taut 9
“Kamu beneran mau ikut?” tanya Mingyu ke arah Tzuyu. Semenjak adiknya itu pulang dari rumah sakit, hubungan keduanya makin bertambah canggung. Tetapi, dua orang itu tidak pernah berhenti untuk mencoba membiasakan diri dengan status mereka sekarang.
“Iya, aku bosen di rumah. Aku belum boleh kerja ... di rumah ditinggal terus.”
“Maaf, ya,” balas Mingyu diakhiri dengan ringisan, “kamu emangnya udah gak masalah naik motor? Gak trauma?”
Tzuyu menggeleng. “Kalau dibonceng kayaknya gak papa.”
Mingyu menghela napasnya. “Ya udah deh, ayo. Kalau gak sanggup langsung bilang, ya?”
Senyum lebar muncul di wajah yang lebih muda. Dia mengangguk antusias kemudian bangkit dari duduknya dengan segera.
“Ambil helm punya Ibu, gih, kamu belum beli yang baru, 'kan.”
“Siap, Kak Mingyu!”
Mingyu tersenyum kecil sembari memperhatikan punggung Tzuyu yang perlahan menjauh dari pandangan. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya, menyemangati dirinya sendiri. Dalam hari ia meyakinkan diri kalau ini akan membuat hubungan keduanya membaik.
Mereka akan pergi ke Allegra. Bukan tanpa alasan, sih. Mingyu hari ini dapat perintah dari Seungcheol untuk melakukan wawancara dengan mereka tentang acara akhir tahun. Walaupun saat pelaksanaanya nanti, bukan Mingyu yang meliput.
Kalau kata Wonwoo, ini buat promosi akademi mereka. Karena mengatakan akan berangkat sendiri tanpa rekannya itu, Tzuyu tiba-tiba meminta supaya Mingyu membawanya.
Mingyu khawatir dengan kondisi Tzuyu. Ia sebenarnya sangat tidak keberatan kalau harus membawa adiknya itu. Toh, di sana juga ada Chan sama Jun yang Tzuyu kenali.
Kalau tentang hubungan Tzuyu dan Jun sekarang, Mingyu tidak mau memaksakan diri untuk mencari tahu.
“Kak, jangan ngelamun.”
Mingyu sedikit tersentak karena itu. “A-ah ayo, berangkat,” ucapnya kaku.
Selanjutnya, Tzuyu membuntuti Mingyu hingga sosok itu naik ke motornya lebih dulu untuk memanaskan mesinnya. Perempuan itu lebih memilih untuk menunggu sambil berdiri.
“Tzu, ayo naik. Ini kaya—”
“Kak Mingyu,” potong Tzuyu. Ada penekanan di sana, sehingga Mingyu tanpa sadar memfokuskan dirinya pada sosok itu.
“Iya?”
Tzuyu mengerjapkan matanya beberapa kali. “Uhm, aku mau minta maaf.”
Baru saja Mingyu akan membalas, adiknya itu sudah kembali berbicara.
“Soalnya semenjak sadar aku ngehindarin kakak, dan maaf buat yang lainnya—buat semuanya,” ucap Tzuyu, “ayo damai, Kak. Mari lanjutkan hidup sebagaimana mestinya, sebagai saudara pada umumnya.”
Mingyu terdiam, lidahnya terasa kelu. Ini bukanlah pertama kalinya Tzuyu mengajaknya untuk seperti itu, tapi dulu ia selalu merasa berat. Bukan perkara mudah untuk Mingyu kalau harus melupakan hubungan awal keduanya. Anehnya, kali ini merasa sedikit lega.
Mingyu tersenyum tipis. “Aku juga minta maaf, Tzu. Untuk semuanya. Ayo lanjutin hidup sebagai sepasang adik kakak.”
Tzuyu tersenyum lebih lebar setelahnya. Ada perasaan lega diantara keduanya.
“Damai nih, Kak?” tanya Tzuyu sembari menunjukkan jari kelingkingnya pada Mingyu.
Mingyu ikut tersenyum lebar seraya menautkan jari kelingking keduanya. Setelahnya, ia berkata, “Damai.”
Hari itu tidak hanya hubungan baru keduanya yang mencoba untuk berdamai. Tetapi, ada dua pasang jiwa yang juga mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Dengan perasaannya.
“Saya sama Wonwoo mau bahas buat acara tiga akademi itu. Mau wawancara dulu atau gimana?” tanya Soonyoung seraya mengelap keringatnya. Mereka baru saja selesai gladi kotor, dan itu saja cukup membuat Wonwoo, Mingyu dan Tzuyu bertepuk jangan padahal mereka hanya menonton akhirnya saja.
“Gue bisa wawancara sendiri, kok, siapa tahu kalian mau langsung bahas.”
“Ketuanya aja Soonyoung, lo mau wawancara siapa lagi?” balas Wonwoo seraya menyikut Mingyu.
Mingyu meringis. “Lupa udah ganti, hehe.”
Soonyoung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Waktu itu bukannya pernah, ya, kalian wawancara ke sini? Wawancara siapa?” tanyanya.
“Mina, terus gue sama Momo dikit, Mas,” sahut Nayeon.
“Oh balet, ya,” ucap Soonyoung, “Mina sama Momo gak masalah kalau diwawancara lagi? Saya butuh Mbak Nay buat diskusi yang tiga akademi.”
Momo langsung mengacungkan Ibu jarinya. “Gak papa, santuy,” katanya, sementara Mina cuma mengangguk.
“Oke kalau gitu. Mas Mingyu bisa wawancara ke Mina, sama Momo. Sasha, Chani sama Juni koordinasiin anak-anak, ya. Saya, Wonwoo, Mbak Nay sama Minghao bahas yang tiga akademi, biar bisa lekas pulang juga.”
Orang-orang yang namanya disebut itu, secara hampir bersamaan membalas, “Siap!”
“Ya udah, kita ngobrol di ruangan sebelah aja—oh iya, Chani, jangan lupa pesenin kataku tadi,” kata Soonyoung seraya melihat ke arah adiknya.
“Iyaa, Mas Hoshii. Ini langsung kupesenin.”
Setelahnya, Wonwoo, Nayeon dan Minghao membuntuti Soonyoung untuk ke luar dari ruangan itu.
“Ayo, Mas Mingyu. Kita wawancara di depan aja, biar anak-anak bisa istirahat,” ucap Momo, dan tanpa persetujuan dia berjalan ke arah luar. Mina juga mengikutinya.
“Kamu mau ikut kakak, Tzu?” tanya Mingyu dan langsung dijawab dengan gelengan.
“Ngga, deh, aku di sini aja. Sama Chani,” balas Tzuyu.
“Ah, kamu mah bilang aja mau sama Mas Juni!” sahut Chan.
“Heh, jangan gitu! Kasihan Juni malu,” ledek Sana membuat Jun cuma bisa memutar bola matanya malas.
“Ya udah boleh, duduk aja, tapi. Takut pusing lagi kamunya.”
“Iya, Kak Mingyu.” Mingyu menepuk pelan pundaknya, sebelum pergi menyusul Momo dan Mina. Menuruti kata Mingyu, Tzuyu benar-benar duduk diam sembari mengamati interaksi yang terjadi di depan matanya.
Ada Chan yang merebahkan diri di lantai seraya memainkan ponselnya, masih sibuk soal 'pesanan' tadi. Ada Sana yang duduk dikelilingi oleh anak-anak perempuan, Sana tengah mendengarkan salah satu diantara mereka yang bercerita. Kemudian, ada Jun yang menghampirinya.
Sebentar.
Jun menghampirinya?
Jun menghampirinya!
Tzuyu langsung pura-pura batuk supaya dirinya tidak terlihat canggung. Sementara Jun masih terlihat santai, dia duduk di sebelah perempuan itu sambil berkata, “Gue bingung mau ngapain.”
“Lo udah merasa jauh lebih baik?” tanyanya kemudian.
Tzuyu tersenyum tipis dan mengangguk. “Udah, Kak.”
“Syukurlah,” balas Jun, “hubungan lo sama kakak lo kayaknya membaik?”
“Iya, tadi baikan sebelum ke sini. Gak enak juga satu rumah, tapi kayak orang asing terus.”
Jun mengangguk paham. Setelahnya mereka terlibat dalam hening. Sama-sama memandangi apa yang terjadi di depan keduanya.
Tzuyu melihat ke arah Chan, laki-laki itu tiba menunjukkan layar ponselnya pada Tzuyu. Dia seperti menunjukkan obrolan yang terjadi antara mereka belum lama ini?
“Ah iya, Kak!” Tzuyu menoleh ke arah Jun, Chan mengingatkannya.
“Apa?”
“Kata Chani ... Kakak pernah nanyain kontakku? Jauh sebelum aku kecelakaan.”
“Ah itu ... dulu gue tertarik aja karena tweet lo sering dibalas sama Chani. Ya gitu deh lewat terus ke gue, dan ... lo cantik,” balas Jun terdengar canggung, dia juga mengusap leher belakangnya.
“Kalau sekarang masih tertarik?”
Jun diam, dan Tzuyu pun tidak lagi berkata apa-apa setelah bertanya demikian. Kebisingan di ruang latihan itu terasa tidak ada, seakan hanya ada keduanya di sana.
“Uhm ... kalau memang Kakak masih tertarik, aku mau coba. Ma-maksudku, buat buka hati lagi.”
Jun mendongak, dia tersenyum tipis ketika sadar maksud Tzuyu. Perempuan ini secara tidak langsung meminta Jun untuk membantunya move on.
“Lo udah berhasil biasain diri lo dengan status adik Mingyu?”
Tzuyu rasanya menjadi berkali lipat gugup ketika Jun yang menanyakannya. Padahal, ini bukan pertama kalinya ia mendapat pertanyaan seperti itu.
“Be-belum,” jawab Tzuyu memutuskan untuk jujur, “tapi, ini udah gak separah dulu lagi. Aku pasti bisa buat melupakan status awal kami berdua dan kenangannya.”
“Menurut gue, kenangan gak perlu lo lupain,” jawab Jun, laki-laki itu kemudian melihat ke arah Sana. “Gue pernah maksa seseorang buat lupain sebuah kenangan. Bukannya membaik, gue malah nambahin rasa sakit dia.”
Jun melihat ke arah Tzuyu. “Gak usah dilupain, tapi kenang secukupnya aja, ya. Kalau gak ada kenangan, kita gak akan duduk kayak sekarang. Kalau gak ada masa lalu, kita gak mungkin di sini, 'kan?”
Tzuyu tanpa sadar mengangguk. Apa yang Jun katakan, memang ada benarnya.
“Terus sekarang ... Kakak mau aku apa?”
Jun tertawa, padahal tidak ada yang melawak. Membuat Tzuyu memutar bola matanya malas.
“Tzu, kita ini sama-sama orang baru buat kehidupan masing-masing. Jujur, siapa yang gak bakal tertarik sama lo, sih? Walau lagi sibuk siapin ini sama yang lain, ada aja waktunya gue keinget lo.”
Jun memandang lekat kedua bola mata lawan bicaranya. Dia tersenyum menenangkan. “Ini bukan berarti gue nolak, tapi sekali lagi, kita ini bisa dibilang cuma sekedar tahu nama. Ngobrol agak lama pun, baru sekarang, 'kan.”
“Ayo, saling mengenal dulu. Kemudian, biarkan semuanya mengalir. Kalau memang jodoh, nanti langsung nikah aja,” ucap Jun, sebenarnya untuk kalimat akhir ia hanya bercanda. Tapi, kalau Tzuyu mau diseriuskan, sih, ia tidak masalah.
“Ya udah, Kak. Kalau udah saling kenal dan sama-sama yakin, kamu langsung ke rumahku aja,” jawab Tzuyu terdengar tenang. Jawabannya sungguh di luar dugaan Jun.
“Ini bercanda? Padahal gue tadi cuma bercan—”
“Aku gak peduli Kakak bercanda atau nggak. Yang pasti, aku serius.”
Jun tersedak ludahnya sendiri.
“O-oke?” Tzuyu mengangguk.
“Gue agak kaget, jujur. Tapi—ah! Gimana kalau selesai ini kita jalan? Sekaligus jadi titik awal masa pengenalan kita. Gimana?” tanya Jun seraya meyakinkan dirinya sendiri. Dia harus lebih berani sekarang, atau kalau tidak kisahnya saat sekolah dulu terulang lagi.
Tzuyu memberikan senyumannya dan mengangguk, ia terlihat lebih antusias dibandingkan Jun.
“Boleh, Kak,” jawabnya. Setelah itu ada dua pasang bibir yang sama-sama melempar senyuman hangat. Ada dua pasang mata yang siap untuk tidak bosan mengagumi seseorang.
Yang paling hangat di hari itu, ada langkah yang diambil dengan keberanian yang tak jarang diperlihatkan. Serta, ada perasaan dari sepasang jiwa yang siap untuk membangun jalinan rasa bersama-sama.
—honeyshison
Sorry for typo(s).