Semu
Luna itu punya ingatan yang bagus. Dia masih ingat bagaimana senyum lebar Tara terukir ketika laki-laki itu berhasil memotret dirinya memakai ponsel ayah.
“Ih, Tara jangan foto Luna!”
“Luna lucu, mirip hamster! Ayah, lihat foto yang diambil Tara. Luna lucu, 'kan?”
Luna juga masih ingat bagaimana Tara dengan ceria berlari ke arahnya. Tangannya mengangkat tinggi kamera yang baru saja ia dapatkan sebagai hadiah ulang tahun kelima belasnya.
“Luna, Tara dapat kamera! Tara resmi jadi fotografernya Luna mulai hari ini!”
“Tara kenapa foto aku terus, sih? Dari kecil semenjak pakai ponsel ayah sampai sekarang mau pakai kamera sendiri.”
“Luna cantik setiap saat, sayang kalau tidak diabadikan.”
“Kalau karena itu, Luna juga bisa foto sendiri.”
Tara menggeleng. “Tidak, selama Tara masih menyukai Luna. Tara akan selalu memotret Luna. Hasilnya juga Tara berikan ke Luna, 'kan, Tara tidak menyimpannya. Selain itu ...,
setiap kehadiran Luna itu berharga, dan Tara mau untuk selalu mengingatnya. Luna tidak lupa, 'kan? Tara tidak pandai mengingat.”
Iya, jika Luna memiliki ingatan yang baik, Tara sebaliknya.
Laki-laki itu ingin mengenang, tetapi semua yang bisa ia kenang ia berikan pada Luna. Perempuan itu kadang tidak paham kenapa Tara memotretnya dan memberikan berlembar-lembar foto itu padanya.
Namun, untuk sekarang. Luna lupa.
Luna tidak tahu kenapa ruangan dengan tembok putih itu berganti menjadi ruangan dengan warna lilac. Luna ingat ini rumahnya, tetapi ia lupa apa alasannya terduduk di ruang tengah sekarang.
“Ah, kenapa Luna diam di sini, ya? Lebih baik Luna ke kamar, tapi ...,” ia menggantung kalimatnya untuk melihat ke sekeliling, “Luna tidak ingat yang mana kamar Luna.”
Pintu yang terbuka mengambil alih fokus perempuan itu. Sosok yang sebelumnya terduduk di lantai karena melupakan posisi kamarnya sendiri, kini mengukir senyuman lebar begitu melihat siapa yang membuka pintu.
“Tara!” panggilnya, “Tara, masa Luna lupa kamar Luna ada di mana?”
Tara—sosok yang sedari tadi ia panggil bergeming. Laki-laki itu mengambil langkah lebar melewati Luna, menghasilkan wajah kesal dari yang lebih muda.
“Tara! Kok Luna diabaikan, sih?!”
Dengan langkah yang dihentakkan, sengaja untuk menunjukkan bahwa dirinya tengah berada dalam kekesalan. Luna mengikuti kemana langkah Tara pergi. Mulutnya tak berhenti memanggil sosok itu, Tara, Tara, dan Tara.
Namun, tak ada satu panggilan pun yang diberi balasan.
Luna bagaikan angin, dan ia tidak mengerti kenapa Tara mengabaikannya.
Kaki Tara berhenti, dan Luna yang masih sibuk mengomel sehingga ia tidak sadar kalau Tara sudah berhenti. Luna menabrak punggung Tara, dan itu berhasil membuat kekesalannya pada Tara semakin memuncak.
“Tara, kenapa, sih?! Tara kalau marah sama Luna karena Luna lupa kamar sendiri bilang. Luna, 'kan, sudah lama sejak terakhir datang ke sini.”
Tara masih diam. Laki-laki itu menatap pintu di depannya, tangannya menggantung di udara. Ragu untuk membuka pintu itu.
Luna terdiam, ikut menatap pada pintu yang sama. Matanya melebar ketika namanya terpajang di sana.
“Ah, ini kamar Luna! Bilang, dong, kalau Tara mau mengantarkan Luna, jangan diam terus. Tara tahu, 'kan, Luna tidak suka diabaikan.”
Tara membuka pintu itu, membuat Luna sekali lagi merengek bagai angin.
Tara sepertinya sudah menjadikan meja belajar Luna sebagai tujuan utamanya datang ke sini. Laki-laki itu melangkah tanpa ragu, berjongkok untuk membuka laci, dan mengeluarkan tiga album foto yang ada di dalamnya.
Tara duduk di kursi yang biasa Luna gunakan ketika belajar. Sementara si pemilik kamar berdiri di belakangnya, rasa kesalnya beralih menjadi penasaran dengan apa yang akan Tara lakukan pada album-album itu.
Tiga album itu berisi foto Luna yang diambil oleh Tara, seperti apa yang dikatakan laki-laki itu, ia tidak pernah menyimpan foto Luna untuk dirinya sendiri.
Tara membuka album pertama. Itu berisi foto-foto Luna ketika mereka masih anak-anak. Foto yang kebanyakan Tara ambil dengan ponsel milik ayah.
“Tara ingat tidak? Foto ini waktu kita pergi piknik ke taman, sedih deh soalnya hamster Tara hilang waktu itu. Terus Tara menangis,” ucap Luna sembari menunjuk pada foto dirinya dengan sebuah topi yang kebesaran dengan latar taman.
“Tara ingat sama foto ini, Luna,” ujar Tara, “karena Tara keasikan ambil foto Luna, Tara sampai lupa untuk menutup kandang Leo. Jadinya dia kabur.”
Luna tak dapat menahan dirinya untuk tersenyum ketika akhirnya ia bisa mendengarkan suara Tara lagi.
Seiring dengan halaman yang Tara buka, Luna terus berbicara. Tara hanya melihat-lihat dengan diam hingga album itu mencapai halaman terakhir.
Beralih pada album kedua yang berisi foto-foto saat mereka remaja, kebanyakan diambil dengan kamera pertama yang Tara dapatkan sebagai hadiah ulang tahunnya.
Luna sesekali akan membicarakan momen dibalik foto-foto itu, tapi Tara tak lagi bersuara. Laki-laki itu kadang akan berhenti untuk menatap sebuah foto lebih lama, mengelusnya dengan ibu jari kemudian beralih.
Mata Tara menunjukkan kerinduan, laki-laki itu tengah mencoba mengenang ketika ia sadar betul kalau ingatannya tidak pernah benar-benar mendukungnya.
Di album ketiga, tidak semua halaman terisi. Hanya tiga halaman pertama saja.
Luna yakin, ini sudah lama sejak foto terakhir yang ada di dalam album itu. Kenapa Tara tak lagi membuat Luna mengisi album itu dengan foto yang diambil oleh Tara?
Apakah Tara marah karena Luna sudah lama tidak pulang?
Tidak, pasti Tara sudah tidak lagi menyukai Luna sekarang.
“Luna,” bisik Tara, ia kemudian mengeluarkan selembar foto berukuran kecil dari dompetnya.
“Foto ini tidak bagus. Fotonya kabur karena waktu memotretnya Tara terlalu bahagia,” ucap Tara pelan.
Luna mengamati dengan baik foto dirinya yang tengah memeluk sebuah buket bunga. Foto itu agak kabur, tapi Luna yakin kalau itu memang dirinya. Namun, saat kapan?
“Luna tidak ingat dengan foto ini. Ini waktu kapan, Tara?” tanya Luna.
“Seharusnya album ini sudah terisi penuh, 'kan, Luna? Tapi, maaf ... sekarang Tara tidak bisa lagi memotret Luna.”
“Kenapa tidak bisa? Kenapa Tara tidak pernah lagi memotret Luna? Tara sudah tidak suka sama Luna, ya?” tanya Luna dengan panik.
Tidak, ia tidak akan sanggup jika itu menjadi sebuah kenyataan.
“Luna, Tara memang tidak pandai mengingat. Namun, kenapa kejadian waktu itu selalu berhasil Tara ingat, ya? Seharusnya waktu itu Tara saja yang mendatangi Luna, bukan sebaliknya.”
“Tara, kenapa menangis? Luna tidak bisa ingat dengan apa yang Tara katakan. Apa yang terjadi?”
“Kalau saja Tara yang mendatangi Luna. Mungkin album ini masih bisa terisi penuh walaupun bukan Tara lagi yang memotret Luna.”
“Tara, Luna di sini. Cepat ambil kamera dan foto Luna lagi, ayo isi halaman kosong album ini. Setelah itu Tara tidak akan menangis, 'kan? Luna tidak suka kalau Tara bersedih.”
Hening. Tara menangis, mulutnya tak ia biarkan bersuara lagi. Sesekali isakan akan lolos dari sosok yang tengah menunduk itu.
Pintu kamar Luna kembali dibuka. Kali ini sosok ibunya yang ada di sana. Wanita itu berdiri di ambang pintu.
“Ibu kira Tara tidak akan datang hari ini,” ucapnya.
Tara berdiri, ia dengan cepat mengusap wajahnya agar tidak terlihat seperti baru menangis. Namun, matanya tetap saja tidak bisa membohongi ibu.
“Ibu, maaf Tara masuk sembarangan. Tara cuma mau menyimpan foto terakhir Luna yang Tara simpan di dompet,” jawab Tara sembari memasukkan kembali album-album itu pada tempatnya semula.
“Tara bisa membawa mereka pulang.”
Tara menggeleng. “Itu milik Luna, Bu. Bukan milik Tara,” jawabnya.
Luna berjalan menuju ibunya, berniat untuk mengadukan sikap Tara.
“Ibu, kenapa Tara tidak lagi memotret Luna? Tara sudah tidak suka Luna, ya, Bu? Atau Tara membenci Luna karena Luna sudah lama tidak pulang ke sini sampai lupa kamar sendiri?”
“Sebelum pulang, Tara makan di sini dulu, yuk? Temani ibu,” ucap ibunya pada Tara, sama sekali tidak memberi jawaban pada Luna.
“Boleh, Bu. Tara hubungi bunda dulu, ya,” balas Tara.
“Ayo, Tara. Temani ibu memasak.”
“Baik, Bu.”
Ibu berbalik, menjauhi kamar Luna. Tara menyusul setelahnya, melewati Luna begitu saja.
Luna mematung di sana. Matanya menatap punggung Ibu dan Tara yang berjalan berdampingan dengan langkah yang lambat.
“Kenapa Tara dan Ibu mengabaikan Luna?”
“Bu, saat di kamar tadi, Tara seperti tidak merasa kalau sedang sendirian. Aneh sekali.”
“Mungkin Luna sedang mengunjungi kamarnya, Tara.”
—honeyshison