan lama ia membiarkan Sana menangis.

“Gu-gue udah ngehancurin semuanya—hiks ngehancurin lo secara gak langsung juga.”

Soonyoung menggeleng. “Kalau gitu, gue juga minta maaf. Maaf malah ngebuat badan lo ngerasa gak baik, maaf ngebuat lo kepikiran, maaf karena gue malah—”

Sana menarik tangan Soonyoung, kepalanya menggeleng ribut.

“Enggak, lo gak harus minta maaf. Kemarin aja itu gue yang mulai, itu gara-gara gue.”

“Kalau gue gak boleh minta maaf. Gue juga gak izinin lo buat minta maaf ke gue, Na,” ucap Soonyoung membuat mata Sana benar-benar fokus padanya.

Tangan Soonyoung bergerak untuk mengusap jejak air mata Sana. “Terakhir. Gue minta maaf karena ngebuat kita sama-sama harus ngucapin maaf,” ucapnya.

“Sekarang, kita sama-sama intropeksi dan minta maaf ke diri sendiri.”

Sana terdiam, bibirnya kembali bergetar karena menahan tangis. Menyadari hal itu Soonyoung lantas berkata, “Sst, udah, ya? Kalau lo nangis lagi, nanti gue mau nangis juga. Sumpah, rasanya sakit kalau ngelihat orang nangis. Terlebih kalau orangnya adalah orang yang gue kenal.”

Kalimatnya percuma. Sana tetap tidak kuasa menahan air matanya. Kali ini, ia menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan.

Soonyoung menarik napasnya, ia mengusap matanya kasar. Jika ia ikut menangis, itu akan membuat Sana merasa semakin bersalah. Soonyoung tak ingin Sana merasakan demikian dan ada dalam kesedihan yang berlalu.

Semua pasti ada jalannya.

“Lo mau tahu gak kenapa dulu gue gak jadi ikut kompetisi ini?”

Getaran pada tubuh Sana berkurang. Ia mulai bisa mengendalikan dirinya karena rasa penasaran yang tiba-tiba menyerangnya.

“Dulu, gue gak datang sendiri. Dia ikut ini dengan tujuan menangin kompetisi ini. Dia terus latihan sebelum ngedaftar, dia bahkan gak peduli sama kondisinya sendiri yang makin lemah karena kurangnya istirahat. Gue udah coba buat bilangin dia supaya gak terlalu maksain diri, tapi dia gak pernah denger.”

Soonyoung menghentikan kalimatnya, mengambil jeda. “Waktu pengumuman siapa yang lolos buat jadi peserta, dia gak lolos. Gue yang dia lihat suka males-malesan bisa lolos sementara dia yang latihan sampai rasanya nyaris mati itu gak lolos.”

“Dia ngerasa gagal. Bukan cuma untuk kompetisi ini, tapi buat seluruh hidupnya. Gue bilang, gue bakal menangin kompetisi ini buat dia. Tapi, itu gak membuat dia merasa baikan sama sekali. Dia gak sanggup ngelawan pikirannya sendiri, sampai akhirnya dia milih buat ninggalin gue—ninggalin semuanya.”

Mata Soonyoung bergetar menceritakan kisah yang selalu berusaha ia lupakan. Ada rasa sesak, terlebih wajah sedih Sana masih ia dapatkan.

“Waktu itu, rasanya gue gak sanggup lagi buat menari. Kaki gue selalu ngebuat gue jatuh berulang kali, ruang latihan selalu ngingetin gue sama dia,” ucap Soonyoung kemudian menunduk.

Tangan Soonyoung menggenggam tangan Sana. Merematnya sedikit kencang, memohon.

“Ngelihat lo pas pagi tadi, ngingetin gue sama dia. Pas lo jatuh, gue juga keinget dia, Na.”

Napas Soonyoung memberat. “Tolong ... tolong jangan tinggalin gue kayak dia.”

Sana belum memberikan reaksinya. Perempuan itu memproses dengan baik informasi yang ia dapatkan dari Soonyoung barusan.

Kali ini keadaan berbalik. Menjadi Sana yang melihat bagaimana bahu Soonyoung bergetar, dan isakan yang sesekali laki-laki itu keluarkan.

“Soonyoung,” panggil Sana. Tangannya yang tidak digenggan Soonyoung ia bawa untuk menyentuh puncak kepala laki-laki itu. Mengusak rambut pirang itu pelan, persis seperti apa yang biasa Soonyoung lakukan padanya.

“Makasih banyak. Karena keberanian lo untuk menari lagi, kita bisa ketemu sekarang. Lo tahu? Setiap detik yang gue lalui sama lo kerasa berharga,” ucap Sana.

“Gue gak akan ninggalin lo, Soon. Gak akan pernah.”

Sana menatap Soonyoung ragu. Laki-laki itu masih tak bergerak dari posisinya sebelumnya.

“Tapi, gue belum bisa menari sama lo lagi, Soonyoung. Lo gak bisa raih kemenangan buat dia—buat kita.”

Soonyoung mendongak, ia mengusap bekas air matanya. Tangan Sana ia bawa mendekati wajahnya. “Masih ada kesempatan, Na. Kita masih bisa usaha.”

“Tapi, gue belum boleh nari.”

“Gue masih bisa. Gue bakal wakilin tarian lo, gue bakal menari buat kita,” ucap Soonyoung penuh keyakinan. Ia tak bisa lagi pasrah dengan keadaan, selagi ada kesempatan ia harus mencobanya. Walau hasil tak akan bisa untuk dipastikan.

“Kompetisi ini menari sama partner, Soon. Lo—”

“Lo masih partner gue, Sana. Lo juga bakal ada di sana, di atas panggung yang sama bareng gue.”

Soonyoung mengecup punggung tangannya. “Percaya sama gue, ya?”

Ada binar yang terpancar di mata Soonyoung, membuat Sana seolah tersihir untuk memberikan sebuah anggukan pasti.


Ide Soonyoung memang sedikit gila, tapi hal itu disetujui oleh para juri. Soonyoung mengatur ulang koreografi yang mereka lakukan sebelumnya. Sepanjang penampilan Sana akan duduk di sebuah kursi.

Alur cerita mereka mungkin akan terkesan banyak diubah. Semula gerakan Sana yang lebih banyak menunjukkan amarah, sekarang malah menjadi Soonyoung.

Namun, mereka tak menghilangkan gerakan puncaknya. Di mana Sana akan mencekik leher Soonyoung. Ketika mereka sudah sampai di bagian gerakan itu, otomatis membuat Soonyoung harus membelakangi penonton.

Laki-laki itu sekilas melemparkan senyuman tipis pada Sana. Ketika tangan Sana dengan kuku jari yang sudah diwarnai merah mulai mencengkram lehernya, ada suara bersahutan dari para penonton. Tidak menyangka kalau akan menyaksikan hal itu.

Soonyoung mendongakkan kepalanya, sedikit menggetarkan tubuhnya juga. Setelah itu, ia memegang tangan Sana dan sedikit menghempaskannya. Soonyoung berbalik dengan cepat. Setelahnya mereka bergerak secara bersamaan. Sana yang terduduk, dan Soonyoung yang berlutut. Sama-sama menghadap ke arah penonton.

Penampilan mereka diakhiri dengan sebelah tangan Sana yang menutupi wajah Soonyoung. Kemudian laki-laki itu akan bersandar padanya dengan gerakan yang lemas.

Menyampaikan maksud bahwa tokoh laki-laki dalam cerita mereka yang pergi.

Musik yang berhenti dan lampu yang menyorot mereka perlahan padam. Mengundang tepuk tangan dari para penonton. Beberapa di antaranya, termasuk juri bahkan ada yang sampai berdiri.

“Ini berjalan baik, 'kan?” tanya Soonyoung.

Sana mengangguk dengan senyuman puas. Entah apa hasil yang mereka dapatkan nantinya, Sana sudah tidak peduli ia akan menang atau tidak. Sekarang, ia sudah merasa kalau dirinya menang. Ia bisa tampil bahkan di keadaanya yang masih cedera.

Thanks, karena udah yakin.”

Sana sekali lagi mengangguk. “Makasih juga, karena ngasih gue kesempatan ini.”

Soonyoung tersenyum lebar, hingga matanya ikut tersenyum. Ia mengusak rambut Sana perlahan, kemudian menjauhkan tangannya karena lampu kembali menyoroti seisi tempat itu.

“Yeah, ini dia duo s kita alias Soonyoung dan Sana! Gimana perasaan kalian malam ini?” Pembawa acara mendekati mereka seraya menyerahkan sebuah mikrofon pada Soonyoung, yang kemudian laki-laki itu serahkan pada Sana.

“Sangat baik!” balas Sana.

“Bagus! Sekarang kita dengar penilaian para juri, ya! Silahkan duluan, Miss.”

Okay, thank you, Rob,” balas juri itu langsung, “Soonyoung dan Sana, seperti biasa chemistry kalian gak pernah gagal.”

“Saya sudah baca cerita yang kalian dapatkan, dan wow kalian masih bisa bawainnya bahkan dengan keadaan Sana yang cedera. Bagus banget! Tapi, kamu gak papa, 'kan, Sana?”

Sana menganggukkan kepalanya. “Gak papa, Miss. I'm fine.

Glad to hear that, then. Boleh saya menanyakan sesuatu yang agak pribadi?”

Gugup tiba-tiba menyerang keduanya.

“Apa, Miss?”

“Hmm, jadi saya mendengar dari beberapa peserta kalau chemistry di antara kalian semakin membaik karena kalian saling sayang. Apakah itu benar?”

Mungkin jika suara dibalik dada keduanya bisa diteriakkan, sudah ada keributan di sini akibat pertanyaan itu.

Soonyoung dan Sana saling bertatapan, kemudian Sana kembali melihat ke depan dan menjawab, “Iya, kalau tidak sayang saya gak akan nyaman sama dia, Miss.”

Ada teriakan yang meledek dari penonton mendengar jawaban Sana itu. Membuat wajah keduanya semakin jelas terlihat memerah.

“Jadi, kalian ada hubungan?”

Soonyoung mengambil alih mikrofonnya. Laki-laki itu mengukir senyuman penuh arti, tangan yang satunya kembali bergerak untuk mengusak rambut Sana.

“Segera, Miss. Anda akan segera mendapatkan kabar baik dari kami berdua.”

Ucapan Soonyoung lebih banyak mengundang reaksi heboh. Sana menunduk karena malu, dan Soonyoung terkekeh geli. Ia malu, tapi juga merasa bangga setelah memperdengarkan itu.

Soonyoung dan Sana berhasil membawa hubungan keduanya tidak hanya sebatas partner yang disatukan dalam sebuah kompetisi tari. Keduanya sudah berbagi ruang yang sama tanpa disadari selama kompetisi ini.

Termasuk berbagi ruang dalam hati masing-masing.


https://youtu.be/nUHjSe0wBuw tari have mercy

https://youtu.be/LKLkCBAmHYI tari we don't talk anymore