selaksa – adek sakit.
Yena biasanya dibangukan oleh alarm yang senantiasa berdering setiap paginya. Biasanya Yena akan langsung bersih-bersih, lalu membantu mama, makan, dan pergi ke sekolah.
Namun, hari ini berbeda.
Yena terbangun akibat tepukan pada pipinya, telinganya seakan tuli, dan pandangannya memburam. Ketika Yena bisa sedikit sadar, ia melihat Soonyoung yang menatapnya khawatir.
Yena bisa merasakan punggung tangan Soonyoung di dahinya. Kemudian abangnya itu bertanya, “Pusing gak, Dek?”
“Sedikit ...,” lirih Yena, “jam berapa ini, Bang?”
“Masih pagi, kok. Belum masuk jam 7,” jawab Soonyoung sembari merapihkan benda-benda di sekitar tempat tidur Yena. Mungkin adiknya itu ketiduran ketika tengah belajar semalam.
“Bang Oci, aku harus seko—”
“Diem. Sekarang ubah posisi lo, tiduran yang nyaman.” Yena menurut, dia bergerak dengan pelan dan membenarkan posisinya. Nada suara Soonyoung yang tegas membuatnya refleks menurut.
“Gue nanti bilang ke Yohan supaya apa yang didapetin hari ini, dikasih tahu juga ke lo. Izin sehari aja, oke? Daripada lo maksa sekolah dan gak bisa ikut ujian karena makin parah.”
Yena mengangguk pasrah. Mau bagaimana lagi? Apa yang Soonyoung ucapkan ada benarnya. Terlebih Yena senin nanti mengikuti ujian praktek, bukan tulis. Selain itu, ini juga sudah hari Jumat.
“Bagus, sekarang gue mintain ke Mama buat bikinin lo bubur. Belajarnya istirahat dulu, ya? Setidaknya sampai lo bisa ngelihat jelas lagi. Burem, 'kan, itu?”
“Iya,” jawab Yena dengan lemas.
“Jangan bandel. Gue mau bilang ke Mama dulu, sekalian ambilin lo kompresan,” kata Soonyoung lagi. Tadinya ia hanya disuruh mengecek karena Yena belum turun juga kalau mereka sudah berkumpul di meja makan.
“Iya, Bang.”
Soonyoung mengusap pelan pucuk kepala adiknya. “Gue gak suka keluarga ini sakit,” ucap Soonyoung pelan, nyaris bergumam.
Soonyoung tidak berkata lagi, dia berjalan dan menghilang di balik pintu kamar adiknya. Yena menatap pintu itu lekat.
“Tumben banget Bang Oci gak nangis lihat gue sakit,” ucap Yena pada dirinya sendiri.
Jika diingat lagi, mereka bertiga memang sama-sama pernah sakit. Namun, mungkin Yena lah yang paling lama penyembuhannya. Makanya Yena yang sakit menjadi ketakutan tersendiri keluarga ini. Itu juga alasan kenapa kedua kakaknya, terlebih Soonyoung sedikit protektif untuk kegiatan yang Yena lakukan.
Tak seperti ucapan Soonyoung tadi, dia tidak kembali ke kamar Yena. Pintu terbuka lagi cukup lama, menampilkan Seungyoun dengan nampan yang diatasnya ada semangkuk bubur dan segelas air. Yena juga yakin ada obat di sana.
Yena sekarang susah merasa dapat lebih fokus dibandingkan tadi. Mungkin tadi, efek baru bangun tidur juga.
“Kok malah Kak Yon yang ke sini?” Seungyoun tidak langsung menjawab, dia mendekat dan menyimpan nampan itu di atas laci kamar Yena.
“Abang lo yang satu itu,“—Seungyoun menyibak poni Yena, kemudian menempelkan sebuah plester demam di dahinya—”nyaris nangis, gak sanggup lihat lo lemah katanya.”
Seungyoun tersenyum tipis. “Gue juga sih, tapi kalau gak maksain, lo gak akan makan.”
”'Kan ada Mama,” jawab Yena.
“Mama udah ngurus rumah dari pagi buta.”
Seungyoun duduk di pinggir tempat tidur Yena. “Mau disuapin?”
Yena menggeleng. “Gue cuma demam, dan gue masih sanggup buat makan sendiri.”
“Anak baik, nih. Habisin loh ya,” ujar Seungyoun sembari menyerahkan buburnya. “Lo tidur jam berapa semalem?”
Gelengan yang Yena berikan membuat Seungyoun menyentil dahi yang lebih muda dengan pelan.
“Parah, padahal lo habis kehujanan.”
Bibir Yena mencebik, ia terlihat malas memakan bubur itu. Yena merasa mual di setiap suapan yang ia ambil.
“Gue mau ke sekolah lo, ngasih surat sama bilang ke Yohan.”
“Gak jadi Bang Oci?”
“Tadi pas mama masak bubur dia ke rumah Yohan, sih, tapi dia udah berangkat ke sekolah. Berhubung anaknya ada kelas pagi, jadi gue aja yang ke sekolah lo,” jawab Seungyoun sembari memperhatikan bagaimana Yena makan.
“Makan yang bener lo. Jangan kayak gitu, tega bener sama mama,” ucapnya.
“Perut gue gak enak, abang,” rengek Yena.
“Coba minum dulu, ini air anget.”
Yena menerima gelas yang Seungyoun berikan dan meminumnya. Tak lama setelah itu, pintu kamar Yena kembali terbuka. Menunjukkan Soonyoung yang sudah siap untuk pergi ke kampus.
“Gue mau berangkat,” kata Soonyoung dengan canggung sembari menghampiri kedua adiknya.
“Maaf, ya, gue gak bisa nemenin lo. Tapi mama bilang dia gak akan ke mana-mana kok,” ucap Soonyoung lagi.
“Oh iya, gue juga habis dari sekolah lo mau langsung ke kampus. Sorry, cuma bisa nemenin sebentar. Gue gak akan nongkrong beres kelas nanti,” sambung Seungyoun.
Yena menatap kedua abangnya bergantian. “Gak papa, Abkak. 'Kan, ada mama? Dia yang paling paham sama aku. Lagian nanti juga aku paling tidur terus.”
Yena berusaha melontarkan itu dengan nada bercanda, berharap saudaranya tak begitu khawatir dengan kondisinya. Namun, ucapan Yena barusan malah membuat Soonyoung dan Seungyoun semakin menunjukkan kekhawatiran mereka.
“Dek,” panggil Seungyoun tak seperti biasanya. Padahal laki-laki itu paling anti memanggilnya demikian. Panggilan itu membuat Yena sadar dengan perubahan raut wajah kedua kakaknya.
“Gak papa kalau mau tidur, silahkan buat pikiran sama tubuh lo untuk beristirahat. Tapi gue mohon, jangan tidur lama-lama kayak waktu itu.”
Sekarang, Yena yang mau menangis.