Tentang
Part of Taut.
Tentang Juni, Juwi, dan hal-hal yang baru disadari.
⚠ : Harsh words, mention of death and accident, typo(s).
Lo pernah kepikiran gak kalau satu hal terjadi hari ini, mungkin aja berhubungan sama kita di masa depan atau bahkan di masa lalu?
Gue masih inget gimana dulu ajakan iseng Soonyoung tentang bikin event besar-besaran di kantin sekolah. Kami yang baru aja selesai cap tiga jari, memutuskan buat rehat sebentar sambil minum es teh.
Gue sama Wonwoo gak begitu menolak, tapi gak juga nerima. Soonyoung dengan kepribadian isengnya, membuat kami merasa kalau itu cuma celetukan yang cuma bakal jadi sebatas omongan aja.
Sementara Jihoon, cowok itu berulang kali nyuruh Soonyoung buat lebih realistis dan gak bertindak impusif. Dia bersikap galak dan seolah menolak. Namun, kami berempat sebenarnya tahu kalau dia bakal selalu jadi orang pertama yang dukung Soonyoung.
“Lo tuh, realistis dikit bisa gak, sih?!”
“Gue serius ngomong ini. Gue juga mau adain event ini di bumi, bukan planet lain. Masih realistis.”
“Biarin anak ini berkhayal, kalau dia berhasil kita colong duitnya.”
“Hahahaha lo jahat banget anjir, Won.”
“Anjing lo semua.”
Coba lihat sekarang. Soonyoung yang diperbincangan itu berakhir dengan rasa kesal dan wajah cemberut. Sekarang dia tengah berdiri di sana, memperkenalkan koreografi baru yang akhirnya bakal kami tampilkan di event yang Soonyoung inginkan.
Kocaknya, ini didukung langsung sama salah satu siaran TV dan provinsi.
Lalu, gue juga masih inget ketika gue berulang kali menghindarkan Shasa dari segala hal yang berkaitan dengan Soonyoung. Sosoknya yang dulu gue ketahui meninggal itu, meminta gue untuk membuat Shasa membenci dirinya.
Gue terlalu terpaku pada 'ini permintaan terakhir Soonyoung' sampai gak kepikiran kalau Shasa mungkin mengalami hal yang lebih berat. Dia diputusin sama Soonyoung setelah seharian disenengin, besoknya dia dapat kabar kalau mantannya itu meninggal.
Sikap gue yang selalu menghindarkan Shasa dari segala hal tentang Soonyoung, bukan membuat dia membenci sosok itu. Tapi, malah membuat diri gue sendiri nyaris dibenci sama dia.
Yang kemudian, segala hal yang selalu Shasa ingat tentang sosok itu gak menjadi percuma. Pada kenyataannya, Soonyoung memang kembali datang ke dia.
Lihat?
Gue, si Juni yang cuma bisa meremehkan orang tanpa sadar. Gue melakukan sesuatu tanpa menyadari kalau segala hal yang terjadi pasti ada alasannya. Entah itu untuk kita mengingat masa lalu, atau alasan yang bakal kita temui di kemudian hari.
Iya, termasuk tentang seorang cewek yang nginjek kaki gue di bis pas pulang dari kampus.
“Kenapa harus di sini? Biasanya makan di minimarketnya,” ucap Tzuyu tapi tetap ngikut gue duduk di bangku taman.
“Angin ini lebih enak daripada AC.”
“Kita, 'kan, selalu makan di luarnya, Kak.”
Gue mencubit pipinya gemas, ngebales mulu.
“Biar lebih kerasa merenungnya,” jawab gue, dan kemudian dia mengangguk paham.
Mungkin dia kira merenung yang tadi gue kirim di chat kali, ya.
Anak itu sekarang fokus ngebuka bungkus cemilan yang dia beli. Tangannya yang habis memegang botol minuman dingin itu jadi sedikit basah, ngebuat dia kesusahan.
“Mau gue bantuin gak, Tzu?”
Tzuyu tertawa kecil sambil menyerahkannya pada gue. Gue mau gak mau senyuman, Tzuyu yang lagi ketawa selalu jadi kesukaan gue.
Dari dulu.
“Makasih, Kak,” kata dia setelah menerima kembali cemilannya. Gue cuma mengangguk dan sekali lagi meminum susu kotakan yang gue beli.
“Kak, aku tiba-tiba kepikiran, deh.”
Anak ini bicaranya masih kedengeran lembut. Dia yang jadi adik Mingyu dan temenan sama sejenis Cece pun, berhasil buat gak terpengaruh sama sikap kedua orang terdekatnya.
Jangankan mereka, sama gue aja dia masih gini-gini aja.
“Kenapa?”
“Kita tuh pertama kali saling lihat pas aku sama rekan kafe yang lain nontonin acara Allegra buat Chani, 'kan?”
Gue terdiam, memilih buat gak langsung menjawab. Mungkin memang itu momen pertama kali dia ngelihat gue, meski gak bertegur sapa. Di hari itu mata kami sama-sama sempat bertemu walau hanya sekilas.
Namun, buat gue gak seperti itu. Acara Allegra bukanlah saat pertama kalinya gue melihat Tzuyu.
“Kalau lo iya kali,” jawab gue menggantung, “kalau gue enggak.”
Dia bingung sekarang. Lucu, deh, ketika dia tiba-tiba kelihatan menahan napas buat menggali ingatannya lebih jauh lagi. Lebih jauh dari acara Allegra yang pertama kali ia datangi.
“Bohong, ya?”
Tawa gue pecah, dan gue yakin anak ini ngerasa gue habis ngerjain dia.
“Gak bohong.” Aduh, apa-apa nada suara lembut ini? Sungguh tidak Juni sekali.
Tapi, karena ini Tzuyu jadi gak papa.
“Gue pertama kali lihat lo di bis, pas gue baru aja pulang. Gue hari itu gak kebagian kursi jadi gue berdiri. Siapa sangka bakal ada yang nginjek kaki gue?”
Gue tanpa merasa gengsi menyandarkan kepala gue ke pundak Tzuyu. Tangan gue bergerak buat genggam sebelah tangannya.
“Gue udah mau marah, tapi pas balik pelakunya lagi ketawa. Cantik banget, dan gue jadi lupa sama kaki gue yang sakit.”
“Itu siapa yang ketawanya cantik?” tanya Tzuyu.
Ya Tuhan anak ini...
Udah jelas topiknya juga momen pertama pas gue lihat dia? Kenapa masih tanya siapa?
“Itu lo, Tzuyu.”
“Yakin banget itu aku, Kak? Kayaknya itu udah lama.”
Gue mengangguk. “Yakin, setelah bertahun-tahun gue ketemu dia lagi. Ketawanya masih sama,” ucap gue.
Benar.
Gue waktu itu tiba-tiba nanya ke Chan, bukan karena sekedar tertarik dan 'lewat TL' aja. Itu karena akhirnya gue ngerasa nemuin dia lagi. Di saat, gue udah mulai ngerasa salah karena harus menghindarkan Shasa dari segala hal yang berhubungan sama Soonyoung.
Namun, ketika ujungnya Chan bilang kalau Tzuyu pacaran sama cewek dan gue dengan begonya percaya. Gue cuma bisa bersikap 'ya udahlah, mau gimana lagi?'
Dari situ, gue jarang inget lagi sama sosok cewek yang nginjek kaki gue di bis. Berusaha lupain gimana cantiknya dia kalau ketawa dan tentunya ngehilangin rasa penasaran gue.
Itu jadi momen terbadut dalam kehidupan gue, tentunya.
Tapi, ternyata semesta gak cukup ngebadutin gue sampai itu aja. Lagi-lagi karena ulah Chan, gue harus menjadi orang pertama yang Tzuyu lihat setelah bangun dari tidurnya. Dengan anehnya, perempuan ini langsung memuji gue ganteng—walau itu bukan sebuah kebohongan, sih.
Bayangin aja bro, orang yang ngebuat lo menyerah sebelum berperang tiba-tiba bersikap demikian di momen yang bisa dibilang adalah interaksi pertama?
Masih kurang badut?
Gak lama setelah dia mulai baikan dan kembali bisa menggunakan ponselnya. Gue mendapat pernyataan kalau di suka Mingyu, kakaknya sendiri, gak sebagai kakak?
Itu badut karena gue waktu itu belum tahu gimana cerita aslinya.
Si Juni ini dapat pekerjaan jadi instruktur tari atau instruktur badut, sih?!
“Kalau emang aku, berarti ini semua—ih malu aku ngomongnya.”
Gue ketawa mendengar itu, gue juga bisa ngerasain dia yang menutupi wajah dengan kedua tangan. Gemes banget.
“Apaan, coba? Takdir, ya?”
“Udah lupain ih, Kak!”
“Ya elah, Tzu. Kalau emang takdir, bagus dong? Kita ini sama-sama diajak main dulu sama semesta sebelum bisa nemuin satu sama lain. Walau pas kita ketemu, kita sama-sama gak dalam keadaan pulih.”
Hening. Kali ini posisinya berganti, gue gak lagi bersandar pada pundak anak ini. Jadi dia yang bersandar ke gue dan tangan gue yang ada di bahunya.
Kami sama-sama ngelihatin langit sekarang.
“Kak Juni beneran udah ngerasa masa pengenalan kita cukup, 'kan?”
“Lebih dari cukup.”
“Kakak sayang aku?” tanya Tzuyu lagi.
“Lebih dari sayang.”
“Cinta?”
“Bukan,” jawab gue, “tapi bulol alias bucin tolol.”
“Ihh!” protes dia, gue yakin kalimat gue barusan emang udah merusak suasana. Perut gue tanpa belas kasihan dicubit dan gue cuma bisa meringis.
Gengsi kalau teriak.
“Walau kayak ngelawak, gue serius, Tzu. Makanya gue ngerasa insecure, gue udah kelanjur bulol. Gue takutnya sikap gue ngebuat lo gak nyaman sampai risih.”
Dia ngegeleng. “Kak Juni jangan lupa, aku yang pertama kali deketin Kakak. Waktu itu aku juga gak bilang keberatan, 'kan, kalau Kak Juni maunya langsung nikah?”
Gue tanpa sadar tersenyum kecil. Gila... gue rasanya mau teriak kalau gue sayang banget sama dia.
“Iya, lo gak keberatan. Tapi bapak lo keberatan,” ucap gue.
Sebenarnya gue ngajak dia tunangan bukan tanpa alasan. Ayah Tzuyu ngajuin syarat ke gue sebelum gue bisa buat nikahin anaknya. Salah satunya adalah supaya gue buat usaha disamping pekerjaan gue di akademi.
Ada benarnya juga, karena semakin tua tubuh gue, semakin gak kuat gue buat menari. Sekarang aja udah banyak capeknya.
Ngebayangin tubuh gue yang makin gak bisa diajak menari disaat itu satu-satunya pemasukan keluarga gue nantinya, sedih. Gue gak mungkin ngajak Tzuyu hidup susah ketika keluarganya aja selalu berusaha bawa dia ke tempat paling tinggi.
“Aku sebenarnya gak papa, Kak. Kalau kamu mau ajak dari bawah lagi,” ucap Tzuyu.
“Gue yang apa-apa, Tzu. Keluarga lo udah ngeusahain segalanya buat lo, masa gue datang-datang ngajak lo hidup susah?”
Dia tertawa kecil lagi. Meskigue gak bisa melihat wajahnya ketika tawa kali ini terdengar, yang pasti gue masih bisa dengar kalau dia gak memaksakan ketawanya.
Anak ini selalu menerima perasaannya. Sejauh ini, gue gak pernah lihat dia berusaha menyembunyikan apa yang dia rasakan. Raut wajah yang dia tunjukkan selalu sejalan sama perasaannya.
Tapi, kata orang-orang yang di dekat Tzuyu lebih lama itu bukanlah hal biasa. Tzuyu yang dulu selalu berusaha nunjukin kalau dia baik-baik aja kecuali ke Chaeyoung. Makanya gue sekarang udah gak heran kenapa dua orang dengan perbedaan kepribadian yang cukup jauh ini bisa dekat.
Mereka cuma berani jujur tentang apa yang mereka rasain ke satu sama lain. Berharap bisa saling memulihkan.
Semenjak kecelakaan itu, Tzuyu gak hanya jujur ke Chaeyoung. Tapi, ke semua orang. Gue ngerasa lega dengan hal itu.
Perasaan sedih gak sehat kalau terus menerus ditolak.
“Tzuyu,” panggil gue.
“Hadir, Kak Junii.”
Gue tersenyum. Tangan gue bergerak buat menepuk pelan pundaknya.
“Makasih udah bertahan sejauh ini dan kasih gue kesempatan buat hadir dalam perjalanan lo memulihkan hati. Gue harap lo mau nunggu sebentar lagi, ya? Gue bakal usahain supaya kita bisa cepat satu rumah.”
Tzuyu mendongak, menatap gue dengan senyuman termanis di dunia. Si dia menganggukkan kepalanya sebelum mengecup pipi gue sekilas.
“Aku bakal tungguin kalau Kak Juni izinin aku nemenin Kakak selalu,” jawab dia.
Gue ini siapa sampai harus menolaknya?
“Pasti. Besok kita ketemu lagi, ya?”
Tzuyu mengangguk. “Iya, Kak Juni. Aku tungguin Kakak loh, jangan sampai telat.”
“Siap melaksanakan perintah dari Nyonya Juwinya Juni!”
Kami tertawa setelahnya. Entah kenapa tawa kami terasa cocok ketika saling berbaur.
Sosok yang menginjak kaki gue di bisa waktu itu, sebentar lagi bakal jadi istri gue.
Satu hal yang kedengaran badut yang bakal selalu gue minta dan syukuri.