taksa – jenwan
tags : kiss scene, harsh words, implicit sexual content.
note : ini merupakan remake dari oneshot Jennifer – Awan yang ada di bawah kepala thread Taksa. <—more—! >
Jennifer yang dulu, sebenarnya sangat malas dengan sosok Awan. Laki-laki itu awalnya terlihat pendiam, tapi ternyata dia terlalu dilepas.
Keluarga mereka bisa kenal karena kerja sama bisnis, klise memang, tapi itu juga alasan kenapa Jennifer bisa tahu sosok Awan ada di dunia ini.
Mungkin karena Jennifer adalah anak perempuan, ia tak merasakan tuntutan sebanyak yang Awan rasakan. Laki-laki itu merasa tak sejalan dengan bisnis, oleh karenanya dia mencoba memberontak.
Dari merokok, mulai berani minum, hingga ikut balapan. Dengan semua kenakalan yang Awan lakukan, lalu kenapa Jennifer masih dapat untuk laki-laki itu raih?
Jawabannya mudah, Jennifer terlanjur tahu tentang Awan. Pada faktanya, keluarga mereka tidak hanya sekedar menjalin hubungan bisnis. Namun juga berencana untuk menjodohkan keduanya guna meninggikan nama perusahaan masing-masing.
Awan tak pernah menerima dan menolak. Ia tak banyak bereaksi dan pada akhirnya memilih membiarkan semuanya mengalir.
Sementara Jennifer, pada awalnya memikirkan untuk menolak hubungan antara keduanya. Namun ketika ibu Awan bercerita tentang kenapa bisa Awan melakukan hal-hal itu, ada dorongan dalam hati Jennifer. I can fix him!
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka memang membaik. Seperti kata Awan, mereka membiarkan semuanya mengalir. Tahu-tahu saling sayang, tahu-tahu enggan melepas, tahu-tahu rela menyerahkan semuanya.
Namun kebiasaan Awan tak banyak berubah. Setidaknya, Jennifer bisa sedikit mengendalikan laki-laki itu karena sosok Awan berhasil ia buat jatuh. Jatuh kepadanya.
Awan memang tak menghilangkan kebiasaannya, terlebih memiliki nama yang sudah dikenal di dunia itu. Namun setidaknya, Awan sudah berhasil mengurangi.
Jennifer pikir itu sudah cukup. Pikirannya tetap bertahan hingga mereka berlibur bersama—saat di mana Awan malah mencium kekasih sahabatnya sendiri.
Malam itu, Jennifer merasa ditampar dengan keras. Kepercayaan dirinya akan sosok Awan seakan melepuh, keberaniannya untuk menegur Awan hilang tak bersisa.
Ia tahu betul kalau Awan mabuk. Itu tak bisa dijadikan alasan untuk Jennifer memaafkannya. Awan tak menyadari kesalahannya; harusnya ia mendengarkan Jennifer untuk tak bersikap aneh-aneh. Namun laki-laki itu tetap nekat dan pada ujungnya semua kacau.
Hubungan mereka berakhir dan sempat tak saling mengabari karena Jennifer menutup akses antara keduanya.
Jennifer sempat ingin mengatakan pada kedua orang tuanya kalau hubungannya dengan Awan tak berhasil. Namun menemui mereka agak sulit, jadi Jennifer terus menahan diri hingga tanpa sadar ia bisa menyaksikan bagaimana Awan dapat berdiri kokoh. Berdiri bukan sebagai seorang pembalap yang dikenal karena kemenangannya.
Didukung dengan kepergian Rendra keluar kota. Awan dan yang lain semakin jarang keluar malam nyaris pagi hanya untuk mendengar suara bising motor seperti biasanya.
Lalu hubungan antara mereka berdua sekarang menjadi sedikit lebih kaku. Belum ada status lagi karena Jennifer mengajukan tiga syarat pada Awan.
Pertama, jika Awan sudah menyelesaikan skripsinya maka Jennifer akan menemani kalau Awan sidang dan wisuda.
Kedua, jika Awan berhasil mendapat pekerjaan yang bukan karena ayahnya dan membuat Awan langsung mendapatkan posisi tinggi. Maka Jennifer meminta Awan untuk membelikan apa pun yang diinginkannya.
Ketiga, itu rahasia.
“Jen! Ayo ikut gue!”
Sepertinya Jennifer terlalu asik melamun sampai tidak sadar kalau ada Rendra di sini. Entah kapan dan bagaimana bisa laki-laki itu menarik Jennifer dari kamarnya.
Mungkin karena pelayannya. Karena dekat dengan Awan, berhasil membuat Jennifer mengenali tiba temannya.
“Eh? Lo udah balik ke sini? Ini gue mau dibawa ke mana hey?!” protes Jennifer, berusaha menahan diri agar tubuhnya tidak tertarik oleh Rendra.
Rendra dengan cepat menjelaskan apa tujuannya datang kepadanya secara singkat. Lalu setelah itu, menjadi Jennifer yang lebih buru-buru menarik Rendra.
Ada banyak orang di sana dengan mulut yang tak bisa diam. Di tempat ini, rasanya telinga sudah akrab dengan kebisingan. Teriakan yang bersahutan, malah rasanya akan aneh jika tidak ada.
Jennifer sudah tak begitu asing dengan tempat ini. Namun, ia tak berhasil menemukan kenyamanan untuk berlama-lama ada di sini.
Di antara teriakan itu, ada berbagai nama. Namun, yang paling sering terdengar adalah nama seseorang yang sudah tak asing dilihat dengan jaket merah hitamnya.
Awan Pradipta. Sosok yang baru saja kembali ikut balapan dan berhasil membuktikan kalau dirinya juga akan tetap menang meski dalam keadaan sakit.
“Lo lihat? Gue gak cupu,” ucap Awan dengan bangga. Ia berhasil menyelesaikan balapannya di tengah demam yang melanda.
“Ya, ya, gue akui. Pertahanin posisi lo, karena gue selalu siap kapan aja buat ambil itu.”
Awan memutar bola matanya. “Ya, ya, terus aja berekspektasi.”
Orang itu—Seno memperdengarkan gelak tawanya. Dia sebenarnya hanya ingin mengetahui saja kemampuan Awan. Tidak benar-benar berniat mengambil posisi laki-laki itu.
“Keren! Udah mendingan tuh kepala dipakein helm?” Kana menghampirinya sambil menyerahkan satu botol air mineral. Awan menerimanya dan langsung meminumnya hingga sisa setengah.
“Makin pening gue, anjir! Tadi sempat oleng, tapi gue lagi beruntung. Btw, Rendra belum balik juga?”
Tadi saat Awan akan balapan, ia dan Rendra sempat bertengkar. Lalu, ketika Awan menyalakan mesin motornya, laki-laki yang baru kembali ke sini lagi itu sudah tidak ada.
“Udah, tadi pergi lagi sama Bisma. Jalan kaki. Gue disuruh tungguin lo.”
Awan meringis. “Lo bonceng gue, ya, baliknya. Gak kuat kayaknya kalau balik ke apart.”
“Gue bawa motor sen—”
“Oy, Awan! Selamatbuat kesekian kalinya, ya, lo emang keren.”
“Hahaha, yoi, Bang, makasih.”
Kana memutar bola matanya malas. “Gue gak bisa anter lo, gue bawa motor hari ini. Mau lanjut ke puncak.”
“Terus gue gimana, dong? Rendra pasti sama Bis—”
“Gak, kamu sama aku, naik mobil aku. Nanti Rendra yang nyetirin kita.”
Awan dan Kana spontan menoleh ke asal suara. Mata Awan membulat begitu melihat sosok perempuan dengan rambut yang diikat itu.
Tiba-tiba ia merasa takut.
“Jen, aku—”
“Iya, kamu sakit,” potong Jennifer sembari mendekat. Awan terpaku di tempatnya, sudah lama ia dan mantan kekasihnya itu tak berada dalam jarak sedekat ini.
Jennifer berjinjit untuk memasangkan plester demam di dahi sang raja jalanan yang baru saja merayakan kemenangannya. Di depan semua orang yang masih menjadikan Awan sebagai pusat perhatian.
Dia tak peduli dengan itu. Bahkan Awan pun tak mengeluarkan penolakan meski pada faktanya hal ini berhasil mengurangi harga dirinya di depan orang-orang.
Benar. Dia diam karena ini Jennifer.
“Rendra nyimpen motornya di rumahku, motor kamu biar Bisma aja yang bawa. Sekarang, ayo pulang.”
Kala Rendra, Bisma, dan Kana berusaha membawa Awan pulang, mereka bertiga tak berhasil. Bahkan tadi Awan sempat membentak mereka saking tidak maunya pergi. Katanya, ada harga diri yang dipertaruhkan.
Namun, lihatlah sekarang. Hanya Jennifer yang bisa menarik paksa Awan dari ruang kekuasaannya. Lengkap dengan plester demam yang mungkin bisa saja mempermalukan Awan kalau ada seseorang yang mengambil fotonya dalam keadaan ini lalu disebarkan.
Kana menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sehebat apa pun orang yang berkuasa di jalanan. Kalau ada pacar, ya ... pacarnya yang berkuasa buat dirinya.”
Laki-laki itu sedikit meregangkan tubuhnya. “Emang bener pas Awan bilang kalau dia bukan bosnya taksa. Orang yang bos itu Jennifer.”
Lalu pergi menyusul teman-temannya yang sudah berencana untuk pulang itu.
“Ganti baju sana.”
Awan menghela napasnya. Raut wajah Jennifer sudah berubah sepenuhnya, tadi ia masih menunjukkan sikap normal karena ada Rendra. Sekarang terlihat jelas kalau perempuan itu tengah menahan kesal.
Jadi, Awan tidak mau banyak berulah dan memilih untuk menurut. Selesai mengganti pakaiannya, laki-laki itu tanpa kata merebahkan dirinya di tempat tidur karena kakinya sudah terasa lemas.
Mereka ada di kamar apartemennya, omong-omong.
“Sini deketan ....” Awan menepuk bagian kosong di tempat tidurnya. Jennifer mendengus, tapi tetap duduk di sana.
“Jangan maksain lagi ke depannya. Harga diri kamu udah aku habisin pake plester ini tadi.”
Awan tertawa kecil. “Kalau sama kamu, aku gak masalah.”
Jennifer mendengus sekali lagi.
“Tidur.”
“Obat tidurnya belum kamu kasih.”
Jennifer memutar bola matanya malas. Sedang sakit pun laki-laki ini masih kepikiran untuk mencari kesempatan. Padahal status keduanya sudah jelas belum kembali lagi.
“Kamu udah sering ngehadapin aku yang sakit. Jennifer sudah terverifikasi tidak akan tertular demamnya Awan. Aku janji habis itu bakal tidur. Hadiah juga, soalnya aku menang.”
Seolah tidak sadar dengan apa yang ia minta. Awan malah menunjukkan raut seolah tak berdosanya sekarang.
Jennifer menghela napasnya. “Fine, kecup pipi aja.”
“Okay,” balas Awan dengan antusias, tiba-tiba tidak terdengar lemah lagi. Tanpa banyak kata, perempuan itu menundukkan kepalanya, berniat mengecup pipi Awan sesuai apa yang dia ucapkan.
Jika Awan pandai mengalihkan lawannya ketika sedang balapan. Maka, ia juga pandai mengalihkan ke mana tujuan bibir Jennifer akan mendarat.
Jennifer sudah tidak terkejut lagi ketika bibir Awan menyambut miliknya. Suasana antara keduanya semakin didukung dengan laki-laki itu yang membalikkan posisi mereka.
Entah kemana sosok Awna yang lemas karena demam tadi pergi.
“Lanjut?”
“No, that kiss was the last,” ucap Jennifer sembari mendorong Awan dengan pelan, tentu itu tidak membuat laki-laki itu menjauh darinya. Jennifer juga tidak benar-benar berniat menciptakan jarak lebih luas di antara mereka.
“Jangan lupa, kita udah putus,” sambung perempuan itu karena sadar Awan tak berniat mengubah posisinya.
“Ya udah, tinggal balikan. Jennifer, ayo balikan. Ayo pacaran sama aku lagi.”
Entah efek demam atau apa, tapi ucapan Awan itu malah terkesan seperti tak sadar ia ucapkan. Ngaco dan spontan.
Jennifer menggeleng. “Jangan pura-pura lupa. Kamu belum laksanain persyaratan ketiga. Dia masih baik loh sampai rela jemput aku supaya kamu yang lagi sakit ini gak balapan. Walau tetap telat sih, karena rumahku jauh dari lokasi.”
“Harus banget, ya, yang syarat ketiga?” tanya Awan sembari menatap Jennifer dengan memohon. Namun, perempuan yang lebih tua beberapa bulan darinya itu sama sekali tidak luluh.
Jennifer sudah terbiasa menghadapi Awan yang seperti jni.
“You have kissed his girlfriend, Awan.“
“I was drunk that time. Kami sama-sama gak sadar.”
“That's not a reason, kesalahannya kamu adalah gak dengerin aku. Aku bilang buat gak aneh-aneh, tapi kamu tetap mau minum dan akhirnya hak itu kejadian.”
Awan menghembuskan napasnya dan memilih untuk duduk di sisi tempat tidur. Membiarkan Jennifer tetap terbaring.
“Tarendra sama Shanaya udah maafin aku, Jen,” balas Awan.
“Kamu tahu syaratnya bukan cuma itu.”
Bibir Awan melengkung seketika. “Sumpah! Syarat ketiga paling susah, Rendra mana mau nonjok aku.”
Jennifer membalas, “Ya, gak papa. Bukan aku yang rugi.”
Bibir Awan semakin melengkung ke bawah. Dengan pasrah ia berkata, “Ya udah besok aku minta tonjok dia. Sekarang udah, ya?”
“Belum,” jawab Jennifer membuat bahu Awan seperti merosot. Di mata Jennifer sekarang, Awan seperti anak kucing yang meminta makanan.
Tidak heran kenapa Kana memanggil laki-laki itu kitten terus-terusan.
“Oke, apa lagi?”
“Kamu gak boleh minum tanpa izin dariku, terus harus kurangi rokoknya. Kalau mau balapan, jangan gak peduli sama kondisi kamu kayak tadi.”
“Kita ini masih mantan. Kamu kok atur-atur aku kayak gitu?” tanya Awan sedikit kesal. Jennifer yang sekarang, seakan sangat susah untuk ia raih.
Ya, walau salahnya juga sih sudah bersikap bodoh waktu itu.
Jennifer menaikkan kedua alisnya dan menatap pada Awan. “Oh. Jadi, kamu gak mau balikan? Padahal yang aku minta tadi juga buat kebaikan kamu.”
“Jennifer Evelyn, kamu kok gitu sih?” Tanpa sadar Awan merengek. Dia berusaha memeluk perempuan itu, tapi Jennifer tampa beban malah menahan perutnya dengan kaki.
Yap, dengan kaki. Hebatnya, Awan sama sekali tak merasa keberatan.
“Kamu, 'kan, masih sayang aku. Kenapa gak balikan sekarang aja, sih?!”
“Aku mau balikan kalau udah lihat muka kamu lebam karena ditonjok Rendra.”
Ah, kenapa yang ia cium harus pacar Rendra sih? Susah sekali meminta laki-laki itu untuk melakukan kekerasan walau Awan yang meminta sendiri.
Tangan Awan bergerak untuk menyingkirkan kaki Jennifer dari perutnya.
“Besok aku paksa Rendra supaya tonjok aku. Kalau perlu sekalian aku rekam. Sekarang mending kita lanjutin yang tadi, yuk?”
“Gak mau, sekarang kita masih mantanan. Kamu tolong sadar diri, ya! Di dahi kamu itu, masih ada plester demamnya!”
“Tapi, Jen—”
“Jangan protes atau aku tidur di sofa, Awan.”
Keinginan Awan tadi langsung luntur seketika. Ia buru-buru berbaring di sebelah Jennifer.
Masih untung Jennifer mau untuk ia peluk.
Besoknya.
“Rendra, lo harus tonjok gue sekarang juga!”
Ini sudah kesekian kalinya Rendra mendengar kalimat itu semenjak kedatangannya di studio Bisma. Tempat mereka berkumpul malam ini.
Rendra menggeleng dengan keras. “Awan, kejadian itu udah lama! Gue gak lagi marah sama lo. Lagian gue udah bersihin bekas lo dari dia. Jadi, berhenti minta gue buat tonjok lo!”
Tanpa sadar, Rendra membentak Awan karena kesal.
“Please, demi kelanjutan hubungan gue.”
“Gue gak mau! Sana lo jauh-jauh dari gue!”
“Serius, lo harus tonjok gue. Apa perlu gue cium cewek lo lagi supaya lo mau nonjok gue?” tanya Awan tanpa beban sama sekali.
“Si bangsat, malah ngelunjak. Gue bunuh sekalian kalau lo berani kayak gitu,” ucap Rendra dengan penuh penekanan.
Melihat tatapan mata yang Rendra berikan padanya. Membuat Awan tanpa sadar menelan ludahnya dengan susah payah.
“Awan, lo kerasukan plester demam, ya,” celetuk Kana. Membuktikan kalau bukan hanya Rendra yang merasa Awan tidak jelas hari ini.
“Gue butuh tonjokan Rendra supaya Jennifer mau sama gue lagi,” ucap Awan sambil memegang lengan Rendra agar laki-laki itu tidak menghindar darinya lagi.
“Bacot, gak mungkin Jennifer minta kayak gitu. Gak usah sok dramalah!” Tampaknya Rendra sudah berada di ambang kesabarannya.
“Banyak omong! Sini gue aja yang tonjok lo!” Entah sejak kapan, tapi Bisma sudah ada di dekat Awan.
Sesuai ucapannya, Bisma langsung menyerang Awan dengan menonjok pipinya lumayan keras. Namun tidak hanya Awan, Rendra juga mendapat tonjokannya.
Bisma melampiaskan rasa kesalnya karena mereka berdua sudah merusak konsentrasinya saat mengedit lagi tadi.
Mungkin di lain waktu, Bisma tak akan pernah membiarkan tiga temannya ini untuk memasuki studionya.
“Kok gue juga ditonjok, sih, Bis?!”
“Gue butuhnya tonjokannya Rendra!”
“Lo berdua bisa diem kagak?! Kalau enggak, jangan di studio gue berantemnya. Pergi sana yang jauh! Biar gak ada orang yang repot nguburin lo berdua!”
Kana di pojok ruangan sedang tertawa puas menyaksikan hal itu.