ssydra

Soonyoung, Sana – 1.


Soonyoung terkadang sering memikirkan alasan dibalik sesuatu yang terjadi padanya di hari itu. Jika bertemu dengan seseorang tanpa tuntutan seperti pekerjaan, ia akan semakin mempertanyakannya.

Kenapa dia harus dipertemukan dengan seseorang yang ujungnya hanya untuk saling menyapa?

Soonyoung tahu hubungan seseorang dengan seseorang lain tidaklah sesederhana pemikirannya barusan. Tapi sejauh ini dengan kehidupannya, Soonyoung merasa seperti itu.

Pemikirannya itu terasa dihancurkan begitu saja ketika ia bertemu dengan Sana.

Niatnya sederhana, hanya karena permintaan Seungyoun. Tetapi, lihatlah sekarang.

Ia ada dalam satu meja bersama keluarga Sana, datang sebagai kekasih dan larut dengan obrolan keluarga itu. Soonyoung bisa menilai kalau sebenarnya keluarga Sana hangat, mungkin ada beberapa hal yang bisa membuat mereka seolah asing seketika. Seperti saat dia menjemput Sana waktu itu.

Namun ternyata, ada kejadian tidak terduga lain pada hari itu.

Sosok yang Sana bilang tidak akan pulang, ternyata hadir ketika Soonyoung sudah berpamitan. Membuat laki-laki itu harus kembali duduk di dalam rumah, bedanya kali ini di ruang tengah.

Soonyoung paham dengan keadaan ini. Meskipun Sana sudah menatapnya karena merasa tidak enak, bergumam maaf beberapa kali dan mencoba membuat alibi agar Soonyoung bisa pulang—yang ujungnya tidak diacuhkan sama sekali.

Laki-laki itu mencoba untuk tenang.

“Pa, Soonyoung capek ... lain kali Sana undang lagi Soonyoungnya, ya.” Sana berujar kembali, sekali lagi ia disambut dengan sebuah gelengan dari ayahnya.

“Aku gak papa,” bisik Soonyoung, mencoba membuat perempuan itu tenang.

“Pa, Soonyoung ini ngajar di akademi dia lulusan seni tari. Sudah Mama restui, Papa tenang saja.”

Seolah memancing api agar semakin membara, kalimat dari Mama Sana justru membuat suasana terasa panas seketika.

“Papa gak mau menantu anak seni, mereka terlalu bebas. Mama yakin Sana bisa bahagia kalau menikah dengan dia?”

“Pa, anaknya masih pacaran belum sampai ke menikah. Papa bisa beri kesempatan untuk mereka dulu dulu, anak seni gak seburuk yang Papa pikirkan.”

Benar kata Sana, mereka berdebat.

“Papa tetep gak setuju, anak-anak seperti dia ini gak punya jaminan untuk Sana bahagia.”

“Papa, kebahagiaan Sana bukan cuma di uang—”

“Tetap saja! Tanpa uang bagaimana bisa melanjutkan hidup!”

“Papa, jangan main bentak! Kita sedang ada tamu!”

“Ya ampun, Soonyoung maaf.” Sana berbisik lagi, sementara Soonyoung tersenyum tipis. Ia sengaja diam agar bisa memahami keadaan, supaya ia tidak salah dalam berkata yang mana itu akan membuat semuanya bertambah buruk.

Dugaan Soonyoung punya kemungkinan salah. Namun, ia berharap itu tak melenceng terlalu jauh.

“Uhm, maaf Papa dan Mamanya Sana saya ijin menyela.”

Hening seketika. Mereka cukup terkejut karena Soonyoung berani menyela perdebatan mereka dan sekarang laki-laki itu malah memainkan ponselnya, mencari sesuatu.

“Om, saya gak tahu hubungan saya dan Sana akan bertahan sampai kapan. Tetapi, jika nanti kami sampai di titik untuk memulai hidup baru, saya ingin kalian berdua sama-sama yakin.”

Soonyoung menaruh ponselnya di meja, ia dekatkan pada Papa Sana yang duduk dihadapannya. Kedua orang tua Sana langsung melihatnya apa yang berusaha Soonyoung tunjukkan pada mereka.

“Saya di akademi tidak akan lama, sekarang saya sedang masa percobaan oleh Papa untuk memegang perusahaan. Saya memang masih belajar, tapi saya sudah cukup banyak dilibatkan.”

Belum ada reaksi. Kedua orang tua Sana mengamati baik-baik apa yang Soonyoung tunjukan, sementara Sana menatap laki-laki itu tak percaya.

“Tenang ya, Sana.” Soonyoung tersenyum tipis, tangannya bergerak untuk menepuk tangan kanan Sana pelan, berharap hal itu akan membuat Sana sedikit tenang.

Soonyoung paham betul bagaimana rasanya menjadi saksi perdebatan kedua orang tua. Terlebih jika topiknya itu diri sendiri.

Sangat tidak enak.

“Perusahaan rekan kerja Papa ... kamu anak keduanya?”

Soonyoung menggeleng. “Saya anak pertamanya.”

“Dia waktu itu bilang kalau anak kedua yang akan melanjutkannya perusahaannya.”

“Awalnya memang begitu, makanya saya kuliah jurusan tari. Maaf saya belum bisa menceritakannya, yang jelas itu sudah dialihkan kepada saya.”

“Siapa namamu tadi?”

Soonyoung tersenyum tipis. “Soonyoung.”

“Kita harus bicara berdua, ikuti saya.”

Soonyoung bertemu Sana karena Seungyoun yang meminta untuk menjemputnya, seharusnya tak ada hal lain yang harus keduanya bicarakan lagi.

Namun, sekarang Soonyoung malah meyakinkan orang tua Sana mengenai dirinya dan hubungan mereka.

Yang bahkan tak pernah mereka kehendaki.

Sebuah hubungan palsu.