selesa rasa – 2

“Lo nyaman gak kalau harus goyangin pinggul?” tanya Caka pada Mika. Waktu mengirim video, dia kelupaan menanyakan ini. Soalnya untuk anggota Sandyakala itu sudah bukan masalah. Tersebih, Ica yang membuat gerakannya.

Mika mengangguk. “Iya, makanya gue gak protes kemarin?”

“Tapi lo kelihatan gak nyaman tadi,” balas Caka yang membuat Mika terdiam.

“Gak gue pelototin, sumpah,” sambung laki-laki itu. Merasa kalau alasan Mika tak nyaman karena harus menari bersamanya.

“Gue gak masalah, Caka. Gue tuh apa, ya ... masih kagok gitu lah.”

“Kagok? Apaan dah, tuh? Kagak paham.”

Mika menghela napasnya. “Anggap aja gue masih belum biasa, masih canggung, masih ragu.”

“Oke. Ada gerakan yang mau lo tekenin? Udah mau abis jam latihan lo,” ucap Caka membuat Mika refleks melihat pada jam tangan yang ia kenakan.

Ternyata mereka sudah cukup lama berlatih. Mika merasa seperti mereka baru saja mulai.

“Buat sekarang gak ada, gue bakal lanjut hafalin di rumah. Terus nanti gue chat lo kali, ya?”

“Boleh, chat aja. Kalo gitu, sampai jumpa Sabtu depan,” balas Caka dengan santai. Laki-laki itu menghampiri tasnya yang disimpan di pojok ruangan. Lalu memakai kembali hoodie yang sempat ia lepaskan karena gerah.

Mika menatap Caka ragu-ragu.

“Lo habis ini mau ke mana?” tanya Mika. “Langsung balik?”

Caka menggeleng. Untungnya, laki-laki itu tak berpikir aneh untuk basa-basi yang Mika lakukan. Dia menjawab, “Nyari makan dulu gue, laper.”

“Kalau gue traktir mau gak, Cak? Anggap aja karena lo bersedia ngobrol sama gue lewat chat.”

Caka tak langsung membalas. Dia sempat menatap yang lebih muda beberapa bulan darinya itu dengan menyelidik. Namun, walau merasa heran, sebagai orang yang hidup sendiri tentu saja Caka akan membalas, “Boleh dah, yok.”

“Bentar, gue izin dulu.” Caka hanya mengangguk, membiarkan Mika keluar dari ruang latihan. Laki-laki itu memainkan ponselnya, memeriksa apa ada yang mengiriminya pesan atau tidak.

Tak lama setelah itu, Mika kembali. Perempuan itu sudah berpenampilan lebih rapih dan tertutup. Ada topi dan masker di kepalanya.

“Buset, lupa gue mau jalan sama artis,” celetuk Caka begitu melihat penampilan Mika.

“Nanti guenya tolong dianter ke sini lagi, ya, Cak?”

Caka mengangguk setuju. “Gampang, cari yang deket sini aja, dah. Gak papa, 'kan, lo naik motor?”

“Gak papa.”

Setelah itu, Mika membuntuti Caka dari belakang sampai mereka di parkiran. “Gue cuma bawa helm satu, fix cari yang deket sini aja. Lo lagi mau sesuatu?”

Mika menggeleng. “Terserah lo aja, gue tinggal traktir.”

Caka menunjukkan cengirannya. “Kalo boleh gue pengen ngemekdi.”

Mika mengernyit. “Mekdi?”

“Iya. McDonald's. Masa lo gak tahu?”

Mika terdiam. “Fast food dong, ya?”

“Ya ... iya lah. Lo gak mau?” tanya Caka, dapat menangkap kalau Mika enggan dengan tempat yang Caka sebutkan.

Mika dengan cepat mengendalikan dirinya lagi. “Enggak kok, ayo ke sana.”

“Yakin?”

“Iyaaa, ayo!”


“Kenapa diem?” tanya Mika karena Caka malah diam di belakangnya.

“Lo dulu aja yang mesennya,” jawab laki-laki itu.

Mika menurut. Dia memesan makanan yang ia inginkan dan Caka yang selanjutnya.

Ketika mereka sudah duduk, barulah Mika bertanya, “Kenapa harus nunggu gue dulu? Kan gue yang mau traktir.”

Caka meminum sodanya. “Ya iya lah, harus yang traktir dulu. Gak lucu kalau yang ditraktir malah mesen yang lebih mahal. Omong-omong, thanks, ya. Lumayan hemat pengeluaran di sekali makan malam.”

Mika mengangguk. “Lo di sini sendiri?”

Caka tak benar-benar fokus pada Mika karena sudah mulai apa yang ia pesan, satu potongan paha ayam krispi juga nasi. Sementara Mika memesan paket cheeseburger yang sebenarnya ia sebut secara asal tadi.

“Sendiri gue,” jawab Caka tanpa melihat perempuan di hadapannya.

“Lo anak rantau?”

Caka mendongak. “Makan dulu lah, Mik. Enak abis latihan kayak tadi langsung makan. Orang lain mah mandi dulu, ya, 'kan. Kita doang yang makan.”

Mika menghela napasnya. Dia menatap burger miliknya dengan ragu. Sebenarnya, Mika lumayan tergoda untuk segera menyantapnya sampai habis. Makanan ini sudah lama tak ia temui.

Namun, ada setitik ketakutan yang menerpa dirinya.

“Etdah malah diem. Makan, Mik. Kapan lagi kita makan enak kayak gini,” celetuk Caka karena Mika cuma memandangi makanannya.

Mika mengangguk. Pada awalnya dia hanya mengambil satu gigitan kecil. Ketika rasa yang ia rindukan sudah menyapa lidahnya, selanjutnya Mika tanpa sadar malah memakannya dengan lahap.

Caka tertawa kecil melihat perempuan yang semula ragu dengan makanannya itu. Tangannya bergerak buat menepuk puncak kepala Mika dengan pelan.

“Bahagia gak perlu susah, ya, 'kan? Makan enak aja udah bikin bahagia,” ucap Caka disusul rasa bangga pada dirinya karena mengucapkan kalimat yang cukup bijak menurut Caka sendiri.

Namun, Mika menunjukkan reaksi yang tak ia harapkan. Perempuan itu menatapnya shock, mematung.

“Kenapa? Kok diem?”

“Tangan lo bekas ayam, Cakra!”

Caka mengerjap sebelum tertawa canggung. “Eh iya, yak ... MAAF.”

“Argh! Nyebelin banget!”