Samamy; Rencana Untuk Terbang.
Doyoung as Sammy. Zoa as Amy. Sana as Anna. Hoshi as Edward.
Sammy tidak pernah memperkirakan kalau dia akan berulang kali menjadikan rumah Amy sebagai tujuan. Sampai di depan pagar, Sammy berhenti dulu. Ada Edward tengah duduk di teras sembari mencoret-coret bukunya. Mungkin sedang membuat sketsa versi tidak serius.
Sammy juga tidak memperkirakan Edward sudah ada di rumah jam segini. Jadi, ia sedikit ragu untuk memasukkan motornya ke dalam halaman rumah milik keluarga Amy.
Meskipun secara online komunikasi antara dirinya dan Edward sudah membaik. Namun jika secara langsung mereka masih sering diliputi canggung.
Berbeda dengan Anna. Ibunya Amy itu sudah sering mengundang Sammy ke rumah untuk sekedar memberikan biskuit atau ikut makan siang bersama. Sammy juga sempat datang ke sini karena diundang Amy untuk bertemu dengan sepupu-sepupunya.
Sammy menghela napasnya, mempersiapkan diri. Dia turun dari motornya lalu membuka pagar secara perlahan. Suaranya tentu berhasil mengundang perhatian dari Edward.
Edward melihat ke arahnya, Sammy langsung senyum canggung. “Hehe, selamat senja, Om Edward. Mantep banget bikin puisi sambil ngopi.”
Anjir, nih mulut main nyeplos aja, batin Sammy. Dia meringis begitu Edward menatapnya dengan heran.
“Saya gak buat puisi,” jawab Edward, “masukin aja motornya ke dalam.”
Oke, siap. Udah ada lampu hijau. Sammy tanpa ragu membuka pagarnya lebih luas lalu memasukkan motornya.
Selesai melepas helm, Sammy menghampiri sosok yang lebih tua itu. Dia memberi salam lalu duduk di sebelah Edward.
“Amy belum pulang, kamu kalau mau tunggu di dalam tidak apa-apa,” ucap Edward.
Sammy terdiam, padahal dia sudah mengabari pada Amy kalau dia akan ke rumah hari ini. Perempuan itu sudah mempersilahkan. Sammy juga sempat mengabari kalau dia akan berangkat, tapi belum ada balasan hingga sekarang. Sammy pun memutuskan tetap nekat berangkat karena di rumah pun, ia sendirian.
“Loh, Amy belum libur, Om?” tanya Sammy.
“Sudah, dia izin pergi main kata Anna. Amy pergi, saya pulang,” jawab Edward lalu berdiri.
“Kamu tunggu sebentar, ya. Saya mau simpan ini dulu,” kata Edward sambil menujukkan bukunya.
“Eh, iya, Om.”
Edward tersenyum tipis lalu masuk ke rumahnya. Sebelum benar-benar masuk, dia sempat melirik pada Sammy yang termenung sekali. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Sammy, kenapa gak ke dalam?” tanya Anna membuat tubuh Sammy terhentak karena terkejut.
“Astaga ... maaf, saya gak nyangka kamu bakal kaget,” ucap Anna lalu meletakkan sebuah nampan kayu dengan beberapa roti berukuran kecil di atasnya. Lalu ada segelas minuman berwarna hijau yang Sammy yakini itu adalah matcha latte.
“Eh gak papa, Tante. Gak perlu minta maaf ... ini saya aja yang ngelamun.”
Anna tersenyum. “Saya hari ini buat roti, dicoba, ya, Sam. I hope you will like it.” Tak lama setelah Anna berkata demikian, Edward kembali.
“Makasih banyak, Tante ... padahal gak papa, gak usah repot-repot.”
“Gak papa, Sammy. Saya masuk ke dalam dulu, ya. Mau lanjut masak buat makan malam, nanti kamu ikut makan malam, ya.”
Sammy cuma mengangguk kaku. Tidak enak menerima, tapi tidak enak juga untuk menolak. Itu terserah ntar aja, deh.
Anna berbalik, sebelum kembali masuk ke rumah Edward sempat menahannya dan berbisik, “Amy udah di mana?”
“Di jalan, macet katanya. Mereka naik bis, Ed.”
Edward mengangguk, lalu mempersilahkan Anna untuk melanjutkan pekerjaannya. Dia pun kembali duduk di sebelah Sammy, menyesap kopi yang sempat ia abaikan.
Melihat itu, Sammy spontan ikut meminum minuman yang diberikan Anna barusan. Sebelum menyicipinya, dia sempat berkata, “Om, saya minum, ya.” yang dibalas Edward dengan anggukan.
“Gimana, Sam? Biru?” tanya Edward setelah cukup lama keduanya terlibat hening.
Sammy melirik ke arah Edward lalu menunjukkan senyumannya. Edward dapat melihat kalau anak itu senang dengan yang diterimanya.
“Iya, Om. Puji Tuhan dapet biru.”
Edward tanpa sadar ikut tersenyum. “Syukurlah ... jurusan apa kalau boleh tahu?”
“Film, Om.”
“Oh good? Saya kira kamu bakal kayak ayah kamu atau ambil tari lagi,” balas Edward dan langsung mendapat gelengan dari Sammy.
“Kalau tari, itu saya iseng ikut eskul aja tahunya keterusan jadi ketua.” Sammy berhenti sejenak, mengalihkan pandangannya ke depan. “Terus saya gak mau kayak papa.”
“Gimana reaksi dia?”
“Papa tadi belum pulang, sih, Om ... jadi saya kabarin lewat chat aja. Dia cuma bilang selamat.”
Paham. Edward paham apa alasannya. Oleh karena itu, dia memilih untuk tidak menyinggung soal itu lagi.
“Amy akhir-akhir ini suka bikin cerita, Sam. Dia bahkan nyeritain kamu juga,” ucap Edward, mengalihkan topik.
Sammy yang semula lesu karena mengingat reaksi ayahnya kembali terlihat antusias. “Iya, Om? Kalau gitu bisa dong, ya, saya sama dia kerja bareng nanti. Dia yang nulis saya yang jadi produsernya.”
Edward cuma terkekeh mendengar itu. Satu hal yang Edward sukai dari Sammy, kepercayaan dirinya.
“Omong-omong kamu keterima di kampus sini?”
Sammy menggeleng. Senyumannya luntur seketika. Ia baru sadar kalau kampus impiannya, kampus yang baru saja menerimanya tidak berada di kota ini.
Edward tampaknya menyadari hal itu. Lagipula ia sudah diberi tahu Amy kampus mana yang menjadi incaran Sammy.
“Tadi kamu tanya, 'kan. Apa bisa Amy yang menulis dan kamu yang memproduserinya? Jawabannya, bisa kalau kalian tetap konsisten dengan apa yang kalian kejar.”
Edward berhenti sejenak. “Untuk kamu, saya yakin kamu bisa. Tapi untuk Amy, saya gak yakin. Mau gimana pun, Amy punya banyak rasa penasaran yang selalu ingin dia coba, Sam.”
Hening cukup lama hingga Edward secara tidak sengaja melihat sosok Amy yang berjalan menuju ke arah mereka dari jauh.
Yang lebih tua melirik kepada lawan bicaranya, lalu katanya, “Amy sempat bilang, katanya kalian bakal pacaran kalau kamu keterima di kampus ini. Sekarang, kamu masih yakin?”
“Aaa ... nanti aku juga bakal gini berarti, ya,” ucap Amy begitu Sammy menunjukkan hasil miliknya yang sempat ia screenshot.
Edward sudah masuk ke dalam, memberi ruang untuk mereka berdua. Amy yang baru datang, seolah tak kenal lelah langsung menanggapi Sammy dengan antusias. Anak itu datang dengan sekantung plastik berisi banyak buku.
Sammy memandang Amy dengan lekat. Mata anak itu berbinar kala melihat apa yang Sammy tunjukkan.
“Selamat, Kak Sammy berhasil! Paling keren pokoknya, aku bangga sama kakak. Kak Sam, seneng gak keterima di sini?”
Sammy ikut tersenyum ketika melihat senyuman Amy. Laki-laki itu sejenak memilih untuk menyingkirkan pikiran buruknya.
“Seneng gak seneng, sih.”
Amy menatap bingung. “Loh, kenapa kok gak seneng?”
“Seneng karena gue keterima, gak seneng karena gue kuliahnya bukan di kota ini. Bakal jauh dari temen-temen gue di sini, dari lo juga ....”
Amy terdiam, perempuan itu menatap Sammy dengan pandangan yang tak bisa Sammy artikan maksudnya apa. Mata Sammy beralih ke kantung plastik yang Amy bawa.
“Lo habis beli apa, My?”
“Oh, ini! Aku habis dari bazaar buku, Kak. Temenku dadakan ngajakin, jadi tadi aku lupa bilang ke Kak Sam. Aku minta maaf buat itu.”
Dari ekspresi wajah yang Amy keluarkan, Sammy bisa menangkap dengan jelas kalau Amy menyesal. Berhubung tadi ia mengobrol banyak dengan Edward, jadi Sammy merasa tak masalah. Yah walau endingnya agak kurang enak, sih. Untung Amy keburu dateng.
“Gak papa, gak papa. Beli buku apa, My? Buku EBI? Kata papi lo, lo mau nulis?”
Amy tersenyum tipis, ia mengeluarkan buku-buku yang ia beli. Totalnya ada enam buah, tiga diantaranya adalah novel fiksi.
“Aku memang mau nulis, Kak. Tapi aku gak mau kerja sebagai penulis ... aku mau kayak papi.”
Sammy memiringkan kepalanya. “Papi?”
Amy mengangguk antusias. “Iya. Kakak tahu gak, sih? Papi kalau lagi luang suka nulis ... paling sering bikin artikel. Papi, 'kan, kerja sebagai arsitek tapi dia tetap bisa nulis untuk menyampaikan pikiran sama pengalamannya.
“Mami juga nulis, tapi mami gak dipublikasikan kayak papi. Aku sering baca tulisan-tulisan mami di laptopnya. Wah, pokoknya Kak Sammy kalau dibikinin surat sama mereka mungkin bisa dibikin nangis. Aku juga gitu soalnya.”
Menyenangkan rasanya mendengarkan Amy bercerita. Anak ini ekspresif, perkataannya juga jujur, terdengar murni. Sammy merasa beruntung karena bisa mendengarkan semua itu.
Ia beruntung karena bertemu Amy juga segala sesuatu yang berkaitan dengan anak itu.
“Terus lo maunya kerja apa, Amy?”
“Aku mau ambil bidang kesehatan, Kak. Aku masih bingung, sih, mau apa. Yang jelas aku mau di bidang itu,” ucap Amy.
“Makanya aku beli buku yang berkaitan dengan itu. Terus nanti lihat deh, aku lebih tertarik ke yang mana.”
Sammy mengangguk paham. Ia kembali teringat dengan apa yang dikatakan oleh Edward tadi.
“Mau gimana pun, Amy punya banyak rasa penasaran yang selalu ingin dia coba, Sam.”
“Keren ... semoga lo bisa konsisten kalau udah nemu, ya, Amy.”
“Oh iya, Kak Sam tahu gak tadi di jalan aku ketemu siapa?”
Sammy tentu menggeleng. Dia tahu dari mana, orang Amy saja tidak pergi bersamanya?
“Jadi, tadi ada audisi gitu, Kak. Buat salah satu web drama dari novel ... aku tadinya gak niat ikutan, tapi ditawarin buat coba audisi. Kata bapaknya wajah aku cocok buat pemeran utamanya ini.”
“Lolos?”
Amy mengangguk. “Lolos, Kak. Mereka bilang aktingku bagus, ini tuh karena aku waktu SMP pernah ikut eskul teater, Kak. Makanya banyak yang follow aku di twitter.”
Baiklah, Sammy cukup speechless? Amy sepertinya benar-benar mencoba semua kesempatan yang datang kepadanya. Anak ini banyak penasaran dan selalu mengabulkan rasa keingintahuannya.
Tidak salah kenapa Edward bilang kalau dirinya tidak yakin Amy akan konsisten—khususnya untuk saat ini. Di saat umur anak itu memang ingin banyak mencoba.
“Terus lo ambil?”
Amy menggeleng. “Belum, soalnya aku belum bilang sama papi mami. Mereka suruh aku telepon kalau memang mau ambil dan diizinin. Paling lambat lusa,” katanya diakhiri dengan kekehan.
“Amy, gue boleh tanya?”
Amy mengangguk.
“Sebenarnya, bidang mana yang emang lo mau? Bukan cuma mau sekedar dicoba.”
Tak ada balasan yang Amy berikan. Membuat Sammy kembali berkata, “Dulu, 'kan, gue ikut dance, nih. Tapi sekarang gue udah mantepin diri di film. Gue mau buat karya yang emang bakal ditonton semua orang, My. Khususnya papa gue.”
Kalimat terakhir Sammy barusan, ia ucapkan dengan amat pelan. Namun Amy masih mampu untuk mendengarnya.
“Aku sebenarnya bingung, Kak. Karena nyaris gak ada yang gak aku suka. Kemarin aku ngobrol sama mami soal ini, tapi kata mami gak papa. Aku memang masih pencarian jati diri, gak ada salahnya buat nyoba beberapa hal. Papi sama mami pun bakal dukung aku karena yang aku mau bukan hal negatif.”
Hening. Keduanya lagi-lagi diam, bingung ingin berujar apa lagi. Takut salah bicara, takut menyinggung.
Sammy menatap pada Amy yang menunduk, memainkan jari-jari tangannya. Ia sadar betul kalau pertanyaan tadi mungkin menyinggung Amy. Mungkin juga akan memunculkan pikiran kalau dirinya tidak menyukai Amy yang labil.
Sammy hanya mencoba mencari tahu, memperhitungkan seberapa besar mereka akan tetap saling menggenggam dengan bidang masing-masing nantinya. Itu saja.
“Amy, inget gak gue minta apa semisal gue lulus SBM?”
Ingat. Amy ingat dengan jelas. Rasa gundah yang sepanjang perjalanan ia rasakan kini kembali datang.
Amy suka sama Sammy, sayang. Sammy satu-satunya laki-laki yang berani ketemu papi, bisa akrab dengan sepupunya, bahkan papi pun mau mengobrol dengannya. Bohong kalau Amy sama sekali tak tersentuh dengan segala hal yang Sammy lakukan agar mereka bisa bersama.
Sayangnya, ia tidak seberani itu untuk memulai hubungan. Setidaknya, untuk sekarang. Terlebih kini ada satu kenyataan, Sammy tidak akan berada di kota ini untuk beberapa tahun karena harus kuliah di luar kota.
Di sisi lain, Amy juga tidak mau menyakiti Sammy dengan menolaknya.
“Kalau gue keterima di kampus itu lewat SBM. Gimana kalau kita pacaran?”
“Gue waktu itu iseng aja, sih. Ngecek apa Amy beneran naksir gue atau cuma pura-pura karena kasian, ya?” ucap Sammy.
“Walau lo gak pernah bilang, gue tahu lo gak pernah pura-pura, My. Seorang Amy gak mungkin bohong, 'kan? Soalnya dia gak mau jelek, sementara bohong bisa bikin jelek.”
Amy diam tidak menanggapi. Ia menunggu karena tahu apa yang ingin Sammy katakan tidak cukup sampai situ.
“Lo tuh ngenalin gue ke dunia yang gue kira cuma mimpi, My. Orang tua yang peduli, saudara-saudara yang jagain lo, juga dengan segala hal yang lo bagi sama gue. Gue gak mungkin gak makin suka sama lo, Amy Kwon.”
Amy kembali menunduk, membuat Sammy tanpa sadar memegang pipi perempuan itu agar kembali mengangkat kepalanya. Supaya mereka bisa saling bertatapan.
“Gue bersyukur bisa kenal lo dan ngerasain ada di sekitar lo. Gue bersyukur karena bisa berbagi banyak hal sama lo.”
“Kita ini masih muda, ya, My? Banyak yang seumuran kita udah pacaran ... bahkan mungkin mereka udah ngerencanain buat nikah selepas lulus. Namun, kayaknya pacaran gak semudah itu buat kita berdua, ya?”
Amy tak membalas pertanyaan Sammy. Namun dalam hati, dia mengiyakan.
“Gue awalnya semangat sama hari ini, karena kalau gue lulus kita bisa pacaran. Tapi kalau dipikir lagi, gue aja gak akan kuliah di sini. Masa gue udah ngajak LDR anak orang? Anak yang terus dibahagiain sama papi maminya ini, bisa aja gue bikin sedih karena hubungan jarak jauh.”
“Terus gue kuliah ... bukan sekolah lagi. Itu bakal jauh lebih sibuk dari sekarang, mungkin makan aja bakal seingetnya. Gue takutnya gue capek, komunikasi kita kacau, dan tanpa sadar itu malah mengekang lo buat terbang, My.”
Sammy menjauhkan tangannya dari wajah Amy. “Bales dong, My.”
Amy mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aku bingung, Kak ...,” jawabnya dengan nada menggantung.
“Lo setuju gak sih kalau kita punya hubungan, itu malah menghambat perkembangan kita? Karena mungkin nantinya baik gue sama lo perlu izin satu sama lain, bisa saling marah karena telat ngabarin, bahkan bisa putus tanpa ketemu buat bicara dulu.”
Amy menghela napasnya. “Aku gak bisa bilang iya atau enggak, Kak. Tapi aku mau jujur ... sebenarnya aku gak siap kalau harus punya hubungan, setidaknya buat sekarang. Aku masih ngerasa kalau diri aku ini kecil, aku juga enggan kalau ngegantungin harapan tinggi kalau bukan ke papi sama mami.”
Amy menunduk. “Maaf, Kak Sammy. Kayaknya aku bikin kakak sedih terus.”
Sammy tersenyum. “Siapa yang sedih, sih? Lihat dong makanya, gue lagi senyum, Amy.”
Tangan Sammy mengusak rambut Amy perlahan. “Gini aja, deh, My. Gimana kalau kita sama-sama biarin satu sama lain terbang dulu, terbang sebebas-bebasnya. Kalau udah saatnya, gue bakal coba untuk pulang ke lo, Amy. Lalu lo juga bisa coba untuk terima gue pas saat itu tiba.”
Kepala Amy kembali terangkat, ia masih mencerna maksud kalimat Sammy. “Terbang? Pulang?”
Sammy mengangguk. “Iya, sederhananya hubungan kita kayak gitu dulu.”
“Dibiarin terbang, ditunggu pulang.”
Makan malam kali ini terasa kurang ramai. Edward dan Anna sedikitnya bisa memahami kenapa Amy tidak secerewet biasanya. Sammy juga tidak banyak berbasa-basi.
“Aku mau beresin buku-buku aku dulu, ya, Pi, Mi, Kak. Nanti balik lagi, gak akan lama,” kata Amy ketika dirinya sudah selesai makan.
“Iya, sayang. Jangan lama-lama tinggalin Kak Sammy-nya, ya,” balas Anna.
Amy hanya mengangguk lalu masuk ke kamarnya. Mungkin anak itu memang butuh waktu sendiri.
Edward menatap pada Sammy yang masih diam, meminum jus yang Anna buat untuk teman makan malam.
“Sammy, kamu tahu kalau keluarga saya kurang menyukai matcha? Amy sama Anna sama-sama suka taro, sedangkan saya lebih menikmati kopi.”
Sammy mengangguk. Ia sadar betul kalau dirinya dan keluarga Amy dalam selera agak jungkir balik. Namun ia bingung kenapa Edward tiba-tiba membahas itu.
“Iya, Om.”
“Anna sengaja nge-stock bubuk matcha. Katanya, itu khusus buat kamu kalau main ke sini.”
Sammy menoleh pada Anna yang tengah membereskan piring. Perempuan itu hanya melemparkan senyuman kepadanya.
“Kursi di meja makan ini juga ada empat, Sam. Bukan cuma tiga sesuai dengan penghuni rumah ini.”
Untuk kali ini Sammy diam, menunggu Edward untuk menyampaikan maksud sesungguhnya.
“Saya dan Anna gak akan ganti kontak, Sam. Kamu bisa menghubungi kami kapanpun, tapi maaf kalau slow respon di jam kerja,” ucap Edward lagi.
Edward bisa paham kalau anak ini tengah bingung karena Edward tiba-tiba mengatakan semua itu.
“Nanti kalau berangkat ke sana, kabarin, ya? Kami mau ikut anter kamu.”
Sammy mengangguk. “Iya, Om.”
“Kamu paham gak apa maksud ucapan saya tadi?” Sammy langsung menggeleng. Memilih untuk jujur daripada memendam bingung yang bisa berubah menjadi rasa penasaran yang merepotkan.
“Maksud saya, rumah ini akan tetap menerima kamu walau ujungnya nanti kamu dan Amy gak sejalan, Sammy. Kami akan tetap menerima kehadiran kamu,” ucap Edward diakhiri dengan senyuman tipis.
Edward rasanya mau tertawa melihat raut wajah Sammy yang langsung berubah menjadi sayu. Bibirnya ia gigit, matanya terpejam agar tidak menangis.
“Om, saya mau minta peluk, boleh? Gantiin papa saya kasih pelukan selamat karena udah keterima di kampus yang saya mau.”
Edward tertawa kecil dan berdiri. “Boleh, sini.”
Anna hanya tersenyum tipis begitu melihat Sammy langsung memeluk Edward. Matanya sempat menangkap Amy yang baru keluar dari kamarnya. Amy juga terdiam di tempat begitu melihat dua laki-laki yang ia sayang itu saling berpelukan.
Edward menepuk punggung Sammy. “Semangat kejar mimpinya, ya? Bikin keluarga kamu bangga sama apa yang kamu raih, Sam. Sayapnya boleh istirahat kalau capek, tapi jangan pernah kepikiran untuk berhenti terbang, oke? Kalau kepikiran kayak gitu, nanti kamu saya pecat jadi kandidat menantu.”
—honeyshison. sorry for typo.