Taksa – Prologue.
⚠ Harsh words
Ada banyak hal yang akan selalu bisa kita cari di dunia ini. Entah bagaimana caranya, yang pasti setiap manusia punya cara tersendiri untuk menemukannya.
Termasuk dengan manusia-manusia yang kini memenuhi kedua sisi jalan itu. Ada teriakan heboh yang bersahutan sesaat setelah empat motor itu melaju. Saling mendahului kecepatan, bersaing dengan angin malam.
Suhu dingin ketika jarum pendek jam hendak menunjuk angka 12, sama sekali tidak mempengaruhi suasana panas di sana. Semuanya mendukung jagoan masing-masing, mengagungkan mereka, tanpa menghilang usaha untuk saling menjatuhkan.
Tak jauh dari kerumunan itu, berdiri tiga orang laki-laki. Jika dilihat sekilas, mereka seperti orang-orang yang menempati posisi tinggi di ruang itu karena gelagat santainya.
Namun, pada kenyataannya mereka bukanlah siapa-siapa. Belum.
“Gue masih gak paham kenapa dia mau banget ikut balapan ini. Menurut gue hadiahnya gak seberapa buat dia,” kata si jaket hitam.
“Lebih bingung lagi kenapa gue harus ikut ke sini, sih?! Lebih baik semalaman di depan komputer dari pada di tempat gak jelas gini, sial.” Kali ini si jaket putih yang bersuara, sosok yang bersandar pada satu motor yang ada di antara ketiganya.
“Lo berdua kenapa mau ikut? Kayaknya dia gak maksa-maksa banget?” tanya salah satunya lagi.
“Soalnya ada lo, jadi gue percaya Awan gak akan ngelakuin hal gila, Ren.”
Awan, sosok yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan mereka. Salah satu dari empat pengendara motor yang melaju tadi. Si penantang baru yang mendaftar sendiri, tanpa ada manusia di belakang punggungnya.
Awan tidak datang sendiri, ia datang dengan tiga orang ini. Tetapi, mereka menemaninya, bukan mengikutinya. Jadi, ketika Awan sudah menantang angin, tiga orang ini hanya memandangi. Membiarkan laki-laki itu sekali lagi mencoba terbang ke arah yang baru.
“Ada atau gak ada gue, kayaknya Awan bakal selalu punya ide gila, Kan.”
“Sejauh ini lo doang yang sanggup ngendaliin gilanya Awan, Ren.”
Ren—atau lebih lengkapnya Rendra itu tergelak mendengar kalimat yang diucapkan oleh temannya. Katanya dengan nada bercanda, “Emang gue apaan, sih? Awan juga apaan, Bis?”
“Gue berulang kali bilang, jangan pernah sebut gue Bis doang. Bisma,” koreksi orang itu langsung, si jaket putih.
“Udahlah. Mending kita lihat apa Awan bisa ngebuktiin omongannya atau enggak,” balas Kana, laki-laki yang memulai pembicaraan mereka tadi.
Mereka bertiga kini diam lagi. Membiarkan telinga mereka dihiasi teriakan tidak jelas dari para pendukung tiga pembalap lain, belum ada yang meneriakkan nama Awan. Mau bagaimanapun, dia tetap orang baru di sini.
“Ini kita perlu teriakin nama Awan gak?” tanya Kana iseng.
Bisma menggeleng dengan cepat. “Buat apa kita teriak dukung dia disaat orangnya aja gak tahu udah di mana dan gak bisa denger kita? Gak jelas banget, anjing.”
“Mulut lo tuh, ya, lembut dikit napa,” sahut Rendra, padahal ia hafal betul kalau Bisma dan anjing tidak bisa dipisahkan. Meski laki-laki itu tidak benar-benar menyukai hewan itu. Ia hanya suka memanggil beberapa manusia dengan itu.
“Suka-suka gue.”
“Debat terus, giliran di-chat baby-baby-an,” komentar Kana langsung.
“Itu kerjaan si tolol ini aja, ya! Gue gak sudi?!” sahut Bisma langsung, lagi-lagi Rendra cuma tergelak.
Kana menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan kedua temannya ini.
Meski samar, sudah mulai terdengar suara mesin motor. Tanda bahwa salah satu dari para pembalap itu akan kembali ke tempat ini.
Bisma menegakkan tubuhnya, sementara Kana dan Rendra malah menjadi santai. Ketiga tentu hafal suara mesin motor ini.
Motor itu menyapa pandangan mereka, lengkap dengan seseorang yang memakai jaket berwarna merah hitam sebagai pengendalinya. Ketika dia melewati mereka bertiga, Kana langsung berteriak, “Awan kece kesayangan mami!”
Malu-maluin memang, tapi teriakannya itu teredam oleh teriakan yang lain.
Bisma benci suasana berisik ini. Dia sekali lagi mengumpat, terlebih karena Kana yang ada di sebelahnya ikut berteriak.
Sementara Rendra, dia hanya melukis senyuman miring. Diam-diam merasa puas karena sekali lagi, Awan berhasil membuktikan omongannya—ide gilanya.
Ketika Awan menghentikan motornya, menjadi orang pertama yang sampai di sana. Teriakan menjadi lebih heboh lagi. Tidak ada yang menduga kalau si anak baru akan memenangkan pertandingan ini, si anak baru yang sempat diremehkan karena mendaftar sendirian.
Awan membuka helmnya, dia langsung tersenyum lebar sambil melihat ke arah teman-temannya. Entah apa yang sebenarnya dia cari di sini, tapi dari raut wajahnya tampaknya ia sudah menemukannya.
Awan berlari menuju ke arah teman-temannya. Ia tidak heran kenapa teman-temannya diam di tempat yang agak jauh dari penonton yang lain, tidak merasa tersinggung juga.
“Lihat? Gue ini keren,” ujar Awan langsung. Kana mendekatinya, bak seorang ayah yang bangga dia mengusak rambut Awan.
“Iya, emang lo doang yang kece.”
Bisma hanya mengangguk-anggukan kepalanya, menyetujui tanpa berkata. Meskipun begitu, Awan tahu kalau laki-laki itu turut merasa senang.
Rendra juga sama dengan Bisma. Bedanya laki-laki itu sempat menepuk-nepuk pundak Awan.
“Langsung balik, yuk?” ajak Bisma, ini pertama kalinya dia ada di luar ruangan lebih dari tengah malam.
“Bentar, hadiahnya belum,” balas Awan. Meski tidak terlalu membutuhkannya, ia tetap harus menerimanya sebagai pembuktian.
Tidak lama, tiga lawannya menghampiri dirinya. Salah satu dari mereka menepuk pundak Awan dan berkata, “Lumayan lo.”
Awan tertawa. “Yo, makasih, Bang.”
Dalam pertandingan, pasti akan ada lawan yang ikut senang atas kemenangan kita. Di sisi lain, akan ada juga lawan yang tak menerima dan atas segala rasa yang ia sembunyikan dibalik harga diri, ia akan merendahkan lawannya.
“Orang gila mana yang cuma bawa tiga anak buahnya ke tempat kayak gini?”
Hening untuk sesaat. Awan menjatuhkan pandangannya pada orang itu, sebelum menatap Kana, Rendra, dan Bisma bergantian. Ketiga temannya itu tak mengeluarkan reaksi berarti.
Pada akhirnya Awan tertawa, balik meremehkan. Laki-laki dengan jaket merah hitam itu mundur, menyamakan posisinya dengan teman-temannya.
“Lo kira mereka anak buah gue?” tanyanya, “bodoh, mereka temen-temen gue.”
Awan tidak tahu kalau perkataan yang keluar ringan dari mulutnya itu akan memberikan banyak pengaruh pada kehidupannya—ralat, pada kehidupan mereka berempat.