selesa rasa – 4

“Hai?” sapa Keenan dengan ragu pada seorang perempuan yang berpakaian sama dengan yang dikirimkan padanya tadi.

Ines mendongak, melihat pada laki-laki yang baru saja memanggilnya. Laki-laki itu memakai hoodie hitam sesuai dengan apa yang ia katakan di-chat tadi.

“Shaka?”

Keenan tersenyum mendengar nama yang ia perkenalkan pada dunia satu ini keluar dari mulut perempuan yang baru saja menjadi partnernya. “Yes, that's my name.

Ines membalas dengan senyuman tipis sembari mempersilakan Keenan untuk duduk di depannya. Keenan menurunkan tudung hoodie-nya, lalu menatap Ines dengan lekat.

By the way, perjanjian dulu, dong. Setelah ini gak akan viralin masing-masing di tiktok karena kedapetan first impression yang gak sesuai sama harapan. Oke?”

Ines mengernyit mendengar itu. “Oke? Lagian gue gak main tiktok.”

“Ya gitu, deh. Kan, sekarang dikit-dikit spill, perkara sendok aja bisa di-spill,” balas Keenan diakhiri dengan tawa canggungnya. “Lo udah pesen?”

Ines mengangguk. “Gue tinggal nunggu nama gue dipang—”

“Atas nama Ines.”

“—gil. Gue ambil dulu, ya.” Keenan mengangguk, dia menyandarkan dirinya seraya mengamati sosok Ines dari belakang.

Ini mah bukan di luar ekspetasi lagi, lebih dari ekspetasi, batinnya.

Sesaat setelah Ines berbalik dengan nampan berisi makanannya, laki-laki itu pura-pura sibuk dengan ponsel di tangan. Menggerakkan jarinya seakan ia tengah membaca sesuatu, tapi pada kenyataannya layar ponselnya masih mati.

“Lo gak mau pesen?” tanya Ines setelah kembali duduk.

“Oh, iya. Bentar gue pesen dulu, ya.”


“Gue pernah, tuh, diajakin nonton Manusia Sandiwara. Tapi gak ikut, kalau tahu ada lo, gue pasti bakal nonton setiap pertunjukannya.”

Ines mengaduk minumannya dengan malas karena mendengar pernyataan barusan. Perempuan itu melirik ke arah Keenan. “Kalau tahu ada gue? Lo mau nonton karyanya apa gue?”

“Jujur? Lo. Gue gak begitu menikmati musik.”

Ines menghembuskan napasnya. Sebenarnya, ia tak menyukai kejujuran barusan. Namun, karena laki-laki itu jujur, Ines memilih untuk tak membahasnya lagi.

“Gue tahu lo gak suka sama jawaban gue barusan. Maaf, ya. Mungkin awalnya bakal begitu, tapi lama-lama nonton kayaknya gue bakal turut menikmati karyanya,” ucap Keenan dengan tenang. Ines membahasnya dengan kedua alis yang terangkat.

“O-oke,” balas Ines dengan canggung. Agak tidak menyangka kalau laki-laki itu akan berkata demikian.

Keenan berdeham. “Lo mau kita ada perjanjian dulu atau enggak, Sa?”

Ah, akhirnya mereka masuk ke pembicaraan yang seharusnya.

Ines mengangguk sebagai jawaban. “Gue gak mau ada sexual activity dulu sebelum kita beneran akrab. At least, gue perlu percaya dulu sama lo.”

Keenan menatapnya sebelum mengukir senyuman tipis. Ia tertawa kecil lalu berkata, “Langsung ditembak. Tapi, oke. Gue bakal terima. Gue boleh ngajuin juga gak?”

“Boleh, di hubungan ini bukan hanya gue sendiri.”

“Selama kita nyoba, baik lo sama gue jangan menjalin hubungan sama yang lain. Kalau lo baru punya crush jangan dulu confess gitu, lah. Gimana?”

“Oke, gue gak punya seseorang yang gue suka, kok. Kalau iya, gue gak akan main aplikasi ginian,” balas Ines.

Keenan tersenyum lagi. “Sip, itu aja, sih, dari gue.”

“Gue juga gak ada lagi. Just let it flow.”

Keenan memberikan anggukan. Laki-laki itu kemudian mengarahkan sebelah tangannya pada Ines, mengajak bersalaman. “Salaman dulu, lah. Sebagai pertanda kalau kita resmi.”

Ines menatapnya sekilas sebelum akhirnya membalas salaman itu. Dalam hati, ia berharap kalau laki-laki di hadapannya ini tak main-main dengan ucapannya.

Kedua tangan mereka sudah tak bertaut lagi. Keenan mengetukkan jarinya ke meja, bingung harus membicarakan apa lagi.

Oh, iya.

“Lo ada waktu sampai jam berapa?” tanya Keenan.

“Gue hari ini kosong.”

Keenan tersenyum lagi. “Gimana kalau jalan-jalan bentar di taman? Anggap aja kencan pertama. Kita bisa ngomongin banyak hal di sana. Tapi sore nanti gue harus kumpul. Gue bakal anter lo dulu sampai ke rumah.”

Ines menggeleng. “Gak usah dianter.”

“Iya, oke. Tapi mau gak jalan-jalannya?”

“Ayo,” balas Ines santai.

“Kalau gitu gue bayar makanan kita dulu, ya.”

Baru Keenan akan bangkit untuk membayar, tangan Ines sudah menahannya. Perempuan itu menyerahkan beberapa lembar uang padanya.

“Tolong, bayarin punya gue, ya. Itu uangnya.”

Keenan menatapnya lekat. Biasanya, ia akan bertemu dengan perempuan yng menginginkan makanan mereka dibayar olehnya. Namun, Ines berbeda.

Sosok ini, semakin menarik di matanya.