selesa rasa – 1.
“Menurut lo, lagu ini masih bisa ditambah koreo gak?” tanya Aji pada Rasi.
“Terlalu slow, tapi masih bisa,” jawab Rasi setelah jeda beberapa menit untuk mendengarkan musik yang Aji putar dengan seksama.
Aji mengangguk paham. Tak berminat berkata apa-apa lagi.
“Contoh tariannya kayak gimana?” tanya Abas, memancing.
“Tanya aja ke koreografer kalian,” jawab Rasi lagi, kali ini terdengar lebih ketus.
“Loh? Kan, kamu yang bilang bisa. Koreografer kita belum tentu bilang gitu. Kamu gak mungkin bilang kayak gini tanpa ngebayangin tariannya bakal kayak gimana, 'kan? Jadi aku tanya sama kamu, contoh tariannya itu kayak gimana.”
Aji mendengus, sudah menduga kalau Abas akan terus memancing Rasi setiap ada kesempatan. Memancing bagi Abas, memojokkan bagi Rasi, sih, kalau sudah seperti ini.
Namun, siapa juga yang tak ingin tahu apa alasan adiknya berhenti dari hal yang dia sukai selama dua tahun?
Rasio berdecak dan berdiri. “Udah, 'kan, Ji? Gue mau balik.”
“Gih,” kata Aji, menghindari kegaduhan di studionya ini.
Rasi berdiri dan memasang tudung jaketnya untuk menutupi kepala. Laki-laki itu pergi tanpa berpamitan dengan orang lain yang ada di sana.
“Rasi jangan terlalu lo teken, Bang,” ucap Aji, kalau dia sudah memanggil Abas seperti itu tandanya dia benar-benar menekankan.
“Gue gak neken, ini udah mau dua tahun, Ji. Masa gue tetep jadi orang yang gak tahu apa-apa?”
“Eh ... terus gue gimana?” cicit Sena yang sedari tadi hanya diam di samping Ines. Rasi bahkan tak melirik ke arahnya sama sekali sejak laki-laki itu datang hingga pergi.
Aji, Abas, dan Ines melirik ke arahnya. Wajah Sena yang menunjukkan ekspresi polosnya membuat ketiganya menghela napas. Padahal dengan perdebatan tadi saja seharusnya sudah membuat Sena mengerti kalau Rasi tak ingin menari lagi.
“Rasi gak bawa kendaraan, lo kejar aja deh. Tahu halte yang deket sini, 'kan?”
Perkataan Aji itu membuat Sena mengangguk dengan antusias. Dia sempat berkata, “Oke, makasih kakak-kakak!” lalu berlari kecil menyusul Rasi.
“Gue kira bakal kapok,” ucap Ines, “ternyata masih ngebet.”
“Tapi kayaknya kalau niatnya cuma buat ikut DWP, Sena gak perlu maksa sama Rasi gak sih?” tanya Abas, menjadikan suasana di ruangan itu menjadi hening seketika.
Bis tujuannya akan datang 20 menit lagi jika sesuai dengan jadwal, jadi Rasi memasang earphone-nya kala menunggu di halte.
Ia memakai itu agar tak ada yang menegurnya. Walau kenyataannya Rasi tak begitu menikmati mendengarkan musik sekarang.
“Kamu gak mungkin bilang kayak gini tanpa ngebayangin tariannya bakal kayak gimana, 'kan?”
Rasi menghela napasnya, tanpa sadar jarinya membuka galeri yang sudah lama tak ia kunjungi. Rasi memutar satu video yang sudah lama berasa di ponselnya, video ketika ia masih aktif menari.
Dirinya yang menari dan latar musiknya sejenis dengan yang Aji perdengarkan tadi. Ketika video berdurasi dua menit kurang itu selesai, Rasi dikejutkan dengan suara seseorang.
“Aaa, this is so cool. Be my partner, please.”
Rasi tersentak dan spontan menciptakan jarak di antara keduanya. Entah terlalu fokus atau bagaimana, yang jelas Rasi tak menyadari kalau sejak tadi ia tak menonton sendiri.
“Astaga, maaf kalau bikin kaget, Kak Rasi.”
Alis Rasi menekuk, wajah orang di hadapannya tak begitu asing dan hanya sedikit yang memanggilnya dengan sebutan kakak. Terlebih orang ini membahas soal menjadi partner.
“Shena?”
Rasi menyesal, harusnya ia tak menyebutkan nama itu karena sekarang Sena menampilkan senyum lebarnya.
“Kak Rasi inget aku! Pasti kakak udah berkenan buat jadi partner aku di DWP, 'kan?!” kata Sena dengan menggebu. Terlihat sekali dia kesenangan karena namanya diingat oleh yang lebih tua.
Rasi berdecak dan mengalihkan pasangannya ke arah depan. Dengan datar dia berkata, “Jangan sok akrab.”
Sena menjadi cemberut seketika. “Kenapa galak banget, sih?! Tadi di studio Kak Aji juga kayak gini.”
Rasi tak menanggapi ucapan Sena itu. Dia pura-pura tak mendengar.
Sena mendengus, ikut menatap ke arah jalanan seperti yang Rasi lakukan. Perempuan itu memainkan kakinya sendiri, berusaha untuk mencari topik. Jika membahas soal kompetisi, ia yakin Rasi tak akan membalas.
“Kak Rasi tahu gak ada bunga yang gak boleh dipetik? Larangan itu ada undang-undangnya dan bisa kena sanksi kalau tetap ada yang nekat buat metik.”
Rasi masih diam.
“Bunganya biasa tumbuh di pegunungan, sekitar 1.700 sampai 2.700 meter di atas permukaan laut. Bunga ini juga disebut bunga abadi. Kak Rasi tahu gak nama bunganya apa?”
“Gak tahu.”
Walau terdengar ketus, Sena tahu kalau Rasi mulai tertarik dengan pembahasannya.
“Nama bunganya edelweis. Saya belum pernah lihat secara langsung, sih. Tapi dia memang cantik ... banget. Terus Kak Rasi tahu gak bunga edelweis ini maknanya apa?”
“Sesuatu yang abadi?” balas Rasi.
Sena mengangguk. “Betul, cinta abadi! Lebih tepatnya cinta sejati, sih. Cinta sejati, 'kan, perlu perjuangan, perlu kesungguhan buat mendapatkannya. Kayak bunga edelweis ini, buat dapetin dia kita perlu ke pegunungan dulu dan itu pasti bakal habisin energi. Setelah dapat pun, gak menghilangkan kemungkinan masalah pergi dari kita. Iya, 'kan, Kak? Namanya juga hidup.”
Rasi terdiam untuk beberapa saat. Dia ini ... kenapa bahas bunga terus, sih?
“Berarti kayak sekarang kamu bujuk dan sedikit maksa saya buat jadi partner kamu. Ketika saya jadi partner kamu pun, itu gak membuat kamu bakal langsung menang.”
Sena menatap pada Rasi dengan binar. “Kalau ini, beda lagi, Kak! Saya merasa tertantang buat bujuk Kak Rasi sampai mau jadi partner saya! Tapi jangan lama-lama juga, sih, Kak. Audisinya satu bulan lagi.”
Rasi mendengus, ia langsung berdiri ketika melihat bis yang sedari tadi ia tunggu.
“Kak, tolong pertimbangin lagi permintaan saya. Saya mohon,” kata Sena sembari ikut berdiri dan mendekat pada Rasi
Rasi tak membalas, wajah Sena total menjadi sendu. Ketika pintu bis sudah dibuka, Rasi tetap diam. Menunggu orang lain untuk keluar dari sana terlebih dahulu.
“Sana, balik ke studio Aji,” kata Rasi.
“Tapi, Kak—”
“Minta kontak saya ke dia, jangan DM lewat twitter lagi.”
Sena terdiam. “Eh–Kak ... jadi—Kak Rasi, tunggu dulu!”
Yap, Rasi tanpa berbasa-basi masuk ke dalam bis itu. Sena juga tak mungkin ikut masuk karena semua barangnya masih ada di studio tadi.
Namun, perempuan itu tak terlalu memikirkannya. Itu berarti Rasi membuka peluang lebih besar untuk Sena membujuknya, 'kan?
Dengan senyuman lebar dan tak acuh pada sekitar. Sena berteriak, “KAK RASI MAKASIH, SAYA TANYA TERUS SETIAP HARI NANTI.”
Rasi di dalam bis yang mulai melaju hanya bisa menundukkan kepalanya kala beberapa penumpang sadar kalau teriakan itu adalah untuknya. Namun, diam-diam dia tersenyum.