taut-10

Meski status gue adalah anak sulung, gue selalu kesulitan untuk merangkul kedua adik. Ditambah dengan apa yang terjadi di keluarga gue yang berhasil membuat anak-anaknya kesulitan buat percaya sama sesuatu.

Meskipun cuma Chaeyoung yang menunjukkan kalau ia masih enggan buat percaya sama gue, Jeongyeon juga sebenarnya kayak gitu. Tapi karena harus nyari Chaeyoung, dia mau gak mau menyakini gue buat sementara.

Gue memang takut sama sebuah hubungan, terlebih pernikahan. Gue sempat menyatakan dengan lantang bahwa gue gak akan pernah menikah. Tapi, keluarga gue dengan segala kekuasannya selalu membuat gue tunduk.

Gue takut kalau nantinya gue akan memperlakukan anak gue sama kayak yang orang tua gue lakuin. Gue takut kalau dikhianati lagi, dan masih banyak yang kadang gak bisa gue deskripsikan.

Intinya, gue merasa gak pantas buat seseorang. Siapapun itu.

Di antara semua itu, gue tetap gak bisa merubah fakta kalau gue sebenarnya baperan. Gue bisa mudah tertarik sama seseorang. Tapi, semuanya cuma bakal berujung sebagai sebuah ketertarikan.

Contohnya ya waktu Papanya Zia, alias Seungcheol itu. Gue tertarik sama dia karena dia bilang kalau dia percaya gue bisa jadi istri yang baik. Tapi, gue gak pernah menghubungi dia kecuali tentang Zia. Setelah itu, ya udah, kita hidup kayak biasanya lagi.

Kalau boleh jujur, seseorang yang membuat gue tertarik buat pertama kali selepas dikhianati adalah Minghao.

Kaget, gak? Hahaha.

Itu mungkin sedikit alasan kenapa kalau urusan akademi—sebelum ada Mas Hoshi—gue selalu lari ke dia. Kalau bukan urusan akademi, apa lagi yang bisa ngebuat gue sama dia ngobrol lama-lama? Gak ada.

Cuma memang itu usaha gue. Gue sendiri gak berniat buat nyeriusin perasaan gue karena gue tahu ujung-ujungnya gue yang gak bisa sama hubungan. Gue juga sadar kalau anak ini ngelihat Momo berbeda. Gue gak akan mau membuat dia merasa gak enak karena gak bisa menunjukkan kesukaannya sama Momo gara-gara gue suka dia.

Cuma memang mereka ini lagi gak dikehendaki semesta aja sampai-sampai saling paham dan berujung gak bisa sama-sama—mungkin belum, lihat aja nanti. Gue cuma berharap yang terbaik buat dia. Kepuasaan tersendiri buat gue ketika bisa melihat seseorang yang gue sukai bahagia dengan pilihannya.

“Jangan ngelamun.”

Sekarang, di kehidupan gue ada laki-laki ini. Dipertemukan dengan keadaan yang sama-sama gak berani sama hubungan, jelas gak pernah membuat gue berharap kalau kehidupan pernikahan kami bisa berjalan lancar.

Joshua—sekarang gue panggilnya Kak Shua sih karena faktanya dia lebih tua setahun dari gue. Awal panggilan itu keluar dari mulut gue, dia kayak mematung. Yang kemudian gue sadari kalau panggilan itu pertama kali datang dari Mina.

Gue sama dia bisa dibilang sama, pernah menaruh perasaan tanpa mencoba mengonfirmasinya. Bedanya, ketika yang gue takuti adalah sebuah hubungan, cowok ini takut sama komitmen.

Itu ngebuat dia membiarkan hubungannya sama Mina menggantung. Kak Shua ini sayang sama Mina, tapi gak pernah bilang. Tentu, itu ngebuat Mina merasa kalau dirinya gak punya pengaruh apa-apa buat Kak Shua.

Jahat emang.

Tapi, Mina bakal selalu jadi manusia paling baik menurut gue.

Malam itu, habis selesai latihan. Ketika semuanya sama-sama ngerasa lelah, gue ngajak Mina bicara. Gue lupa ada berapa kata maaf yang gue omongin ke dia. Bisa-bisanya gue dulu menyatakan penolakan sampai berencana kabur pas pernikahan di depan Mina—orang yang sayang sama Kak Shua.

Percakapan antara gue sama Mina waktu itu, mungkin bakal selalu melekat dalam memori gue.

“Gue udah jahat banget sama lo, kenapa lo gak bilang, sih? Gue bisa bantu biar kalian bisa sama-sama.”

“Aku paham kalau aku sama Kak Shua gak seharusnya jalan di jalanan yang sama.”

“Lo sayang sama dia, dan dia sayang sama lo, Na.”

“Nggak, Mbak. Matanya beda pas sama Mbak. Mungkin Kak Shua sayang sama aku, tapi bukan sebagai pasangan. Kalau sama Mbak, matanya tuh ketara jelas kalau dia suka banget sama Mbak Nay.”

“Lo kenapa baik banget sih, Na? Bahkan pikiran lo aja masih sepositif itu.”

Dia ketawa. “Gak selalu gitu, kok, Mbak. Aku sama Kak Shua udah sempat ngobrol jauh sebelum kalian menikah. Kami udah damai dan mutusin buat jalan masing-masing, Mbak. Makanya aku gak pernah bilang ke Mbak, karena aku rasa gak perlu.”

Dia berhenti sejenak buat ngambil napas. Kemudian kembali berkata, “Aku selalu berharap kalian bisa saling bantu buat sama-sama sembuh. Semogakalian bisa sama-sama terus dan jadi keluarga yang harmonis.”

Percakapan itu berakhir dengan gue yang nangis dipelukan dia, ditontoni sama pengajar yang lain. Gue gak mempermasalahkan itu, dan mereka juga membiarkan gue menerima perasaan sedih gue.

Malam itu, sebelum pulang gue sempat nyamperin Minghao buat ngomong, “Hao, makasih udah bantu gue buat mastiin kalau hati gue tetap bekerja.”

Tentu aja dia balas dengan sedikit teriak karena gue yang langsung nyelonong pergi. Katanya, “Gue ngapain anjir, Mbak?!”

“Nay, aku bilang jangan ngelamun.”

Gue ketawa. “Iya, maaf, Kak Shua.”

“Ini Cece seriusan mau pulang secepat ini?” Bener, sekarang gue sama dia emang lagi jalan ke bandara. Mau jemput adik bungsu gue itu.

“Pulang buat nonton acara akhir tahun akademiku aja. Besoknya dia balik lagi.”

Kak Shua kemudian cuma ngangguk sebagai jawaban.

“Dia janji sama Chani?”

Gue ngegeleng. “Sama aku.”


Acara akhir tahun Allegra bakal selalu menjadi memori terbaik di setiap tahun yang gue lalui sama mereka. Terlebih sekarang kami kedatangan satu orang lagi, Mas Hoshi.

Biasanya kami cuma bakal nunjukin drama musikal dengan satu jenis tarian aja, tapi pembukaannya tampilan tari dari masing-masing kelas dulu. Kalau sekarang agak beda.

Acara itu dibuka oleh para anak-anaknya Mina. Lucu melihat tubuh-tubuh kecil itu memutar secara bersamaan dengan tubuh yang bertumpu pada ujung jari kaki.

Setelah itu, barulah kami sebagai pengajar ikut menampilkan jenis tari yang berbeda-beda secara berpasangan.

Gue sama Chani, kami tampil pakai modern dance yang gak membutuhkan banyak skinship. Chani juga menunjukkan gerakan breakdance yang udah dia pelajari sejak lama sama Minghao sebagai puncak dari penampilan kami berdua.

Disambung sama Mina dan Minghao dengan balet. Walaupun sempat protes, Minghao tetap sempurna dalam menarikan itu sama Mina. Mereka seolah pangeran dan putri yang selalu sanggup buat terbang.

Murid anak-anak lebih banyak sama kami, omong-omong.

Kemudian pindah ke Jun sama Momo yang kebagian nampilin jazz. Gue jujur merasa bangga banget lihat mereka karena gerakannya yang begitu sinkron dan bisa menyajikan kepada penonton seolah mereka adalah cermin untuk satu sama lain. Belum lagi tubuh mereka yang seolah sangat ringan. Sebelum dua orang itu muncul, para remaja udah lebih dulu menari dengan sama sinkronnya.

Terakhir, ketika puncaknya dan musik yang menyedihkan diputar. Cuma ada Mas Hoshi sama Shasa dengan tarif kontemporer. Ini sebenarnya saran dari gue buat mereka tampil berdua aja. Waktu lihat keseluruhan koreografinya, entah kenapa itu kerasa menyakitkan. Gue berinisiatif nyaranin buat mereka tampil terakhir sebagai ujung dari cerita yang kami bawain malam itu.

Kalau gue jelaskan sedikit, ada saat di mana mereka memegang kepala masing-masing seolah bertengkar. Intinya, banyak skinship yang terjadi, tapi semua itu seolah mengartikan pemberontakan. Penonton gak banyak yang bersuara pas mereka tampil, tapi begitu selesai, ada sorakan yang keras.

Sebagai penutupan, kami menari bersama-sama dengan tarian wajib Allegra. Intinya semua murid wajib menguasai tarian ini, di bidang manapun dia belajar. Semuanya sama-sama puas dan bangga, tapi kami paham kalau ini bukanlah sebuah akhir.

“Makasih banyak, ya, buat kerja kerasnya hari ini. Acara kita berjalan lancar, syukurlah. Saya sudah belikan makanan, nanti masing-masing ambil, ya, ” kata Mas Hoshi yang udah ganti bajunya.

“Mas, kok udah ganti baju aja? Kita belum foto-foto.” Momo langsung protes.

Cowok itu kayak langsung sadar. “Oh, iya, ya. Ya udah bentar saya ganti lagi.”

“Gak usahlah, Soon. Asal jangan dulu hapus tuh make-up,” sahut Juni yang udah ngambil jatah makannya. Gue sebenarnya gak tahu kenapa dia manggil Mas Hoshi 'Soon'.

“Gue bercanda, Mas,” ucap Momo diakhiei dengan tawa, ikut bergabung dengan Juni buat makan.

“Foto dulu deh sebelum makan. Nanti kotor bajunya kalian,” ucap gue dan kemudian mereka cuma bisa menurut.

Selesai foto, kami jadi punya tujuan yang beda-beda. Ini masih jam 7-an karena acara digelar dari sore. Gue sendiri lebih milih buat ganti baju dulu baru ikutan makan. Pas balik lagi, udah ada anak-anak kafenya Kak Shua. Selain orang tua, mereka juga dikasih akses buat ke belakang karena hubungan gue Kak Shua.

Selain itu mungkin karena Cece sama Chani, atau Juni sama Tzuyu.

Ada juga pihak Suara Kota. Seungcheol yang sekaligus papanya Zia bareng istrinya. Ada juga Wonwoo sama Mingyu yang hari itu datang sebagai penonton bukan karena kerjaan. Terus ada Jihoon yang sempat Mas Hoshi minta bantuannya buat nyesuain lagu-lagu yang bakal dipakai.

Sementara itu, Jeongyeon pamit duluan sama Jeonghan, dan Cece milih buat ngikut mereka tadi.

Gue milih buat duduk sama Kak Shua setelah bawa nasi kotak yang disediakan Mas Hoshi. Dia kelihatan diem, gue pikir mungkin karena suasana ramai yang ada di sini.

“Mau, Kak?” tanya gue, basa-basi doang, sih. Karena penonton udah dikasih snack tadi.

Dia ngegeleng. “Udah makan snack tadi.”

Nah, 'kan.

“Kamu kok gak pernah bilang bakal nari berdua sama Chani?” tanyanya dan kali ini kerasa dingin? Entah bener atau cuma perasaan gue aja.

“Dari Mas Hoshinya gitu. Mumpung pas juga anggotanya. Jadi, kayak ditunjukkan gaya cewek sama gaya cowoknya,” balas gue apa adanya.

“Oh.”

Anjir?

“Kenapa, sih, Kak?”

Dia kemudian kelihatan salah tingkah. Kalau semisal cemburu, apa iya, ya? Padahal gue sama Chani gak kayak Mas Hoshi sama Shasa.

“Gak tahu, tiba-tiba pengen motong gajinya Chani aja,” balas dia ngaco. Baru aja gue mau menyuarakan itu, Chani tahu-tahu masuk ke pembicaraan kami.

“Pak, jangan motong gajiku karena cemburu! Lagian Mbak Nay kok gak bilang sama Pak Shua, sih?!”

Gue cuma bisa senyum, soalnya nih anak makin berani aja buat nyolot. Gak cuma ke Juni aja sekarang.

“Lagian lo ngejar duit buat apa, sih, Chan? Gaji lo di akademi aja gede, belum lo anak yang punya nih akademi,” balas gue. Emang akhir-akhir ini Chan jadi perhitungan banget. Kalau mau beli makanan pas latihan pun, biasanya dia tinggal pergi. Sekarang malah ngekorin Mas Hoshi dulu biar dikasih uang.

Chani nengok kanan dan kiri dulu kemudian berkata, “Mau kejar adeknya Mbak.”

Gue memutar bola mata malas. Kenapa, ya, dua adek gue sama-sama punya bucin yang emang bucin banget kayak gini. Mending kalau Jeonghan, Jeongyeon bucinin dia balik. Kalau Cece ... gak ada yang tahu isi hatinya. Kecuali mereka berdua sempet ngomong, sih.

“Kayak Cece mau aja balikan sama kamu,” bales Kak Shua pedes.

“Gak papa, yang penting Pak Shua nggak potong gajiku.”

Ya Tuhan, nih anak.

“Chani, sini, deh!” panggil Jun ke dia, dan gue merasa jadi manusia paling lega. Selain ke Mas Hoshi, Chani agak luluh juga ke Juni. Bedanya ke Juni dia suka nyenggol kalau Cece atau Tzuyu upload sesuatu tentang satu sama lain.

“Iya, Mas. Eh, semangkanya jangan dihabisin!”

Rasa lega gue cuma bertahan sebentar karena auranya Kak Shua masih gak ngenakin.

“Kak,” panggil gue, “beneran cemburu karena Chani?”

Sumpah, kalau beneran agaknya kocak.

“Nggak,” jawab dia pelan, “gak tahu kenapa, tapi gak suka aja kalau kamunya gak bilang.”

Kenapa dia tiba-tiba jadi kayak kucing gini?

“Oke, maaf,” bales gue tanpa sadar ikut melanin suara, “nanti aku bakal bilang.”

Dia mengangguk. Ah, gue paham, dia kayaknya tiba-tiba keinget sama masa lalunya lagi. Gue sama Kak Shua sama-sama pernah ngerasain kepercayaan yang dikhianati.

“Kamu makan aja, habis itu kita pulang,” ucap dia dan gue menurut. Tangan Kak Shua sempat buat ngusak rambut gue pelan.

“Nay,” panggil dia setelah cukup lama dari kami berdua gak bersuara. Gue sibuk makan, kalau dia kayaknya ngelamun.

“Hmm?” Gue cuma bisa gitu karena lagi ngunyah.

“Sama-sama terus sama aku, ya.”

Gue senyum dan mengangguk. Buat sekarang gue udah gak punya alasan lagi buat lari dari Kak Shua. Gue udah mulai sayang sama dia dan terbiasa dengan kehadiran dia dalam keseharian gue. Dia menghargai pekerjaan gue aja, itu udah menjadi poin plus tersendiri.

Kami bertatapan cukup lama. Dengan bibir yang sama-sama mengukir senyum.

Sekarang, kami udah bisa yakin buat satu sama lain. Menurunkan kepercayaan dalam komitmen yang memang seharusnya dibentuk dalam pernikahan. Gue berharap kalau ini bakal terus berjalan tanpa ada kata perpisahan.

“Dah, lanjut lagi makannya,” ucap dia. Gue lagi-lagi cuma menurut.

“Mbak Nay, saya mau nanya, mumpung ada suaminya.” Mas Hoshi nyamperin gue, sekarang udah gak ada make up lagi di mukanya.

“Kenapa nih, Mas Hoshi?”

“Mbak Nay ,'kan, sudah menikah, ya. Maaf sebelumnya, tapi kalian sudah program kehamilan atau belum?” tanya Mas Hoshi.

“Kalau semisal sudah, nanti Mbak Nay di kantor dulu jangan jadi pengajar aktif. Takutnya bayinya kenapa-napa.”

Bayi darimana disaat gue sama Kak Shua baru berani pegangan tangan dan usap-usap kepala?!

“Be-belum, kok, Mas.”

“Baru mau, Mas. Kemarin dia mau fokus ke acara ini dulu.”

Gue sama Kak Shua ngomong barengan.

“Oalah, kalau gitu awal tahun nanti Mbak Nay di kantor dulu, ya.”

“Cie Mbak Nay, ditunggu debaynya!” sorak Jun dan ngebuat yang lain ikut nyorakin gue.

Sial, sejak kapan mereka nyimak?!


—honeyshison

sorry for typo.