Waktu terkadang berlalu begitu cepat. Dulu mereka masih terlihat seperti anak SMP yang baru belajar jualan—sekarang juga masih, sih. Bedanya sekarang penghasilan mereka sudah cukup banyak.
Setelah banyak hal yang mereka lalui belakangan ini, baik yang enak atau tidak enak. Mereka sudah cukup memahami agar bisnis ini tetap berjalan meski sudah bukan bulan puasa lagi nantinya.
Ini belum memasuki jam-jam ramai oleh pengunjung. Jadi, ketujuhnya sama sekali tak terlalu memikirkan ketika belum ada pembeli. Alasan lainnya adalah karena mereka takut Jeje mengamuk.
Oci datang lebih lambat dari yang lain. Tanpa berkata banyak, ia menyerahkan uang yang diterima kepada Jeje.
“Macet gak?” tanya Wira setelah Oci duduk di bangku kayu yang mereka bawa.
“Banget,” jawab Oci.
“Jumat, sih. Mana banyak yang gajian pastinya, pada pengen jalan-jalan dulu,” sahut Jun, tiba-tiba bergabung. Padahal sebelumnya laki-laki itu tengah sibuk merapikan sayuran yang dipakai untuk kebab.
Zidan hanya mendengarkan sembari menghitung uang koin sebagai persediaan untuk uang kembali. Entah apa tujuannya melakukan itu.
Di sisi lain, para perempuan masih sibuk dengan tugasnya masing-masing. Jeje dengan risolnya, Caca yang bantu menyusun sesuai isi, dan Momo yang memeriksa minuman yang akan mereka jual.
Menyadari akan ada yang berjalan mendekati mereka membuat Jeje lantas berbalik dan berkata, “Hey, cowok. Tolong itu dilayani dulu.”
Jun lantas berdiri dengan penuh antusias. Wira juga sama, ia lantas mendekat pada meja yang memisahkan mereka dengan pembeli. Zidan kembali ke tempatnya yakni menerima uang dan Oci memilih untuk tak melakukan apa-apa. Toh, sudah ada yang lain.
“Ah, bener. Dia mau beli, pasti anaknya jajan banyak nanti,” kata Jun ketika perempuan itu semakin dekat dengan mereka.
Ketika ibu dan seorang anak kecil yang ia tuntun itu berhenti di depan mereka, apa yang ia katakan pertama kali merupakan hal tak terduga.
“Eh, Mas Wira jualan di sini,” ucapnya membuat keenam orang yang namanya tak disebut melihat ke arah Wira.
Wira tertawa canggung. “Iya, nih. Udah cukup lama juga. Saya ngikut yang lain aja, Bu. Daripada gabut.”
“Jadi, mau pesan apa, Bu?”
“Ini si dedek mau es coklat katanya.” Ia menggantungkan kalimatnya untuk melihat apa saja yang mereka jual. “Sama kebabnya satu, ya. Jangan pedes, Mas.''
” Siap, Bu,” sahut Jun dan langsung membuat kebabnya. Di sisi lain, Momo juga membuat minuman.
“Piscok sama risolnya, Bu, sekalian. Cuma 2 ribu,” ucap Jeongyeon sembari menunjukkan makanan yang ia sebut. “Masih anget, nih, Bu.”
“Aduh, boleh, deh. Nyoba dulu, ya, masing-masing satu.”
Jeongyeon mengangguk dan memberi kode pada Caca. Caca lantas segera membungkusnya sesuai pesanan.
“Dijamin enak, Bu. Ini kami bikin sendiri, loh. Apalagi isiannya, dibikin sama Jeje,” balas Wira dengan tawa ringan yang mengakhiri kalimatnya.
Ibu itu ikut tertawa.Ah, anak muda sekarang, segala pengen dicoba . Bisa aja ngomongnya.
Mendengar kalimat Wira barusan, membuat Zidan menyikut Wira pelan. Gerakan itu tak lepas dari pandangan ibu pembeli mereka yang masih menunggu kebabnya jadi.
Ia melihat pada Zidan dan tersenyum lembut.
“Waduh, Mas Wira ... ini adiknya kah? Sudah besar lagi, ya. Selama ini jarang kelihatan, adiknya ngekos, Mas?”