selesa rasa – 3

Ketika Jiya bisa melihat kalau Abas dan Ines menunjukkan dukungan mereka lewat media sosial, satu orang yang Jiya tunggu malah tak kunjung bereaksi bahkan ketika acara akan dimulai. Jiya sudah hafal bagaimana laki-laki itu hanya menggunakan akunnya untuk meminta rekomendasi lagu, tapi Jiya kira (berharap sebenarnya) untuk keikutsertaan Jiya di SnS akan Aji tunjukkan juga.

Awalnya Jiya kesal, Jiya merasa akan marah, tapi juga takut disaat yang sama. Mungkinkah Aji masih membenci keputusan Jiya yang satu ini? Padahal laki-laki itu sudah ikut serta memilih lagu yang akan Jiya tampilkan hari ini.

Namun, ketika satu peserta sebelum dirinya dipanggil. Ponsel Jiya berdering dan nama laki-laki itu tertera sebagai penyebabnya.

Mas Aji Gue tahu lo bisa, bikin semua mentor itu balik buat lo, Ya. Gue sama yang lain nontonin lo.

Secara ajaib, Jiya merasa yakin. Merasa semua sudah cukup agar ia mampu melangkah lebih jauh lagi. Jika ada Aji, entah kenapa Jiya selalu merasa aman.

Aji mungkin menjadi sosok yang nyaris menyaksikan keseluruhan kisah Jiya selama 24 tahun menginjakkan diri di dunia. Aji menjadi sosok penghuni rumah sebelah, Aji menjadi sosok yang kerap memboncengnya menggunakan sepeda sepulang sekolah, dan Aji juga yang menuntunnya untuk bisa berdiri di atas panggung dengan tangguh.

Sekarang, ketika Aji dan Jiya tak berdiri di atas panggung yang sama, sosok itu ada di sana. Di antara ratusan penonton yang datang, ada Aji di sana menatapnya.

Jarak antara Jiya dan Aji cukup jauh mengingat laki-laki itu—dan teman-teman mereka tidak duduk di depan. Namun, Jiya seakan manusia yang tak membutuhkan kacamata karena mampu untuk menemukan Aji sesaat setelah dirinya berdiri di sana.

Jiya pernah berdiri di atas panggung yang lebih besar dari panggung milik Song n Soul, tapi perasaan resah yang muncul di panggung ini lebih besar dari sebelumnya. Jiya sendiri di sini, tak ada Aji, tak ada Abas, tak ada Ines. Situasi ini terasa seperti dia yang baru pertama kali menaiki sebuah panggung.

Lagu Somewhere Only We Know milik Keane sudah selesai Jiya perdengarkan. Dia tersenyum tipis merasa cukup puas dengan apa yang sudah ia tampilkan. Terlebih dengan tepuk tangan yang cukup riuh untuk dirinya. Jiya pun mendapatkan lampu dari tiga mentor sekaligus.

“Ini dia Jiya Almira!” ucap laki-laki yang wajahnya sudah akrab di televisi sebagai pembawa acara.

Jiya merasa dirinya perlu siap untuk apa yang akan ia ambil selanjutnya.


“Mantep, euy!” ucap Ujan ketika Jiya sudah mengganti pakaiannya menjadi pakaian yang lebih nyaman. Jiya tersenyum lebar dan menyambut tos yang Ujan ajukan padanya.

“Lo juga, keren!” balas Jiya yang membuat Ujan tertawa geli.

Nuhun, nuhun.”

Setelah itu, Dimas menghampiri mereka. “Beda mentor kita, ya.”

“Yoi, gak papa lah. Biar persaingannya kerasa,” jawab Ujan dengan nada bercandanya.

Dimas menatap keduanya bergantian. “Langsung balik lo berdua? Kita ke sini lagi dari rabu, 'kan, buat yang sekarang?”

Jiya mengangguk. “Iya, gue mau barengan sama yang lain, sih. Tapi nunggu mereka ngabarin du—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ponsel Jiya sudah mendapatkan notifikasi dari Ines. Menyuruhnya untuk segera menyusul mereka.

“Nah, udah dikabarin. Gue duluan, ya! See you!

“Oh iya, hati-hati, Jiya!”

Jiya mengangguk dengan senyuman lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Dimas dan Ujan saling berpandangan. “Yang lain siapa, sih?” tanya Dimas.

“Manusia sandiwara paling,” jawab Ujan, tak terlalu peduli. “Lo bawa kendaraan gak? Gue mau nebeng kalau bawa.”

Dimas mengangguk. “Bawa, bawa. Ayo kita juga balik.”

Kedua laki-laki dengan jarak usia setahun itu berjalan berdampingan menuju parkiran. Obrolan yang terjadi hanya seputar Dimas yang bertanya ke mana ia harus mengantar Ujan. Yang ditanya pun menjawabnya tanpa berbasa-basi.

“Fauzan!” panggil seseorang yang membuat mereka berdua spontan menoleh ke asal suara meski yang dipanggil hanyalah satu di antaranya. Ujan menahan senyumnya begitu tahu siapa yang memanggil dirinya barusan.

“Kak Unge!” sahut Ujan tak kalah antusias.

Bunga menghampiri mereka dengan Wira yang membuntuti di belakang. Tadinya mereka akan pulang, tapi Bunga mendapat adanya Ujan di sana. Sosok yang menjadi alasannya untuk datang ke sini.

“Ternyata beneran dateng,” ucap Fauzan, “makasih, ya, Kak!”

Bunga tersenyum lebar. “Sama-sama, lo keren banget tadi?! Gue speechless bahkan 4 mentor aja mau sama lo.”

Melihat dua orang itu bereaksi, dua orang lain yang bersama mereka hanya saling melempar tatapan.

“Jangan berlebihan, ah, Kak!”

“Siapa yang berlebihan, sih? Gue jujur,” balas Bunga merasa tak terima dengan reaksi yang lebih muda berikan.

“Ya udah, makasih deh, Kak.”

“Gak usah bilang makasih terus. Pokoknya gue bakal dukung lo terus sampai babak final! Kalau bisa lo jadi pemenangnya.”

Raut yang Ujan tampilkan menjadi cerah. Padahal tadi laki-laki itu terlihat malas karena ingin lekas pulang. Namun, hanya dengan kehadiran Bunga, dia bisa berubah.

Wira menarik ujung jaket yang Bunga kenakan. “Ayo balik, udah malem banget. Gue gak enak sama ortu lo.”

Bunga mengangguk. “Iyaaa, ayo.”

“Gue pamit dulu, ya, Zan! Good luck, deh. Lo ju—eh, lo yang temennya Kak Jer, 'kan? Gimana udah ada kejadian horror belum?” tanya Bunga, baru sadar kalau ia sudah melihat Dimas sebelum mereka bertemu di sini.

Dimas mengerjap karena terkejut tiba-tiba ditanya. Wira mendengus karena paham betul kalau Bunga mana cukup dengan pembicaraan singkat. Laki-laki itu berbalik dan berjalan menuju motornya tanpa menunggu yang lebih muda, lebih baik dia menunggu di sana daripada berdiri seperti orang yang diasingkan karena enggan berbaur.

Dimas mengusap belakang kepalanya canggung. “Yah, syukurnya sejauh ini gak ada gangguan apa-apa, Mbak. Btw itu cepet susulin, nanti ditinggal mas pacar, Mbak.”

Bunga menoleh ke belakang, baru sadar kalau Wira sudah tak ada di sana. “Hadeh, Kak Wira jelek.”

“Kalau gitu gue pamit dulu, ya. Sukses buat lo berdua!” ucap Bunga sebelum berlari kecil menjauh dari keduanya. Berpamitan tanpa perlu balasan karena di saat seperti ini, jelas ia lebih membutuhkan Wira dibanding harus pulang sendiri karena mengobrol lama.

“Gue seneng,” ucap Ujan setelah mereka tak lagi melihat Bunga.

“Gebetan?”

Ujan menggeleng. “Sembarangan! Dulu dia kakel gue, terus gue tuh lebih kagum aja dibanding harus ngebet.”

Dimas tersenyum jahil seraya berkata, “Iya, paham,” katanya dengan meledek.

Dimas merangkul Ujan dalam perjalanan mereka mendekati motor yang sudah tinggal beberapa langkah itu. “Yok, pulang. Istirahat dan besok jadi manusia yang bener lagi.”


“Kenapa lari-lari segala, sih?” protes Aji karena Jiya menghampiri mereka sembari berlari.

“Biar kalian gak nunggu lama, lah!” balas Jiya masih ceria. Perempuan itu duduk di sebelah Ines di belakang. Sementara itu, Aji dan Abas ada di depan dengan yang paling tua yang menyetir.

“Capek, Ya?” tanya Abas.

“Lumayan, sih. Tapi gue seneng hari ini, bangga juga soalnya lolos ke babak berikutnya,” balas Jiya diakhiri dengan senyuman yang membuat matanya ikut terpejam. Saat ini, Jiya memang ingin jujur atas perasaannya.

“Minum dulu, Jiya.”

Ketika telinganya menangkap suara Abas dan Aji yang berucap bersamaan, Jiya kembali membuka matanya. Kini, sudah ada dua botol minum yang diserahkan oleh dua tangan yang berbeda untuknya. Sama-sama dari bangku depan, dari Aji dan Abas.

Kedua laki-laki itu berpandangan dengan satu alis yang sama-sama terangkat. Sementara yang diserahkan minuman menunjukkan raut bingungnya untuk situasi ini.

Lalu, ada Ines yang memutar bola matanya malas seraya berkata, “Mulai.”