taut 6
Tags ⚠ Cheating, Toxic Family, mention of suicide attempts
Mungkin kehilangan yang paling membekas buatku cuma dua? Keduanya terjadi di waktu yang berdekatan.
Saat itu, hubunganku sama Cece bisa dibilang baik-baik aja. Kami sama-sama menikmati waktu bersama sambil nunggu waktu kelulusan. Di saat-saat kayak gitu, aku kehilangan sosok yang menjadi panutanku sejauh ini.
Antara kehilangan atau memang gak seharusnya aku punya dia.
Iya, itu Ayah atau yang sekarang aku sebut Papa.
Ayah jarang di rumah karena pekerjaannya, dia yang sibuk dan aku memakluminya. Ayah waktu itu pulang lebih cepat, biasanya seminggu sekali tapi waktu itu baru tiga hari dan dia ada di rumah. Ada yang aneh waktu itu, selalu ada motor yang penggunanya pakai helm yang menutupi seluruh wajahnya setiap Ayah pulang. Aku sadar karena aku selalu sambut Ayah kalau pulang. Tapi, karena motor itu jarang berhenti di sekitar rumah, aku selalu mikir kalau memang dia tinggal sekitar sini dan jam pulangnya barengan sama Ayah.
Kami menjalani rutinitas seperti biasanya, yang berbeda cuma kehadiran Ayah di rumah yang lebih lama dari biasanya. Di hari ketiga Ayah pulang ke rumah, aku gak sempat nyambut karena pulang telat habis perpisahan sama teman satu eskul. Gantian, jadi aku yang disambut sama mereka berdua.
Waktu makan malam, ada orang yang tiba-tiba masuk ke rumah tanpa salam sama sekali. Dia langsung berjalan ngedeket ke Ayah seraya nunjuk tepat di depan wajahnya.
“Jadi ini alasan Papa jarang pulang ke rumah?”
Iya, itu Mas Hoshi.
Ralat.
Itu Mas Soonyoung.
Mereka berdua bertengkar. Aku sempat membela Ayah karena waktu itu aku gak tahu sama sekali kenapa Mas Soon tiba-tiba berkata kayak gitu. Melihat Ibu yang cuma diam tanpa marah sama sekali, ngebuat aku yakin kalau cuma aku yang gak tahu sama sekali persoalan itu.
Pertengkaran mereka berdua adalah memori paling buruk buatku. Bahkan Mas Soon sempat teriak, “Gara-gara lo keluarga gue hancur!” ke arahku.
Setelah di dorong Ayah supaya Mas Soon pergi dari rumah, Ayah langsung berlutut di hadapanku. Banyak kata maaf yang keluar dari mulutnya. Gak lama setelahnya, Ibu ikut bersikap demikian.
Saat itu aku gak bisa balas omongan mereka. Di pikiranku cuma terlintas bahwa aku adalah anak hasil perselingkuhan.
Ayah sama Ibu memang menikah karena kehadiranku yang gak direncanakan, itu setelah Ayah menikah empat tahun sama ibunya Mas Soon, dan tanpa persetujuan dia. Sepertinya konflik ini memang hanya diketahui oleh para orangtua aja. Ngelihat reaksi Mas Soon, kayaknya dia juga baru tahu karena curiga sama Ayah.
Di hari itu, aku seakan kehilangan sosok Ayah yang selama ini aku bangga-banggakan.
Terlebih, gak lama setelah itu kami dapat kabar kalau Mas Soon kecelakaan.
Mas Soonyoung yang dibawa Ayah ke Jepang, dan kemudian mereka nyuruh aku buat tutup mulut soal anak pertama Ayah itu. Aku gak tahu kalau mereka malsuin kematian dia. Aku cuma tahu kalau Mas Soon bakal ganti nama jadi Hoshi seolah dia memang besar di sana.
Kehilangan keduaku terjadi disaat pikiranku masih terisi hal-hal yang udah kuceritain sebelumnya.
Dalam keadaan yang cukup menekan, Cece ngehindar tiba-tiba dariku. Padahal kehadirannya ngebuat aku gak terlalu fokus sama luka yang ada.
Pas hari kelulusan, dia tiba-tiba minta hubungan kami berakhir. Tanpa alasan sama sekali dia mutusin hubungan kami disaat kehadirannya jadi satu-satunya alasan supaya aku lebih kuat bertahan. Karena ketika aku merasa keluargaku jahat, aku masih bisa percaya kebaikan itu ada karena dia.
Selepas dia minta putus yang gak pernah aku setujui. Chaeyoung menghilang.
Aku kehilangan lagi, di waktu yang berdekatan.
“Gue mutusin lo waktu itu karena gue mau melepas semua alasan gue hadir di dunia, Chan. Keluarga gue waktu itu udah ninggalin gue, dan saat itu cuma lo yang nahan gue.”
Chaeyoung minta ketemuan. Dia mau selesain semuanya. Kali ini mungkin, aku sama dia bakal benar-benar putus.
“Kenapa?”
“Gue waktu itu menyerah sama dunia, harapan gue satu-satunya adalah supaya pergi dengan cepat dari dunia ini.”
Chaeyoung kelihatan tenang, pandangan matanya memang memandang kosong, tapi aku yakin dia cuma gak mau menunjukkan emosinya.
“Tapi, gue gagal buat pergi dari dunia ini, Chan. Ada seseorang yang nolongin gue, padahal gue udah nyoba buat gantung diri. Kalau dia lebih lama dateng, mungkin gue udah gak ada di hadapan lo sekarang.”
Aku natap dia ragu. “Tzuyu, kah?”
Dia mengangguk. “Iya, dia nyadarin gue banyak hal. Salah satunya, gue gak seharusnya melepas alasan gue buat bertahan.”
Kenapa aku jadi berharap...
“Makanya gue mencoba buat memperlakukan dia sebaik mungkin, karena sekarang alasan gue bertahan cuma dia.”
“Aku?” Aduh, kenapa keceplosan segala.
Chaeyoung menggeleng. “Gue sadar kalau dulu lo juga lagi tertekan, walau gue gak tahu karena apa. Gue gak mau nambah beban lo dan mutusin buat ngelepas lo, Chan. Kehadiran lo yang cukup lama gak ada di kehidupan gue ngebuat posisi itu bisa diambil sama Tzuyu.”
“Kamu sayang ya sama Tzuyu?”
“Iya, tapi bukan berarti gue pacaran sama dia. Lo gak harus mikir aneh-aneh.”
Meringis. Pas itu aku panik karena interaksi mereka berdua memang gak kayak temenan.
“Lo tahu, 'kan? Setiap manusia pasti akan punya luka yang suatu saat nanti bakal kebuka tanpa sadar. Mungkin detik ini kita juga lagi ngalamin hal itu, Chan.”
Kita? Dia ini tahu dari mana tentang Mas Oci yang tau aku ikut berbohong? Sekarang, masalahnya juga makin merembet karena Mas Oci mulai memberontak ke Papa. Keluarga kami sekali lagi ada di posisi yang gak baik-baik aja.
Sekali lagi, aku tanpa sadar malah berharap kehadiran Chaeyoung bisa membuatku gak terlalu fokus sama hal itu.
“Untuk buat luka itu sembuh, kadang daripada membuatnya pulih kita bisa melepas, Chan,” katanya.
“Gue udah mencoba buat pulihin itu semua. Ambil langkah dengan ngebiarin kakak-kakak gue untuk mantau gue lagi, bahkan tadi gue beraniin diri buat ketemu mereka,” sambung Chaeyoung, enggan melihat ke arahku. Dia kemudian menggeleng tanpa alasan.
“Tapi, gue tetep gak bisa. Gue malah ngerasa makin diteken, apalagi kehadiran lo yang ikut bantu Kak Nay.”
Final.
Aku kehabisan kata. Kupikir Cece udah mulai berdamai sama dirinya sendiri, dengan kerja di Kafe yang mengharuskan dia ketemu orang banyak udah termasuk langkah yang lumayan besar. Aku malah tanpa sadar ikut nekan dia...
“Ce, aku minta ma—”
“Nggak perlu, gue udah bosan sama kata itu,” potong dia.
“Gue mau mencoba melepas, Chan. Gue udah ngomong ke Kak Nay, kalau gue mau berhenti kerja di Kafe dan mau pergi dari Bandung. Bisa sementara, bisa juga selamanya.”
Lagi? Chaeyoung mau tinggalin aku lagi?
“Kali ini gue gak akan menghilang sepenuhnya, Chan. Lo masih bisa hubungi gue, tapi kayaknya bakal slow respon sih. Gue gak mau Tzuyu kesepian atau sedih, jadi tolong gantiin posisi gue ya?”
“Ce, tapi kita—”
Chaeyoung diam. “Gue melepas lo, Chan, sejak lama,” ucapnya tanpa keraguan sama sekali, “tolong ya? Lo juga kayak gitu. Ayo sembuhin dulu luka masing-masing, Chan. Gue gak bisa memastikan, tapi ada kemungkinan kalau dunia bakal berputar buat kita, Chan.”
“Kemungkinan,” ulangnya. Chaeyoung benar-benar gak mau aku berharap lagi buat hubungan ini. Satu-satunya yang bisa kuharapin dari dia adalah dia yang bakal pulang, dan gak selamanya pergi.
Tapi kata dia benar, untuk saat ini akan lebih baik kalau aku sama dia gak mempunyai hubungan. Dunia belum mau berputar buat kami, bahkan ada kemungkinan kalau itu akan menjadi tidak pernah.
“Aku juga melepas kamu, Ce,” ucapku sedikit bergetar, “janji ya gak putus komunikasi? Aku bakal nunggu soal itu.”
Dia mengangguk. “Janji, jangan marah kalau gue balasnya lama ya,” ujarnya diakhiri senyuman.
“Iya, Ce.”
Kali ini, aku mengizinkan sebuah kehilangan terjadi lagi supaya kami bisa sama-sama pulih.
—honeyshison. sorry for typo(s).