Sana tidak ingat kapan terakhir kali rumahnya terasa hangat. Ketika Jeongyeon datang, tak ada perubahan yang ia rasakan dengan jelas. Perempuan itu datang tidak untuknya, tapi untuk Soonyoung.

Dua kali menolak kedatangan Soonyoung, Sana tidak pernah menyangka bahwa laki-laki itu berhasil membawa kehangatan pada rumahnya. Bahkan di saat dia hanya baru memasuki tempat Sana berlindung selama ini.

“Gue bawa makanan,” ucap Soonyoung, suaranya pelan. Meski berusaha disembunyikan, Sana masih bisa melihat getaran pada gerakan laki-laki itu.

Soonyoung benar, dia tidak akan benar-benar pulih apabila mereka berdua tak saling menerima secara langsung.

“Makasih,” balas Sana dibalas Soonyoung dengan senyumannya.

“Gue minta maaf kalau kehadiran gue malah menekan lo,” ucap Soonyoung kemudian.

Sana tahu, pada awalnya kehadiran Soonyoung sebagai soulmate sangat menekannya. Tetapi, ketika laki-laki itu duduk di hadapannya seperti sekarang. Segala rasa keberatan yang ia rasakan sebelumnya seolah menghilang begitu saja.

Mungkin memang benar, jika di luar kesadaran, soulmate akan selalu diterima.

“Gue udah terima lo, Soonyoung.”

Soonyoung menggeleng. “Lo belum terima gue, Sana. Lo cuma nerima ikatan antara kita.”

Sana terdiam. Apa yang Soonyoung katakan memang benar.

Mungkin, untuk menerima ikatan mereka ia sanggup untuk mengusahakannya. Tapi, untuk menerima Soonyoung dalam kehidupannya ia membutuhkan waktu lebih lama lagi. Meski tanpa melakukan apa pun, Soonyoung bisa membuatnya nyaman.

Mau bagaimanapun, keduanya tetaplah orang asing untuk satu sama lain.

“Lo sendiri udah nerima gue?” tanya Sana dan Soonyoung langsung menggeleng tanpa perlu berpikir panjang.

“Gue tadinya mutusin buat gak peduli sama lo,” ucapnya, “tapi, karena lo udah ngasih gue kesempatan. Gue bakal berusaha buat nerima lo sebagai soulmate gue.”

Sana tidak bisa menebak apa isi pikiran Soonyoung sehingga laki-laki itu tersenyum hangat setelah mengatakannya.

“Gue sedikitnya bisa menebak kalau kisah hidup kita gak jauh berbeda. Mungkin, itu alasan lo sama gue dipertemukan. Semesta kasih gue kepercayaan lagi buat jaga seseorang.”

“Apa yang adik lo bilang—semuanya, itu benar-benar kejadian di kehidupan kalian?”

Soonyoung sedikit memiringkan kepalanya. “Gue gak tahu apa aja yang Yena omongin ke lo.”

“Lupain,” balas Sana, tidak ingin menceritakannya kepada Soonyoung. Jika laki-laki itu memang tidak tahu, ya sudah.

“Okay, bakal gue lupain.”

Soonyoung menegakkan duduknya, sebelum kembali berkata, “Gue rasa, kita perlu kenalan ulang secara benar. Gimana?”

Sana paham hal itu, dan ia tak punya alasan untuk menolak ucapan Soonyoung.

Laki-laki itu sekali lagi memberikan senyuman hangatnya. Dia menawarkan tangannya pada Sana, mengajak perempuan itu untuk saling berjabat.

“Kenalin gue Soonyoung, 25 tahun. Kita punya tanda yang sama di waktu yang sama, lo bisa nyimpulin sendiri, 'kan, kita kenapa?”

Butuh beberapa detik untuk Sana hingga akhirnya ia mengangguk dan berkata, “Gue Sana, 24 tahun.”

Tangan Sana bergerak, menyambut tangan Soonyoung sehingga keduanya bersentuhan sekarang. Tak ada yang berani untuk berkata, tapi keduanya sama-sama tahu bahwa tak ada ketidakcocokan yang bisa mereka cari lagi.

Seakan, penolakan ketidakpedulian yang masing-masing dilakukan oleh keduanya adalah hal yang percuma—atau mungkin, memang percuma.

“dan, ya, gue tahu kita soulmate.”

Sana tersenyum, mungkin itu adalah pertama kalinya perempuan itu memperlihatkannya pada Soonyoung.

Semua rasa sakit yang masih samar Soonyoung rasakan, seakan menghilang begitu saja. Rasa sesak yang akhir-akhir ini ia alami, berubah menjadi rasa lega yang luar biasa.

Kita soulmate.

Hanya sekedar ungkapan saja, Soonyoung seakan diberi seluruh kesembuhan yang ada di dunia ini.

“Sana, kalau suatu saat nanti lo mau menjalin hubungan romansa sama seseorang yang bukan gue, gue izinin.”

Sana memperlihatkan wajah bingungnya. “Lo gak akan—”

“Gue gak tahu apa yang bakal terjadi di masa depan—kita sama-sama gak tahu,” potong Soonyoung, “tapi, buat sekarang, gue sama lo sama-sama belum bisa buat melangkah lebih jauh, 'kan?”

Sekali lagi, Sana tidak tahu bagaimana harus mengelak dari kalimat Soonyoung.

“Iya, Soon. Jujur gue belum siap.”

“Gak papa, Sana. Gue juga belum bisa fokus sama kehidupan gue kalau belum ada yang bisa jagain Yena lebih baik dari gue.”

“Sampai kapan pun gak akan ada yang bisa jaga Yena lebih baik dari lo, Soon. Lo abangnya,” balas Sana dan Soonyoung hanya tertawa kecil menanggapi itu.

“Pasti suatu saat nanti ada.”

Hening.

Keduanya kembali terperangkap dalam kecanggungan.

“Sana,” panggil Soonyoung, ''lo mau kita habis ini kayak gimana?“

Sana menggelengkan kepalanya. “Jujur, gue gak tahu. Tapi, gue belum bisa kalau harus menjalin hubungan romansa sama orang yang baru gue kenal.”

“Sama. Mau diusahain kayak gimana pun, kalau masih orang asing, kebahagiaan bakal cuma jadi tujuan, bukan?”

“Iya,” jawab Sana langsung. Ia merasakan sedikit beruntung karena Soonyoung mempunyai pola pikir yang tidak jauh berbeda dengannya.

“Sekarang, kita sama-sama coba buat satu sama lain supaya gak jadi orang asing lagi, ya? Biar waktu yang menjawab gimana hubungan kita nantinya.”

Sekali lagi, punya alasan apa Sana sehingga menolak apa yang Soonyoung katakan?

Tidak ada.

Mereka soulmate. Dengan jiwa yang saling terikat, sulit untuk keduanya saling menolak jika dalam pertemuan secara langsung. Berbeda dengan saat mereka tak bertemu kemarin.

“Oke, ayo coba, Soon.”