Semu 2

Sejak kecil, Tara selalu kesulitan untuk memgingat—tepatnya, ia terlalu mudah untuk melupakan.

Itu bukan keinginannya.

Di sore hari, Tara kecil akan pergi ke lapangan. Melibatkan diri untuk ikut menendang bola bersama teman-teman yang lain. Lalu, ketika pulang ke rumah dan selesai membersihkan diri. Pasti laki-laki itu akan mengajukan pertanyaan yang sama di setiap harinya.

“Bunda, Tara hari ini sudah menyelesaikan apa?”

Tara juga pernah seharian dibuat tertawa karena ayah membawanya ke kebun binatang. Anak itu kegirangan begitu melihat hewan-hewan yang sejauh ini hanya bisa ia jumpai di balik layar televisi.

Dengan segala antusias yang membuat energinya terkuras banyak, Tara pasti akan tidur di perjalanan pulang. Begitu bangun dan mobil yang mereka tumpangi belum terparkir di halaman, Tara pasti akan bertanya, “Kita habis dari mana?”

Melupakan perasaan senang yang ia dapatkan di hari itu.

Tidak. Bukan berarti Tara melupakan secara keseluruhan. Ia dapat mengingat lagi, tapi tak detik itu juga. Mungkin Tara akan mengingatnya bertahun-tahun kemudian.

Tara pernah melihat ayah sibuk dengan ponselnya. Yang ketika Tara cari, ternyata laki-laki itu tengah melihat potret Tara yang entah kapan diambilnya.

Ketika Tara bermain, makan—nyaris apa pun yang anaknya itu lakukan, ayah mengabadikannya.

“Kenapa ayah menyimpan banyak foto Tara?”

Kepalanya diusap. “Nanti, bukan hanya ayah, tapi ingatan ayah juga akan menua. Ayah tidak ingin benar-benar melupakan Tara, terlebih saat masih kecil seperti sekarang. Jadi, ayah menyimpannya supaya selalu bisa mengenangnya.”

“Ayah, Tara masih kecil. Apa Tara juga bisa melakukan hal yang sama dengan ayah? Tara tidak ingin melupakan dengan cepat.”

Sekali lagi, ada elusan di puncak kepala Tara. “Bisa, Nak. Tara boleh pakai ponsel ayah kalau ingin memotret sesuatu.”

Bertemu dengan Luna, rasanya membuat Tara begitu memandang perempuan itu dengan puja.

Ingatan Luna betah berada dalam dirinya, belum lagi perempuan itu senantiasa membagikan ceritanya pada Tara. Setiap Luna berbicara, Tara akan selalu mendengarkan.

Laki-laki itu merasa kagum tentang bagaimana Luna menyampaikan memorinya. Hal yang selalu gagal Tara lakukan.

Sayangnya, Tara tetap bisa melupakan apa saja yang ia lalui bersama Luna.

Ketika Luna tampil di hadapannya dengan rambut yang diikat rendah, disertai sebuah jepit berbentuk pita. Untuk pertama kalinya, di hari itu Tara menerima tawaran ayahnya.

“Ayah! Tara ingin memotret Luna!”

Di hari itu juga, ia berharap kalau ia tak melupakan segala hal yang Luna beri padanya, setiap detik yang mereka lalui bersama.

Namun, Tara gagal.


Luna dan senyumannya adalah sebuah pemandangan yang sangat layak untuk dilihat. Di setiap bidikan tara, ada rasa bahagia yang muncul ketika Luna tengah tersenyum. Terlebih jika itu karenanya.

Meski keesokan harinya ia akan lupa akan alasan Luna tersenyum. Setidaknya dari foto-foto yang ia ambil, ia bisa mencoba untuk mengingat.

Foto-foto itu memang ia berikan lagi kepada Luna. Terkadang Tara akan menambahkan catatan singkat di balik foto itu.

Luna senyum soalnya Tara kasih es krim.

Luna hari ini seneng karena dia menang lomba.

Luna, Luna, dan Luna.

Dunia Tara akan selalu berputar pada sosok itu—ralat.

Dunia Tara memang berputar untuk Luna.

“Tara! Hari ini Luna kesal, masa bosnya Luna marah-marah terus?! Tidak jelas lagi karena apa.”

Baru saja dibicarakan, sosok itu sudah ada di hadapannya sekarang. Tara tentunya tidak bisa untuk tidak tersenyum ketika melihat perempuan itu.

Tangan Tara bergerak, mengusap pucuk kepala Luna. Secara ajaib, segala emosi Luna yang tertahan di ujung lidah berhasil tertelan lagi. Tara selalu berhasil menghadirkan rasa aman untuk Luna.

“Taraaa!” panggilnya seraya menarik lengan yang lebih tua untuk ia peluk.

“Eh, kenapa Tara menunggu di luar mobil?”

“Tidak ada alasan khusus, sedang ingin saja.”

“Luna kira karena ini ulang tahun Luna,” ucap perempuan itu dengan nada yang pelan, disertai harapan bahwa Tara tidak akan mendengarnya.

Jarak antara keduanya dan bagaimana kedua tangan Luna menghiasi lengannya, tentu menghancurkan harapan Luna. Tara tetap bisa mendengarnya.

“Luna boleh menyimpulkan seperti itu, kok.”

Bibir Luna mencebik. “Tidak mau.”

Tara terkekeh. “Kejutannya ada di mobil, Luna. Makanya aku keluar.”

Mata Luna membulat, memandang laki-laki itu tidak terima.

“Sekarang jadi bukan kejutan lagi dong, Tara sayang.”

“Tidak apa, ujungnya itu tetap akan menjadi milik Luna.”

Tara membukakan pintu untuk Luna sebelum akhirnya ikut memasuki mobil itu. Begitu masuk, Luna sudah duduk manis di sana. Lengkap dengan sebuah buket bunga di pelukannya.

Tara sengaja meletakkan bunga itu di tempat duduk Luna. Agar perempuan itu bisa langsung mengambilnya. Agar Luna tahu, bahwa itu memang untuknya.

“Ini buat Luna?”

Tara tersenyum lebar. “Iya, Luna suka?”

“Suka!”

“Ada lagi hadiahnya,” kata Tara seraya meraih sesuatu dari saku jaketnya. Tanpa berbasa-basi ia langsung menunjukkan itu pada Luna.

Menunjukkan sebuah cincin pada perempuan yang mungkin saja bisa menyetarai bundanya.

Membiarkan Luna dengan dengan segala keterkejutannya.

“Luna tahu kalau Tara punya ingatan yang buruk. Tapi, Luna tidak pernah marah ketika Tara tidak bisa mengingat apa yang ingin Luna bahas. Luna selalu berusaha untuk memahami Tara.”

“Tara ingin selalu mendengarkan Luna. Tara akan selalu berusaha untuk mengingat apa yang Luna bahas. Tara tidak akan menyerah dalam mempertahankan ingatan Tara.”

Tara berhenti sejenak. Kini sebelah tangannya menghiasi pipi Luna. Ibu jarinya mengusap pelan sebelum kembali berkata, “Luna bersedia untuk terus bersama Tara, tidak? Nanti kita akan pulang bersama ke rumah kita, bukan ke rumah Tara atau rumah Luna lagi.”

Ada jeda sebelum Luna membalas. Secara perlahan, ia kembali mengukir senyuman lagi.

Cantik.

Luna selalu cantik.

“Luna mau, Tara.”

Tara tersenyum lebar. Ia meraih sebelah tangan Luna, menghiasi salah satu jarinya dengan cincin, mengakhiri dengan sebuah kecupan di punggung tangan.

Luna bahagia, perempuan itu memeluk erat bunganya dengan senyum yang masih senantiasa ia tampilkan.

Tara harus mengabadikannya.

Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya. Namun, selanjutnya ia terpaksa menekan asal karena Luna tiba-tiba memeluknya.

Menghasilkan foto yang agak kabur.

Namun, tak apa. Tara yakin ia masih bisa mengambil foto Luna nanti. Foto itu tidak akan menjadi yang terakhir.

“Selamat ulang tahun, Luna sayang. Terima kasih karena mau menerima Tara. Luna ingin makan apa? Tara traktir, ya?”

Tara bisa merasakan gelengan dari Luna yang masih menyembunyikan wajah di dadanya. Perempuan itu kemudian mendongak.

“Ini hari ulang tahun Luna, harusnya Tara yang Luna traktir.”

“Tak apa, anggap saja hadiah terakhir untuk hari ini? Makan malam nanti, Luna bisa memasak untuk Tara.”

Luna mengangguk, menyanggupi kalimat Tara.

“Beli jus saja, ya, Tara? Di tempat yang biasa kita beli, tapi dibawa pulang ke rumah.”

Tara mengangguk. “Boleh. Pelukannya boleh dilepas dulu, Luna? Tara tidak bisa menyetir kalau seperti ini.”

Luna tertawa kecil. Perempuan itu menjauh, menyamankan dirinya, dan membiarkan Tara melajukan kendaraan yang keduanya naiki.

“Luna tunggu di sini saja, ya. Biar Tara yang beli, seperti biasa, 'kan?”

Luna mengangguk, ia menurut. Tara mengusak pucuk kepalanya satu kali lagi, kemudian keluar dari mobil.

Tara meninggalkan ponselnya. Ketika laki-laki itu belum kembali, ada panggilan yang masuk. Melihat siapa pemanggilnya, Luna tahu kalau orang itu penting untuk Tara.

Atasan Tara.

Luna meletakkan bunganya, mengambil ponsel Tara, kemudian ke luar dari mobil. Ia melihat Tara yang masih mengantri di seberang sana. Laki-laki itu sengaja parkir di sini karena banyak kendaraan pembeli lain di tempat itu.

Menyadari Luna keluar dari mobil. Tara melemparkan tatapan heran, Luna segera menunjukkan alasannya keluar dari mobil.

Tara dengan cepat memahami itu, ia menunjuk pada dirinya sendiri sebelum menunjuk pada Luna. Mengisyaratkan kalau ia akan menghampiri perempuan itu.

Luna langsung menggeleng ribut. Dia melakukan gerakan yang sama dengan Tara. Mengatakan bahwa lebih baik ia yang menghampiri Tara.

Tara mau tidak mau setuju.

Luna berlari kecil dalam jalannya menghampiri Tara.

Di hari itu, Luna tidak pernah sampai. Ia gagal dalam mendatangi Tara yang ada di seberang jalan.

Luna berhenti di pertengahan, dan Tara yang langsung berlari dengan panik ke arahnya.

Luna mengingkari ucapannya tentang mereka yang akan terus bersama.


Tara terbangun dengan segala perasaan sesak yang ada. Ia bosan bersedih, ia tak ingin lagi didatangi oleh ingatan itu.

Ingatan Tara itu buruk. Namun, untuk yang satu ini ia selalu mengingatnya.

Bagaimana tubuh Luna terhempas, wajah sakit, dan terakhir kalinya perempuan itu memanggil nama Tara. Semuanya seakan masih terasa segar dalam ingatannya.

Bahkan, itu sudah lama berlalu.

Tara mengusap wajahnya kasar, berharap hal itu bisa menghapuskan bayangan yang ia dapatkan ketika tidur.

Ia mengambil foto yang terpajang di atas laci kamarnya. Foto Luna dan dirinya ketika lulus kuliah.

Ibu jari Tara bergerak, mengusap potret Luna di sana.

Katanya, “Luna, Tara tidak ingin mempertahankan ingatan ini. Kenapa Tara selalu gagal melupakannya?”


-honeyshison