karsalakuna

“Sekarang, Mas harus percaya kalau dia bakal kembali.”


Gue Mingyu.

24 tahun hidup di dunia, gue udah berani bilang kalau gue udah cukup banyak ngalamin pahit-manisnya kehidupan.

Mungkin sekitar umur 14 tahun ketika gue kehilangan Ayah, sosok yang selama ini selalu gue puja dan hormati. Sosok yang akan selalu gue jadikan sebagai panutan.

Gue masih ingat bagaimana gue tiba-tiba dibangunin buat ke rumah sakit. Ayah jatuh di kamar mandi, gue gak dijelasin bagaimana kejadiannya. Yang jelas apa yang gue terima adalah Ayah pergi lebih dulu, ninggalin kami semua.

Untuk ikhlas terhadap kepergian seseorang yang paling peduli sama kita itu sulit, tapi gue bisa apa saat itu selain mencoba? Dengan gue menangis atau gak terima atas kepergiannya, itu gak akam membuat matanya kembali terbuka untuk sekedar menatap gue.

Keluarga gue bukanlah keluarga yang kaya. Setelah kepergian Ayah, Ibu mati-matian cari kerja karena sebelumnya beliau hanya ibu rumah tangga, Ayah gak pernah mengizinkan dia buat kerja. Kondisi ibu yang gampang sakit adalah alasannya.

Gue merasa gak enak, tapi siapa sih yang bakal nerima anak 14 tahun buat bekerja? Jadi, yang gue lakukan saat itu cuma berjualan. Gue gak bohong kalau gue merasa kesepian.

Yang biasanya pulang sekolah ketemu Ibu di rumah, sekarang nggak. Untuk mengurangi beban Ibu, gue melakukan pekerjaan rumah. Masak, bersih-bersih dan yang lain, setidaknya gue bisa mengurangi kesepian yang gue dapat. Seiring berjalannya waktu, gue mulai terbiasa soal kepergian Ayah, bukan cuama gue tapi Ibu juga.

Gue merasa cukup meski cuma berdua sama Ibu.

Tapi, itu harus gue telan kembali begitu sosok Tzuyu memasuki kehidupan gue. Gue kenal dia pas gue ada di tahun akhir SMK. Dia sebagai murid angkatan baru yang datang telat di hari pertamanya.

Si tuan putri yang tetap mempertahankan dirinya untuk tetap menggunakan aku-kamu meski orang-orang di sekitarnya udah gue-lo. Dia sama sekali gak terpengaruh.

Itu menambah daya tarik dia di mata gue. Tzuyu cantik, ramah lagi. Makanya julukan tuan putri jadi melekat pada dirinya. Belum lagi dengan ayahnya yang gak pernah ragu untuk menunjukkan kepeduliannya dan Tzuyu yang gak pernah gengsi.

Dari sekian banyak yang mendekati dia, entah kenapa gue menjadi orang yang dia pilih. Sama-sama kehilangan satu sosok dalam keluarga, membuat gue sama dia setidaknya sedikit saling memahami. Bedanya, Tzuyu kehilangan sosok ibunya bahkan itu saat masih kecil.

Sama seperti gue memandang Ibu begitu tinggi, Tzuyu juga demikian pada ayahnya. Rasanya apapun bakal kami lakuin buat kebahagiaan mereka.

Tzuyu setiap hari ada aja tingkahnya yang ngebuat gue makin sayang sama dia. Gue gak akan bisa kalau seandainya harus pisah meskipun Tzuyu yang minta. Gue cukup percaya diri kalau Tzuyu gak akan pernah mengucapkannya kalimat perpisahan ke gue.

Ekspetasi hanya ekspetasi.

Ketika gue udah selesai dengan urusan sekolah dan tinggal nunggu hari kelulusan aja, gue berniat membawa Tzuyu buat ketemu Ibu. Tzuyu lagi senggang dan Ibu lagi libur, gue mau memanfaatkannya dengan baik.

Yang gak pernah gue duga saat itu adalah keberadaan mobil yang gak asing terparkir di rumah gue. Itu adalah mobil ayahnya Tzuyu.

Tzuyu sama bingungnya, kami saat itu memang belum memperkenalkan masing-masing ke keluarga. Gue yang sibuk sebagai siswa kelas akhir dan Tzuyu gak mau mendesak gue, toh dia masih 15 tahun, belum berpikiran serumit itu.

Ketika gue mau memperkenalkan Tzuyu sebagai pasangan, di hari yang sama, Ibu juga mau memperkenalkan ayahnya Tzuyu sebagai seseorang yang akan menjaga kami nantinya, menjadi ayah baru buat gue.

Semesta emang lucu.


Gue memasuki rumah dengan langkah yang berat. Kalau bukan karena perasaan gak enak gue pada Tzuyu, gue gak akan mau malam-malam ke sini cuma buat ngecek dia.

“Akhirnya, kamu pulang. Udah makan, Kak?” tanya Ibu yang pertama kali lihat gue. Gue menggeleng dan itu memunculkan raut antusias dari wanita yang udah membawa gue ke dunia ini.

“Sini, Kak. Makan sama-sama,” ucapnya lagi. Kalau diingat lagi, mungkin ini kali kedua gue makan sama Ayahnya Tzuyu.

Tzuyu udah lahap, gue lega karena tampaknya perasaan gue bukan pertanda apa-apa. Seharian ini juga gue mantauin akunnya sama Cece, itu berhasil bikin mood Tzuyu membaik. Gue harus berterima kasih sama cewek itu.

“Kamu tidur di sini?” tanya Ayah Tzuyu kedengeran canggung, setelah keputusan gue untuk gak menjadikan rumahnya ini sebagai tempat pulang memang membuat hubungan kami gak jadi dekat. Itu juga membuat hubungan gue sama Tzuyu dan Ibu merenggang.

Untungnya, mereka mau untuk memahami.

Gue mengangguk. “Hari ini aja ...,” balas gue. Kemudian tak ada lagi obrolan yang terjadi, kami sama-sama fokus sama makanan.

Gue kangen masakan Ibu, tapi gengsi kalau harus lahap makannya. Jujur.

Selesai makan, gue memilih untuk duduk di ruang tengah, nonton TV. Tzuyu tahu-tahu jalan ngedeket ke arah gue dan mengadahkan sebelah tangannya ke arah gue.

“Kenapa?” tanya gue bingung.

“Pinjem motor hehe, mau ke minimarket tadi. Biar cepet.”

Gue gak tahu dia bisa bawa motor?

“Kamu bisa?” Tzuyu mengangguk.

“Waktu itu belajar bareng Cece, diajarin Kak Vernon,” balasnya.

Kenapa gue jadi gak yakin ya?

“Kakak anter aja,” ucap gue dan Tzuyu langsung menggeleng gak terima.

“Gak boleh! Kak Mingyu harus nemenin Ayah sama Ibu!”

Anak ini kenapa sih dari tadi bahasnya itu terus?

“Kak Mingyu, aku gak bakal kenapa-kenapa. Lagi pula jalanannya kan sepi,”

Gue menarik napas panjang, memilih buat pasrah. Gue mengeluarkan kunci motor dari saku jaket yang belum gue lepas semenjak masuk ke rumah.

“Aku janji bakal pulang kok, Kak. Kak Mingyu temenin dulu Ayah sama Ibu, ya.”

“Iya Tzuyu,” balas gue ragu.

“Ibu, aku jadi ke depan ya!” seru Tzuyu dan dibalas 'iya' oleh Ibu yang ada di dapur.

“Aku pergi ya, Kak, awas loh kalau aku pulang kakak udah gak ada.”

“Gimana mau pergi kan motornya dibawa kamu?” Tzuyu ketawa, manis. Gue menggelengkan kepala gue, gue harus berhenti sayang sama anak ini sebagai orang lain. Mulai sekarang gue harus sayang sama dia sebagai saudara.

Tzuyu menjauh, gue menatap punggungnya sampai hilang dibalik pintu rumah. Gue menyandarkan diri dan memejamkan mata.

Hari ini gak banyak yang gue lakuin, tapi rasanya perasaan gue dibuat campur aduk tanpa penyebab yang jelas. Tanpa sadar, gue ketiduran dalam posisi duduk.


Gue ngerasain pipi gue ditepuk. Begitu buka mata, hal yang pertama gue lihat adalah wajah Ibu yang panik.

Deja vu.

Gue tiba-tiba keinget saat Ibu ngebangunin gue karena Ayah harus dibawa ke rumah sakit. Raut yang Ibu tunjukkan sama dengan yang ia tunjukkan sekarang.

“K-kak, Tzuyu kecelakaan. Ayo ke rumah sakit.”

Perasaan gak enak gue terbukti. Pikiran gue benar-benar kosong selama perjalanan ke Rumah Sakit. Gue gak suka tempat itu semenjak Ayah meninggal. Sekarang, gue kembali kesana untuk orang yang bisa beri gue kepedulian yang tinggi.

Tzuyu udah janji kalau dia bakal pulang. Tapi, gue takut. Gimana kalau pulangnya Tzuyu bukanlah ke rumah?

Gue belum sanggup, gue gak mau kehilangan Tzuyu secepat ini. Bahkan gue belum minta maaf ke dia atas sikap gue belakangan ini.

“Pasien masih dalam pemeriksaan.” Itu adalah bagian yang bisa gue tangkap, gue mundurin diri sampai badan gue nabrak tembok.

“Kak, Tzu-tzuyu bakal baik-baik—”

“Ibu dulu bilang gini juga soal Ayah, pada kenyataannya dia pergi ninggalin kita!”

Napas gue memburu, perasaan gue gak tentu. Gue gak mau melampiaskan hal itu ke orang yang khawatirnya sama kayak gue sekarang.

“A-aku mau sendiri dulu,” ucap gue sebelum berlari dari sana. Meninggalkan mereka berdua yang gue yakini menatap gue nanar.

Niat gue untuk pergi keluar terhambat karena gue yang gak lagi fokus ini nabrak seseorang. Gue gak berucap apa-apa, tapi langkah gue berhasil dibuat berhenti.

“M-maaf saya kurang fo—loh Mas Mingyu?” Mendengar nama gue, kepala gue terangkat.

Itu Mina.

“Mas Mingyu kenapa ada di sini? Ada yang sakit, kah?” tanya dia lagi, terlihat khawatir.

“Mina,” panggil gue lirih, “gue ... gue gak mau dia pergi.”

Pecah.

Di tengah koridor yang sepi, gue terjatuh. Kaki gue yang gue paksa kuat seakan kehilangan kekuatannya bahkan untuk sekedar menahan gue buat berdiri. Mina mensejajarkan dirinya sama gue, mengelus pundak gue lembut.

“Mas—”

“Mina, gue gak mau dia pergi.”

Yang terjadi selanjutnya Mina menarik gue ke dalam pelukannya. Di hadapan sosok yang belum berhasil gue kenali, gue menangis sejadi-jadinya.

Gue beneran takut Tzuyu bakal pergi. Gue gak mau dia pergi.

“Mas Mingyu percaya kalau dia orang yang kuat, 'kan?”

Gue mengangguk. Tzuyu memang kuat, dia bahkan jauh lebih kuat dibandingkan gue.

“Sekarang, Mas harus percaya kalau dia bakal kembali. Kalau udah tenang, berdoa ya, Mas. Aku bakal nemenin Mas Mingyu sampai tenang.”

Gue gak tahu apa yang bakal terjadi sama gue kalau gak ketemu orang yang sekarang tengah memeluk gue ini.

Benar kata Mina, gue harus percaya kalau Tzuyu bakal nepatin janjinya.

Dia bakal pulang.


Suasana di ruangan itu canggung.

Baik Soonyoung ataupun Sana tak banyak bersuara. Ini sebenarnya bukan hal yang aneh, tapi bedanya kali ini adalah adanya kecanggungan diantara keduanya.

Soonyoung menghela napasnya, sudah cukup. Rasanya aneh sekali harus bekerja dalam suasana seperti ini. Sungguh tidak nyaman. Ia memutuskan untuk bersuara lebih dulu. Meminta maaf.

Pesan semalam tidak diberi balasan oleh Sana, membuat Soonyoung berpikiran kalau Sana tidak nyaman dengan pesan yang ia kirim.

“Sana, saya minta maaf kalau apa yang saya katakan semalam membuat kamu tidak nyaman.”

Diam, tak ada balasan cepat seperti yang biasa wanita itu berikan. Namun, jarinya yang tengah mengetik sempat terpaku beberapa saat sebelum memilih untuk diturunkan, menumpu pada kedua pahanya.

“Pak, maaf semalam saya tidak balas lagi. Saya ... saya hanya bingung mau membalas seperti apa,” jawab Sana diakhiri sebuah ringisan.

Soonyoung mengerjapkan matanya beberapa kali. “Saya kira kamu tidak balas karena lupa, marah-marah dulu ke Eunbi.”

Sana meringis sekali lagi, ucapan Soonyoung tidak sepenuhnya salah, selain bingung ia juga terlanjur mengomel kepada Eunbi. Rupanya Eunbi memintanya membicarakan apa yang membuatnya kesal dari sikap Soonyoung adalah untuk dikatakan pada orangnya langsung. Malu, kesal dan bingung bercampur menjadi satu sehingga perempuan itu tidak membuka ponselnya lagi sampai sekarang.

Hening terjadi lagi. Membuat Soonyoung memutuskan untuk kembali berucap, “Kamu kenapa tiba-tiba kepikiran untuk berhenti?”

Sana terdiam untuk beberapa saat, cepat atau lambat Sana pasti akan mengatakan hal ini kepada Soonyoung. Bertahun-tahun menjadi rekan kerja, bukan berarti tak pernah terjadi obrolan pribadi diantara keduanya. Sering, malah.

“Itu ... ibu sudah mulai menuntut saya untuk menikah. Katanya saya terlalu fokus dengan pekerjaan sehingga belum punya calon di umur saya sekarang. Jadi, saya diminta untuk berhenti, Pak.”

Soonyoung mengukir senyuman tipis, kemudian dia berkata, “Saya juga dituntut hal yang sama, Sana. Rasanya pasti berat kalau saya menikah dan istri saya tidak akan percaya pada saya karena saya punya kamu sebagai PA.”

Sana mengernyit, Soonyoung adalah orang yang profesional, istrinya pasti akan mengerti. Lagi pula Sana tidak bisa menjamin keberadaannya sebagai PA akan berlanjut sampai Soonyoung menikah nanti.

“Kan nanti saya berhenti, Pak ...,” jawab Sana terdengar ragu.

Ada hening lagi diantara keduanya.

“Kamu belum mempunyai calon, 'kan?” Sana mengangguk sebagai jawaban.

“Bagaimana kalau kita menuntaskan tuntutan itu bersama-sama?”

Sana menunjukkan raut herannya. Kerutan terlihat jelas di dahi wanita itu, ia takut salah menduga. Kalimat Eunbi kembali terdengar dalam pikirannya.

“Maksudnya, Pak?”

“Kita menikah, Sana.”

Tenang.

Nada suara Soonyoung teramat tenang, laki-laki itu seperti biasanya, seakan apa yang ia ucapkan merupakan tawaran pekerjaan atau bujukan agar idenya diterima. Sana menjilat bibir bawahnya, merasa gugup tiba-tiba karena tatapan Soonyoung begitu lurus dan lekat.

Berbeda dengan Sana yang sedang menahan dirinya untuk tidak meneriakan kata 'gila' kepada atasannya itu.

Tak kunjung menerima jawaban, yang lebih tua bangkit dari duduknya. Dua malam terakhir pikirannya dipenuhi oleh hal ini. Apa yang Eunbi dan Chaeyoung sarankan memang masuk akal, hanya saja ia takut hal ini akan merubah segalanya.

Ia tidak mau kalau nantinya, hubungannya dengan Sana memburuk, hanya itu saja.

Menikah dengan Sana setidaknya lebih baik daripada seseorang yang dipilihkan oleh sang ibu. Seseorang yang belum Soonyoung ketahui dengan jelas, apalagi ini soal pernikahan, bukan hanya sekedar pacaran.

Jaraknya dan Sana kini hanya dibatasi oleh meja kerja wanita itu. Soonyoung masih mempertahankan tatapannya kepada Sana, sehingga perempuan itu seakan membeku di tempatnya.

Soonyoung menumpukan badannya pada kedua tangan yang ia letakkan di atas meja. Badannya sedikit membungkuk guna mendekatkan wajahnya pada Sana. Sana spontan memundurkan badannya, tapi terhalang, jadi sekarang dirinya hanya bersandar agar jaraknya dengan Soonyoung cukup jauh.

Semakin sempit jaraknya, semakin sulit untuk mengelak. Soonyoung tengah mencoba membuktikan kalimat itu sekarang.

“Sana, saya merasa lebih baik menikah dengan seseorang yang sudah saya kenal dibandingkan yang hanya sekedar tahu,” ucap Soonyoung pelan, “kamu tidak perlu berhenti bekerja jika menikah dengan saya. Sisi baiknya, kita tidak akan lagi dikejar tuntutan.”

“Apakah kamu setuju, Sana?”

Pernikahan bukanlah hal sepele, dia bukanlah sebuah akhir, melainkan awal yang baru. Perkataan Soonyoung seakan pernikahan adalah akhir dari tuntutan yang diterimanya, sementara Sana tidak berpikiran demikian. Setelah menikah, ia yakin akan lebih banyak tuntutan yang datang.

Namun, ketika dirinya berhasil dibuat tenggelam oleh tatapan tajam Soonyoung, tanpa sadar kepala Sana bergerak untuk mengangguk. Berlawanan dengan apa yang ada dalam pemikirannya, ia juga berkata, “Baik, Pak. Saya setuju untuk menikah dengan Bapak.”

Soonyoung tersenyum miring dan kembali menegakkan dirinya. Tangannya bergerak untuk mengelus pelan pucuk kepala perempuan itu.

“Terima kasih banyak, Sana. Untuk hadir di kehidupan saya sampai detik ini, terima kasih.”

Lagi.

Ada terima kasih lagi yang diucapkan Soonyoung. Sungguh, Sana tidak tahu apa alasan Soonyoung selalu mengakhiri percakapan mereka dengan kata itu akhir-akhir ini.


—honeyshison.