taut-11
9 Oktober.
“Soon, akhirnya! Gue sama yang lain nyariin lo tau!” Entah keberuntungan atau kesialan ketika Jun mendatangi gue waktu itu. Gue sama sekali gak bisa mengubah ekspresi wajah gue. Untuk pertama kalinya, gue memperlihatkan wajah gak ramah ke sahabat gue satu ini.
“Lo kenapa, sih, Soon?” tanya dia lagi.
“Gue gak papa,” jawab gue bohong.
“Basi,” kata dia, “ayo cerita sama gue? Ini lo sampai duduk di tanah gini.”
Gue berdiri, tangan gue gerak buat nyengkram jaket yang dipakai cowok itu erat-erat. “Gue mau minta tolong.”
Pundak gue dipegang. “Iya, boleh. Lo mau minta tolong apa?”
“Tolong sampain ke Shasa, kalau besok gue bakal datangi dia buat ngerayain* anniversary. *Sehabis itu, apa pun yang terjadi dengan gue setelahnya, tolong buat dia benci sama gue.”
Gue langsung didorong sama Jun untuk menjauh. Wajah bingung sekaligus gak terima ditunjukkan sama Juni. “Gue serius, Jun.”
“Soonyoung, Shasa sayang sama lo—dia pacar lo. Gue gak mungkin bi—”
“Gue bakal putusin dia besok.”
“Anjing, jangan gila lo!”
Hari itu, gue gak peduli ketika harus bersujud di kaki Jun sekali pun. “Jun, gue mohon. Setelah ini, gue gak akan minta apa-apa lagi. Lo bisa anggap ini sebagai permintaan terakhir dari gue.”
Mungkin, gue menunjukkan sisi paling lemah gue di hadapan Jun waktu itu. Menangis di depan seseorang bukanlah hal biasa yang bakal gue tunjukin.
“Jun, gue mohon.”
“Soonyoung, jangan gini ....”
“Gue mohon, Jun. Lebih baik dia benci sama gue. Gue ... gue udah gak bisa sayang lagi sama dia.”
Iya, gue gak bisa. Kasih sayang gak lagi menjadi suatu hal yang bisa gue pahami ketika orang-orang yang memperkenalkan hal itu ke gue ternyata berbohong.
Masing-masing dari mereka, gak pernah menjadikan kebahagiaan gue sebagai salah satu dari tujuan yang mau mereka capai. Gue cuma anak yang kehadirannya gak diharapkan, tapi masih dibutuhkan.
Mereka memilih buat berpura-pura menyayangi gue. Menyayangi Soonyoung.
Gue takut kalau gue bakal memperlakukan Shasa sama kayak gitu.
15 Juni
“Hoshi-san, saya dengar parfum-parfum di sini bagus-bagus. Mau berkunjung dulu?”
“Boleh.”
Hoshi.
Nama ini katanya nama yang gue punya sejak lahir. Namun, entah kenapa selalu ada perasaan asing ketika mendengar orang-orang memanggil gue dengan itu.
Meski amnesia, gue tahu akan selalu ada perasaan tidak asing ketika gue diinformasikan sebuah ingatan, atau adanya bayangan ketika gue di satu tempat yang pernah dikunjungi.
Tapi, di sini, gue belum pernah merasakannya satu kali pun.
Bahkan tentang keluarga harmonis dengan dua anak laki-laki yang gue dengar dari Papa pun, gue malah merasa bahwa hal itu gak ada benarnya.
Tinggal sendiri di Jepang, ditambah sesekali keluar dengan asisten yang Papa percayai, membuat ingatan gue gak kunjung pulih padahal ini sudah dua tahun lebih semenjak gue terbangun.
Memasuki toko parfum itu tak ada wangi yang terlalu menyengat. Ketika mendekati jajaran parfum yang memiliki bahan jeruk, langkah gue otomatis terhenti.
“Kayak bintang di langit, keberadaanmu berarti banget buatku.”
Apa-apaan barusan itu?
10 Oktober
“Nah, ini ruang latihan utamanya Allegra, Mas. Kalau yang perkelas, ya, di kelas masing-masing. Tapi kalau gladi bersih atau buat acara akhir tahun, di sini. Kayak aula gitulah, Mas.”
Mbak Nay—begitulah dia menyuruh gue untuk memanggilnya—sekali lagi menuntun gue ke salah satu ruangan yang ada di akademi ini.
Di ruangan ini, lebih banyak orang yang berkumpul. Murid-muridnya emang perlahan udah berkurang, dan gue yakini jajaran orang dewasa yang ada di sini sengaja perempuan ini kumpulkan untuk diperkenalkan ke gue.
“Ini pengajar-pengajar di Allegra, Mas. Dari situ ada Momo, Hao, Mina, sama Juni. Chani sama saya juga ngajar.”
Laki-laki bernama Juni itu melihat gue seolah gue adalah penampakan. Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas gue merasa kenal sama dia.
“Oke, salam kenal semuanya! Saya Hoshi.” ucap gue dan tanpa sadar membungkuk, kebiasaan gue pas di Jepang. Orang-orang itu juga secara spontan mengikuti gerakan gue.
“Ada satu lagi sebenarnya, Mas. Tapi, dia ada jadwal di radio. Lagi dalam perjalanan ke sini kayaknya,” ucap Mbak Nay lagi.
“Oke, Mbak.”
Sekali lagi, Mbak Nay menjelaskan ke gue ada apa aja di akademi ini. Padahal informasi itu udah gue ketahuu dari Chani sama Papa, tapi gue sekali lagi memilih buat mendengarkan.
Dia kelihatan banget cinta sama tempat ini dan pekerjaan. Jadi agak gak enak gue karena datang-datang mau ganti posisi dia.
“Itu Mbak Shasa!” kata Chani, yang entah kenapa hari ini selalu berdiri di sisi gue.
“Pokoknya, mulai detik ini Gue bakal panggil lo Shasa terus!”
Gue otomatis berbalik untuk melihat sosok itu. Mencari tahu kenapa dengan mendengar namanya saja, bisa memunculkan bayangan itu.
Gue memejamkan mata untuk menahan rasa sakit yang selalu terjadi ketika bayangan semu tentang ingatan gue datang.
“Kalau jujur artinya pantas dipercaya, 'kan? Kecuali lo mau kasih kejutan ulang tahun.”
Aroma dan suara ini lagi.
Perempuan berambut merah muda ini menatap gue hampir sama kayak laki-laki bernama Juni tadi. Kenapa mereka melihat gue sampai segitunya?
“Nah, Mas Hoshi. Ini Sana atau biasa dipanggil Shasa. Terus, Sha, ini Mas Hoshi yang bakal gantiin gue.”
“Salam kenal,” ucap gue seraya membungkuk lagi. Tapi, perempuan yang dipanggil Shasa ini tetap diam. Dia kayaknya ngelamun.
“Mbak Shasa? Kok ngelamun?”
“Aduh ... gue ulang deh, ya. Sha, ini Mas Hoshi yang bakal gantiin gue.”
Entah gue yang salah lihat atau gimana, tapi yang jelas dia kelihatan kecewa.
Gue mengukir senyum ketika dia tersenyum. Katanya, “Salam kenal, Soon—eh Mas Hoshi maksudnya! Saya Sana, panggil Shasa aja.”
Suara kedengaran bergetar.
22 Desember
“Iya, pertama kali keinget kamu pas di toko parfum, karena nyium salah satu aromanya. Makanya, waktu chat pertama kali langsung nanya kamu pakai parfum apa,” jelas gue, menjawab pertanyaan yang Shasa ajukan sebelumnya.
“Bisa?”
Gue mengangguk. “Bisa. Ingatan itu sebenarnya luas banget kalau kita dengan sengaja nyari. Ada juga false memory, ketika yang kita ingat bukan yang sebenarnya.”
“Jadi ... waktu di Jepang kamu kayak gitu?” tanya Sana dengan ragu, sekali lagi gue mengangguk buat balasan.
“Iya, makanya aneh banget.”
Semenjak ingatan gue yang sebenarnya perlahan-lahan terungkap, gue sama Shasa jadi sedikit canggung. Gue belum terbiasa dan dia kayaknya bingung harus gimana.
“Soal pemalsuan kematian gimana?”
Ah, pembahasan ini lagi.
“Sebenarnya, surat kematiannya gak pernah ada,” ucap gue, “ini lebih kayak ganti identitas aja. Pemalsuan itu lebih ke apa yang mereka omongin ke kalian yang tahu Soonyoung.”
Sana ngangguk-nganggukin kepalanya, lucu, ya. Beda banget sama yang tampil sama gue di acara tadi. Padahal mereka orang yang sama.
“Kenapa mereka ngelakuin itu, Soon?” tanya dia, entah sadar atau nggak malah menyandarkan kepalanya ke gue. Yang jelas itu berhasil ngebuat gue deg-degan sih.
“Mereka sadar diri kalau apa yang mereka lakuin ke aku sama Chani jahat. Terlebih setelah aku labrak mereka, aku kecelakaan, sampai koma lagi. Ke aku bilangnya, sih, supaya memori yang itu gak diingat lagi.”
“Alasan kamu nyuruh Juni supaya aku benci kamu apa?” Udah beda aja pertanyaannya.
“Waktu itu, mungkin aku kayak dapat firasat gak bakal baik-baik aja. Makanya bilang gitu, supaya kamu gak sedih kalau aku tinggalin.”
Shasa makin mendekat ke gue. “Tetep sedih, apalagi aku gak boleh lihat kamu.”
“Selain itu, kalau semisal aku terus baik-baik aja. Aku takut bakal memperlakukan kamu sama kayak apa yang Papa lakuin ke Mama, ke ibunya Chani.”
Agak pening juga bahas ginian. Tapi, gue merasa gak asing sama sekali. Gue ingat kalau dulu kebiasaan gue mendatangi Shasa adalah buat cerita.
“Sha,” panggil gue karena dia terus diam, “aku ngerokok gak papa?”
Dia kelihatan agak kaget, dan gue maklumi itu. Gue juga jarang sih ngerokoknya, kalau lagi pening aja.
“Gak papa, jangan diarahin ke aku.”
“Gak ngelarang?”
Sana menggeleng. “Nggak. Juni sama Hao juga kadang ngerokok, kok.”
Gue senyum tipis. “Nanti aja, deh, di rumah. Kasihan kamu lagi nyender.”
Dia langsung negakin duduknya. Kelihatan salah tingkah, tapi masih lucu di mata gue. Gue merangkul pundaknya, menarik dia ke arah gue buat bersandar lagi.
“Gak papa, gue suka, kok.”
“Ih.” Balesnya gitu tapi mukanya malah ditutupi sama tangan sendiri.
“Sha, kayaknya aku gak pernah bilang. Tapi, makasih banget. Keberadaan kamu berarti banget buatku.”
“Ngikutin aku ngomongnya.”
Gue ketawa pas ngerasain pinggang gue dicubit, gak sakit, geli aja.
“Kalau Kak Hamster, kenapa kamu nyiptain dia?”
“Sebenarnya itu tadinya akun curhat aja tentang ingatanku. Tapi, jadi banyak yang follow karena mungkin temanya menarik. Aku pertahanin aja karena cerita yang mereka sajikan kadang ngebuat aku ngerasa, kalau bukan cuma aku yang kayak gini.”
“Sebelum tahu itu kamu, aku juga sempat kepikiran kayak gitu. Tapi, sekarang jadi jelas karena Kak Hamster itu kamu. Orang yang dulu anti banget disamain kayak Hamster.
Gue ketawa. “Dulu jadi Kak Hamster karena foto yang dijadiin profilnya lucu. Di web-nya gak bisa diubah jadi tiger.“
“Gak papa, itu jadi lebih membekas tahu. Kak Hamster....”
Sekarang, baik gue ataupun Shasa sama-sama diam. Sama-sama mandangin langit yang hari ini lagi banyak bintangnya. Gue mengusap pelan pundak perempuan itu. Tiba-tiba keinget sesaat sebelum gue mutusin dia waktu itu.
“Sha, makasih sekali lagi karena gak pernah lupain aku.” Kalau Shasa ngizinin, mungkin gue bisa buat satu buku yang isinya cuma sekedar ucapan makasih gue buat dia. Shasa sangat pantas buat menerimanya, bukan dari gue aja, tapi dari seisi dunia kalau bisa.
“Soonyoung, kamu ini gak berhak dilupain sama siapapun. Kamu udah ngasih banyak kenangan baik buat orang-orang di sekitarmu.”
Kenangan, ya?
Semenjak ingatan gue yang dimanipulasi segitunya, kenangan sama sekali gak berasa buat gue. Yang ada cuma rasa gak asing itu aja.
Termasuk sama Shasa.
Gue sadar kalau dia kadang memancing gue buat bahas masa lalu, kenangan yang ada antara gue sama dia. Kemudian, gue selalu menghindari itu. Gue seakan menutup kenangan yang ada di antara kami.
Mungkin gue cuma belum terbiasa. Gue gak akan pernah mengatakan itu karena gue gak mau menyakiti perempuan ini lagi. Udah cukup sejauh ini.
Hubungan ini pun belum berubah, masih mantan.
“Sha, tunggu sebentar, ya?”
Dia langsung negakin duduknya lagi, melihat gue dengan bingung.
“Tunggu apa?”
“Tunggu sampai aku siap buat bikin kenangan sama kamu lagi, ya, sebagai kita. Kali ini aku janji gak akan pernah berhentiin kenangan itu lagi. Aku bakal berusaha supaya kenangan yang ada di antara kita, gak pernah menjadi kenangan buruk.”
“Soonyoung,” kata dia sembari memegang tangan gue, “kalau perasaan kamu memang udah gak sama, aku gak papa.”
Soal perasaan, gue merasa gak pernah gunakan hal itu lagi semenjak di Jepang. Tapi, gue sadar kalau itu akan selalu ada buat Shasa. Lagipula, gue siapa sampai menyakiti perempuan ini berkali-kali?
“Nggak, Sha. Perasaanku, bakal selalu ke kamu. Aku cuma perlu waktu lebih buat biasain diri aku sebagai Soonyoung lagi.”
“Soonyoung, aku juga bakal selalu nungguin kamu. Cepat pulih, ya, sayangku?“
Setelah berkata itu, dia dengan berani mencium bibir gue. Cuma kecupan, sih.
Gelak tawa gue pecah lagi ketika dia langsung malu sendiri. Dia yang ngelakuin, dia juga yang salting.
“Shasa, terus lucu, ya. Biar aku cepet jadi Soonyoungnya,” ucap gue seraya memeluk dia dari pinggir. Anaknya makin malu.
“Ih, apaan sih, Soon?!“ Tapi, dia gak berusaha melepas pelukan gue.
Gila.
Gue nyaman banget sama orang ini, dan semoga dia juga ngerasain hal yang sama. Sehingga nantinya, gue sama dia bisa sama-sama nyaman untuk membentuk kenangan baru.
—Honeyshison
sorry for typo.