Semu 3

for #NulisBarengSVTW

Kwon Soonyoung as Tara Angkasa. Minatozaki Sana as Aluna Nathania.

tags : burnout, halusinasi, alur campuran.


Rentetan notifikasi di pagi hari membuat Tara menghembuskan napasnya dengan kasar. Padahal, seharusnya ia sudah terbiasa dengan semua ini.

Tara mematikan ponselnya tanpa membalas satu pun pesan yang masuk. Lalu, dia mengambil langkah lambat menuju luar kamarnya.

Dalam rumahnya sendiri pun, Tara tak merasa memiliki tujuan pasti. Ia bahkan tidak menyadari kalau kakinya membawa Tara menuju dapur.

“Tara? Sini makan dulu. Kemarin kamu minta bunda ingatkan kalau kamu ada panggilan untuk mendokumentasikan acara, 'kan?”

Tara tak membalasnya. Dia berdiri di hadapan lemari pendingin. Tangannya tergantung di udara, matanya menatap nanar pada apa yang ada di hadapannya.

Kedua anak dengan tinggi yang tidak jauh berbeda itu berjalan dengan mengendap-ngendap. Tujuan keduanya adalah lemari pendingin yang ada di ujung ruangan.

Tara memegang bahu Luna, menahannya untuk tak melanjutkan langkah. Ini belum lewat 30 menit sejak keduanya dimarahi oleh ibu karena nyaris menghabiskan lima es krim sekaligus.

Tara masih ingat dengan larangannya, mereka tak seharusnya melanggar. Namun, Luna malah mengajak Tara untuk mengambil satu es krim lagi. Katanya, biar tidak ganjil karena Luna tidak suka.

“Luna, kalau nanti dimarahin ibu lagi bagaimana?”

“Tidak akan, Tara,” balas Luna, “asal tidak ketahuan. Tara, 'kan, cowok. Jadi harus berani, dong!”

“Luna, Tara cuma tidak mau Luna dimarahi oleh ibu lagi. Kalau tidak menurut, Luna buat ibu sedih, loh. Memangnya Luna tega?”

Langkah Luna terhenti. Ia melepaskan tangannya yang semula memegang tangan Tara, kemudian melipatnya di depan dada.

“Ish, ya udah!” Luna berbalik, seraya melangkah dengan menghentakkan kakinya. Kebiasaannya kalau sedang kesal.

“Luna, jangan marah. Besok, 'kan, kita bisa makan es krim lagi.”

“Tidak bisa, besok pasti Tara akan lupa. Luna tidak suka kalau Tara sudah lupa.”

“Tara Angkasa,” panggil wanita itu sekali lagi. Bahu Tara ditepuk membuat anaknya kembali dari lamunannya.

“Kenapa, Tara?”

Tara menggeleng. “Maaf, Bun. Tara sedang tidak fokus,” jawabnya.

“Bunda di kulkas ada es krim tidak?” tanya Tara tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. Lengkap dengan wajah antusias yang sudah lama tidak ia tunjukkan.

“Eh? Tiba-tiba?”

“Kemarin, Luna bilang dia akan sedih kalau Tara lupa. Sekarang, Tara ingat kalau Luna mau makan es krim bersama lagi. Pasti Luna akan senang, 'kan, Bun?”


Jika Luna suka hujan, maka Tara suka bulan. Namun, Tara jarang memotretnya karena Tara mempunyai bulannya sendiri.

Jika keduanya pulang malam, Tara kadang memberhentikan mobilnya secara tiba-tiba. Ia akan menarik Luna untuk keluar dan sekali lagi mengarahkan kameranya pada Luna.

“Tara, Luna mengantuk.”

“Satu foto aja, Luna. Supaya Tara bisa ingat besok, kita hari ini ngapain aja.”

“Tara memang bisa ingat, ya? Fotonya juga ujungnya dikasih ke Luna.”

Tara mengangguk. “Bisa, setidaknya Tara bisa ingat bagaimana perasaan Tara hari ini. Tara senang karena sekali lagi bisa memotret bulannya Tara.”

“Luna bisa memastikan. Selama Tara masih sering memotret Luna, artinya Tara tetap menyukai Luna,” ucap Tara yang membuat senyum lebar terukir di wajah Luna.

Selain hujan, Luna suka bunga. Dia pandai merangkai, dan senyumannya tak akan hilang selama bunga tetap ada di sekitarnya. Luna juga menyukai alam terbuka, ia akan berlarian tanpa ragu jika sudah ada di sana.

Kata Luna, terkadang kita bisa menemukan sesuatu yang menarik kalau berlari. Luna juga sering menemukan ide-ide baru kala sebuah langkah ia ambil dengan cepat. Makanya, Luna suka dan menikmatinya.

Terkadang, Tara akan ikut berlari. Di waktu lain, Tara hanya akan mengamati dengan senyum yang tak lepas dari wajah dan kamera yang ia arahkan mengikuti gerakan Luna.

Ingatan Tara tidaklah baik. Ia bersyukur menemukan benda yang bisa mengabadikan setiap kejadian yang ia lewati. Dengan itu, Tara tak akan melupakan apa yang telah ia lakukan dengan Luna dan membuat perempuan itu bersedih karena Tara lupa.

Meski pada kenyataannya, Tara selalu berusaha untuk tidak lupa setelah tertidur sepanjang malam.

Tara tak menyimpan semua fotonya. Di esok hari, ia pasti akan menyerahkan berlembar-lembar foto kepada objeknya. Kepada Luna yang hampir mempunyai tiga album berisi fotonya sendiri yang diambil Tara.

“Tara! Ini tempat yang nyaman, 'kan? Rasanya, Luna mau di sini terus dan tidak kembali lagi. Bos Luna nyebelin soal—”

“Tolong lebih fokus, Tara. Acara sudah berlangsung setengah jalan, tapi foto yang kamu ambil semuanya kabur.”

Tara sedikit tersentak. Ia dengan cepat mengendalikan dirinya.

Ini tempat yang sama ketika Tara bisa melihat Luna berlarian dan mengambil potretnya. Namun, tujuan Tara datang ke sini bukanlah Luna, melainkan pekerjaannya.

Yang sedang coba Tara ambil potretnya juga bukan Luna, tapi sebuah acara yang tidak benar-benar Tara perhatikan. Ia bahkan mendokumentasikannya secara asal.

Tara dan kameranya tak lagi dapat seiras.

“Tara, dengar tidak?! Kamu ini serius tidak, sih, dalam bekerja? Kamu sekarang tidak profesional dan saya kecewa, Ta—”

Atasannya itu tak melanjutkan ucapannya akibat Tara yang secara tiba-tiba membanting kameranya dengan keras. Benda yang selalu Tara puja itu, kini tak lagi berbentuk. Hancur bersama kenangan yang ada di dalamnya.

“Pak, saya sudah bilang dari kemarin-kemarin kalau saya sudah tidak bisa memotret. Tapi, kalian tetap kukuh mau saya terus bekerja di sini!”

Napas Tara tak teratur. Ia menggelengkan kepalanya dengan ribut sebelum akhirnya berlari dari sana. Tara tak ingin membiarkan dirinya yang sedang dalam amarah dengan banyak orang di sekitarnya.


Dalam kehidupan Tara dengan ingatan payahnya, kamera adalah benda yang tak bisa jauh dari genggaman. Luna akan selalu menjadi objek utama Tara, sosok itu kini tak ada dan Tara tak lagi merasa layak, bahkan untuk sekedar memegang sebuah kamera.

Seluruh waktu di hidup Tara, semuanya hampir selalu bersama Luna. Jika saja mobil waktu itu tak hadir dalam perjalanan Luna menuju Tara. Mungkin keduanya akan terus bersama-sama hingga sekarang.

Tara melepaskan kalungnya, menatap dua buah cincin yang sempat ia berikan pada Luna di sana. Dua cincin dengan salah satunya yang kini mau tak mau harus menjadi milik Tara lagi.

Ia meletakkan kalung itu di atas tumpukan tiga album foto milik Luna, lalu mendudukan dirinya di tempat tidur. Foto-foto itu juga bahkan kembali pada Tara sekarang.

Semua yang Tara beri pada Luna, kini Luna kembalikan padanya meski tak ia serahkan secara langsung. Di sisi lain, apa yang Luna berikan pada Tara, tak bisa ia kembalikan pada perempuan itu dengan mudah.

Tara kesulitan, ia tanpa sadar terus menjalani hari dengan perasaan yang menggantung di antara sesak dan hampa.

Suara pintu yang terbuka membuat kepala Tara menoleh. Mata Tara bergetar melihat sosok perempuan dengan rambut yang diikat rendah. Dia tersenyum lebar sebelum berlari ke arah Tara untuk memeluknya.

“Tara! Luna kangen, tahu. Kenapa Tara tidak datang ke rumah Luna? Padahal rumah kita cuma dibatasi oleh tiga rumah.”

Tara terdiam. Suara Luna terdengar nyata, tapi pelukannya hampa. Sosok Luna ada di hadapannya, dia yang kini memandang Tara dengan sedih.

“Tara, tidak dengar Luna lagi, ya?” tanyanya, terdengar kecewa.

“Luna,” panggil Tara dengan pelan, tapi itu berhasil membuat senyuman Luna kembali terukir.

Setelah sekian lama, Tara dapat melihat senyuman itu lagi. Senyuman bahagia Luna yang keluar karenanya.

“Luna senang, sekarang Tara sudah bisa dengar Luna lagi!” balas Luna dengan tawa kecil di akhir. Perempuan itu sedikit menjauh dari Tara, untuk melihat album fotonya.

“Ah, pantas Luna cari di kamar tidak ada. Ternyata, dibawa oleh Tara,” ucap Luna, “Tara sudah tidak mudah melupakan Luna, 'kan?”

“Luna,” panggil Tara sekali lagi, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tara mengabaikan ucapan Luna sebelumnya.

“Iya, Tara?” jawab Luna sambil melihat ke arah Tara.

“Tara, sekarang tidak sedang salah melihat, 'kan?”

“Tidak, dong,” ujar Luna sembari mengambil kalung yang sedari tadi menarik perhatiannya. Kemudian mengamatinya dengan lekat.

“Ini beneran Luna, tahu. Memangnya ada Luna lain di kehidupan Tara? Ada Luna lain yang Tara suka sampai terus Tara ambil potretnya?”

“Tidak ada, cuma ada satu Luna. Cuma ada satu bulannya Tara dan itu Luna yang sekarang sedang Tara lihat.”

“Sama!” balas Luna dengan ceria, “walau bintang yang mendampingi bulan itu ada banyak. Tapi, Luna cuma punya satu bintang dan itu Tara.”

Tara tersenyum mendengarnya. “Tara senang bisa melihat Luna lagi. Tara kira, Tara tidak akan pernah melihat Luna lagi setelah waktu itu.”

“Waktu itu apa, Tara? Luna tidak ingat dengan apa yang Tara bicarakan. Omong-omong ini juga cincin punya siapa, Tara?” tanya Luna, menatap Tara dengan penasaran.

Tara terdiam, senyumannya luntur seketika.

“Luna tidak ingat? Ini cincin kita yang Tara kasih waktu ulang tahun kamu. Tara juga waktu itu kasih bunga kesukaan Luna.”

Mata Luna membulat, kemudian ia berdecak. “Ah itu pasti bahagia, ya? Maaf, Tara, bisa-bisanya Luna melupakannya.”

Tara menggeleng. “Tak apa, Tara juga sering lupa. Anggap saja kita impas, ya? Yang penting, Luna ada di sini sekarang.”

Luna mengangguk dengan semangat. “Luna tidak akan ke mana-mana lagi kok, Tara!”

Tara bahagia, tapi rasanya ia kesulitan menerima ini sebagai momen yang nyata. Padahal Luna benar-benar ada di hadapannya dan senyuman yang Luna beri pun, tak ada perubahan.

“Tara Angkasa!”

Kedua sisi wajah Tara ditekan, tubuhnya digoyangkan. Tak ada Luna lagi di hadapannya, hanya ada wajah bunda yang memandangnya khawatir.

“Bu-bunda, Luna mana? Tadi, dia ada di sini.”

Pertanyaan Tara tak dijawab, bunda langsung memeluknya. Mendengar isakan yang ibunya keluarkan, segala perasaan sesak Tara kembali memuncak seketika.

Melihat reaksi bunda, Tara sadar.

Luna yang ia lihat dan ajak bicara tadi, tidaklah nyata.

Tara membalas pelukan bundanya, menenggelamkan kepalanya pada pundak wanita yang telah melahirkannya itu. Tubuh Tara bergetar, secara perlahan tangisnya pun pecah.

“Bunda,” panggil Tara dengan lemah.

Tara tak bisa membiarkan bunda terus melihatnya seperti ini. Luna pergi dan kebersamaan mereka memang menghilang. Namun, Tara tetap ada dan harus melanjutkan kehidupannya.

Luna adalah sosok yang pantas dikenang. Ingatannya yang bisa terjaga dengan baik, berbeda dengan milik Tara. Itu membuat Tara tak pernah berhenti memandang kagum pada perempuan itu.

Luna adalah orang yang terlalu berharga untuk Tara lupakan. Laki-laki itu sering memotretnya sebagai salah satu usaha untuk tak melupakan Luna.

Namun, untuk kali ini,

“Tara ... mau melupakan Luna.”


—honeyshison