Rumah Caca itu memiliki teras yang cukup luas. Sejak dulu, jika mengunjungi rumahnya, mereka lebih senang berkumpul di sana.
Caca sudah menggelar karpet di sana. Oci juga lebih awal datang. Padahal biasanya laki-laki itu paling sering telat, mentang-mentang tempat kumpulnya di rumah pacar.
“Kamu bawa apa, Ci?” tanya Caca sembari meletakkan makanannya.
“Otak-otak, Yang,” balas Oci. “Sama Hasi.”
Caca mengernyit mendengar itu. “Hasi apa?”
Oci tak menjawab, dia malah membuka salah satu tempat makan yang ia bawa. Caca langsung menatapnya sebal. “Itu nasi!”
Tawa Oci pecah setelahnya. “Lumayan, Yang. Kan gak ada yang dari 'n', jadi aku bawa. Kamu?”
“Ceker sama cincau! Kebetulan mama beli cincau lebih tadi.”
“Mantap.”
Tak lama, Jun datang. Laki-laki itu sedikit heboh dengan mangkuk besar yang ada di tangannya.
“Minggir-minggir, ini panas,” ucap Jun membuat Oci dan Caca sama-sama bergeser.
“Lo bawa apa, Jun?”
Jun meniup kedua tangannya. Setelah itu baru menjawab, “Sop gitu, deh. Gue tadi main cemplungin aja jagung sama jamur. Tapi enak, kok, kan gue yang bikin.”
Momo menyusulmenyusul setelahnya. Dia membawa toples besar yang tampaknya berisi manisan mangga. Senyum cerah muncul di wajah perempuan itu.
“Gue bawa buat penutup! Ini manisan bikin sendiri.” Momo mengambil sesuatu dari tas yang ia bawa. “Sama ada makroni, ini snack, sih. Tapi lumayan lah, ya, pengganti kerupuk.”
Jeje dengan Wira di belakangnya datang setelahnya. Jun menyambut kehadiran keduanya dengan senyuman cerah. Lebih tepatnya pada Jeje, sih.
“Mami, bawa apa?”
“Ayam geprek,” jawab Jeje sembari meletakkan salah satu yang ia bawa. “Sama air, soalnya ada lebih di rumah. Jadi, gue bawa aja.”
“Wira?”
“Waffle.”
“Satu jenis aja?”
Wira mengangguk. “Saosnya ada banyak. Jadi, gue gak beli yang lain lagi.”
Mereka berenam duduk melingkar. Baru, Momo akan membuka makroninya, Jun menahan tangannya. “Ntar dulu, Mor. Nunggu dulu Zidan.”
Momo melotot. “Oh, iya! Tumben dia lama.”
“Mungkin jadi ngajak si itu ....” Wira menggantungkan kalimatnya. Melupakan nama yang pernah disebut dalam obrolan mereka.
“Oh, bener! Ngejemput si Ryan dulu,” sahut Jun.
Oci tertawa mendengar itu. “Namanya Rena tahu,” katanya.
“Kenapa Zidan kalo cerita cuma sama lo aja?” balas Jeje, ia tampak tak peduli dengan mengambil satu otak-otak yang Oci bawa dan memakannya.
“Kayak gak hafal aja si Zidan gimana. Tapi itu mungkin karena gue curhat ke dia juga.”
Momo menyandarkan kepalanya pada Jun. “Cowok kok saling curhat?”
“Kita juga punya hati.”
Balasan Wira itu membuat kedua laki-laki yang lain tertawa.
Yang ditunggu akhirnya tiba. Suara pagar yang dibuka membuat mereka semua melirik ke asal suara. Sesuai dugaan, Zidan yang muncul di sana. Namun, yang membuat mereka terkejut bukan apa yang dibawa laki-laki itu, melainkan seseorang yang mengikutinya dari belakang.
“Cieee, Zidan. Beneran bawa si Ryan.” Tentu, Jun yang pertama menggoda. Yang lain ikut-ikutan setelahnya.
Zidan memutar bola matanya malas, tapi secara samar rona merah terlihat di pipi putihnya. “Kan, kalian juga yang minta, monyet.”
Mereka malah semakin menjadi setelahnya.
“Udah, guys. Gue takut dia kabur,” ucap Jeje sadar bahwa Zidan mulai tidak nyaman.
“Kenalin dulu lah, Yang,” balas Oci. Sedari tadi, dia dan Jeje hanya ikut berkata, 'cie' saja.
Zidan berdeham. “Ini Rena. Ren, ini temen-temen gue. Dari yang pake kacamata itu Wira, terus Jeje, Momo, Jun, Caca, sama Oci.”
Rena mengangguk seraya melemparkan senyuman pada mereka. “Salam kenal semuanya.”
“Eh, Rena! Inget aku gak?” tanya Caca, ia baru sadar pernah berinteraksi dengan Rena sebelumnya setelah benar-benar mengamati wajah perempuan itu.
“Ah, Kak Shania! Apa kabar, Kak?” balas Rena.
“Baik, alhamdulillah.”
“Loh, kenal, Yang?”
“Adik kelas aku itu, Cii. Tapi murid baru, jadi gak begitu lama kenalnya. Soalnya keburu lulus.”
“Ooh gitu.”
“Duduk, Zi, Na,” ucap Jeje sembari menggeser posisi duduknya untuk menciptakan ruang lebih.
Zidan mempersilahkan Rena untuk duduk lebih dulu. Kemudian menyusul setelahnya.
“Gue bawa zuppa soup mending dimakan dulu, mumpung masih anget,” ucap Zidan seraya membuka plastik yang ia bawa.
“Rena bawa apa, Ren?” tanya Jun, sok akrab.
“Ini ... gue bawa roti.”
“Mantap, bisa dicocol sama sop gue, nih.”
Mereka kemudian mulai menikmati makanan yang sudah tersedia. Tentunya dengan obrolan yang terus mengalir seolah sudah lama tak bertemu. Padahal keluar rumah saja sudah bisa saling menyapa.
“Pada inget gak? Dulu kita diem di sini setelah dapetin mangga dari pohon pak RT. Tahunya asem, jadi kita cocol gula,” ucap Momo. Manisan mangga yang ia bawa juga suasananya membuat ia teringat kenangan masa kecil.
“Haha iya, ya. Itu pas kita lagi bandel-bandelnya gak, sih?” balas Caca.
“Bener.Udah lama banget, sekarang Momo bisa bawa setoples gitu. Dulu kita main ambil, dapet satu aja kesenangan,” sambung Jeje.
Rena sedari tadi hanya mendengar. Dari obrolannya saja, ia bisa tahu kalau mereka sudah mengenal sejak lama dan nyaris seperti keluarga. Lalu, Zidan mempertemukannya dengan mereka.
Memikirkannya saja sudah cukup bikin pusing.
“Siapa, sih, yang dulu ngide buat maling? Padahal minta juga pak RT ngasih,” sahut Zidan.
Wira mengangkat bahunya sekilas. “Ya, siapa lagi, Zi.”
“Iyaa, gue,” balas Jun dengan tak santai dan sengaja dikeraskan.
Tawa meledak lagi.
Oci mengacungkan ibu jarinya pada Jun. “Gak papa, Jun. Lo gak ngide, pertemanan kita gitu-gitu aja.”
Kepercayaan diri Jun langsung meningkat. “Bisa lah, tahun depan kita dagang lagi pas puasa,” balas Jun.
“Jangan risol lagi, nanti bubar.” Momo.
“Apa salah risol dahhh? Salahnya isinya gak dibuat sama Jeje.” Jun.
“Emang, ya? Gak ada gue, kalian bisa apa?” Jeje.
“Bisa gila.” Wira.
“Jiakh, Mas Wira. Tembak dulu lah, baru ngomong begitu.” Oci.
“Kocak, deh. Yang paling lama PDKT malah belum jadian.” Zidan.
“Emang payah.” Jun.
“Jangan gitu kalian, lihat jadi malu mereka.” Caca.
“Gak papa, tahu-tahu nikah aja nanti.” Wira.
“CUAKS.” Oci, Jun, Momo.
“Pada bacot banget, mending makan sebelum gue tambah ni sambel gepreknya?!” Jeje.
“Rusuh banget, maaf, ya, Ren.” Caca.
“Gak papa, Kak. Seru, kok!” Rena.
“Tuh, seru, Zii. Sering ajak main ke sini lah.” Jun.
“Mager.” Zidan.
“Mager, tapi dijemput, siapppp! Tanteee ini Zidan bawa calo—hmp!” Momo.
Kalimat Momo terpotong karena Zidan memasukkan roti ke dalam mulutnya. Momo memukul pundak laki-laki itu sebagai balasan, tapi rotinya tetap sukses ia telan.
Yang lain tertawa mengamati hal itu. Kembali terlarut dalam perbincangan yang ada.
Caca masih menjadi orang yang paling banyak diajak pergi, tapi dia lebih memilih bersama teman-temannya di sini kalau untuk main.
Oci terkadang masih mengabaikan obrolan di grup, tapi dia tetap menjadi yang pertama kali dihubungi jika mereka butuh bantuan.
Jun tetap menjadi seseorang yang mencairkan suasana dan banyak bertingkah. Namun, dia sudah lebih dewasa dari sebelumnya.
Momo tetap seseorang yang mengutamakan makanan. Namun, tetap memprioritaskan teman-temannya.
Jeje tetap menjadi yang paling dibutuhkan. Sosok ibu dalam kelompok ini secara tak langsung walau kehadirannya sudah jarang karena sibuk bekerja.
Wira tetap dia yang paling tenang. Dia sekarang lebih bebas dalam mengungkapkan apa yang ia rasakan.
Zidan juga tetap menjadi seseorang yang ucapan dan kelakuannya tidak sejalan. Tetap menjadi yang susah diajak keluar, tapi hadir di setiap perkumpulan mereka.
Mereka tidak banyak berubah.