taksa – ending.
Laki-laki itu melepaskan helmnya ketika dirinya sudah cukup lama terdiam di tempat semula motornya melaju. Ia tadi memilih untuk diam dulu karena menunggu tiga temannya yang lain.
Awan—si penantang angin yang sudah lama tidak turun itu adalah orangnya. Sesuai dugaan Awan, balapan antara mereka berempat itu akan dijuarai oleh dirinya, lalu Rendra, Kana, dan ditutup dengan Bisma.
“Gue masih jadi Awan yang suka nantang angin ternyata,” katanya setelah tiga orang itu membuka helm mereka masing-masing.
“Iya dah lo yang paling jago,” balas Kana membuat Awan tersenyum puas.
“Tapi walau kita balapan, jadi taksa lagi. Rasanya tetep beda, ya,” ucap Awan, “gak ada yang neriakin ... saingannya gak berasa. Terus ini bukan motor gue, itu aja, sih.”
“Mau gimana lagi? Sekarang kita sama-sama bawa nama yang harus dijaga,” ucap Rendra.
“Bener,” balas Bisma. Jika dipikirkan lagi, mungkin dia yang akan mendapatkan dampak paling berat kalau mereka kedapatan ikut balap liar lagi.
Mereka berempat terlibat hening untuk sekejap. Sebelum Rendra berjalan mendahului mereka, lalu duduk di tepi jalan. Di atas rerumputan hijau yang masih ramai.
“Sini duduk. Gue kalau lagi banyak pikiran suka diem di sini,” ajak Rendra dan dituruti oleh ketiga temannya.
Keempat laki-laki itu duduk di sana. Mengamati langit yang perlahan berubah menjadi jingga. Balapan mereka memang dilakukan di sore hari, langsung ketika Rendra baru saja pulang dari pekerjaannya. Terbukti dengan pakaian yang laki-laki itu kenakan.
“Gue sebenarnya gak pernah kepikiran bakal ke sini buat nemuin lo, dulu kita sama-sama pede lo bakal balik,” ucap Awan.
“Bener ... tahunya sekarang kita ada di sini, nemuin lo yang bakal tinggal di sini tentunya,” sahut Kana.
“Gue bakal tetep ke sana lah, mau gimana pun orang tua gue sama Shanaya masih di sana,” balas Rendra.
“Tetep beda gak sih? Lo ke sana tuh bukan buat pulang, cuma berkunjung aja,” kata Bisma dan Rendra tak membalas lagi. Dia tak ingin mengakui, tapi tak ingin menolak juga.
Rendra belum bisa memastikan hal itu sekarang.
“Kalian ke depannya mau gimana?” tanya Rendra, mengalihkan pembicaraan. Untungnya, yang lain sama sekali tak keberatan. Mereka bisa memahami kenapa Rendra mengalihkannya.
“Kayak gini aja kali, ya? Kerja sampe pusing, ngeluh dan marah-marah karena capek. Terus ujungnya semua kerjaan gue selesai dan gaji gue gede. Oh, sama usaha lebih buat dapetin hati camer,” jawab Awan.
“Ortunya Jennifer kenapa dah? Perasaan dulu lo berdua dijodohin, tapi sekarang malah ragu lagi sama lo?” tanya Kana. Ia sebenarnya sadar hal ini sejak lama. Namun, sering teralihkan ketika akan membahas dan Awan yang memilih diam adalah alasan kenapa ia baru bertanya sekarang.
“Beliau tau gue sempat ogah kerja dan putus sama Jennifer,” kata Awan diakhiri tawa tak minat. “Dipikir lagi kenapa, ya, dulu gue seogah itu kerja?”
“Lo keenakan dapetin duit pake cara naruhin nyawa,” balas Bisma sarkas. Dulu, 'kan, Awan selalu malas bekerja dengan alasan uang hasil balapan saja sudah cukup.
“Kerasa sekarang, 'kan, lo. Susah lagi dapetin restu,” sambung Bisma membuat Awan mendengus.
“Iya anjir, gue sadar. Tiap hari Jennifer bilang gitu, udah kenyang gue.”
Kana tersenyum lalu menepuk-nepuk pundak Awan, berniat memberi motivasi tanpa kata. “Semangat, kitten. I know you can do it. Lo, 'kan, si Awan penantang angin.”
Awan mengangguk. Tangannya yang terkepal menonjol udara, kosong. Menyemangati dirinya sendiri. “Yap, gue Awan pasti bisa!”
“Lo sendiri gimana, Kan? Belum ada tanda-tanda kalau Larena itu balasan lo?” tanya Awan sembari menoleh ke arah Kana, untuk melihat ekspresi wajahnya.
“Belum—gak ada deh. Cewek itu keterlaluan baik sama gue,” ucap Kana.
Kana itu lebih ekspresif dibandingkan yang lain. Jadi, akan lebih mudah untuk melihat dia sedang jujur atau sebaliknya.
“Lo sendiri udah dikasih baik gak jadi kurang ajar, 'kan?” tanya Rendra. Sebenarnya ia tahu bagaimana hubungan Kana dan Larena berlanjut, mengingat ibunya dan ibu Larena kelewat sering berbagi cerita.
Ini untuk menggertak Kana saja.
“Tenang, gue jadi anak baik kok, Bapak Tarendra. Adek lo gue jaga baik-baik, dia juga jagain gue dengan benar,” sahut Kana dengan cepat. Masih segar di kepalanya kalau, Larena itu banyak yang jaga, jadi siap-siap aja kalau dia bikin cewek itu nangis.'
Kana sudah kelewat paham.
“Bagus, gue bakal tetep ngamatin lo, loh,” balas Rendra dan Kana mengangguk paham.
“Lo udah nyiapin apa buat nikahin Larena?”
Kana mengerjapkan matanya beberapa kali. “Sebenarnya belum mau waktu dekat sih. Larena masih asik nyari yang dia mau dan jadi pegawai doang kayaknya gak cukup buat nikahin dia. Jadi, gue sebenarnya lagi ngumpulin modal buat bikin bengkel sendiri.”
“Keren,” ucap Bisma, “Semoga lancar deh, gue percaya lo bisa. Kalau butuh promosi hubungin gue aja.”
“Siap, bapak penyanyi. Lo sendiri gimana nih, mau nikahin Caca? Gue perhatiin makin sering pamer aja lo.”
“Belum kepikiran jujur. Lagian gue sama Caca juga belum lama pacarannya karena kontrak gue sama Arunika. Mungkin buat sekarang gue jalanin dulu aja,” jawab Bisma dan diangguki oleh yang lain.
“Yang katanya lo mau ambil jadi pemeran utama itu bener gak?” tanya Awan, ia sempat membaca artikel tentang salah satu novel yang akan dijadikan film. Nama Bisma menjadi salah satu orang yang kemungkinan akan menjadi tokoh utamanya.
“Kemarin sempat ada diskusi, tapi gak tahu. Tabrakan sama konser Arunika.”
“Lo-nya mau gak?”
Bisma mengangguk. “Mau aja, belajar hal baru.”
“Ini gue kejauhan ngelangkah, ya? Rencana gue malah nikah,” ucap Rendra.
“Gak sih. Kita, 'kan, emang punya pilihan masing-masing. Semua itu hak kita, 'kan? Lagian sebenarnya kita udah tua, udah pantes nikah,” ucap Kana.
“Tenang sih, bentar lagi gue nyusul,” sahut Awan.
“Jagain pasangan lo baik-baik, jaga diri lo sendiri juga,” sambung Bisma.
Rendra tertawa kecil, sebenarnya merasakan geli mendengar rangkaian kalimat yang dikeluarkan oleh teman-temannya barusan. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa menampik kalau ia terharu.
“Sebenarnya waktu kalian ke sini, ada satu hal yang gue syukuri,” ucap Rendra.
“Gue bersyukur karena pernikahan gue bisa kalian saksiin ketika kita masih teman akrab. Bukan cuma profesionalitas karena kita pernah temenan.”
Rendra ditarik ketika tamu sudah banyak berkurang. Ia sebenarnya bingung, tapi tetap menurut. Langkah empat laki-laki itu juga diikuti oleh pasangan mereka dengan sama bingungnya.
“Buka jas lo,” kata Awan.
“Heh, cowok gue mau lo apain?!” protes Naya langsung.
“Awan, jangan aneh-aneh,” ucap Jennifer.
“Enggak kok, tenang aja, sayang,” balas Awan dan ikut membuka jasnya. Mereka sama-sama mengenakan kemeja putih, sedangkan Rendra memakai kemeja berwarna cream, senada dengan gaun yang Naya kenakan.
“Kak Bis, ini mau ngapain sih?” tanya Caca, sedikit greget karena tiga sahabat itu agak ribut. Rendra yang bingung malah menurut tanpa curiga lagi.
Bisma cuma mengendikkan bahunya, memberi isyarat bahwa ia tak ingin memberi tahu. “Gak aneh-aneh, kok,” katanya kemudian.
Kana mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Lalu menyerahkan benda itu kepada Larena.
“Tolong fotoin dong,” katanya dan Larena cuma mengangguk. Mulai paham apa tujuan mereka menarik Rendra kemari.
“Okaay!”
“Hari ini, 'kan, lo nikah nih. Kita juga masing-masing udah bukan skripsi sama gengsi lagi yang dikejar. Mungkin kita ini udah hidup selayaknya orang dewasa pada umumnya, ditanya kapan nikah, merjuangin restu, ngelanjutin karir yang udah ada,” ucap Awan.
“Anggap aja hari ini tuh dimulainya bagian baru dari hidup kita. Masih tetap jadi Taksa walau bukan empat orang yang ikut balapan lagi. Pernikahan Rendra adalah pembuka dari cerita baru yang kita tulis. Foto yang kita ambil ini adalah pertanda dimulainya bagian baru yang gue maksud.”
Awan mengeluarkan selembar foto dari saku kemejanya. Foto yang sudah lama mereka ambil, mungkin itu adalah foto pertama mereka berempat. Pas lagi jamet-jametnya, kalau kata Kana.
“Kayak foto ini, dulu kita ambil setelah punya nama Taksa. Tanda kalau kita ada di kehidupan yang baru. Terus sekarang kita tetap sama-sama cuma hidup kita udah beda, udah bukan geng Taksa yang balapan lagi.”
Awan menatap Rendra, Kana, dan Bisma satu per satu. Matanya menatap penuh keyakinan kepada teman-temannya. Awan mengukir senyuman tipis.
“Gimana? Kalian masih mau bareng-bareng buat kehidupan baru kita yang sekarang?”
Tentunya, Awan menerima anggukan yang tak kalah meyakinkan dari ajakannya barusan.
—honeyshison.