secret ; after
⚠ mention of blood, death, murder
Sana terdiam di tempatnya. Kuas yang baru ia nodai dengan warna itu menggantung di tangannya, membuat catnya menetes ke bawah dan mengotori lantai.
Warna merah.
Warna yang seharusnya sudah biasa ia lihat karena menjadi bagian dari gelapnya dunia. Warna itu kini terlihat asing, tangannya bahkan enggan untuk mengoleskan warna itu pada lukisan yang ada di hadapannya.
Bukan lagi sebuah tubuh yang ia lukis untuk melihat merah. Bukan lagi jeritan yang ia dengar untuk menghasilkan tawa. Bukan lagi senjata yang akrab dengan tangannya.
Sana telah meninggalkan perannya dalam gelapnya dunia. Namun, itu tak membuatnya meninggalkan kegelapan itu sendiri.
Ibunya selalu bertanya tentang siapa sosok berambut pirang yang ia lukis. Sana tak pernah benar-benar bisa memberikan jawaban yang pasti.
Sana terus melukis laki-laki yang sama. Bagaimana ibunya tidak curiga bahwa sosok itu nyata?
Untungnya, ia mau untuk mengerti dan tidak pernah bertanya lagi.
Sana tidak tahu bagaimana cara mengatakan tentang dunianya yang tidak ibunya ketahui. Dunia yang membuat ibunya dapat hidup dengan nyaman di panti meski tanpa dirinya. Dunia gelap yang nyatanya meninggalkan banyak bekas pada dirinya yang awalnya bersenang-senang di sana.
Sana juga tidak mungkin mengatakan bahwa sosok pirang yang selalu ia lukis telah tiada karena Sana lebih memilih ibunya.
Sana ditawarkan kebebasan karena kemampuannya menurun drastis selepas misi yang terpaksa ia lakukan. Sana yang dulunya begitu diandalkan, kini malah menjadi penghambat untuk kelompoknya.
Dengan mundurnya Sana, mereka sudah kehilangan dua alat nyaris sempurna yang dulu sangat disegani.
Si Sayap Hitam telah runtuh.
Bagaimana bisa ia tetap terbang ketika mendapati cintanya terjatuh di hadapannya sendiri?
Terjatuh karena dirinya.
Ibunya begitu senang ketika Sana mengajaknya untuk pulang. Entah apa yang putrinya lakukan selama ini. Ia tak ingin memaksa, yang penting mereka sudah kembali bersama.
Ibunya tidak pernah menyadari bahwa tangan yang kini sering dinodai cat, dulunya dipenuhi oleh darah. Jika bisa, Sana tak ingin perempuan itu mengetahui tentang ini.
Sebuah piring berisi buah-buahan yang telah dipotong diletakkan di dekatnya. Ibunya mengelus rambut Sana sembari menatap lukisan yang dibuat putrinya. Lukisan itu belum selesai, tapi anaknya sudah terlihat melamun lagi.
“Si pirang lagi?”
Sana tersenyum tipis dan mengangguk. “Ya, si pirang lagi.”
Ibunya menunjuk pada dahinya. Terdapat sebuah gambar lingkaran.
“Apa ini?”
Sana terdiam cukup lama. Warna merah yang sebelumnya ingin ia taruh di sana, ia bilas kembali. Digantikan oleh warna kulit yang dengan segera menghilangkan lingkaran tadi.
“Aku lupa menghapusnya.”
Tangan ibunya berpindah menjadi di kedua pundaknya. Perempuan itu melihatnya pelan seraya berkata, “Ibu akan selalu mendengarkanmu, Sayang.”
Sana menatap pada lukisannya dengan ragu. Jarinya menunjuk pada pipi orang yang ada dalam lukisannya.
“Namanya Hoshi, Bu. Tingkahnya sedikit gila dan dia suka bermain dengan api sungguhan tanpa takut terbakar.”
Ibunya menatap Sana dengan heran. “Bermain api?”
Sana mengangguk. “Iya, membakar sesuatu, Bu.”
“Makanan maksudmu?”
Sana tanpa kata mengangguk. Tak ingin mengatakan pada ibunya bahwa Hoshi pada kenyataannya jarang membakar makanan.
“Kamu kenal Hoshi dari mana?”
“Aku belum mau menceritakan itu, Bu.”
Ibunya menghela napas. Setidaknya, ia sudah tahu nama seseorang yang mengisi pikiran anaknya sejak awal mereka kembali bersama.
“Baiklah, jika sudah selesai jangan lupa makan buahnya, ya? Ibu mau mencuci dulu.”
Sana hanya mengangguk sebagai balasan.
Perempuan itu lantas pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Tidak berniat untuk menyelesaikan lukisannya.
Ia memakan sepotong buah yang ibunya sediakan dan kembali tenggelam dalam pikirannya. Kepalanya menoleh begitu mendengar suara ketukan dari jendelanya.
Kening Sana mengernyit melihat siapa yang mengetuk jendelanya. Kemudian raut wajah terkejut ia tunjukkan.
“Hoshi?”
Sosok itu tersenyum padanya seraya memberi isyarat pada Sana untuk membuka jendelanya.
Begitu jendela terbuka, wajah Hoshi semakin terlihat jelas. Ia tersenyum manis dan berkata, “Hello, Princess. How are you?“
Sana tidak membalas. Ia menatap penampilan Hoshi yang seperti biasanya. Rambut pirangnya yang tampak memanjang itu tertiup angin.
“Jawab aku, Princess.“
Bukannya menjawab pertanyaan Hoshi. Sana malah mengerjapkan matanya, memastikan bahwa yang ia lihat bukan ilusi. Hoshi masih tetap ada di hadapannya.
“Hoshi ... how can you?“
Sana masih teringat dengan jelas bahwa peluru itu mengenai Hoshi. Masih segar dalam kepalanya bagaimana tubuh itu terjatuh ke dalam pelukannya.
Kali pertama di mana Sana tak senang melihat darah.
Hoshi tersenyum hangat menatapnya. Matanya bahkan masih memandang Sana dengan penuh puja.
“Like I said, Princess. I won't die easily.“
Tangan Sana terangkat, berniat untuk menyentuh pipi Hoshi. Namun, laki-laki itu menghindar.
“Sorry, but you can't touch me.“
Sana memandang Hoshi dengan kecewa. “Why?“
Hoshi hanya menggelengkan kepala sebagai balasan.
Sana terdiam seketika.
Ah, Sana nyaris melupakan bahwa dirinya ada di lantai 7.