together ; honeymoon – 1

warning : kiss scene


Hiro tidak menanggapi kala Reyna mencubit bibirnya yang mengerucut sejak tadi. Istrinya itu tertawa kecil. “Aduh, adek ngambek.”

Reyna memeluk leher Hiro yang sedang duduk dari belakang. Perempuan itu mengecup sekilas pipi suaminya dan kemudian menempelkan pipi mereka berdua.

“Maaf, ya.”

Hiro tidak bisa menahan dirinya untuk terus cemberut setelah mendapat perlakuan itu. Ia memegang pergelangan tangan Reyna. “Udah, ayo pergi.”

Semalam mereka sudah membicarakan akan mengelilingi area yang ada di sekitar villa yang mereka sewa dari pagi. Namun, Reyna yang tiba-tiba dilanda kemalasan itu membuat rencana mereka menjadi bergeser. Hiro yang sudah antusias dari awal, tapi karena terlalu lama menunggu jadi kesal sendiri. Ia tidak mengatakan itu, tapi Reyna dapat tahu dari raut wajah yang suaminya itu tunjukkan.

“Kita makan dulu, yuk!” ajak Reyna seraya melepaskan pelukannya. Hiro bangkit dari duduknya dan kemudian merangkul pundak istrinya.

“Yuk.”

Mereka berjalan kaki menuju restoran yang sudah mereka cari semalam. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka menginap, jadi Hiro dan Reyna memutuskan untuk tidak naik kendaraan apa-apa. Dengan seperti ini, mereka lebih menikmati waktu bersama. Berjalan beriringan dengan disertai pemandangan yang cukup memuaskan mata.

Restoran yang mereka kunjungi adalah restoran yang menyajikan olahan laut. Reyna awalnya ingin memesan beberapa makanan, tapi Hiro yang malah memesan nasi goreng membuatnya mengurungkan niat.

“Permulaan dikit dulu, Reyn. Kita habis ini, 'kan, mau jajan. Lagian ini deket, kita bisa ke sini lagi besok,” kata Hiro.

Reyna kemudian menuruti karena ucapan Hiro ada benarnya. Tidak akan puas acara jalan-jalan mereka jika Reyna sudah kekenyangan di tempat pertama yang mereka datangi. Ujungnya, Reyna memesan satu porsi udang asam manis.

Butuh waktu cukup lama menunggu makanan mereka datang karena restoran sudah ramai mengingat sebentar lagi memang jam makan siang. Namun, hal itu tidak merusak suasana di antara keduanya.

“Zio ada rekomendasi resto lain, ntar kita coba ke sana kali, ya,” ucap Hiro sembari menunjukkan foto yang Kenzio kirim padanya.

“Boleh,” jawab Reyna. “Gue juga masih ada list-nya, sih, Ro.”

“Kita atur aja, ya, mumpung agak lama juga di sini.”

Reyna menumpukan dagunya pada tangan. “Boros gak, sih, kalo makan di luar terus? Di villa juga ada dapur, kan. Bisa kita manfaatin.”

“Hm, boleh, sih. Tapi gue juga gak keberatan kalo emang mau makan di luar. Ada, kok, uangnya.”

Reyna terdiam sejenak, mempertimbangkan. Pernikahan kemarin tidak mereka laksanakan secara meriah karena keduanya sepakat untuk memberatkan biaya pada acara bulan madu keduanya. Hiro dan Reyna juga sama-sama sudah berdiskusi soal biaya dan mereka menghitung biaya makan mereka dengan jumlah jika mereka membeli di luar terus menerus.

“Nanti kita belanja aja, ya. Setidaknya sehari tiga kali makan itu gak di luar semua.”

Hiro menganggukkan kepalanya tanpa perlu pikir panjang. Itu bukan hal buruk, ia tidak akan memaksa Reyna agar mereka membeli makan di luar setiap saat.

Makanan yang mereka pesan datang. Hiro menerima dan langsung mendekatkan udang milik Reyna pada pemesannya. Ia juga dengan segera mendekatkan nasi goreng seafood miliknya. Perutnya sudah memberontak minta diisi.

Satu suapan masuk ke mulut Hiro dan laki-laki itu memejamkan matanya meresapi rasa yang menyapa lidahnya. Hiro tanpa sadar tersenyum kecil saat mengunyah makanannya, ia puas dengan rasanya.

Begitu matanya kembali terbuka, Hiro langsung disuguhi Reyna yang tengah mengunyah dengan lambat memandangi nasi gorengnya.

“Reyn?”

Reyna mengerjapkan matanya dan kemudian tersenyum canggung pada Hiro.

“Lo mau nyoba? Nih,” ucap Hiro seraya mendekatkan piringnya ada Reyna.

Reyna tadi memandangi makanan Hiro karena penampilannya terlihat enak, belum lagi dengan reaksi yang Hiro keluarkan setelah mencobanya. Ia jadi penasaran. Ditawari seperti itu oleh Hiro, tentu Reyna tidak akan menolak.

Reyna mengeluarkan senyum puasnya setelah mencicipi nasi goreng Hiro. “Enak ... enak banget.”

Mata Reyna masih memandang pada makanan Hiro, mengabaikan makanannya sendiri. Hiro bisa menangkap hal itu, jadi ia bertanya, “Mau dituker?”

Reyna tersadar dan langsung menggeleng. “Eh gak usah, itu, kan, punya lo.”

Hiro tersenyum tipis. “Gue gak masalah kalo lo mau tuker.”

“Ih, Hiro ... jangan gitu, dong.”

“Beneran, Reyn. Mau gak?”

Reyna mengangguk dengan kaku dan Hiro langsung menyerahkan piringnya pada Reyna. Laki-laki itu juga memindahkan piring berisi udang manis milik Reyna menjadi berada di hadapannya.

“Habisin, ya.”

Reyna menggenggam tangan laki-laki itu. “Hiro, makasih, ya.”

“Santai, kayak baru kali ini aja kita kayak gini.”

Ini bukan kali pertama mereka bertukar makanan. Reyna beberapa kali memintanya dulu. Namun, entah kenapa semenjak mereka menikah, Reyna menjadi segan pada Hiro.

“Makan, Reyn,” ucap Hiro menyadarkan Reyna dari lamunannya.

“Ah, iya.”


Hiro langsung merebahkan dirinya di atas tempat tidur begitu mereka sampai di rumah. Perjalanannya memang terasa melelahkan karena mereka berjalan kaki, tapi Hiro menikmatinya.

Reyna duduk di sebelah Hiro sembari membersihkan make up di wajahnya. Setiap gerakannya, diamati oleh Hiro yang masih berbaring.

“Lo ganti lipstik?”

“Iya, Ro. Baru nyadar?”

“Gak, sih, baru keinget nanya. Dari tadi juga gue udah sadar, kok, bos.”

“Alesan.”

“Ih, gue serius.”

Reyna tidak membalas lagi karena ia sekarang tengah membersihkan bibirnya. Setiap gerakan Reyna, tidak pernah terlewat oleh mata Hiro.

Hiro mengubah posisinya menjadi duduk, membuat keduanya setara sekarang. Matanya masih belum lepas dari Reyna yang sibuk sendiri.

“Bos,” panggil Hiro membuat Reyna menoleh padanya dengan raut wajah bertanya.

Hiro tidak langsung membalas. Sebelah tangannya membingkai di sisi wajah Reyna dan kemudian menahannya di belakang kepala agar Reyna tidak terus memundurkan kepalanya.

Reyna terdiam, tidak menyangka Hiro akan melakukan hal ini.

Mata Hiro bergerak mulai dari memandang mata kiri Reyna, bergeser pada mata kanannya, dan berakhir turun ke bibirnya sebelum kembali menatap pada matanya. Wajah Reyna tanpa sadar memanas begitu menyadari maksud Hiro.

“Hiro—”

Reyna tidak melanjutkan kalimatnya karena merasakan ibu jari Hiro pada bibirnya. Jari itu bergerak untuk mengusap bibirnya dengan halus.

“Boleh?”

Reyna terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Hiro tersenyum tipis setelah mendapatkan persetujuan dari Reyna.

Hiro semakin mempersempit jarak wajah mereka berdua. Laki-laki itu awalnya memberi kecupan di kening Reyna, pipi, dan hidungnya. Ia kemudian mengecup bibir Reyna sebelum memulai ciuman keduanya.

Reyna memejamkan matanya ketika Hiro menghisap bibir bawahnya. Perempuan itu mengalungkan tangannya pada leher Hiro ketika ia sudah bisa mengimbangi permainan bibir Hiro.

Hiro melepaskan ciuman keduanya hingga tercipta benang saliva yang entah milik siapa. Laki-laki itu tersenyum menatap wajah Reyna yang memerah. Ia kemudian kembali menyatukan bibir keduanya, belum puas dengan yang sebelumnya mereka lakukan.

Mereka terus beradu lidah sampai Reyna menepuk bahu Hiro karena merasa napasnya akan habis. Hiro menjauhkan wajah keduanya dan Reyna langsung menarik napas dengan rakus.

Hiro tidak tinggal diam. Laki-laki itu menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Reyna. Tangan yang semula ada di belakang kepala istrinya sudah turun ke pinggang dengan satu tangan yang menelusup masuk ke dalam pakaian yang Reyna kenakan.

Hiro memberi kecupan dan gigitan kecil di area yang menjadi tempat kepalanya beristirahat. Tangannya yang masuk ke dalam pakaian Reyna mengelus sepanjang punggung perempuan itu.

Reyna memejamkan matanya kala merasakan hisapan Hiro di ceruk lehernya. Perempuan itu memeluk tubuh suaminya. Reyna membiarkan Hiro melakukan apa yang ia inginkan.

Hng, Hiro.”

Dua kata yang baru saja Reyna katakan itu membuat gerakan tangan Hiro berhenti. Untuk beberapa saat, Hiro mematung di tempatnya.

Reyna menjauhkan dirinya untuk melihat ekspresi Hiro. Wajah laki-laki itu sudah merah dan menunjukkan ekspresi seakan tidak percaya dengan apa yang baru ia lakukan.

“Hiro,” panggil Reyna, berhasil menyadarkan Hiro dari pikirannya yang tiba-tiba berkecamuk.

Hiro memegang kedua pundak Reyna dan menundukkan kepalanya. Reyna baru menyadari kalau telinganya pun ikut memerah.

“Maafin gue, Reyna.”

Reyna mengernyit, memandang Hiro dengan heran. Kenapa ia tiba-tiba meminta maaf?

“Kenapa minta maaf, sih? Kan, gue juga menikmati.”

Hiro tidak membalas. Ia malah semakin malu mendengar tanggapan yang Reyna berikan.

Hiro berdiri tanpa aba-aba membuat Reyna semakin kebingungan dengan tingkahnya. “Tolong maafin gue.”

“Hiro—”

Please, maafin gue, Reyn,” ucap Hiro. “Gu-gue mau mandi dulu.”

Dengan gerakan yang menunjukkan kalau ia sedang panik, selaras dengan wajahnya yang masih memerah, Hiro berjalan menuju kamar mandi dengan cepat. Ia meninggal Reyna yang masih kebingungan.

Setelah beberapa saat Hiro ada di kamar mandi, barulah Reyna menggeleng kecil. Ia merebahkan dirinya dan menutup wajahnya sendiri. Rasa malu yang tadi Hiro rasakan, baru menghinggapi dirinya.

“Hiro, cupuuuu!” ucapnya cukup keras, sengaja agar laki-laki itu mendengarnya.

“Maafin gue!” balas Hiro dari dalam kamar mandi.

Ah, gila.