Taksa – Kana, Larena.
// harsh words, mention of cheating and broken family.
Kana meletakkan pulpennya di atas meja sebelum menyedot minumannya cepat. Haus setelah menjelaskan panjang lebar tentang materi yang Larena minta untuk diajarkan.
“Oke, paham. Tapi mungkin kalau dikasih soal aku bakal ada bingungnya. Nanti boleh tanya lagi, 'kan, Kak?” tanya Larena dan Kana mengangguk.
Ini sudah tugasnya, mengingat ia tidak mengajarkan Larena secara cuma-cuma. Meski awalnya menolak, tapi ibu Larena memaksa untuk membayar. Ya sudah Kana terima saja, tidak rugi juga untuk dirinya yang hidup sendirian.
“Boleh dong,” kata Kana langsung.
Mereka terlibat hening. Larena memilih untuk menyelesaikan apa yang ia tulis lebih dulu. Kana memberinya ruang untuk fokus dengan tak berkata apa-apa.
Barulah ketika Larena sudah meletakkan pulpennya, Kana bertanya, “Gimana rasanya ada orang tua lengkap sampai sekarang, Lar?”
Yang tiba-tiba ditanya seperti itu, diam. “Uhm, sebenarnya dibilang seneng juga gak selalu. Tapi aku selalu bersyukur.”
Larena melihat pada Kana. “Aku jarang ketemu papa karena dia sibuk. Apa-apa selalu mama, karena dia yang selalu nemenin aku, dukung aku—pokoknya mama is everything for me, Kak.”
“Makanya aku gak pernah masalah ketika orang-orang bilang aku anak mami dan hal sejenisnya. Itu, 'kan, bener dan aku gak perlu ngerasa malu karenanya.”
Kana mengangguk paham. Larena just being herself. Hal yang sulit dilakukan di masa sekarang dan Kana sendiri pun mengakuinya.
Ia dapat penilaian buaya, berisik, dan sejenisnya. Namun, cuma beberapa orang yang bisa melihat dan paham kenapa Kana demikian.
Taksa adalah contohnya. Makanya, meski mereka sering meghunat tingkah Kana, tapi mereka bertiga tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Kana.
“Kak Kana sendiri gimana?” tanya Larena.
Kana tersenyum miris. “Gue udah lama sendirian, Lar. Untungnya itu anak bertiga gak pernah kepikiran untuk ninggalin gue walau mereka tahu sejelek apa gue.”
“Jujur, Kak! Aku tuh dibilang mama kalau Kak Rendra ikut geng gak bener, makanya dulu sempat dilarang ketemu. Tapi aku gak tahu apa yang mereka omongin sampai aku dibolehin main sama kalian.”
Larena berhenti sejenak. “Terus aku sekarang paham sendiri! Kalian mungkin sama-sama pernah ngelakuin hal yang buruk, tapi kalian gak pernah menyerah buat satu sama lain. That's sweet kalau dari pandanganku yang jarang awet temenan.”
Kana tersenyum. Jika dipikir lagi pertemanan mereka memang sedikit aneh. Namun benar kata Larena, mereka tak pernah menyerah buat satu sama lain. Nyaris lebih tepatnya kalau saja Rendra tak memaafkan Awan kemarin.
“Uhm, makasih buat penilaiannya, Lar.”
Larena tersenyum. “Sama-sama! Ayo lanjut, Kak. Biar cepet pulang.”
Kana mengangguk. Mereka kemudian kembali melanjutkan kegiatan mengajar dan diajar yang sempat tertunda karena sengaja mengambil jeda. Kana tidak mau Larena terlalu pusing, jadi ia melakukan secara bertahap. Toh mereka juga sedang ada di kafe.
Kegiatan mereka itu terus berlanjut hingga mereka kembali sampai disaat Larena mengerjakan dan Kana menunggu.
Lalu, disaat itulah Kana merutuki Awan seketika. Laki-laki itu tadi bilang kalau ia akan kedatangan tamu tak diundang sebagai bentuk balasan karena Kana meledeknya.
Tampaknya, ucapan Awan itu dikabulkan karena sekarang Kana melihat dua mantannya memasuki kafe. Lalu tujuan mereka pun jelas, ke arah mereka—tepatnya ke arah dirinya.
Anjir, ini gue mau dilabrak? Dateng barengan gitu.
“Nah, ini dia si anjing.”
Anjir, dateng-dateng langsung dianjingin.
Kana melihat ke arah Larena. Perempuan itu melirik sekilas sebelum kembali fokus pada buku di hadapannya. Kana meringis tanpa sadar.
Salah satu di antara mereka menarik bahu Larena agar dia menegakkan tubuhnya. Sengaja agar Larena bisa melihat apa yang akan mereka lakukan pada Kana—agar dia fokus pada ucapan mereka.
“Sayang banget loh, lo cantik-cantik gini mau sama Kana. Mana lo kelihatan kayak anak baik lagi. Asal lo tahu, ya, cowok di depan lo ini brengsek. Dia macarin gue sama dia secara sekaligus tanpa diketahui satu sama lain!”
“Kita udah selesain ini—”
“Diem, selesai bukan berarti gue sama dia udah maafin lo.” Ucapan Kana dipotong. Ia melirik pada Larena, perempuan itu belum menunjukkan reaksi berarti.
Dulu, Kana sebenarnya tidak benar-benar berniat menjalin hubungan. Ia hanya ingin mencari tahu apa yang membuat ayahnya bisa menghacurkan keluarga mereka—menyakiti ibunya. Namun, ia tak kunjung menemukan jawaban karena tak benar-benar mengikut sertakan hatinya.
Ia tidak tahu kalau ujungnya dia bakal jatuh hati ke orang lain yang membuatnya harus rela melepaskan pacar-pacarnya.
“Serius deh, Dek. Lo jangan mau pacaran sama dia, dia gak akan bisa treat lo selayaknya perempuan. Dia aja gak bisa ngehargain satu hubungan.”
Oke, itu cukup menusuk. Jika sudah begini, Kana pasrah. Cuma jadi pengajar Larena pun tak apa—atau mungkin, Larena nanti tidak akan mau lagi belajar dengannya.
“Kok lo diem aja sih?!” tanyanya pada Larena.
Yang paling muda di antara mereka itu memang belum menunjukkan reaksinya. Jelas ia tahu Kana seperti apa karena Rendra memberi tahunya lebih dulu. Lalu dua orang ini berbicara seolah-olah ia dan Kana berpacaran.
Larena tentu tak punya alasan untuk bereaksi meski sekedar terkejut.
“Udah, Kak? Ada lagi yang mau diomongin?” Larena malah bertanya balik dan Kana meringis. Itu bisa memancing emosi dua mantannya.
“Gue tuh ngasih tahu lo baik-baik, ya! Kenapa lo malah kayak gitu?!”
Larena tersenyum tipis. “Pertama, i'm not his new gf, Kak. Kedua, aku tunggu kalian selesai bicara dulu.”
Larena memangku dagunya dengan sebelah tangannya. “Terus, apa Kakak-kakak ini gak lihat, ya, ada banyak buku di sini? Aku lagi belajar sama Kak Kana.”
“Aku tahu kalian dendam atau emosi. Tapi lain kali jangan asal labrak deh, Kak. Kalau salah, 'kan, kalian juga yang malu.”
Kana melirik, tidak menyangka kalau Larena akan berkata demikian. Sedikit meringis juga, ia jadi ikut merasa malu.
“Udah, 'kan, Kak? Lagian kalian juga udah selesai. Biarin aja Kak Kana dapat balesannya sendiri, pasti ada saatnya kok.”
Lalu, dua orang itu pun pergi dengan langkah yang dihentakkan. Malu karena balasan Larena juga orang-orang di sekitar mereka yang mulai memperhatikan.
“Sumpah ....” gumam Kana kemudian melihat kepada Larena.
“Gue gak nyangka—tapi makasih banyak,” kata Kana masih dalam keadaan tidak menyangka dengan yang Larena lakukan.
Larena tersenyum manis kemudian mengendikkan bahunya tak acuh.
“Jelasin ulang dong, Kak. Aku jadi lupa lagi gara-gara diganggu soal gituan,” ucap Larena membuat Kana menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa sulit.
Memang akhirnya sedikit kejam—tapi Kana juga cukup tahu diri dengan konsep apa yang dituai maka itu yang akan didapat. Siap tidak siap, ia akan mendapat dampaknya.
Larena memang anak kesayangan yang selalu layak buat dilindungi semua orang di sekitarnya. Yang tidak Kana sangka, ternyata perempuan seperti Larena pun bisa melindungi dia.
Walau dia ikut kena pedasnya.