rumah, apa kabar?
Tzuyu as Mika. Dino as Caka.
tags: toxic family, mention of divorce, violence, dancer!dn, singer!tz
Lo pernah gak sih? Lagi santai dan tiba-tiba semua kepala lo keisi penuh. Gak ada topik utama yang lo pikirin, hal beragam itu nyatu udah kayak bubur sumsum yang porsinya lengkap.
Terus pernah juga gak? Lo ngebiarin tubuh lo bergerak sebebas apa pun, lo seneng, tapi pada akhirnya lo jatuh karena gak begitu merhatiin sekitar.
Bisa disimpulkan bukan? Ada banyak hal sepele yang pada kenyataannya itu cukup berat.
Gue Cakra—orang-orang lebih akrab memanggil gue Caka. Gue adalah seorang penari dan gue berani bilang kalau kelompok gue udah cukup dikenal karena beberapa artis atau acara yang ditayangin di TV, pernah menghubungi kami buat jadi penarinya.
Sekarang gue gak lagi terlibat kerja sama siapa-siapa sih. Cuma gue di sini mau cerita tentang project gue yang terakhir.
Penyanyi terakhir yang meminta gue buat jadi penari latarnya adalah seorang Mihika. Nama yang cukup unik karena artinya tetesan embun. Namun kemudian, dia lebih akrab dipanggil Mika—sesuai keinginannya.
Mika itu bukan artis pendatang baru. Dia udah berkarir dari kecil, sempat menghilang dari publik, kemudian kini kembali lagi sebagai seorang penyanyi. Suaranya gak perlu diragukan, kecantikannya banyak dikagumi, dan sikapnya yang layak diacungi dua jempol.
Dengan semua itu, reaksi pertama gue waktu dibilang jadi penari latar Mika adalah kaget. Tentu aja, ya kali gak kaget. Sekelas Mika minta gue buat jadi penarinya dan itu sendirian, gak banyakan kayak biasanya. Buat acara award lagi. Gokil abis.
Meski itu Mika, gue tetap harus profesional. Gue gak banyak menunjukkan kekaguman gue karena takutnya dia gak nyaman. Ini dia sama gue mau kerja, bukan mau fanmeeting.
Nah.
Mudahnya itu seperti ini; gue kerja, begitupun dia. Kami dapat uang dan semuanya selesai. Tapi kenyataannya, malam itu dia ada di pelukan gue sambil nangis.
Hal yang kemudian membuat gue sama dia gak cuma sebatas kerja.
Pertemuan pertama gue sama Mika adalah membahas koreografinya seperti apa, juga gue yang diminta untuk membuatnya lebih terlihat natural.
Pertemuan kedua mulai latihan tipis-tipis karena ada beberapa gerakan yang bikin Mika gak nyaman jadi harus direvisi. Walau kesel sedikit, untungnya gue sama dia di hari itu ngobrol banyak. Gue jadinya gak perlu menahan emosi atau dendam sama idola sendiri.
Pertemuan ketiga dimana gue lihat dia yang menangis adalah saat kita berdua harus mantepin gerakan. Diiringi suara nyanyian Mika tanpa iringan musik, kita berdua akhirnya bisa dengan mantap bawain itu. Gerakannya memang gak terlalu ribet karena beat lagu yang dipilih Mika cenderung santai.
Namun untuk seseorang yang memang tubuhnya gak dibiasakan untuk menari, Mika tetap punya kesulitan. Ngingetin gue ke diri gue yang dulu.
Ketika di antara kami perlu menciptakan gerak memegang tangan, gue kemudian sadar kalau pergelangan tangan Mika itu ada lebam. Gue secara refleks menahannya dan bertanya, “Ini kenapa?”
Namun, Mika malah buru-buru menarik tangannya. Kemudian lari dari gue dengan wajah yang panik.
Gue ada di titik bingung seketika. Perlu beberapa waktu buat gue mencerna sebelum akhirnya mengejar cewek yang gak gue ketahui lari ke arah mana itu.
Ada rasa bersalah karena kespontanan gue tadi. Gue mencari dia di gedung yang kuas itu, semua orang yang gue jumpai gue tanya. Hingga akhirnya gue tahu keberadaan Mika.
Dia kelihatan lemas sambil menggenggam ponselnya. Sebelum akhirnya Mika jatuh terduduk dan membiarkan ponselnya terbanting.
Gue sering bertindak tanpa berpikir. Jadi yang gue lakuin waktu itu adalah berlari untuk semakin dekat ke dia. Berlutut di hadapannya dan memegang pundaknya.
“Mika, kenapa?”
Kata itu sekali lagi gue ajukan ke Mika. Cewek itu gak kabur lagi kayak tadi. Dia memandang gue sebelum akhirnya malah memeluk gue buat menangis.
Gue cuma bisa diam, menunggu dia selesai dengan rasa muaknya.
“Udah beli mie, nih. Apa lagi?” tanya gue kepada seseorang di ujung sana yang lagi terlibat obrolan sama gue.
“Caka, lo yakin gue gak akan dimarahin?”
“Yakin,” jawab gue, “lo, 'kan, makannya sama gue. Ngapain gue marahin orang yang mau makan? Lo juga gak makan aneh-aneh.”
“Gue takut.”
“Ya udahlah, lo kagak usah makan sampe tahun depan.”
“Kok gitu, sih?! Jangan mie deh, kalau suara gue kacau dan ketahuan. Bisa habis gue.”
Gue menghela napas. “Terus lo maunya apa, Mika?”
Benar, orang yang tengah menelepon gue adalah Mika.
“Bubur? Yang instan aja.”
“Ya elah, Sama-sama instan. Tapi ya udah, gue beli.”
“Yeay! Makasih, ganteng. Beli lemon tea juga, ya. Jangan yang dingin.”
Apa enaknya coba beli minuman yang gak dingin? Tapi gue cuma bisa nurut.
“Oke gue beli. Gue matiin dulu, ya.”
“Oke. Hati-hati nanti, ya. Makasih sekali lagi.”
“Hm, sama-sama,” kata gue dan mematikan telepon itu.
Ini udah lama sejak gue sama dia kenal karena kerja. Sekarang bisa dilihat sendiri, gue berujung jadi tempat Mika kalau dia ada di titik muaknya.
Selesai membeli apa yang Mika minta—juga sebotol minuman untuk gue sendiri. Gue kembali menjalankan motor itu ke rumah yang gue tinggali sendiri sejak lama.
Ada Mika yang menunggu gue di sana. Entah bagaimana bisa dia sampai ke rumah gue dengan keadaan yang gak diketahui sama siapapun. Dia berhasil sampai di sana tanpa dikenali sama sekali.
Gue membuka pintu dan Mika tetap duduk diam di ruang tamu. Posisinya memang berubah, terlihat lebih nyaman dibandingkan tadi.
Mika senyum begitu sadar ada gue. Tolong, bisa gak sih lo senyumnya biasa aja? Jangan mancing gue buat libatin hati selain simpati di sini.
Gue meletakkan kantung plastik berwarna putih itu di meja. “Nih, masak sendiri sana.”
“Loh, lo gak beli?”
Gue menggeleng sembari mengambil minuman punya gue. “Lo aja, gue juga gak yakin lo bakal ngabisin itu.”
Dahi Mika mengernyit. “Terus lo mau ngabisin sisa gue gitu?”
“Iyalah.”
“Gak boleh, ya! Mending gue bagi dua aja dari awal,” kata Mika lalu seolah dia adalah pemilik rumah gue, dia berjalan dengan santai ke arah dapur.
Gue menggelengkan kepala, memaklumi. Kemudian memilih buat nonton youtube sambil nungguin Mika.
“Caka, lo gak bosen kalau di rumah gini?” tanya Mika. Dia udah duduk lagi, ikut lesehan sama gue. Menunggu sup yang baru dia bikin, agak dingin.
“Kadang, tergantung pikiran gue lagi penuh apa kosong.”
“Berarti kalau lagi penuh lo bakal kepikiran, ya?” tebak dia tepat sasaran.
“Iya, tapi dibanding bosen lebih ke hampa sih. Dari kecil—tiap main, tiap sekolah, atau apa pun kegiatan luar rumah yang gue lakuin. Pasti ibu selalu ada di sini, nungguin gue pulang. Terus Ayah bakal jadi orang yang paling panik ketika gue telat pulang dan lupa berkabar.”
Gue berhenti sejenak. “Kalau sekarang, 'kan, gak ada yang nunggu gue pulang atau nyariin ketika gue pulang telat.”
Mika kelihatan shock dan gue tahu apa yang ada di pikirannya sekarang.
“Ortu gue masih ada kok. Mereka mutusin buat jalan masing-masing dan gue gak mau memilih salah satunya. Jadi, di rumah ini tinggal gue aja.”
Mika akhirnya mengangguk paham. “Lo tuh cerita juga dong, jangan membuat semuanya seolah tentang gue aja.”
Gue ketawa, jujur kalau gak ditanya gue gak akan berbagi. Tapi ketika ditanya pun, gue akan melihat siapa subjeknya sebelum menjawab.
“Itu barusan cerita,” jawab gue berusaha terlihat santai.
Mika mendengus. “Lo gak papa sama itu, Cak?”
Gue ketawa kecil. “Gimana bisa gue gak papa sama itu? Tapi awalnya ya berat banget, sekarang gue udah biasa.”
Gue senyum kecil ngelihat gimana ekspresi Mika. Gue ikut menyuap sup yang sama Mika malah dibagi dua itu. Kemudian bertanus, “Rumah lo apa kabar?”
“Eh?” balas Mika. “Kemarin wastafelnya bocor sih.”
Kocak.
“Maksud gue bukan itu. Tadi gue udah cerita, 'kan, gimana kabar rumah gue. Sekarang, lo yang cerita.”
“O-oh.”
“Soalnya lo hari ini tiba-tiba ke rumah gue. Ada yang buruk kejadian kah?” tanya gue lagi.
“Caka, lo tahu sendiri kalau di rumah gue jarang terjadi hal yang baik. Mama gue punya banyak aturan buat gue yang menurut dia bisa bikin gue sempurna kalau tampil di publik. Papa gue sibuk habis, sekalinya ke rumah cuma bisa bandingin gue sama kakak gue. Terus kakak gue gak pernah peduli. Belum lagi dengan popularitas yang ngebuat gue gak sebebas itu.”
Alasan kenapa Mika selalu mendatangi gue ketika dia muak akan semuanya adalah karena gue terlanjur tahu tentang dia. Di malam ketika gue mergokin dia nangis, mungkin dia gak sadar bilangnya. Tapi dia mengeluh soal isi hatinya ke gue malam itu.
Gue gak tahu harus bersyukur atau apa. Cuma gue ngerasa sedikit lega karena Mika cerita dan jujur soal perasannya. Kadang buat jujur sama perasaan sendiri pun adalah hal yang susah.
Gue mengakuinya karena gue selalu menekan diri gue sendiri buat baik-baik aja. Versi diri gue yang paling sering gue tampilkan ke dunia.
“Maaf, ya? Gue kesannya datang ke lo ketika susah aja. Dengan sikap anggota keluarga gue yang kayak gitu, kehadiran lo udah kayak lampu buat kehidupan gue yang gelap ini. Pokoknya gue janji, suatu hari nanti bakal bawa lo wisata kuliner dan semua itu gue yang traktir.”
Gue tanpa sadar tersenyum denger pengandaian sama janjinya itu. Lucu aja.
“Bisa aja,” balas gue dengan nada meledek.
“Gue serius tahu!”
“Iya dah, percaya.”
“Ih Cakaaaa!”
Kapan lagi lo bisa lihatin idola lo yang jadi lucu karena diledekin?
Sangat tidak disarankan untuk hati yang lemah.
Gue pernah ada di posisi kelimpungan dan bingung harus cari siapa. Gue sadar gue sendirian tapi gue membutuhkan orang lain untuk jadi sekedar teman bernapas.
Ruang yang luas itu tampak sempit. Di saat yang sama, gue bagai berubah jadi makhluk paling kecil. Gue terjebak dan gak bisa berlarian kemana pun.
Gue merasakan hal itu ketika awal-awal gue ada di rumah ini sendirian. Terbiasa ada di suasana hangat sebelum ditusuk dari belakang. Mereka bersikap baik ke gue tapi yang gue terima adalah ditinggalkan.
Padahal gue tahu jelas kalau gue yang gak mau ikut siapa-siapa.
Gue melihat sekitar sebelum kembali memandang ke ponsel. Terus begitu berulang kali, menunggu laporan memanggil itu berubah menjadi terhubung. Nama Mika ada di sana, ponselnya aktif tapi usaha menghubungi gue gak pernah diterima.
Gue khawatir. Perasaan ini kayak yang dulu gue rasain ketika hari pertama ditinggalkan.
Pagi tadi ada pengumuman secara tiba-tiba kalau Mika hiatus dari dunia hiburan dengan alasan kesehatan. Padahal semalam dia masih nelepon gue dan bilang kalau dia seneng karena bakal ada fanmeeting lagi.
Mika seneng karena bisa ketemu dengan orang-orang yang mendukung dia secara tulus.
Lalu paginya, kabar seperti ini yang gue terima. Bukan dari Mika langsung, tapi dari siaran berita yang awalnya gak berniat gue tonton.
Mengirim pesan, udah. Menelepon juga, udah. Namun gak satupun yang Mika beri respon.
Mau nyamperin ke rumahnya tapi gue gak yakin gue bakal diterima. Semisal Mika sakit, rumah sakit mana yang merawat anak itu?
Si Cakra ini kebingungan lagi.
Gue menghela napas sebelum merebahkan diri. Mungkin nanti, Mika bakal menghubungi gue lagi. Mungkin ... dia cuma belum bangun.
Buat sekarang, mari berpikir kayak gitu dulu, Cak. Jangan mikir aneh-aneh. Lo tahu sendiri, 'kan, kalau Mika gak baik-baik aja, dia bakal nemuin lo.
Dengan semua pemikiran yang memenuhi kepala gue. Gue tanpa sadar jatuh tertidur.
Ketika bangun, yang gue rasain pening abis. Gue melirik ke arah jam, sekarang udah jam 1. Gue tertidur lumayan lama. Mungkin efek bergadang dan capek?
Semalam sehabis pulang latihan gue langsung meladeni telepon Mika yang cerita soal fanmeeting.
Gue meraih ponsel. Ada satu notifikasi pesan dari Mika di sana.
Mika: |tlongsin gwe...ge ads di rumah...
dan tanpa berpikiran panjang, gue buru-buru pergi ke rumah Mika. Mika kirim pesan itu satu jam yang lalu, dengan ketikan yang gak bener itu. Gue yakin dia gak lagi baik-baik aja.
“Maaf, Anda tidak boleh masuk.”
Tangan gue mengepal. “Bos lo itu gak baik-baik aja! Lo kok masih bisa diem santai kayak gini, sih?!”
Satpam itu mengernyit.
“Mereka baik-baik saja. Mereka barusan pergi bertiga untuk makan siang.”
“Bertiga doang, 'kan? Yang gue maksud itu Mika! Dia minta tolong ke gue, ini—ini buktinya. Gue mohon izinin gue masuk.” Gue gak bisa menahan diri gue buat tetap tegar. Tanpa peduli bakal ketahuan, gue kasih lihat isi chat Mika.
Gue panik dan ucapan penjaga barusan ini ngebuat gue makin sedih. Bisa-bisanya mereka makan bertiga ketika Mika kayak gitu.
Gue udah menyusun rencana semisal gue tetap gak diizinin. Mungkin ngelompat lewat pagar belakang atau hal lainnya.
Tapi yang gak terduga, satpamnya malah bilang, “Baiklah, tolongin Non Mika, ya, Dek. Saya bakal tetap buat pagarnya terbuka.” sambil nyerahin balik ponsel gue.
Dia tahu sama apa yang terjadi di rumah ini.
“Makasih banyak, ya, Pak!”
Gue berlari secepat mungkin buat masuk ke rumah itu. Gue tahu ini gak sopan, tapi gue masuk tanpa permisi. Mencari keberadaan Mika sebelum ketahuan sama yang lain.
Mungkin rencana gue lagi didukung. Gue bisa sampai ke Mika tanpa ketahuan sama siapapun.
Gue tanpa sadar menahan napas ngelihat keadaan Mika. Dia tertidur, ada jejak air mata di wajahnya. Rambut yang acak-acakan juga lebam di beberapa bagian wajah.
Gue yakin, luka yang dia dapati gak cuma di bagian yang kelihatan aja.
“Mika! Bangun!”
Gue menepuk pelan pipi Mika supaya anak itu membuka matanya. Tapi nihil, Mika tetap memilih buat menutup matanya.
Gue memutuskan untuk langsung mengangkat tubuhnya. Belum sempat meninggalkan kamar Mika, ada piring yang terlempar ke arah kami. Membuat makanan yang ada di atasnya langsung berhamburan ke mana-mana karena piringnya pecah.
“Makan itu anak na—kamu siapa?!” bentak dia.
Gini? Kayak gini cara ngasih makan manusia? Sakit nih orang.
“Turunkan Mika! Kamu mau bawa anak saya kemana?”
Gue ketawa denger itu. “Anak? Kayak gitu, ya, cara ngasih makan ke ANAK sendiri?”
Wajahnya kelihatan marah. “Papa! Gio! Ada orang asing yang masuk ke rumah! Dia mau culik Mika!”
Cupu, bisanya manggil orang. Nuduh aneh-aneh pula.
Dua orang yang dia panggil itu gak lama kemudian muncul. Papa sama kakaknya Mika.
“Kamu siapa?! Turunkan Mika!”
Gue menggeleng. “Gak akan. Kalian bisa tolong minggir? Saya mau bawa Mika ke rumah sakit. Kalian sadar gak orang yang kalian bilang anak ini udah gak sadar dari tadi?”
“Tidak boleh! Lepaskan anak saya sebelum saya berbuat kekerasan pada kamu!”
Gue senyum, menantang. “Silahkan. Saya jadi punya bukti lebih untuk melaporkan kalian. Kekerasan yang Mika alami, perlakuan yang dia terima, juga saya yang nanti mendapatkan kekerasan padahal saya cuma mau tolong dia. Ah iya, asal kalian tahu. Ponsel saya sedang merekam percakapan kita sejak awal piring itu dilemparkan tadi.”
Headshot.
Tepat sasaran. Wajah mereka kelihatan memucat.
“Kurang ajar!”
Cuma bisa ngatain tapi gak bisa main tangan. Gue paham betul kalau emosinya udah siap meledak.
“Saya Cakra, teman Mika. Selama ini dia sering cerita segimana nyamannya rumah yang dia punya. Gak ada kenyamanan sama keamanan yang seharusnya dipunyai setiap rumah. Tapi dia tetap bertahan karena menganggap kalian orang tua yang patut dia sayangi dan hormati.”
“Kalau dipikir lagi. Kenapa juga dia harus sayang sama orang yang ngasih dia makan kayak ngasih makan ke hewan juga orang yang ngasih tubuh dia banyak rasa sakit? Saya gak bisa ngebayangin gimana sakitnya hati dia dengan perkataan kalian semua.”
Rencana gue berhasil. Ketika orang-orang itu maju, menghasilkan celah untuk gue lari dari kamar ini. Gue mempercepat langkah dan kabur dari sana.
Gue tentu dikejar, gue berusaha lari secepat mungkin meski harus sambil bawa Mika. Untungnya satpam tadi benar-benar bantu gue, dia bahkan memesankan gue satu taksi.
Gue pergi dari sana, motor pun gue gak pedulikan.
Sekarang, gue cuma bisa berharap kalau Mika bakal terbangun lagi nanti.
Gue gak bisa bayangin ketika gue harus ditinggalkan lagi. Terlebih gue gak bisa melihat dia lagi nantinya.
Gak bisa. Jangan sekarang, gue belum siap.
“Mika, lo harus bangun. Lo masih punya janji sama gue. Lo mau bawa gue wisata kuliner, 'kan?”
“Habis ini, gak akan ada yang nyakitin lo lagi. Gue gak bakal nemenin lo pas lo muak aja. Kita bisa langkah bareng-bareng, lo bebas mau ambil jalan mana pun nanti termasuk kalau gak sama gue.”
Yang penting lo bangun.
*Tolong, Mika. Gue mohon.”
Gue gak tahu harus apa selain menggenggam tangan dia erat. Walau tangan gue dingin karena panik. Gue tetap berharap itu bisa membuat Mika bangun.
“Ya Tuhan, makasih banyak.”
Gue spontan berucap demikian begitu ngerasain jari tangan Mika yang bergerak. Gue terpaku untuk beberapa detik, diam menunggu Mika membuka mata.
“Cakra,” panggil dia lemah.
“Iya, gue di sini.”
Mika membuka matanya. Niat gue yang ingin memanggil dokter harus tertahan karena anak itu ngebalas genggaman gue.
“Tolong jangan laporin mereka, Cak. Gue gak bisa kalau harus ngelihat mereka ada di tempat yang kayak gitu.”
“Gak bisa, Mihika. Ini udah parah banget.”
“Gue mohon. Lagian habis ini lo bakal nemenin gue kapanpun, 'kan? Itu cukup buat gue.”
Gue menggeleng. Mika, lo keterlaluan baik, mereka sama sekali gak akan belajar kalau kayak gini.
“Enggak. Rumah lo gak aman, gimana bisa gue biarin gitu aja?!”
Mika senyum, masih kelihatan lemah dengan wajahnya yang pucat itu. Dia mengelus pelan tangan gue. Anjirlah, gak segininya buat ngebujuk gue.
“Tolong, ya, Cak? Gue cuma punya mereka di dunia ini,” ucap dia.
“Ada gue, Mika. Lo gak usah mertahanin orang-orang yang bikin lo harus dirawat kayak gini sekarang.”
“Emang rumah itu harus kayak apa sih, Cak?”
Tiba-tiba?
“Rumah yang bisa dengerin lo, ngasih lo kenyamanan juga keamanan. Tempat istirahat lo juga.” Namun, gue tetap memutuskan untuk menjawab.
“Kalau gitu ada lo.”
“Hah?”
Sumpah, gue bingung habis.
“Iya, lo ngasih gue semua itu, Cak. Jadi, tolong biarin mereka, ya. Balasannya, gue gak akan masuk dunia hiburan lagi dan menghilang dari media sosial. Biar mereka yang diterror sama media. Itu udah cukup menekan.”
Gue masih bingung. “Jadi gimana?”
Mika menghela napasnya. “Bego.”
Si anjir, malah ngatain.
“Rumah gue yang sekarang itu lo dan lo juga bisa anggap gue rumah. Lagian lo sayang sama gue, 'kan? Jadi kesepakatan selesai.”
Gue diem, mencerna dengan baik. Mika bisa banget dah bikin hati orang yang awalnya khawatir jadi berbunga-bunga.
Gue gak butuh keadaan seperti ini, gak sekarang.
“Anjirlah,” kata gue.
“Oke, Cakra? Gue mau hidup biasa aja, sama lo. Jadi, lo gak usah peduliin mereka lagi.”
“Terus lo bakal masih peduli gitu?”
Mika mengangguk. “Mereka masih orang tua gue, gak ada yang namanya mantan orang tua, Cak. Gue tetap harus berbakti sama mereka. Lo juga gitu, 'kan? Orang tua lo udah pisah dan ninggalin lo, tapi lo tetap jaga komunikasi sama mereka.”
Gue menghela napas. “Ya udah.”
Mika senyum lebar. Gue jadi lebih lega karena lihat itu. Dia udah bisa senyum, Cakra. Lo lihat sendiri.
“Makasih, Caka. Lo emang yang terbaik!”
Maaf, tapi gue gak tahan buat ngelus kepala dia. “Sama-sama. Gue panggil dokter dulu, ya. Tadi disuruh gitu kalau bangun.”
“Oke, rumahku,” jawab Mika yang ngebuat hati gue makin acak-acakan.
“Lo tuh—ingetin gue kalau udah sembuh nanti buat peluk lo kenceng.”
“Yah, gak boleh sembuh dong berarti gue?”
“Mulut lo!”
Mika ketawa, tuh lihat, Cak, dia udah ketawa. Sekarang lo bisa bernapas dengan bebas.
“Udah ah, gue manggil dokter dulu.”
“Okay, kalau mau peluk habis diperiksa juga boleh, kok! Gak usah nunggu gue sembuh.”
“Awas, ya, lo nanti!”
Jadi, ini yang mau gue ceritain ke kalian. Kisah antara gue, Cakra sama Mihika yang berujung jadi rumah satu sama lain.
Rumah yang cukup baik buat satu sama lain, gue rasa.
Jadi, gue akan akhiri kisah ini dengan satu pertanyaan.
Rumah lo, apa kabar?
—honeyshison.