karsalakuna

“Kamu beneran mau ikut?” tanya Mingyu ke arah Tzuyu. Semenjak adiknya itu pulang dari rumah sakit, hubungan keduanya makin bertambah canggung. Tetapi, dua orang itu tidak pernah berhenti untuk mencoba membiasakan diri dengan status mereka sekarang.

“Iya, aku bosen di rumah. Aku belum boleh kerja ... di rumah ditinggal terus.”

“Maaf, ya,” balas Mingyu diakhiri dengan ringisan, “kamu emangnya udah gak masalah naik motor? Gak trauma?”

Tzuyu menggeleng. “Kalau dibonceng kayaknya gak papa.”

Mingyu menghela napasnya. “Ya udah deh, ayo. Kalau gak sanggup langsung bilang, ya?”

Senyum lebar muncul di wajah yang lebih muda. Dia mengangguk antusias kemudian bangkit dari duduknya dengan segera.

“Ambil helm punya Ibu, gih, kamu belum beli yang baru, 'kan.”

“Siap, Kak Mingyu!”

Mingyu tersenyum kecil sembari memperhatikan punggung Tzuyu yang perlahan menjauh dari pandangan. Laki-laki itu menganggukkan kepalanya, menyemangati dirinya sendiri. Dalam hari ia meyakinkan diri kalau ini akan membuat hubungan keduanya membaik.

Mereka akan pergi ke Allegra. Bukan tanpa alasan, sih. Mingyu hari ini dapat perintah dari Seungcheol untuk melakukan wawancara dengan mereka tentang acara akhir tahun. Walaupun saat pelaksanaanya nanti, bukan Mingyu yang meliput.

Kalau kata Wonwoo, ini buat promosi akademi mereka. Karena mengatakan akan berangkat sendiri tanpa rekannya itu, Tzuyu tiba-tiba meminta supaya Mingyu membawanya.

Mingyu khawatir dengan kondisi Tzuyu. Ia sebenarnya sangat tidak keberatan kalau harus membawa adiknya itu. Toh, di sana juga ada Chan sama Jun yang Tzuyu kenali.

Kalau tentang hubungan Tzuyu dan Jun sekarang, Mingyu tidak mau memaksakan diri untuk mencari tahu.

“Kak, jangan ngelamun.”

Mingyu sedikit tersentak karena itu. “A-ah ayo, berangkat,” ucapnya kaku.

Selanjutnya, Tzuyu membuntuti Mingyu hingga sosok itu naik ke motornya lebih dulu untuk memanaskan mesinnya. Perempuan itu lebih memilih untuk menunggu sambil berdiri.

“Tzu, ayo naik. Ini kaya—”

“Kak Mingyu,” potong Tzuyu. Ada penekanan di sana, sehingga Mingyu tanpa sadar memfokuskan dirinya pada sosok itu.

“Iya?”

Tzuyu mengerjapkan matanya beberapa kali. “Uhm, aku mau minta maaf.”

Baru saja Mingyu akan membalas, adiknya itu sudah kembali berbicara.

“Soalnya semenjak sadar aku ngehindarin kakak, dan maaf buat yang lainnya—buat semuanya,” ucap Tzuyu, “ayo damai, Kak. Mari lanjutkan hidup sebagaimana mestinya, sebagai saudara pada umumnya.”

Mingyu terdiam, lidahnya terasa kelu. Ini bukanlah pertama kalinya Tzuyu mengajaknya untuk seperti itu, tapi dulu ia selalu merasa berat. Bukan perkara mudah untuk Mingyu kalau harus melupakan hubungan awal keduanya. Anehnya, kali ini merasa sedikit lega.

Mingyu tersenyum tipis. “Aku juga minta maaf, Tzu. Untuk semuanya. Ayo lanjutin hidup sebagai sepasang adik kakak.”

Tzuyu tersenyum lebih lebar setelahnya. Ada perasaan lega diantara keduanya.

“Damai nih, Kak?” tanya Tzuyu sembari menunjukkan jari kelingkingnya pada Mingyu.

Mingyu ikut tersenyum lebar seraya menautkan jari kelingking keduanya. Setelahnya, ia berkata, “Damai.”

Hari itu tidak hanya hubungan baru keduanya yang mencoba untuk berdamai. Tetapi, ada dua pasang jiwa yang juga mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Dengan perasaannya.


“Saya sama Wonwoo mau bahas buat acara tiga akademi itu. Mau wawancara dulu atau gimana?” tanya Soonyoung seraya mengelap keringatnya. Mereka baru saja selesai gladi kotor, dan itu saja cukup membuat Wonwoo, Mingyu dan Tzuyu bertepuk jangan padahal mereka hanya menonton akhirnya saja.

“Gue bisa wawancara sendiri, kok, siapa tahu kalian mau langsung bahas.”

“Ketuanya aja Soonyoung, lo mau wawancara siapa lagi?” balas Wonwoo seraya menyikut Mingyu.

Mingyu meringis. “Lupa udah ganti, hehe.”

Soonyoung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Waktu itu bukannya pernah, ya, kalian wawancara ke sini? Wawancara siapa?” tanyanya.

“Mina, terus gue sama Momo dikit, Mas,” sahut Nayeon.

“Oh balet, ya,” ucap Soonyoung, “Mina sama Momo gak masalah kalau diwawancara lagi? Saya butuh Mbak Nay buat diskusi yang tiga akademi.”

Momo langsung mengacungkan Ibu jarinya. “Gak papa, santuy,” katanya, sementara Mina cuma mengangguk.

“Oke kalau gitu. Mas Mingyu bisa wawancara ke Mina, sama Momo. Sasha, Chani sama Juni koordinasiin anak-anak, ya. Saya, Wonwoo, Mbak Nay sama Minghao bahas yang tiga akademi, biar bisa lekas pulang juga.”

Orang-orang yang namanya disebut itu, secara hampir bersamaan membalas, “Siap!”

“Ya udah, kita ngobrol di ruangan sebelah aja—oh iya, Chani, jangan lupa pesenin kataku tadi,” kata Soonyoung seraya melihat ke arah adiknya.

“Iyaa, Mas Hoshii. Ini langsung kupesenin.”

Setelahnya, Wonwoo, Nayeon dan Minghao membuntuti Soonyoung untuk ke luar dari ruangan itu.

“Ayo, Mas Mingyu. Kita wawancara di depan aja, biar anak-anak bisa istirahat,” ucap Momo, dan tanpa persetujuan dia berjalan ke arah luar. Mina juga mengikutinya.

“Kamu mau ikut kakak, Tzu?” tanya Mingyu dan langsung dijawab dengan gelengan.

“Ngga, deh, aku di sini aja. Sama Chani,” balas Tzuyu.

“Ah, kamu mah bilang aja mau sama Mas Juni!” sahut Chan.

“Heh, jangan gitu! Kasihan Juni malu,” ledek Sana membuat Jun cuma bisa memutar bola matanya malas.

“Ya udah boleh, duduk aja, tapi. Takut pusing lagi kamunya.”

“Iya, Kak Mingyu.” Mingyu menepuk pelan pundaknya, sebelum pergi menyusul Momo dan Mina. Menuruti kata Mingyu, Tzuyu benar-benar duduk diam sembari mengamati interaksi yang terjadi di depan matanya.

Ada Chan yang merebahkan diri di lantai seraya memainkan ponselnya, masih sibuk soal 'pesanan' tadi. Ada Sana yang duduk dikelilingi oleh anak-anak perempuan, Sana tengah mendengarkan salah satu diantara mereka yang bercerita. Kemudian, ada Jun yang menghampirinya.

Sebentar.

Jun menghampirinya?

Jun menghampirinya!

Tzuyu langsung pura-pura batuk supaya dirinya tidak terlihat canggung. Sementara Jun masih terlihat santai, dia duduk di sebelah perempuan itu sambil berkata, “Gue bingung mau ngapain.”

“Lo udah merasa jauh lebih baik?” tanyanya kemudian.

Tzuyu tersenyum tipis dan mengangguk. “Udah, Kak.”

“Syukurlah,” balas Jun, “hubungan lo sama kakak lo kayaknya membaik?”

“Iya, tadi baikan sebelum ke sini. Gak enak juga satu rumah, tapi kayak orang asing terus.”

Jun mengangguk paham. Setelahnya mereka terlibat dalam hening. Sama-sama memandangi apa yang terjadi di depan keduanya.

Tzuyu melihat ke arah Chan, laki-laki itu tiba menunjukkan layar ponselnya pada Tzuyu. Dia seperti menunjukkan obrolan yang terjadi antara mereka belum lama ini?

“Ah iya, Kak!” Tzuyu menoleh ke arah Jun, Chan mengingatkannya.

“Apa?”

“Kata Chani ... Kakak pernah nanyain kontakku? Jauh sebelum aku kecelakaan.”

“Ah itu ... dulu gue tertarik aja karena tweet lo sering dibalas sama Chani. Ya gitu deh lewat terus ke gue, dan ... lo cantik,” balas Jun terdengar canggung, dia juga mengusap leher belakangnya.

“Kalau sekarang masih tertarik?”

Jun diam, dan Tzuyu pun tidak lagi berkata apa-apa setelah bertanya demikian. Kebisingan di ruang latihan itu terasa tidak ada, seakan hanya ada keduanya di sana.

“Uhm ... kalau memang Kakak masih tertarik, aku mau coba. Ma-maksudku, buat buka hati lagi.”

Jun mendongak, dia tersenyum tipis ketika sadar maksud Tzuyu. Perempuan ini secara tidak langsung meminta Jun untuk membantunya move on.

“Lo udah berhasil biasain diri lo dengan status adik Mingyu?”

Tzuyu rasanya menjadi berkali lipat gugup ketika Jun yang menanyakannya. Padahal, ini bukan pertama kalinya ia mendapat pertanyaan seperti itu.

“Be-belum,” jawab Tzuyu memutuskan untuk jujur, “tapi, ini udah gak separah dulu lagi. Aku pasti bisa buat melupakan status awal kami berdua dan kenangannya.”

“Menurut gue, kenangan gak perlu lo lupain,” jawab Jun, laki-laki itu kemudian melihat ke arah Sana. “Gue pernah maksa seseorang buat lupain sebuah kenangan. Bukannya membaik, gue malah nambahin rasa sakit dia.”

Jun melihat ke arah Tzuyu. “Gak usah dilupain, tapi kenang secukupnya aja, ya. Kalau gak ada kenangan, kita gak akan duduk kayak sekarang. Kalau gak ada masa lalu, kita gak mungkin di sini, 'kan?”

Tzuyu tanpa sadar mengangguk. Apa yang Jun katakan, memang ada benarnya.

“Terus sekarang ... Kakak mau aku apa?”

Jun tertawa, padahal tidak ada yang melawak. Membuat Tzuyu memutar bola matanya malas.

“Tzu, kita ini sama-sama orang baru buat kehidupan masing-masing. Jujur, siapa yang gak bakal tertarik sama lo, sih? Walau lagi sibuk siapin ini sama yang lain, ada aja waktunya gue keinget lo.”

Jun memandang lekat kedua bola mata lawan bicaranya. Dia tersenyum menenangkan. “Ini bukan berarti gue nolak, tapi sekali lagi, kita ini bisa dibilang cuma sekedar tahu nama. Ngobrol agak lama pun, baru sekarang, 'kan.”

“Ayo, saling mengenal dulu. Kemudian, biarkan semuanya mengalir. Kalau memang jodoh, nanti langsung nikah aja,” ucap Jun, sebenarnya untuk kalimat akhir ia hanya bercanda. Tapi, kalau Tzuyu mau diseriuskan, sih, ia tidak masalah.

“Ya udah, Kak. Kalau udah saling kenal dan sama-sama yakin, kamu langsung ke rumahku aja,” jawab Tzuyu terdengar tenang. Jawabannya sungguh di luar dugaan Jun.

“Ini bercanda? Padahal gue tadi cuma bercan—”

“Aku gak peduli Kakak bercanda atau nggak. Yang pasti, aku serius.”

Jun tersedak ludahnya sendiri.

“O-oke?” Tzuyu mengangguk.

“Gue agak kaget, jujur. Tapi—ah! Gimana kalau selesai ini kita jalan? Sekaligus jadi titik awal masa pengenalan kita. Gimana?” tanya Jun seraya meyakinkan dirinya sendiri. Dia harus lebih berani sekarang, atau kalau tidak kisahnya saat sekolah dulu terulang lagi.

Tzuyu memberikan senyumannya dan mengangguk, ia terlihat lebih antusias dibandingkan Jun.

“Boleh, Kak,” jawabnya. Setelah itu ada dua pasang bibir yang sama-sama melempar senyuman hangat. Ada dua pasang mata yang siap untuk tidak bosan mengagumi seseorang.

Yang paling hangat di hari itu, ada langkah yang diambil dengan keberanian yang tak jarang diperlihatkan. Serta, ada perasaan dari sepasang jiwa yang siap untuk membangun jalinan rasa bersama-sama.


—honeyshison

Sorry for typo(s).


Soonie 🐯 : Aku udah di depan, jangan lupa kostum cosplay-nya

Sana tanpa sadar tersenyum tipis setelah membaca pesan yang dikirim Soonyoung. Perempuan itu kemudian menaikkan maskernya, disusul dengan tudung jaket untuk menutupi rambutnya.

“Mau kemana?” tanya Nayeon ketika mereka berpapasan di pintu kamar.

“Biasa,” jawab Sana santai membuat yang lebih tua menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku pamit ya, Kak Na—”

“Jam 10, loh!!!” Tahu-tahu Jihyo sudah ada diantara keduanya, membuat Sana buru-buru mengambil langkah besar. Diam-diam dia masih mempertimbangkan permintaan Soonyoung tadi.

“Iyaa,” jawab Sana seraya melangkah, “gak janji, tapi!”

—dan kemudian kabur.


“Jihyo kenapa bisa tahu?” tanya Sana ketika sudah ada di dalam mobil Soonyoung. Yang ditanya sedikit menurunkan maskernya, kemudian menjawab, “Aku suka minta izin ke dia juga.”

Sana mengangguk. “Emang ini kita mau ke mana? Yakin tempatnya aman?”

“Yakin, banget,” jawab Soonyoung, “di belakang rumahku soalnya. Aku udah minta tolong Papa buat pasang tenda.”

“Eh? Tetanggamu gi—”

“Mereka paham, kok,” ucap Soonyoung diakhiri dengan senyuman lembut.

“Aku udah boleh jalanin mobilnya, 'kan?” tanyanya kemudian.

“Iya, boleh.”

Namun, yang laki-laki itu lakukan setelahnya cuma menyalakan mesin mobilnya. Soonyoung menatap Sana lekat dan sedikit mencondongkan badannya ke arah yang lebih muda. “Kamu lupa sesuatu gak, sih?”

Sana mengerjapkan matanya. “Kayaknya aku gak—” ucapannya terhenti, ia baru sadar apa yang dimaksud kekasihnya.

“Kebiasaan, deh. Untung kita beda tempat tinggal, kalau sama bibir aku bengkak kali, ya?”

“Nanti juga sama tempat tinggalnya, anggap aja ini latihan,” jawab Soonyoung santai, itu membuat Sana memutar bola matanya malas. Meskipun begitu, dia tetap memulai hal yang menurut Soonyoung 'kelupaan' tadi.


Berkemah dengan Soonyoung, tidak benar-benar terasa seperti berkemah pada umumnya. Salah satu contohnya, laki-laki itu tetap membawa masakan yang dipersiapkan oleh Ibunya untuk keduanya santap, dibandingkan memasak dengan api unggun.

“Kamu ngajakin aku makan malam terus, padahal aku harus diet,” ucap Sana, tapi tetap makan dengan lahap.

Soonyoung tertawa kecil melihat itu. Dia mengusap saus yang ada di ujung bibir kekasihnya. “Kata Jihyo hari ini kamu cuma minum jus.”

“Ya, kalau gitu, jangan kasih aku makanan sebanyak ini. Kamu, sih, enak sering ke gym, kalau aku—”

“Ssst, fokus makan dulu aja, ya, sayang. Lagian ini Ibu yang kasih, bukan aku.”

Setelah itu keduanya sama-sama menikmati makanan dengan sesekali ada candaan yang saling mereka lemparkan. Selesai makan dan membawa bekasnya kembali ke dalam rumah, Soonyoung datang dengan selimut di tangannya.

Laki-laki itu tanpa kata duduk di belakang Sana, membiarkan sang kekasih bersandar di dadanya. Tangan Soonyoung bergerak untuk menyelimuti dirinya dan Sana. Setelah itu, tangannya beralih tempat menjadi melingkari pinggang Sana.

“Kamu ini ngajak kemah cuma alasan, ya. Aslinya mau ketemu aja,” ucap Sana begitu merasakan dagu Soonyoung di pundaknya.

Soonyoung terkekeh. “Aku janji, yang berikutnya versi serius.”

“Kelihatan tahu, dari undangannya aja kayak yang asal ....”

“Itu gak asal,” jawab Soonyoung, “tapi mepet.”

“Iya, deh, percaya.”

Hening.

Sana sibuk memandangi langit, sementara Soonyoung diam-diam memejamkan matanya dengan dagu yang masih bertumpu pada pundaknya yang lebih muda. Keduanya merasakan hal yang sama, nyaman.

“Sebentar lagi jam 10 loh, Soon,” ucap Sana seraya menepuk kecil tangan Soonyoung yang ada di perutnya. Aslinya, dia belum mau kebersamaan mereka berakhir.

“Tidur dong, nanti aku foto terus kirim ke Jihyo,” ucap Soonyoung tanpa berniat mengubah posisi mereka sama sekali.

“Yang ada nanti kamu bakal makin susah buat minta izin kalau mau ngajak aku pergi, Soon.”

“Masih kangen Sana ... mau lebih lama jadi pelit dan gak berbagi kamu sama dunia. Sebentar lagi, ya, habis itu aku antar pulang.”

“Soonie,” panggil Sana dan cuma dibalas 'hm' sama Soonyoung.

“Wajahnya mana, nih? Kok disembunyiin di bahuku terus?”

Mendengar itu, Soonyoung langsung menegakkan duduknya. Sana melepaskan dirinya dari Soonyoung supaya mereka bisa berhadapan.

Terkadang, hanya dengan pertemuan mata satu sama lain, mereka bisa tahu sebuah jawaban tanpa harus saling bertanya untuk memastikan. Ketika mata mereka bertemu, keduanya sangat menikmati waktu tanpa memikirkan siapa diri mereka yang dikenal dunia.

Tangan Sana bergerak untuk mengusap pipi Soonyoung. Perempuan itu mengukir senyuman manisnya dan berkata, “Aku bisa bantu bujuk supaya gak harus pulang jam 10.”

“Ada syaratnya tapi,” sambung Sana, “kamu gak boleh aneh-aneh.”

Soonyoung tersenyum lebar dan mengangguk antusias. Keduanya tangannya membingkai wajah Sana, wajah mereka mungkin akan menjadi sangat dekat kalau saja Sana tidak mendorong Soonyoung dengan cepat.

“Cium-cium juga masuk ke aneh-aneh,” ucap Sana santai membuat Soonyoung memajukan bibirnya sebal.

“Ya udahlah, sini aku anterin kamu sekarang aja asal gak libur cium.”

Sana mendelik mendengar itu, tidak lama karena setelahnya ia menjadi keheranan dengan Soonyoung yang tiba-tiba tergelak.

“Aku bercanda, ayo malam ini kita hitung ada berapa banyak bintang di langit!” ucapnya ceria, dalam hati berharap kalau itu tidak akan membuat suasana hati kekasihnya menjadi buruk.

Sana terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya tidak bisa menahan senyumannya. Perempuan itu kembali melesak masuk ke dalam pelukan kekasihnya.

“Soonyoung, makasih banyak ... malam ini aku izinin kamu buat pelit soal aku ke dunia.”

Soonyoung tergelak dan membalas pelukan perempuan itu. “Mau selamanya, tapi gak bisa, ya? Soalnya kamu, 'kan, pacarku. Bukan tahananku.”

“Iya gak bisa, maaf, ya.”

Kwon Soonyoung akan menikahi asisten pribadinya, Minatozaki Sana.

Pagi ini kantor diramaikan oleh berita itu, setelah semalam mereka sama-sama menerima email berisi undangan pernikahan. Tak ada yang pernah menduga kalau direktur keuangan akan berakhir dengan asistennya, lebih tepatnya tidak ada yang menyangka kalau Soonyoung menjalin sebuah hubungan.

Bukan rahasia umum lagi kalau Soonyoung adalah sosok yang menghindari terikat dengan seseorang diluar pekerjaan. Laki-laki itu selalu membangun tembok tinggi kalau ada yang mendekatinya, wajahnya memang ramah tapi ucapannya kadang kelewatan.

Lalu, soal Minatozaki Sana. Jika Soonyoung tidak tertarik untuk mempunyai hubungan, maka Sana terlalu berhati-hati dalam memulai hubungan. Belum lagi dengan pekerjaannya sebagai asisten pribadi yang banyak menyita perhatiannya. Tak jarang Sana akan lebih fokus pada Soonyoung dibandingkan dirinya sendiri.

Yang sedang menjadi topik pembicaraan muncul di lobi, pemandangan Soonyoung dan Sana dibelakangnya adalah hal yang biasa. Tapi, kali ini semuanya terasa berbeda karena undangan pernikahan keduanya. Bisikan mulai terdengar seiring langkah keduanya yang semakin memasuki area kantor.

Soonyoung menghela napasnya, memang benar manusia dan hobinya membicarakan orang tidak bisa dipisahkan dimana pun tempat dan tujuan keberadaannya.

“Kalau mereka mau menikah, kenapa jalannya belum berdampingan?”

Kalimat itu menjadi satu bisikan yang jelas terdengar oleh Soonyoung, langkahnya berhenti seketika. Dia melirik pada pemilik suara lewat ekor matanya, raut tanpa ekspresi yang sering ditunjukkan menjadi ancaman tersendiri apabila Soonyoung menatap secara khusus.

Sana tentu menyadarinya. Bekerja semenjak sosok di depannya diangkat menjadi direktur, Sana bisa menilai bagaimana Soonyoung. Yang lebih tua memiliki suasana hati yang mudah dibuat buruk dan sulit dibuat baik. Termasuk dalam situasi ini, Soonyoung baru saja dibuat badmood.

Sana berjinjit agar bisa berbisik pada Soonyoung, “Pak Kwon, masih banyak pekerjaan lain.”

“Ah benar masih banyak pekerjaan,” balasnya sengaja mengeraskan suaranya, menyindir. Soonyoung melanjutkan langkahnya dan tentunya diikuti oleh Sana.

“Ini dia yang baru aja ngehebohin dunia.” Begitu sampai di lantai tempat ruangan mereka berada, keduanya disambut oleh celetukan Jinhyuk yang sepertinya sengaja menunggu di dekat lift. Soonyoung memutar bola matanya malas, untung Jinhyuk bukan sekedar rekan kerja.

“Emang kenapa sih? Aneh kalau gue sama Sana nikah?” Sahutnya dan Sana terkekeh karena entah sadar atau tidak, Soonyoung tidak bersikap formal padahal ada dirinya.

“Hahahaha gak gitu, cuma kaget aja. Lagian lo gak cerita,” balas Jinhyuk sembari mengelus dagunya sendiri.

“Masih mending gue undang,,” celetuk Soonyoung sembari berjalan menuju ruangannya. Sebentar lagi jam kerja, bukan saatnya mereka membicarakan urusan pribadi.

Jinhyuk yang kelewat hafal dengan tingkah sahabatnya kini berdecak. Kesal karena tiba-tiba ditinggalkan. Laki-laki itu menatap pada Sana yang tidak mengekori Soonyoung, “Sana, yakin nikah sama Soonyoung? Saya gak tahu apa alasan kalian tiba-tiba memutuskan untuk menikah. Tapi apapun itu, saya harap bukan jalan yang kalian ambil sebagai penyelesaian masalah. Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”

Sana terdiam untuk beberapa saat sebelum memandang Jinhyuk dan tersenyum, “Pak Lee, sebentar lagi ada rapat dengan direktur utama.”

“A-ah benar juga, saya duluan ya, Sana.” Laki-laki itu teralih seketika, ia mengambil langkah cepat dan masuk ke ruangannya.

“Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”

Sana menggelengkan kepalanya, ini bukan saatnya ia memikirkan itu.

  • * *

Soonyoung memandang lekat ke arah Sana, sedari tadi ia mengamati bagaimana gerak-gerik perempuan itu. Awalnya seperti yang biasa ia lakukan, Soonyoung sesekali akan memeriksa kegiatan Sana. Kali ini ia memandang agak lama karena perempuan itu tampak pucat dan tidak fokus.

Laki-laki itu melihat pada jam tangannya, sebentar lagi jam kerja akan selesai dan tidak ada lagi yang harus ia lakukan hari ini. Dia merapihkan semua peralatannya kemudian membuka salah satu lacinya, mengambil jaket. Soonyoung berjalan mendekat, tanpa kata menyampirkan jaketnya pada bahu Sana. Sana terdiam masih memproses keadaan. Hingga ketika Soonyoung mulai membereskan barang-barangnya, dia baru bereaksi lebih.

“P-pak Kwon, biar saya saja.” Sana berucap panik dan spontan memegang lengan yang lebih tua. Gerakan Soonyoung terhenti dan mata mereka bertemu.

Si kelahiran Juni tersenyum tipis seraya menggeleng, “Ini sudah bukan jam kerja, Sana. Sekarang kamu pasangan saya, tidak usah sungkan ya.”

Sana terdiam dan tidak protes ketika Soonyoung melanjutkan kegiatannya tanpa menyingkirkan tangan Sana. Perempuan itu meringis ketika rasa sakit di kepala yang sempat ia abaikan kembali terasa. Soonyoung melirik sekilas dan mempercepat gerakannya.

“Kamu kuat jalan?” Tanyanya seraya memegang dahi Sana, memeriksa suhu tubuh perempuan itu. Sana dibuat bungkam karena sentuhan pada dahinya yang dilanjutkan dengan elusan di rambut.

“Sana?”

“A-ah kuat kok, Pak.”

“Pakai jaketnya ya, tas kamu biar saya yang bawa. Tidak ada yang tertinggal kan?” Tanya Soonyoung dan Sana mengangguk sebagai jawaban. Ketika Sana berdiri, Soonyoung segera merangkul untuk membantunya berjalan. Laki-laki itu tidak yakin Sana kuat berjalan seperti yang dikatakannya, tapi ia diam karena paham kalau Sana masih sungkan padanya.

“Saya temani ke dokter ya.” Sana tidak membalas ia terlanjur pusing, dalam posisi berjalan seperti ini rasanya semakin sakit. Ditambah pikirannya masih terfokus pada suatu hal.

Begitu keluar dari ruangan Soonyoung, kesadaran Sana menipis. Sebelum pandangannya benar-benar gelap, ia sempat mendengar, “Sini biar gue yang bawa barangnya. Lo jangan panik! KWON SOONYOUNG ASTAGA!”

  • * *

“Akhirnya, bangun ... merasa baikan gak?”

Yang pertama kali Sana lihat ketika membuka matanya adalah lampu. Perempuan itu menoleh ke asal suara, itu Eunbi. Entah kenapa Sana sedikit merasa kecewa karena yang pertama kali ia lihat bukan Soonyoung. Sana menepis rasa kecewanya, dia adalah wanita yang akan berumur tiga puluh tahun, perasaan semacam ini seharusnya tak ia rasakan.

“Lumayan,” balasnya sembari memijat pelipisnya sendiri.

“Tadi, dokter kesini. Katanya lo kecapean dan banyak pikiran? Intinya sekarang habis makan dan minum obat langsung tidur lagi ya. Besok ambil cuti dulu.”

Sana hanya mengangguk sebagai balasan. Ketika menatap sekeliling ia baru sadar kalau ini bukanlah apartemen miliknya. Tapi bukan juga tempat yang asing untuknya.

“Ini rumah Pak Kwon?”

Eunbi mengangguk, “Iya, tadi anaknya panik banget jadi Seungwoo mutusin buat manggil dokter aja.”

“Ah gitu ya ... bantuin dong Kak, mau duduk,” ucap Sana dan langsung dilalukan Eunbi. Sana memandangi pintu kamar dan Eunbi langsung memahaminya.

“Kalau lo cari Soonyoung, dia lagi buat bubur. Agak lama mungkin ... soalnya dia malu.”

“Malu?” Tanya Sana.

“Dia panik sambil nangis mana terus nyalahin diri sendiri. Pas dokter datang pun sempet dia marahin, Seungwoo bahkan kena tonjok gara-gara dokternya lama dateng.”

Sana membulatkan matanya, memandang Eunbi tidak percaya. Mana mungkin seorang Kwon Soonyoung panik hanya karena dia pingsan kan? Bahkan sampai menangis dan marah-marah tidak jelas. Rasanya itu bukanlah Soonyoung.

“Gue jujur kok, terserah lo mau percaya atau nggak ... ” Eunbi menggantungkan kalimatnya, dia menatap lekat pada sahabatnya dan memegang kedua tangan Sana.

“Soonyoung cerita kalau kalian mutusin buat menikah karena sama-sama kena tuntutan. Gue gak tahu ini keputusan terbaik atau nggak, karena pasti setelah menikah bakal lebih banyak tuntutannya. Tapi terlepas dari semua itu, gue lega sepupu gue sama lo, Sana,” ucap Eunbi diakhiri dengan senyuman.

Sana terdiam, setiap kalimat yang Eunbi keluarkan terasa menusuknya. Padahal perempuan itu tidak menyindir, tapi Sana merasa demikian. Ditambah dengan ucapan Jinhyuk tadi, Sana rasa keputusannya adalah hal yang salah.

Seharusnya, ia dan Soonyoung hanya sebatas direktur dan asisten pribadinya.

Tidak lebih.

Belum sempat membalas ucapan Eunbi, pintu kamar terbuka mengalihkan atensi keduanya. Ada Soonyoung dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih, laki-laki itu tampak sedikit kacau. Di belakangnya ada Seungwoo yang kemudian memberikan isyarat pada Eunbi untuk keluar.

“Sana, Soonyoung, kami pamit ya. Semoga lekas sembuh, Sana,” ucap Seungwoo sebelum menutup pintu.

Soonyoung tanpa kata menyuapkan sesendok bubur, senyum terukir ketika Sana menerima suapannya. Keduanya terlibat hening hingga obat masuk ke dalam tubuh Sana. Soonyoung meletakkan bekas makannya di atas laci, ia akan menyimpannya kalau perempuan itu sudah terlelap.

“Kamu sekarang istirahat disini ya, saya di ruang tengah jadi kamu teriak saja kalau butuh sesuatu. Tapi jika tidak sanggup, telepon atau chat saya ya. Saya akan keluar kalau kamu sudah tidur.”

Sana menatap pada Soonyoung, kenapa sikapnya sekarang seolah mereka benar-benar menjadi pasangan karena keinginan mereka? Padahal mengobrol pun masih terdengar formal.

“Pak, keputusan kita itu benar atau nggak? Maksud saya, pernikahan adalah pilihan tapi kita karena tuntutan.”

Soonyoung tidak langsung membalas, dia memandang pada Sana. Perempuan itu menghindari tatapannya dan Soonyoung paham kalau Sana ada dalam keraguan.

“Sana, saya tahu kalau kita sama-sama punya tuntutan untuk menikah karena umur. Tapi, saya memilih kamu.”

Satu.

“Terlepas dari tuntutan itu, saya memang tidak pernah berharap tapi saya pernah memikirkan bagaimana kalau seandainya kamu adalah orang yang mendampingi saya sebagai istri? Ketika tuntutan itu semakin gencar diberikan, pikiran saya selalu terarah pada kamu.”

Soonyoung tersenyum, merasa konyol karena mengatakan itu pada Sana.

“Di umur saya yang sekarang, saya yakin kalau apa yang saya punya sudah cukup untuk melamar seseorang. Saya selalu ingat kata Papa, kalau saya harus menikah dengan seseorang yang tahu buruknya saya sebelum menikah dan mau mengubah itu bukan sekedar menerimanya. Kamu seperti itu.”

Dua.

“Kita jadi rekan tidak di waktu yang sebentar. Kita tahu kebohongan masing-masing dan sering dibuat bahagia bersama. Saya tahu kalau kamu adalah orang yang saya butuhkan untuk menjadi pasangan hidup saya.”

Tiga.

“Tak ada yang menduga kalau kita akan ada di hubungan romansa, termasuk diri kita sendiri. Benar?”

Sana mengangguk, dirinya sangat dibuat bungkam oleh setiap kalimat yang diucapkan Soonyoung sebelumnya.

“Itu membuat kita sama-sama tidak pernah memasang ekspetasi tinggi terhadap diri masing-masing, tanpa sadar. Kita tahu dengan jelas kalau sesudah menikah akan lebih banyak tuntutan yang datang bukan bahagia selamanya. Tapi, kita bisa bahagia bersama tanpa menjadikannya tujuan.”

Empat.

“Saya tidak bisa menjamin akan terealisasikan atau tidak, tapi saya akan berusaha untuk mewujudkannya. Jika kamu tanya keputusan ini benar atau tidak, untuk saya jawabannya iya. Untuk kamu bagaimana? Disini bukan hanya ada saya, Sana.”

Lima.

Hanya lima poin, tatapan yang tulus dan senyuman yang tidak pernah lepas, Sana tahu kalau keraguannya hanya percuma. Sejak keputusan itu diambil sekitar tiga bulan yang lalu, seharusnya detik ini Sana tidak pernah mempertaruhkan keyakinannya hanya karena perkataan orang yang bukan peran utama dalam cerita mereka.

Mereka sudah banyak menghadiri seminar dan melakukan konsultasi pranikah, mereka mau belajar bersama. Belum lagi dengan persiapan yang telah mereka lakukan. Maka hal apa lagi yang harus Sana tuntut agar Soonyoung menawarkan jaminan yang lain?

Untuk sekarang, semua sudah cukup.

“Pak, jawaban saya juga iya. Maaf sempat ragu ... “

“Ssst, gak papa. Sekarang kamu istirahat ya, supaya bisa lekas sembuh,” ucap Soonyoung lembut dan Sana langsung membaringkan dirinya. Memilih untuk menurut.

“Pak Kwon.”

“Hm?”

“Saya percaya sama Bapak.”

Soonyoung masih setia dengan senyumannya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih, saya akan jaga kepercayaannya. Kamu juga jaga kepercayaan saya ya?

Sana tersenyum malu dan mengangguk, debaran yang selalu ia rasakan bersama Soonyoung terasa semakin jelas. Sana menyukainya.

Soonyoung mengelus pucuk kepala Sana pelan, “Tidur ya.”

Sana menurut dan mulai memejamkan matanya. Ketika yakin perempuan itu sudah masuk ke alam mimpi, Soonyoung memberanikan diri untuk mengelus pipinya. Dia tersenyum, memandang Sana dengan kehangatan yang sejauh ini baru ia tunjukan pada keluarganya.

“Terima kasih karena selalu menemani saya. Besok pagi buka pesan saya ya, Sana.  Saya sebenarnya malu tapi mau kamu dengar itu haha.”

Tentu tidak akan ada balasan dari Sana.

“God, i really love this person. Let me take care of her as best i can.”

Ketika Soonyoung meninggalkan kamar itu, Sana membuka matanya. Ia memang pura-pura tertidur, perempuan itu langsung mengambil ponselnya yang mungkin sengaja Soonyoung letakkan di atas laci. Ada lagu yang dikirimkan oleh laki-laki itu, Sana segera memutarnya dengan volume pelan agar tidak ketahuan. Sepanjang lagu itu terdengar, Sana tidak bisa menyembunyikan senyumannya.

'My love only amounts to this, but my heart won't change, it's only for you.'

“PAK, SAYA SUDAH BILANG BELUM KALAU SAYA SAYANG SEKALI SAMA BAPAK?” Teriaknya begitu lagu itu selesai. Masa bodoh, Sana tidak tahan harus pura-pura tenang.

Di luar kamar, Soonyoung berusaha menyembunyikan wajahnya pada lengan sofa, dari telinganya yang memerah terlihat jelas kalau laki-laki itu malu.

Sekarang, mari doakan supaya pernikahan Pak Kwon dan asistennya berjalan lancar.

Kwon Soonyoung akan menikahi asisten pribadinya, Minatozaki Sana.

Pagi ini kantor diramaikan oleh berita itu, setelah semalam mereka sama-sama menerima email berisi undangan pernikahan. Tak ada yang pernah menduga kalau direktur keuangan akan berakhir dengan asistennya, lebih tepatnya tidak ada yang menyangka kalau Soonyoung menjalin sebuah hubungan.

Bukan rahasia umum lagi kalau Soonyoung adalah sosok yang menghindari terikat dengan seseorang diluar pekerjaan. Laki-laki itu selalu membangun tembok tinggi kalau ada yang mendekatinya, wajahnya memang ramah tapi ucapannya kadang kelewatan.

Lalu, soal Minatozaki Sana. Jika Soonyoung tidak tertarik untuk mempunyai hubungan, maka Sana terlalu berhati-hati dalam memulai hubungan. Belum lagi dengan pekerjaannya sebagai asisten pribadi yang banyak menyita perhatiannya. Tak jarang Sana akan lebih fokus pada Soonyoung dibandingkan dirinya sendiri.

Yang sedang menjadi topik pembicaraan muncul di lobi, pemandangan Soonyoung dan Sana dibelakangnya adalah hal yang biasa. Tapi, kali ini semuanya terasa berbeda karena undangan pernikahan keduanya. Bisikan mulai terdengar seiring langkah keduanya yang semakin memasuki area kantor.

Soonyoung menghela napasnya, memang benar manusia dan hobinya membicarakan orang tidak bisa dipisahkan dimana pun tempat dan tujuan keberadaannya.

“Kalau mereka mau menikah, kenapa jalannya belum berdampingan?”

Kalimat itu menjadi satu bisikan yang jelas terdengar oleh Soonyoung, langkahnya berhenti seketika. Dia melirik pada pemilik suara lewat ekor matanya, raut tanpa ekspresi yang sering ditunjukkan menjadi ancaman tersendiri apabila Soonyoung menatap secara khusus.

Sana tentu menyadarinya. Bekerja semenjak sosok di depannya diangkat menjadi direktur, Sana bisa menilai bagaimana Soonyoung. Yang lebih tua memiliki suasana hati yang mudah dibuat buruk dan sulit dibuat baik. Termasuk dalam situasi ini, Soonyoung baru saja dibuat badmood.

Sana berjinjit agar bisa berbisik pada Soonyoung, “Pak Kwon, masih banyak pekerjaan lain.”

“Ah benar masih banyak pekerjaan,” balasnya sengaja mengeraskan suaranya, menyindir. Soonyoung melanjutkan langkahnya dan tentunya diikuti oleh Sana.

“Ini dia yang baru aja ngehebohin dunia.” Begitu sampai di lantai tempat ruangan mereka berada, keduanya disambut oleh celetukan Jinhyuk yang sepertinya sengaja menunggu di dekat lift. Soonyoung memutar bola matanya malas, untung Jinhyuk bukan sekedar rekan kerja.

“Emang kenapa sih? Aneh kalau gue sama Sana nikah?” Sahutnya dan Sana terkekeh karena entah sadar atau tidak, Soonyoung tidak bersikap formal padahal ada dirinya.

“Hahahaha gak gitu, cuma kaget aja. Lagian lo gak cerita,” balas Jinhyuk sembari mengelus dagunya sendiri.

“Masih mending gue undang,,” celetuk Soonyoung sembari berjalan menuju ruangannya. Sebentar lagi jam kerja, bukan saatnya mereka membicarakan urusan pribadi.

Jinhyuk yang kelewat hafal dengan tingkah sahabatnya kini berdecak. Kesal karena tiba-tiba ditinggalkan. Laki-laki itu menatap pada Sana yang tidak mengekori Soonyoung, “Sana, yakin nikah sama Soonyoung? Saya gak tahu apa alasan kalian tiba-tiba memutuskan untuk menikah. Tapi apapun itu, saya harap bukan jalan yang kalian ambil sebagai penyelesaian masalah. Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”

Sana terdiam untuk beberapa saat sebelum memandang Jinhyuk dan tersenyum, “Pak Lee, sebentar lagi ada rapat dengan direktur utama.”

“A-ah benar juga, saya duluan ya, Sana.” Laki-laki itu teralih seketika, ia mengambil langkah cepat dan masuk ke ruangannya.

“Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”

Sana menggelengkan kepalanya, ini bukan saatnya ia memikirkan itu.

  • * *

Soonyoung memandang lekat ke arah Sana, sedari tadi ia mengamati bagaimana gerak-gerik perempuan itu. Awalnya seperti yang biasa ia lakukan, Soonyoung sesekali akan memeriksa kegiatan Sana. Kali ini ia memandang agak lama karena perempuan itu tampak pucat dan tidak fokus.

Laki-laki itu melihat pada jam tangannya, sebentar lagi jam kerja akan selesai dan tidak ada lagi yang harus ia lakukan hari ini. Dia merapihkan semua peralatannya kemudian membuka salah satu lacinya, mengambil jaket. Soonyoung berjalan mendekat, tanpa kata menyampirkan jaketnya pada bahu Sana. Sana terdiam masih memproses keadaan. Hingga ketika Soonyoung mulai membereskan barang-barangnya, dia baru bereaksi lebih.

“P-pak Kwon, biar saya saja.” Sana berucap panik dan spontan memegang lengan yang lebih tua. Gerakan Soonyoung terhenti dan mata mereka bertemu.

Si kelahiran Juni tersenyum tipis seraya menggeleng, “Ini sudah bukan jam kerja, Sana. Sekarang kamu pasangan saya, tidak usah sungkan ya.”

Sana terdiam dan tidak protes ketika Soonyoung melanjutkan kegiatannya tanpa menyingkirkan tangan Sana. Perempuan itu meringis ketika rasa sakit di kepala yang sempat ia abaikan kembali terasa. Soonyoung melirik sekilas dan mempercepat gerakannya.

“Kamu kuat jalan?” Tanyanya seraya memegang dahi Sana, memeriksa suhu tubuh perempuan itu. Sana dibuat bungkam karena sentuhan pada dahinya yang dilanjutkan dengan elusan di rambut.

“Sana?”

“A-ah kuat kok, Pak.”

“Pakai jaketnya ya, tas kamu biar saya yang bawa. Tidak ada yang tertinggal kan?” Tanya Soonyoung dan Sana mengangguk sebagai jawaban. Ketika Sana berdiri, Soonyoung segera merangkul untuk membantunya berjalan. Laki-laki itu tidak yakin Sana kuat berjalan seperti yang dikatakannya, tapi ia diam karena paham kalau Sana masih sungkan padanya.

“Saya temani ke dokter ya.” Sana tidak membalas ia terlanjur pusing, dalam posisi berjalan seperti ini rasanya semakin sakit. Ditambah pikirannya masih terfokus pada suatu hal.

Begitu keluar dari ruangan Soonyoung, kesadaran Sana menipis. Sebelum pandangannya benar-benar gelap, ia sempat mendengar, “Sini biar gue yang bawa barangnya. Lo jangan panik! KWON SOONYOUNG ASTAGA!”

  • * *

“Akhirnya, bangun ... merasa baikan gak?”

Yang pertama kali Sana lihat ketika membuka matanya adalah lampu. Perempuan itu menoleh ke asal suara, itu Eunbi. Entah kenapa Sana sedikit merasa kecewa karena yang pertama kali ia lihat bukan Soonyoung. Sana menepis rasa kecewanya, dia adalah wanita yang akan berumur tiga puluh tahun, perasaan semacam ini seharusnya tak ia rasakan.

“Lumayan,” balasnya sembari memijat pelipisnya sendiri.

“Tadi, dokter kesini. Katanya lo kecapean dan banyak pikiran? Intinya sekarang habis makan dan minum obat langsung tidur lagi ya. Besok ambil cuti dulu.”

Sana hanya mengangguk sebagai balasan. Ketika menatap sekeliling ia baru sadar kalau ini bukanlah apartemen miliknya. Tapi bukan juga tempat yang asing untuknya.

“Ini rumah Pak Kwon?”

Eunbi mengangguk, “Iya, tadi anaknya panik banget jadi Seungwoo mutusin buat manggil dokter aja.”

“Ah gitu ya ... bantuin dong Kak, mau duduk,” ucap Sana dan langsung dilalukan Eunbi. Sana memandangi pintu kamar dan Eunbi langsung memahaminya.

“Kalau lo cari Soonyoung, dia lagi buat bubur. Agak lama mungkin ... soalnya dia malu.”

“Malu?” Tanya Sana.

“Dia panik sambil nangis mana terus nyalahin diri sendiri. Pas dokter datang pun sempet dia marahin, Seungwoo bahkan kena tonjok gara-gara dokternya lama dateng.”

Sana membulatkan matanya, memandang Eunbi tidak percaya. Mana mungkin seorang Kwon Soonyoung panik hanya karena dia pingsan kan? Bahkan sampai menangis dan marah-marah tidak jelas. Rasanya itu bukanlah Soonyoung.

“Gue jujur kok, terserah lo mau percaya atau nggak ... ” Eunbi menggantungkan kalimatnya, dia menatap lekat pada sahabatnya dan memegang kedua tangan Sana.

“Soonyoung cerita kalau kalian mutusin buat menikah karena sama-sama kena tuntutan. Gue gak tahu ini keputusan terbaik atau nggak, karena pasti setelah menikah bakal lebih banyak tuntutannya. Tapi terlepas dari semua itu, gue lega sepupu gue sama lo, Sana,” ucap Eunbi diakhiri dengan senyuman.

Sana terdiam, setiap kalimat yang Eunbi keluarkan terasa menusuknya. Padahal perempuan itu tidak menyindir, tapi Sana merasa demikian. Ditambah dengan ucapan Jinhyuk tadi, Sana rasa keputusannya adalah hal yang salah.

Seharusnya, ia dan Soonyoung hanya sebatas direktur dan asisten pribadinya.

Tidak lebih.

Belum sempat membalas ucapan Eunbi, pintu kamar terbuka mengalihkan atensi keduanya. Ada Soonyoung dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih, laki-laki itu tampak sedikit kacau. Di belakangnya ada Seungwoo yang kemudian memberikan isyarat pada Eunbi untuk keluar.

“Sana, Soonyoung, kami pamit ya. Semoga lekas sembuh, Sana,” ucap Seungwoo sebelum menutup pintu.

Soonyoung tanpa kata menyuapkan sesendok bubur, senyum terukir ketika Sana menerima suapannya. Keduanya terlibat hening hingga obat masuk ke dalam tubuh Sana. Soonyoung meletakkan bekas makannya di atas laci, ia akan menyimpannya kalau perempuan itu sudah terlelap.

“Kamu sekarang istirahat disini ya, saya di ruang tengah jadi kamu teriak saja kalau butuh sesuatu. Tapi jika tidak sanggup, telepon atau chat saya ya. Saya akan keluar kalau kamu sudah tidur.”

Sana menatap pada Soonyoung, kenapa sikapnya sekarang seolah mereka benar-benar menjadi pasangan karena keinginan mereka? Padahal mengobrol pun masih terdengar formal.

“Pak, keputusan kita itu benar atau nggak? Maksud saya, pernikahan adalah pilihan tapi kita karena tuntutan.”

Soonyoung tidak langsung membalas, dia memandang pada Sana. Perempuan itu menghindari tatapannya dan Soonyoung paham kalau Sana ada dalam keraguan.

“Sana, saya tahu kalau kita sama-sama punya tuntutan untuk menikah karena umur. Tapi, saya memilih kamu.”

Satu.

“Terlepas dari tuntutan itu, saya memang tidak pernah berharap tapi saya pernah memikirkan bagaimana kalau seandainya kamu adalah orang yang mendampingi saya sebagai istri? Ketika tuntutan itu semakin gencar diberikan, pikiran saya selalu terarah pada kamu.”

Soonyoung tersenyum, merasa konyol karena mengatakan itu pada Sana.

“Di umur saya yang sekarang, saya yakin kalau apa yang saya punya sudah cukup untuk melamar seseorang. Saya selalu ingat kata Papa, kalau saya harus menikah dengan seseorang yang tahu buruknya saya sebelum menikah dan mau mengubah itu bukan sekedar menerimanya. Kamu seperti itu.”

Dua.

“Kita jadi rekan tidak di waktu yang sebentar. Kita tahu kebohongan masing-masing dan sering dibuat bahagia bersama. Saya tahu kalau kamu adalah orang yang saya butuhkan untuk menjadi pasangan hidup saya.”

Tiga.

“Tak ada yang menduga kalau kita akan ada di hubungan romansa, termasuk diri kita sendiri. Benar?”

Sana mengangguk, dirinya sangat dibuat bungkam oleh setiap kalimat yang diucapkan Soonyoung sebelumnya.

“Itu membuat kita sama-sama tidak pernah memasang ekspetasi tinggi terhadap diri masing-masing, tanpa sadar. Kita tahu dengan jelas kalau sesudah menikah akan lebih banyak tuntutan yang datang bukan bahagia selamanya. Tapi, kita bisa bahagia bersama tanpa menjadikannya tujuan.”

Empat.

“Saya tidak bisa menjamin akan terealisasikan atau tidak, tapi saya akan berusaha untuk mewujudkannya. Jika kamu tanya keputusan ini benar atau tidak, untuk saya jawabannya iya. Untuk kamu bagaimana? Disini bukan hanya ada saya, Sana.”

Lima.

Hanya lima poin, tatapan yang tulus dan senyuman yang tidak pernah lepas, Sana tahu kalau keraguannya hanya percuma. Sejak keputusan itu diambil sekitar tiga bulan yang lalu, seharusnya detik ini Sana tidak pernah mempertaruhkan keyakinannya hanya karena perkataan orang yang bukan peran utama dalam cerita mereka.

Mereka sudah banyak menghadiri seminar dan melakukan konsultasi pranikah, mereka mau belajar bersama. Belum lagi dengan persiapan yang telah mereka lakukan. Maka hal apa lagi yang harus Sana tuntut agar Soonyoung menawarkan jaminan yang lain?

Untuk sekarang, semua sudah cukup.

“Pak, jawaban saya juga iya. Maaf sempat ragu ... “

“Ssst, gak papa. Sekarang kamu istirahat ya, supaya bisa lekas sembuh,” ucap Soonyoung lembut dan Sana langsung membaringkan dirinya. Memilih untuk menurut.

“Pak Kwon.”

“Hm?”

“Saya percaya sama Bapak.”

Soonyoung masih setia dengan senyumannya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih, saya akan jaga kepercayaannya. Kamu juga jaga kepercayaan saya ya?

Sana tersenyum malu dan mengangguk, debaran yang selalu ia rasakan bersama Soonyoung terasa semakin jelas. Sana menyukainya.

Soonyoung mengelus pucuk kepala Sana pelan, “Tidur ya.”

Sana menurut dan mulai memejamkan matanya. Ketika yakin perempuan itu sudah masuk ke alam mimpi, Soonyoung memberanikan diri untuk mengelus pipinya. Dia tersenyum, memandang Sana dengan kehangatan yang sejauh ini baru ia tunjukan pada keluarganya.

“Terima kasih karena selalu menemani saya. Besok pagi buka pesan saya ya, Sana.  Saya sebenarnya malu tapi mau kamu dengar itu haha.”

Tentu tidak akan ada balasan dari Sana.

“God, i really love this person. Let me take care of her as best i can.”

Ketika Soonyoung meninggalkan kamar itu, Sana membuka matanya. Ia memang pura-pura tertidur, perempuan itu langsung mengambil ponselnya yang mungkin sengaja Soonyoung letakkan di atas laci. Ada lagu yang dikirimkan oleh laki-laki itu, Sana segera memutarnya dengan volume pelan agar tidak ketahuan. Sepanjang lagu itu terdengar, Sana tidak bisa menyembunyikan senyumannya.

'My love only amounts to this, but my heart won't change, it's only for you.'

“PAK, SAYA SUDAH BILANG BELUM KALAU SAYA SAYANG SEKALI SAMA BAPAK?” Teriaknya begitu lagu itu selesai. Masa bodoh, Sana tidak tahan harus pura-pura tenang.

Di luar kamar, Soonyoung berusaha menyembunyikan wajahnya pada lengan sofa, dari telinganya yang memerah terlihat jelas kalau laki-laki itu malu.

Sekarang, mari doakan supaya pernikahan Pak Kwon dan asistennya berjalan lancar.

Sherina tersenyum lebar ketika bisa melihat seseorang yang rela ia beri kasih sayang dari layar televisi. Namun, senyum itu tak dapat ia pertahankan lama. Ada rasa lain yang datang dalam hatinya.

Perempuan itu menarik napasnya dalam-dalam ketika mendengar suara notifikasi dari ponselnya. Ada pesan yang masuk, dari seseorang yang akan selalu dirinya tunggu.

Kak Zi: Hey, Na. Kak Zi: Kamu malam ini kosong? Temenin aku cari inspirasi, yuk?

Me: Aku kosong, Kak. Mau kemana?

Kak Zi: Gak kemana-mana, sih. Di studio aja.

Me: Bisa emangnya?

Kak Zi: Bisa. 'Kan, ada kamu.

Me: Dih??? Me: Oke deh, aku ke sana. Kakak pasti capek, jadi gak perlu jemput!!!

Ah, kemana perasaan tidak enaknya tadi?

Sherina meringis karena menyadari bahwa sekali lagi, ia membiarkan dirinya dipenuhi oleh pemikiran itu. Padahal sosok yang menjadi objek pikirannya, tidak pernah mempermasalahkannya. Sherina mengkhawatirkan hal yang bahkan tak pernah kekasihnya ungkit.

Dalam pandangannya, sosok itu terlihat sempurna. Fauzi, dengan mendengar namanya saja, rasanya Sherina mampu untuk memujinya habis-habisan. Fauzi adalah seorang musisi yang namanya sudah banyak tertera dalam lagu para penyanyi. Bahkan baru-baru ini dia baru saja mengambil langkah untuk menyanyikan lagu ciptaannya di ruang publik.

Kepribadiannya memang tidak terlihat hangat saat awal, tapi Fauzi bisa membuat rasa nyaman hadir. Terlebih dengan wajahnya, hal yang akan selalu dilihat oleh orang-orang saat pertemuan pertama.

Di antara hal baik yang membuat sosok itu pantas dicintai, Sherina tidak mengerti kenapa Fauzi memilih dirinya. Padahal ada banyak yang akan terlihat lebih pantas sebagai pasangan laki-laki itu.

Perempuan itu menarik napasnya, berusaha mengalihkan fokus pikirannya. Dia sekali lagi melihat pada televisi, masih ada wajah kekasihnya di sana karena acara yang diputar tidak disiarkan secara langsung. Dia tertawa lebar karena candaan yang dikeluarkan oleh pembawa acaranya.

“Kak Zi, seharusnya kamu gak sama aku,” gumamnya pelan, “kamu bahkan gak pernah ketawa kayak gitu pas sama aku.”

Sherina berdiri, memilih untuk mematikan televisinya. Dia terdiam untuk beberapa saat, memandangi layar hitam benda itu. Tepatnya, pada bayangan dirinya yang ada di sana.

“Lihat, Na. Apa yang ngebuat Kak Zi suka sama kamu? Gak ada. Dia waktu itu gak sadar pas minta kamu jadi pacarnya.”

Perempuan berumur 24 itu mengalihkan pandangannya pada jam dinding. “Sekarang, mungkin waktu yang tepat.”

Sherina mengambil tas kecilnya, ia akan pergi ke studio laki-laki itu sekarang.

Sherina harus sesegera mungkin melepaskan Fauzi dari dirinya.

Ia sadar kalau itu akan lebih baik untuk Fauzi.

Sepanjang perjalanan, Sherina tidak dapat fokus. Ia tenggelam dalam pemikirannya. Membiarkan dirinya untuk semakin terjebak dalam keraguan akan dirinya sendiri.

Sherina tidak menduga bahwa untuk sekedar membuka pintu pun, ia akan merasa sangat kesulitan. Tangannya kelihatan bergetar ketika akan membuka pintu itu. Namun, sebelum tangannya dapat menyentuhnya, benda itu sudah terbuka lebih dulu. Menampilkan seseorang yang tak akan pantas untuk ia lupakan.

“Ah Na,” ucap laki-laki itu, “aku kira kamu bakal lebih lama.”

Lidah Sherina terasa kelu, ia tidak membalas ucapan Fauzi. Yang lebih tua sedikit memiringkan kepalanya, sadar kalau orang di hadapannya melamun.

“Hey, Na. Jangan ngelamun.”

“Ah, maaf, Kak,” ucapnya pelan dan dibalas dengan senyuman hangat dari Fauzi.

“Gak papa, ayo masuk.” Tangannya ditarik lembut, Sherina bisa apa selain menurut?

“Aku belum kepikiran mau nulis lirik baru kayak apa,” ungkap Fauzi setelah memastikan kekasihnya duduk nyaman di sofa yang ada studionya. Sementara dirinya duduk di kursi kebanggaannya, tepat didepan komputernya.

“Kangen, tapi gak berani meluk. Kamu kelihatan bad mood. Kamu lagi kayak gitu, 'kan?” ucapnya lagi, yang tanpa sadar membuat Sherina mengepalkan kedua tangannya. Perempuan itu bahkan menghindari kedua pasang mata mereka bertemu.

Sherina tidak dalam suasana hati yang buruk, ia hanya merasa kosong dan itu terasa menyesakkan. Terlebih ketika tadi ia menatap Fauzi.

Sebentar lagi.

Sebentar lagi dirinya tidak akan bisa menatap Fauzi dalam jarak sedekat ini.

“Na,” panggil Fauzi, karena ucapan yang keluar dari mulutnya tidak kunjung mendapat jawaban.

“Kak, aku tadi nonton kamu yang diundang ke acara musik itu,” ucap Sherina, langsung mengundang raut heran dari lawan bicaranya.

Kenapa Sherina tiba-tiba membahasnya?

“Kamu ketawa, kelihatan lepas banget. Aku bersyukur karena ada orang yang bisa ngebuat Kakak ketawa,” ujarnya lagi, “beda sama aku, Kakak bahkan jarang ketawa kalau sama aku.”

Sherina menunduk, tak sanggup melihat reaksi apapun yang akan dikeluarkan Fauzi. Kedua tangannya saling meremat, gerakan kecil supaya ia tidak mundur lagi dan menyelesaikannya sekarang.

“Maaf, Kak. Seharusnya dulu aku gak berharap lebih ketika Kak Zi deketin aku, seharusnya aku gak pernah nerima ajakan Kakak. Maaf karena aku malah ngebuat semuanya jadi rumit.” Ada isakan yang lolos dari perempuan itu, membuat Fauzi memejamkan matanya.

Dia tak pernah menduga bahwa Sherina akan seperti ini. Apa alasan perempuan itu mengatakan hal menyakitkan ini padanya? Apa karena dia terlalu sibuk sehingga Sherina sana berkata demikian?

“Na, ken—”

“Kak Zi, let's break up,” potong Sherina, “you deserve someone better than me.

Fauzi bahkan tidak bisa mendengar keraguan dari suara perempuan itu. Meskipun, selalu ada isakan yang keluar setelahnya.

Fauzi tidak suka ketika perempuan itu menangis dan dirinya tidak sanggup berbuat apa-apa.

Tangannya bergerak untuk masuk ke dalam saku jaketnya, meremat kotak kecil yang ada di sana. Kepalanya menggeleng, membatalkan niatannya. Sherina sudah tidak nyaman dengan hubungan mereka, dan Fauzi tidak boleh memaksanya.

“Na, look at me,” ucap Fauzi, tapi tidak dituruti. Laki-laki itu memejamkan matanya, ia sudah tidak sanggup mendengar tangisan Sherina.

“Kalau kamu mau kita pisah, aku bakal nurutin keputusan kamu. Kamu udah gak nyaman dalam hubungan ini, aku paham. Aku ... aku gak akan paksa kamu untuk mengatakan alasannya, Na.”

Fauzi berdiri, berjalan mendekati perempuan yang mencoba menghentikan tangisannya. Ia yang memutuskan untuk mengakhiri, tapi ia juga yang menangis.

Fauzi berlutut dihadapan perempuan itu. Tangan bergerak untuk membingkai kedua sisi wajah mantan kekasihnya itu, menghapus jejak air mata yang ada di sana.

Malam itu, Sherina dapat melihat senyuman paling hangat yang belum pernah Fauzi tunjukkan. Senyuman itu, untuk dirinya.

“Hey, Na,” panggil Fauzi, seperti biasanya, “aku selalu ada di sini. Kalau kamu butuh sesuatu jangan ragu untuk hubungi aku, ya. Maaf kalau ternyata sikapku membuat kamu gak nyaman. Selepas ini, tolong bahagia, ya?”

Bagaimana bisa Sherina bahagia ketika alasannya saja baru ia lepaskan?

Sherina tidak tahu dirinya yang berlebihan atau bagaimana. Bahkan laki-laki ini hanya menunjukkan raut kecewanya, tak ada tangisan atau melakukan sesuatu agar Sherina menarik kembali keputusannya.

Seolah keputusan yang Sherina tawarkan adalah hal yang ia damba sejak lama.

“K-kak, aku ... aku mau pulang.”

Fauzi mengangguk. “Mungkin ini bisa menjadi terakhir kali. Jadi, izinin aku antar kamu pulang, ya?”

Sherina mengangguk. Benar akan selalu ada kemungkinan bahwa ini terakhir kali. Namun, membayangkan hari esok tanpa sosok di hadapannya terasa begitu menyesakkan.

Perjalanan mereka diisi keheningan. Sekali lagi, keduanya membiarkan pemikiran dengan tanda tanya memenuhi kepala.

Semakin lama, Sherina semakin merasa sesak. Ada tangis yang ingin ia keluarkan lagi, tapi alasan tangis itu bahkan ada di sebelahnya.

Ketika mobil itu berhenti di depan rumahnya. Sherina hanya sanggup melirihkan kalimat, 'terima kasih banyak' dan pergi keluar dari mobil itu. Berlari ke kamarnya untuk langsung menumpahkan segala perasaan yang membuatnya sesak.

Yang tidak diketahui Sherina, mobil Fauzi bahkan belum sanggup meninggalkan tempat itu. Fauzi menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan lengan yang ia tumpu pada kemudi mobil, punggungnya terlihat bergetar.

Ia menangis, lengkap dengan sebuah kotak kecil berisi cincin yang seharusnya ia berikan hari ini pada sang kekasih. Yang kenduian tidak apan pernah sampai pada orang yang ditujunya, pemiliknya.

*Mungkin.”


Tidak banyak yang berubah pada dunia Sherina ketika ia sudah melepas Fauzi. Bahkan rasanya ia masih bergantung pada laki-laki itu, dan Fauzi selalu menawarinya hal yang membuat Sherina tidak bisa lepas darinya.

Bingung? Tentu.

Tanpa sadar, Sherina mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Kemudian membuatnya kewalahan ketika Fauzi membalas, 'Kata siapa?'

Suara pintu yang diketuk cukup membuat kesadaran Sherina kembali ke dunia. Perempuan itu dengan segera menghampirinya. Ketika melihat sosok dibalik pintu adalah Fauzi, ia secara spontan akan menutupnya lagi kalau saja Fauzi tidak cepat-cepat menahannya.

“Hey, Na. We need to talk.”

Sherina membiarkan laki-laki itu membuka pintunya, memegang kedua bahunya dan mendorong pelan Sherina agar keduanya dapat masuk ke dalam. Ketika sudah duduk berdampingan, ada canggung yang terasa di sana.

You know? I thought you didn't love me anymore.

“Aku setiap hari selalu berpikir apa yang ngebuat kamu mau kita mengakhiri hubungan ini. Apa karena aku terlalu sibuk atau karena hal lainnya. Bodohnya, aku sama sekali gak pernah bertanya langsung karena gak mau menekan kamu.”

Sherina memejamkan matanya. Fauzi pun sama, laki-laki itu membiarkan dirinya tenggelam dalam pemikirannya sendiri.

“Di malam ini, aku tadinya mau melamar kamu. Tapi, kalau kamu mau kita berakhir aku bisa apa?”

Sherina menoleh, membuat mata mereka bertemu. Ada raut terkejut yang diperlihatkan perempuan itu. Fauzi meraih tangannya, meletakkan kotak merah itu di sana.

“Aku tahu, aku ditolak sebelum berucap. Tapi, cincin ini akan selalu jadi milik kamu, Na.”

Sherina menunduk. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan, ada keraguan tentang keputusannya yang kembali mencuat ke permukaan.

“Kak, dunia kamu sama dunia aku tuh beda banget. Rasanya kamu terlalu tinggi, dan aku gak pantas untuk mengimbangi kamu,” ucap Sherina pelan, “ada banyak orang yang lebih baik dari aku untuk kamu. I don't deserve your love.

Keheningan menjebak keduanya. Sherina yang kini berusaha menahan air matanya untuk tidak keluar dan Fauzi, entahlah apa yang ada dalam pikiran laki-laki itu sekarang.

Fauzi tiba-tiba tertawa. Sekali, lagi Sherina melihat ke arahnya. Tawa itu terasa beda, seolah ada rasa sakit yang diikut sertakan. Atau mungkin, memang demikian.

“Lucu ya, komunikasi kita tuh ternyata sepayah ini? Kita rela-rela tenggelam dalam dugaan masing-masing dan itu nyakitin diri sendiri.”

Fauzi sekali lagi membawa dirinya untuk bersimpuh di hadapan yang lebih muda. Laki-laki memberanikan dirinya untuk memegang tangan Sherina.

“Na, kamu bahkan sangat pantas untuk dicintai seluruh dunia. Ayo sudahi kesalahpahaman yang ada di antara kita.”

Laki-laki itu mengambil alih kotak yang ada di tangan Sherina. Fauzi membukanya, dan kemudian berkata, “You deserve the very best, someone who will back you up without limits, let you grow without borders, and love you without end.

Laki-laki itu menjeda kalimatnya ketila melihat ada air mata yang lolos dari mata indah Sherina, entah disadari atau tidak oleh perempuan itu. Jari Fauzi bergerak untuk mengusapnya.

“Hey, Na.” Panggilan itu selalu terasa hangat jika keluar dari mulut Fauzi. “Will you let me be the one, Na?

“K-kak, dengar. A-aku gak pan—”

“Sherina, yang tahu pantas atau tidak buatku itu ya aku sendiri. Kamu gak akan pernah tahu kecuali aku yang ngasih tahu.”

Fauzi tersenyum tipis. “Let me tell the world, that Sherina really deserves to have me and get my love.

Pecah. Tangis Sherina sekali lagi pecah di hadapan Fauzi. Tapi, keduanya seolah tahu apa alasan dibalik tangis itu, atau jawaban dari pertanyaan tadi yang digantung.

Would you be my wife, Na?

Sherina mengangguk, disusul dengan pelukan hangatnya. Untuk Fauzi.

Mereka berhasil menyingkirkan keraguan buah pemikiran masing-masing yang tak pernah berani disuarakan. Malam itu, keduanya merasa menjadi dua orang yang ditawari kebahagiaan oleh semesta.

—dan mereka pantas mendapatkannya.


-honeyshison

Ps; sorry for typo(s).

Ketika orang-orang bilang gue beruntung karena mempunyai dua penjaga, gue gak akan mengelaknya. Kenal sama Vernon dan Seungkwan semenjak di bangku Sekolah Dasar sampai sekarang, ninggalin banyak kesan tersendiri buat gue. Gimana kami berjuang bersama sampai akhirnya memilih untuk kerja di tempat yang sama.

Kafe sebenarnya gak hanya sekedar kafe, semua pegawainya harus bisa mampu dalam berbagai bidang, mampu doang bukan jago. Terlebih staff inti. Jadi staff inti tuh, misalnya ya posisi gue di sana, 'kan, sebagai pelayan, gue harus tetep bisa bantu di dapur dan nguasain semua menu. Makanya yang berhasil jadi staff inti gak banyak.

Ah ya, kembali lagi ke Vernon dan Seungkwan.

Gue menyaksikan bagaimana mereka tumbuh, bahkan gue, Dahyun, adalah satu-satunya perempuan yang bisa dibilang tumbuh bersama mereka.

Tentang Seungkwan yang sedari kecil gak pernah kehilangan sinarnya. Kalian percaya gak sih kalau gue bilang di hari pertamanya ada di sekolah, cowok ini udah bisa ngumpulin massa? Gak hanya di SD, SMP, bahkan pas SMA juga begitu.

Seungkwan nih kalau zaman sekolah tipe cowok yang dikerubungi banyak cewek. Nggak, bukan karena dia pangeran kelas. Tapi, pribadinya yang hangat dan gak pernah canggung, jadi banyak yang nyaman sama dia.

Beda sama Vernon. Dia kalau di cerita-cerita yang gue baca, tipe ice prince gitu deh. Itu kata yang gak kenal dia, pada faktanya cowok ini sering berkelakuan random. Hal lain yang jadi kebiasaan cowok ini, kalau dia ada di kondisi yang mengagetkan, mau sedih atau senang, Vernon cuma akan mengeluarkan reaksi, “keren”.

Pesona Vernon ini, bisa dibilang lebih kuat dari Seungkwan. Tapi, sikap dia yang acuh gak acuh ngebuat Vernon sering disangka PHP. Padahal anak ini tipe yang berkelakuan spontan, sesuai yang ada di pikirannya. Untung gue sama Seungkwan selalu bisa memaklumi dia.

Terakhir, gue, Dahyun. Cewek yang katanya beruntung karena di sisi kanan dan kiri gue selalu ada keduanya. Vernon sama Seungkwan selalu gue lihat sebagai sahabat, penilaian baik yang mereka punya gak akan gue elak. Ada saatnya gue akan memuji kedua orang ini, meski kebanyakan gak gue suarain, sih.

Diantara semua itu, seperti apa yang gue bilang dulu. Keduanya gak bisa buat gue naksir sama mereka.

Ketika biasanya dalam persahabatan beda lawan jenis, kebanyakan pihak cewek yang baper duluan. Maka ini gak terjadi dalam kisah gue.

Dulu zaman sekolah, Seungkwan pernah menjadikan gue sebagai alasan ia menolak pernyataan cinta. Itu memang benar-benar alasan, dia memang menunggu jawaban gue. Waktu itu, gue sama Seungkwan pernah terlibat obrolan tentang perasaan. Tanpa Vernon.

“Baper antara sahabat itu wajar, 'kan?”

“Wajar, Kwan. Kenapa? Lo suka gue, ya?”

“Iya. Kalau suka Vernon, serem.”

Gue ketawa. “Gak papa, sih. Toh kita kadang gak bisa milih bakal jatuh ke siapa.”

“Tadinya gue cuma mau lo tahu kalau gue suka sama lo, Hyun. Tapi, dipikir-pikir gak ada salahnya juga kalau gue nyoba.”

“Nyoba?” Dia ngangguk. “Iya. Nyoba nembak siapa tahu diterima.”

“Dahyun, lo mau jadi pacar gue nggak? Gue gak akan menawari apa-apa, tapi kalau lo minta, gue bakal usahain.”

“Kwan. Gue—”

“Gue kasih waktu deh,” potongnya, “jangan langsung nolak, ya.”

Saat itu dia berkata demikian, Seungkwan tetap nekat ngajak gue pacaran disaat dia sudah tahu apa jawabannya. Gue gak bisa kalau harus pacaran sama sahabat gue.

Gue gak bisa mengubah pandangan gue.

Sekarang, Seungkwan udah move on. Lucu rasanya ketika dia antusias nyeritain seseorang yang dia sukai. Yena, mereka ketemu pas diundang jadi bintang tamu seorang youtubers. Sama-sama punya akun youtube yang kontennya diisi video lucu, membuat keduanya dipersatukan. Mereka berdua tipe anak yang sama-sama asik, jadi gue ngerasa kalau Seungkwan gak salah jatuh hati sama Yena.

Mana cewek itu lucu banget, serba bisa lagi. Gue kalau bukan cewek kayaknya bakal naksir dia juga.

Ketika pundak gue kerasa lebih ringan karena Seungkwan udah nemuin orang lain yang bisa dia kejar cintanya, Vernon berulah. Dia ini jarang serius dalam percintaannya akibat sikap cueknya. Jadi, ketika dia mulai sering gombal atau muji gue, gue gak pernah melihatnya sebagai seseorang yang berusaha ngelakuin pendekatan.

Gue selalu menganggapnya sebagai candaan, seperti biasanya yang memang gak asing untuk persahabatan kami bertiga. Ketika makin lama Vernon malah makin menjadi, gue ngerasain hal yang beda dibanding Seungkwan dulu.

Gue bingung, dia ini bercanda atau serius, sih? Karena dibilang serius, masa kayak gitu? Dibilang bercanda, apa gak terlalu keseringan?

Kepala gue makin kerasa penuh karena khawatir sama kondisi Tzuyu.

Hari itu kebetulan banget temen sekolah gue, cewek, ngajak ketemuan. Gue mau coba sehari tanpa kehadiran mereka. Jadinya, gue nerima ajakan dia tanpa bilang-bilang mereka.

Namanya Eunbi—atau dulu pas sekolah sering disebut Sinbi, kalau kalian penasaran.

Gue seharian itu kerasa lebih ringan, mata gue kerasa terbuka lebih lebar dari biasanya. Mungkin gue yang belum naksir siapa-siapa ini, termasuk sahabat gue sendiri, karena dunia gue selama ini dihiasi keduanya. Gak ada tipe ideal yang gue harapkan karena sering melihat Vernon sama Seungkwan yang apa adanya.

Kemudian kebingungan gue terhadap sikap Vernon malah membuat gue risih? Terlebih dia bersikap seolah harus selalu tahu gue pergi kemana dan sama siapa. Padahal gue gak pernah menuntut itu pada mereka, mau Seungkwan ataupun Vernon. Meskipun kadang, kami inisiatif buat ngasih tahu sendiri.

Gue mengatakan pikiran gue, gue memilih untuk melihat sikap Vernon selama ini sebagai candaan. Terlebih, cowok ini gak pernah mengatakan gimana perasaannya.

Gue gak tahu kenapa dia marah padahal gue gak pernah mengatakan kalau perasaan itu bercandaan. Gue hanya mengatakan bahwa gombalan dia yang bercanda. Karena tadi, dia gak pernah mengatakannya, beda sama Seungkwan dulu.

Sekarang, cowok itu tiba-tiba mau pergi dari kami.

Apa itu karena gue?


“Jangan diem-dieman,” kata Seungkwan, “gue gak suka.”

Itu gak membuat gue sama Vernon bersuara. Rasa canggung kerasa banget diantara kami bertiga, dan Seungkwan berusaha untuk mencairkannya.

“Kalau ini soal perasaan, sebenarnya lo berdua salah kalau menurut gue. Dahyun gak pernah mau ngelihat, dan lo gak pernah mau mastiin. Dipikir Dahyun ngerasa cukup sama gombalan dan kata cakep doang? Nggak, Non.”

Ah gue paling gak suka Seungkwan kalau udah kayak gini. Omongan dia terkesan nyablak dan sialnya itu bener.

“Lo belum pernah gue kasih tahu ini, tapi kayaknya udah waktunya gue kasih tahu deh, Non,” ujar Seungkwan lagi, dia tahu bahwa antara gue sama Vernon gak akan ngomong apa-apa.

“Dulu gue pernah nembak, Dahyun.”

Vernon akhirnya ngangkat kepalanya, dia langsung ngelihat ke arah Seungkwan.

“Gue ditolak,” balas Seungkwan tenang, “gue yang waktu itu ngomong serius pun dia tolak. Apalagi lo yang semuanya serba gantung.”

Vernon ngelihat gue sekilas sebelum ngelihat ke arah Seungkwan lagi. Dia berkata, “Gue gak akan terpengaruh.”

“Gue gak lagi mempengaruhi, gue cuma cerita.”

Seungkwan nunjuk ke arah gue. “Anak ini udah gak bisa ngubah pandangannya. Sekali dia ngelihat kita sebagai sahabat, ya udah gak bisa berharap banyak. Gue tahu dia selalu nyoba, terlebih lo setelah gue. Tapi, kayaknya itu nekan dia gak sih? Makanya dia kesel sama lo waktu lo tanya-tanya?”

Hening. Vernon kelihatan baru sadar sama apa yang dikatakan Seungkwan? Itu gak hanya terjadi sama Vernon, tapi gue juga. Seungkwan bahkan jauh lebih paham dari diri gue sendiri.

Lebih dari itu, Seungkwan membicarakan gue seolah gue gak ada di sini, sama mereka.

“Gue selalu percaya kalian karena kalian sahabat gue. Gue tahu apa yang kalian lakuin gak mungkin gak ada alasannya. Tapi, gue gak paham kenapa kalian bisa diem-dieman sampai lo mutusin buat keluar dari Kafe.”

Vernon langsung ngegeleng. “Gue udah niat dari lama. Tapi, gue akui itu dipercepat karena ini...,” ucapnya kedengeran ragu di akhir.

“Lo tega ninggalin kami karena perasaan lo yang gak berbalas? Kenapa kita gak rayain bareng-bareng aja sih, Non? Gue juga lagi patah hati, kalau gak ada kalian gue gak akan bersikap kayak sekarang. Selagi ada kalian, gue gak seharusnya terlalu galau soal cinta.”

Seungkwan natap gue sama Vernon gantian. “Karena kalian sahabat gue. Gak tahu deh gue masih dianggap apa nggak.”

Sarkas.

“Lo masih sahabat gue,” balas gue langsung, “Vernon juga.”

“Masa?” tanya Seungkwan kemudian nunjuk ke Vernon, “dia ini udah kode mau ninggalin kita loh, Hyun. Gak penting kita tuh.”

Kenapa sekarang kesannya Seungkwan kayak ngomporin Vernon?

Sorry,” ucap Vernon pelan, “gue kemarin ... kecewa sampai ngebuat diri gue sendiri salah paham. Padahal apa yang Dahyun maksud dan yang gue tangkap itu beda.”

“Gue juga minta maaf. Maaf gue malah ngebuat kita kayak gini, gara-gara gue gak bisa ngubah pandangan gue sendiri,” balas gue.

“Lo gak salah, lo keren karena bisa untuk selalu ngelihat gue sama Seungkwan sebagai sahabat lo,” sahut Vernon lagi, “ayo baikan.”

Gue gak bisa nahan senyum lebar gue. “Ayo!”

Vernon langsung masang senyum lebarnya yang jarang ia perlihatkan ketika tangan gue sama dia bersatu buat salam baikan. Seungkwan yang ada di antara kami ikut tersenyum puas dan meletakkan tangannya di atas tangan gue sama Vernon.

“Kalau baikan, 'kan, enak. Let's go, sahabat. Mari merayakan patah hati gue sama Vernon, dan hubungan kita yang jadi sahabat lagi,” ucap Seungkwan, tiba-tiba kelihatan riang.

Gue tahu, ada di antara gue sama Vernon yang melibatkan perang dingin itu gak enak buat dia. Ini bahkan jauh lebih membebaninya daripada kenyataan kalau ia ditolak juga, gue nanti harus minta penjelasan soal ini.

Seungkwan kayak orang yang gak punya beban sama sekali sekarang.

“Gas, ayo kita mabok!” sahut Vernon. Dua cowok itu langsung berdiri dan menarik gue untuk pergi dari tempat itu. Sesuai ucapan Vernon tadi, gue paham kalau dua anak ini mau ke minimarket.

Jangan salah paham.

Mabok yang kata Vernon itu bukan minum minuman beralkohol, gak berani lah kalau itu. Tapi, membeli keripik berbagai bahan sebanyak-banyaknya dan memakannya sampai habis walaupun udah eneg.

Gak perlu minuman, sekarang semuanya kerasa lebih lega. Kami bisa lagi menjalani hari sebagai tiga orang sahabat.


honeyshison

Sorry for typo(s)

mention of accident.


Untuk jatuh ke seseorang seperti Soonyoung sedikitnya membuat gue belajar banyak hal. Tentang si dia yang selalu lebih mengutamakan tawa orang lain, atau dia yang selalu sanggup untuk membuat orang di sekitarnya berpikiran positif. Tentang dia—ah kalau gue jabarkan bagian ini mungkin akan habis dengan lama.

Gue Sana, atau Shasa sebagaimana dia sering memanggil gue, yang kemudian menjadikan orang lain di sekitar kami juga memanggil gue demikian.

Mengenal Soonyoung semenjak sekolah, membuat gue gak hanya mengenal sisi baiknya aja. Dia tuh pada kenyataannya haus akan kesempurnaan dalam setiap tarian yang ia pertontonkan, gak jarang Soonyoung akan marah-marah sendiri kalau hasilnya belum memuaskan. Kebiasaan lainnya mungkin adalah Soonyoung yang kalau marah, telinganya seakan tuli. Walau ujungnya dia bakal minta maaf kalau emosinya udah mereda, jadi gue dan teman-temannya yang lain lebih sering membiarkan Soonyoung sendiri ketika laki-laki itu marah.

Soonyoung bukan sekedar teman untuk gue.

Shasa dulu bukanlah seorang yang punya mimpi, gue dulu memang ada keinginan, tapi jarang yang kuat. Gue selalu berakhir pasrah tanpa melakukan apapun, membiarkan dunia gue mengalir tanpa rencana esok hari yang gue ajukan sendiri.

Mendengar setiap keluhan dia kalau mimpinya terhalangi, membuat gue tanpa sadar ingin mewujudkannya. Dia mau masuk kuliah seni tari dan nantinya mau jadi salah satu pengajar bidang itu. Keinginannya tidak diterima dengan baik karena gak sesuai dengan bidang yang dijalani keluarganya.

Soonyoung itu nekat.

Dia menghabiskan tingkat akhirnya gak hanya untuk belajar. Tapi, juga mengambil beberapa pekerjaan dan uangnya ia kumpulkan untuk membiayai kuliahnya sendiri. Dia bahkan melakukan hal yang gak disukai sebelumnya; berpose di depan kamera.

Bagaimana gue gak makin mengagumi laki-laki ini? Sayangnya, gue gak bisa berharap lebih karena Soonyoung selalu memperlakukan semua orang sama, mau perempuan atau laki-laki.

Yang berbeda, mungkin cuma cerita yang selalu dia perdengarkan ke gue. Dia memang percaya sama gue, tapi hal itu juga ia lakukan pada tiga temannya yang lain. Jun, Wonwoo, dan Jihoon.

Soonyoung selalu melakukan sesuatu dengan alasan yang jarang ia suarakan. Keputusannya untuk ambil jurusan yang gak diizinkan keluarganya, bukan sekedar untuk mendalami bidang tari.

“Lo tahu gak sih, Sha? Tarian kadang bisa ngajarin seseorang tentang kehidupan.”

“Jangan dulu ngomong, lo ganti baju dulu. Nih gue habis pinjem punya Papa.”

“Hahahaha, kenapa repot-repot sih?”

“Lo bakal ngebuat gue tambah repot kalau duduk dengan baju yang basah!”

Di luar tengah hujan deras, dan laki-laki ini datang dengan keadaan basah kuyup. Entah apa yang terjadi di rumahnya sampai dia nekat datang malam-malam ke rumah gue, meskipun dipelototi Papa dia tetap kukuh mau masuk.

Untungnya, keluarga gue udah terlalu hafal bagaimana random-nya dia.

“Siap atuh, Neng. Akang ganti baju dulu, ya,” ujarnya diakhiri dengan tawa renyah, menertawakan gue yang menunjukkan raut sebal. Dia mengambil alih pakaian di tangan gue kemudian pergi ke kamar mandi yang udah dia hafal letaknya di mana.

“Sha! Naha ieu teh gak ada dalamannya?!” Gue malu karena dia ngomong gitu sambil teriak. Gue yakin orang tua gue yang selalu diam di ruang tengah ketika Soonyoung datang, bisa mendengarnya.

“Gak tahu! Papa ngasihnya itu aja! Pake punya lo aja sih!”

Nyaaaa!” teriaknya lagi.

Omong-omong gue emang pindah ke Bandung waktu kelas 11, tapi gue belum sepenuhnya berbicara dengan bahasa daerah sini. Gue lebih sering memahami dari pada mengucapkannya. Sementara, Soonyoung yang asli Bandung kadang mengerjai gue dengan berbicara Bahasa Sunda yang jarang dipakai. Tapi, untungnya gue bisa belajar di luar yang diajarkan sekolah.

“Kenapa ke sini gak ngabarin gue dulu?” tanya gue begitu dia keluar dari kamar mandi.

“Hujan, terus rumah lo lebih deket. Gue mau numpang neduh. Belum larut ju—lo udah makan belum?”

Lihat? Dia ini emang random.

“Pas lo datang, baru aja selesai makan malam,” jawab gue, “lo belum ya?”

Dia cuma terkekeh.

“Tadi diajakin dulu sama yang lain, tapi takut keburu hujan jadinya pulang duluan. Tetap aja kejebak hujan di jalan, untung deket rumah lo.”

“Bentar, gue ambil makan dulu. Ntar lo sakit lagi,” ucap gue seraya berdiri.

“Gak usah, Sha. Berat badan gue naik, tadi agak diomelin sama mbak-mbaknya gara-gara pipi gue tembem.”

“Jangan sampai skip makan deh. Gue gak suka,” ucap gue sambil memegang kedua pipinya, “lagian lo gak kelihatan tembem kalau lagi biasa gini.”

Pipi Soonyoung empuk. Gue kadang sering mainin pipinya, dan Soonyoung gak pernah mempermasalahkan hal itu. Gue memandang lekat laki-laki itu dan berkata, “Makan ya?”

“Dikit aja, ya? Gue sungkan ngerepotin keluarga lo terus.”

Gue tersenyum. “Gak perlu sungkan. Gue temen lo dan lo juga temen gue. Tunggu, gue ambil makanannya dulu.”

Gue keluar dari kamar, membiarkan pintu terbuka karena Papa gak pernah membiarkan pintu itu tertutup kalau ada Soonyoung atau teman gue yang lain. Untungnya, makan malam tadi gak habis, masih ada sisa untuk satu porsi lagi.

“Sana, kamu lapar lagi?” tanya Mama ketika melihat gue kembali dengan seporsi makanan dan segelas air. Gue menggeleng dan memberi kode lewat tatapan kalau ini punya Soonyoung.

“Jangan makan sampe jam 9 malem loh, Soon! Kalau hujannya belum reda, kamu gak boleh di kamar!” ucap Papa tiba-tiba dan agak keras, agar Soonyoung yang ada di kamar dapat mendengarnya.

“Siap laksanakan, Om!”

“Nih, makannya. Abisin.” Gue sedikit menekan kalimat gue.

Soonyoung mengangguk, matanya berbinar melihat makanan. Dia sebenarnya doyan makan, tapi karena kadang dia ambil kerjaan model, jadinya dia gak sebebas dulu.

“Gue kayaknya mau warnain rambut abis perpisahan,” ucapnya setelah cukup lama hening di antara kami.

“Warna apa? Emangnya gak akan masalah nanti lo maba yang rambutnya diwarnain?”

“Biru, tapi pudar gitu, kece kayaknya,” balas Soonyoung, “Maba cuma status, gue tetap manusia yang punya hak nentuin diri gue sendiri.”

Nah, 'kan, dia kadang bisa tiba-tiba berkata bijak kayak gini juga.

“Shasa, menurut lo penting banget gak sih kejujuran dalam sebuah hubungan? Gak hanya sama pasangan, tapi hubungan apapun itu termasuk sama saudara seagama.”

Gue diam sebentar kemudian mengangguk. “Menurut gue penting, karena kalau jujur artinya pantas dipercaya, 'kan? Kecuali lo mau kasih kejutan ulang tahun.”

Soonyoung ketawa. Padahal gue rasa gak ada yang lucu dari kalimat gue.

“Buat kejutan gak harus ulang tahun, tau. Bisa aja kita lagi nyantai gini, bukan di hari khusus, tahu-tahu dapat kejutan. Mending kalau buat bahagia, gimana ya kalau nyakitin?”

Gue mengernyit gak suka denger itu. “Ini lo kenapa sih, Soon?”

Soonyoung gak jawab, dia malah masukin makanan ke mulutnya lagi dan ngebuat pipinya menggembung.

“Gue pikir,” ucapnya menggantung, “kita harus pacaran kalau kuliah, Sha.”


Lucu rasanya ketika omongan yang kayak candaan itu benar-benar dia realisasikan. Waktu hari pertama kuliah, dia langsung nembak gue ketika pulang.

Gak banyak perubahan yang terjadi ketika kami berteman sampai ada di status pacaran. Yang paling kerasa jelas berubahnya kata-kata yang ada dalam pembicaraan kami. Lebih lembut, pakai aku-kamu tanpa merasa geli karena sebelumnya kami adalah sahabat.

Terus, jadi lebih sering kalau pulang atau pergi bareng.

Gue gak pernah menduga kalau saling membagikan dunia masing-masing akan membuat gue antusias. Jika itu bukan Soonyoung, gue gak tahu apa gue akan bersikap sama atau nggak.

Hubungan gue sama Soonyoung bisa dibilang baik-baik aja, kami jarang berantem. Bahkan gue jadi akrab sama tiga temannya Soonyoung saking seringnya dia bawa gue kalau kumpul sama mereka. Kalau ditanya siapa yang paling akrab, ya itu Jun. Dulu, pas sekolah gue sekelas sama dia soalnya, terus dia anak seni tari juga. Beda sama Wonwoo dan Jihoon.

Lucunya, gue gak pernah sekalipun merasa bosan ketika sosok Soonyoung mengisi hari gue hampir seharian, belum keesokannya juga kayak gitu lagi.

Justru ketika Soonyoung gak ada gue malah merasa aneh. Kami emang jarang bertukar kabar lewat pesan karena Soonyoung lebih suka langsung. Kondisi yang sering satu kelas juga jadi alasannya.

Ketika hubungan kami mau mencapai umur satu tahun, ada yang berubah dari sosok itu. Dia jadi jarang masuk dan gak bisa gue hubungi. Teman-temannya bahkan bertanya ke gue gimana kabar Soonyoung, padahal gue juga mengalami hal yang sama kayak mereka.

Gue selalu berusaha ngejar dia kalau dia masuk, tapi entah kenapa gue selalu kalah cepat. Ketika didatangi ke rumahnya pun, laki-laki itu gak pernah ada di sana.

Soonyoung tiba-tiba menghindar, bukan cuma dari gue, tapi dari dunianya sendiri. Soonyoung gak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Gue percaya kalau sekarang, Soonyoung cuma butuh waktu untuk dirinya sendiri.


Gak ada yang mengagetkan gue di hari itu kecuali Jun yang tiba-tiba datang dan memegang kedua bahu gue cukup kencang. Kelas sebentar lagi dimulai, dan dia baru aja datang. Laki-laki itu juga kelihatan panik.

“Sha, Soonyoung ... dia ... dia—” Jun tiba-tiba diam, dia sepertinya baru menyadari sesuatu.

“Soonyoung kenapa, Jun?” Gue berusaha untuk tenang, meskipun Jun tadi sempat kelihatan panik.

Jun masih diam, dia menjauhkan dirinya dari gue. Membuat jarak lebih besar antara gue dan dia.

“A-ah gue tadinya mau ngasih kejutan bahagia kok malah kayak panik, ya?” ujarnya kaku dan diakhiri tawa yang canggung.

“Sha, tadi Soonyoung hubungi gue. Sebenarnya harusnya jadi kejutan sih, tapi karena gue salah akting lo nanti pura-pura gak tahu aja ya.”

Gue gak habis pikir sama manusia satu ini.

Jun natap gue, dia seperti berusaha menunjukkan raut bahagia? Entalah, cuma gue merasa apa yang ditunjukkannya gak tulus. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.

“Besok, kalian satu tahun, 'kan, ya? Nih gue ngucapin selamat sekarang, jadi orang yang pertama, bahkan sebelum Soonyoungnya sendi—”

“Juni,” potong gue, “jangan berbelit.”

Jun lagi-lagi ketawa canggung.

“Soonyoung bakal jemput lo besok buat ngerayain annive kalian. Lo besok pura-pura kaget ya pas dia jemput, seharusnya gue gak bilang hal ini ke lo.”

Gue memutar bola mata malas, untuk apa dia menunjukkan wajah paniknya ke gue tadi?

“Selama seharian itu, lo bisa gak cari kejelekan dia yang bisa ngebuat lo gak suka sama dia?”

Gue memandang Jun heran, maksudnya apaan sih?

Gue menggeleng. “Gak akan bisa. Soonyoung bahkan gak pernah nyakitin gue, buat apa gue gak su—”

“Sana,” potong Jun, suasana kerasa lebih serius karena dia memanggil nama gue.

“Besok, mungkin lo gak hanya dapat kejut—”

“Selamat siang semuanya, silahkan duduk ke tempat masing-masing karena ini sudah masuk jam saya.”

Jun gak menyelesaikan kalimatnya, bahkan hingga hari itu berakhir. Membiarkan gue dengan perasaan gak enak dan berusaha untuk menyingkirkan segala pemikiran aneh.

Semoga apa yang dia bilang benar, Soonyoung bakal datang untuk merayakan satu tahunnya kami.


Dulu gue mengalami kesulitan untuk membuat seseorang berhasil mengenal gue. Gak hanya diri gue yang selalu bisa dilihat mereka secara langsung, tapi juga dengan dunia gue. Apa yang gue sukai, atau bagaimana gue menghadapi dunia.

Bersama Soonyoung, dibalik minimnya kata manis diantara kita, gue gak perlu ngasih tahu dia tentang dunia gue karena Soonyoung bisa masuk sendiri. Entah bagaimana, tapi saat ini, bisa dibilang sosok itu adalah yang paling tahu gue.

Gimana bisa gue untuk berhenti sayang sama dia?

Perkataan Jun kemarin benar. Jam 7 pagi, ketika gue keluar kamar untuk sarapan bareng kayak biasanya. Soonyoung udah nangkring duduk di sebelah Papa, pasti dia diajak untuk ikut sarapan sama Mama.

Berbeda dengan dirinya akhir-akhir ini, Soonyoung malah menunjukkan senyumannya yang lebar. Seperti dirinya yang biasanya.

“Selamat pagi, Shasa.” Mendengar panggilan itu keluar dari mulutnya lagi, membuat gue tersenyum tanpa sadar. Kangen banget. Kalau gak ada Papa sama Mama mungkin gue udah lari buat peluk dia.

Mungkin sekarang, Soonyoung udah merasa cukup dengan agenda menghindar dari semuanya.

“Pagi, Soon.”

Setelahnya, kami gak banyak berbicara karena mulai sibuk dengan makanan masing-masing. Sudah kebiasaan pula, kalau sedang makan bersama jangan dulu mengobrol kecuali makanannya sudah habis.

Selesai makan, gue harus kembali ke kamar buat siap-siap. Soonyoung tampil sederhana dengan sweater hijaunya, yang membuat gue menarik kesimpulan kalau ini gak akan jauh beda dengan hari-hari biasanya. Detak jantung gue berdetak lebih kencang, yang gak bisa gue terjemahin itu karena gue antusias atau karena yang lain. Gue merasa bahwa hari ini gak akan berjalan baik, entah kenapa.

“Mau kemana, Sha?” tanyanya.

“Terserah kamu?” balas gue, karena emang gak kepikiran apa-apa.

Soonyoung menggeleng. “Terserah kamu,” balasnya dengan penekanan.

Gue diam untuk berpikir. “Ke Alun-alun yuk, Soon?”

“Boleh,” jawab Soonyoung kemudian menyerahkan salah satu helm yang dia bawa ke gue. Laki-laki itu menyalakan mesin motornya, kemudian memberi kode ke gue untuk ikut naik.

“Tumben kamu pakai helm kayak gini?” ucap gue agak keras karena Soonyoung sudah melajukan motornya. Helm yang Soonyoung pakai memang kelihatan beda dari biasanya, dia pakai helm yang membuat wajahnya tertutupi kecuali bagian mata.

“Biar keren, Shaa,” jawabnya dengan suara yang agak teredam.

Gue memilih untuk diam setelahnya. Gue memeluk pinggang Soonyoung dan menumpukan dagu gue di pundaknya. Ketika kami dihadapkan dengan lampu merah, kepala Soonyoung mundur. Tangannya bergerak untuk mengusap lutut gue, dan dia berkata, “Kamu hari ini harus seneng ya.”

Gue mengangguk. “Kamu juga.”

Dia gak balas lagi, tapi kembali melajukan motornya.

Hari itu, waktu terasa lebih berharga. Gue menikmati bagaimana Soonyoung yang kembali seperti biasa, kebersamaan kami, serta memori yang pastinya akan selalu gue kenang nantinya. Kegiatan jalan-jalan sebagai perayaan itu gak berjalan sampai malam hari, karena tepat jam tiga, kami udah ada di perjalanan menuju ke rumah gue. Gue benar-benar bahagia hari ini, perasaan gak enak semalam memang cuma perasaan.

“Bentar, Soon. Aku ada sesuatu,” ucap gue, dan Soonyoung menurut. Gue buru-buru masuk ke rumah untuk mengambil benda yang udah gue siapkan untuk laki-laki itu. Yang sialnya, tadi gue lupa untuk membawanya.

Gue kembali dengan sedikit terengah-engah, gue mengambil tangannya dan memberikan kalung bintang itu ke Soonyoung.

“Hadiah satu tahun dariku,” ucap gue sambil tersenyum. Soonyoung juga tersenyum, cuma kelihatan beda? Dari sorot matanya, dia kelihatan kosong...

“Kenapa harus bintang?” tanyanya.

“Soalnya, kayak bintang yang ada di langit. Keberadaan kamu berarti banget buatku, ter—intinya makasih karena ada di kehidupanku dan sanggup untuk saling berbagi tentang dunia.”

Soonyoung tidak langsung membalas, jujur gue agak malu karena mungkin ini kali pertama gue mengatakan hal manis ke dia. Tangan gue yang semula ada di atas tangannya karena memberi kalung itu jadi berbalik. Membuat gue menatapnya penuh tanya.

Soonyoung menyerahkan kembali kalung itu ke gue.

“Sana, gue gak pantas buat ini.”

Gue memandang Soonyoung bingung, kenapa laki-laki ini tiba-tiba mengubah gaya bicara dan panggilannya ke gue?

“Mungkin iya, gue bintang. Bintang jatuh, di mana langit gak lagi menerima keberadaan gue.” Soonyoung menjauhkan kedua tangannya yang semula memegang tangan gue. Secara gak langsung, dia udah menolak kalung yang gue persiapkan.

“Sana, ayo selesain hubungan ini.”

Kenapa Soonyoung menghindari matanya bertemu gue ketika mengucapkan kata itu?

Apa maksudnya ngomong kayak gitu setelah ngebuat gue bahagia hari ini?

Kenapa dia harus ngomong ketika sudah merayakan satu tahunnya kami?

Banyak pertanyaan dalam kepala gue, dan gak ada satu pun yang bisa gue suarakan.

“Soonyoung, jangan bercan—”

“Gue serius. Ayo putus dan gue akan pergi dari dunia lo. Masih banyak yang jauh lebih pantas untuk jadi bintang lo, San.”

Gue takut. Gue gak mau ini. Gue gak mau yang lain.

“Kenapa?” tanya gue lirih. Ia gak kunjung menjawab, membuat gue mencengkeram kedua lengannya. Gue mengguncang tubuhnya supaya dia menatap gue, tapi Soonyoung malah memejamkan matanya.

“Jawab aku! Kenapa kamu tiba-tiba minta kayak gini?!”

“Gue cuma mau kita selesai. Gue bakal pergi dari lo setelah ini, San.”

Gue ... gue gak tau kenapa rasanya tambah menyakitkan ketika laki-laki itu gak lagi memanggil gue seperti biasanya. Apalagi dengan matanya yang enggan untuk melihat gue.

Apa yang salah? Kenapa kata selesai harus keluar disaat gue dibuat bahagia?

“Soon, aku tahu kam—”

“Gue cuma mau kita putus, kenapa lo gak bisa paham, sih?!”

Badan gue bergetar. Soonyoung bahkan membentak gue. Tapi, kenapa dia gak mau mengatakan alasannya?

Laki-laki itu melepaskan tangan gue dengan paksa. “Makasih untuk selama ini, San. Gue pamit ya.”

Kemudian dia pergi, ninggalin gue tanpa kata-kata apapun lagi. Gue buru-buru masuk ke rumah, untuk menangis sejadi-jadinya.

Hubungan kami ada di kata selesai yang gak gue ketahui penyebabnya apa.


Gue terbangun karena suara telepon. Mata gue terasa berat akibat tertidur pas masih nangis. Yang gue rasakan hanyalah perasaan kosong, gue gak tahu hari ini gue harus menjalani hari kayak gimana.

Nada dering telepon yang terus berbunyi dari ponsel gue pun, gue abaikan. Gue gak sanggup jika harus berinteraksi dengan orang lain.

Soonyoung...

“Sana, Mama boleh masuk?” tanya Mama dari luar.

“Pintunya gak aku kunci, Ma,” jawab gue pelan, entah Mama bisa mendengarnya atau nggak.

Pintu itu terbuka, Mama langsung masuk dan memeluk gue. Gue gak tau kenapa Mama tiba-tiba menangis, hanya saja ada perasaan memuakkan yang gue rasa kemudian. Gue gak suka Mama nangis.

“Sana, Mama percaya kamu pasti bisa melewati hari esok tanpa Soonyoung.”

Ah, Mama sadar kalau gue putus sama Soonyoung?

“Mama baru aja dikabari sama keluarga Soonyoung, dia semalam kecelakaan.”

Gue melepas pelukan Mama. Perasaan takut dan khawatir langsung menyerang gue, gak ada rasa kosong yang gue rasain lagi.

Gimana kalau Soonyoung benar-benar mau pergi dari kehidupan gue? Gak hanya dari gue, tapi dari seluruh dunia.

“S-soonyoung, sekarang gimana?”

Mama memeluk gue lagi, dan tangisnya kembali terdengar.

“Soonyoung udah pergi, Nak. Me-mereka bilang kepalanya terbentur sangat keras dan dia kehilangan banyak darah.”

Gue gak bisa menangis. Ketakutan yang tadinya gue rasain hilang, kembali digantikan dengan kekosongan yang gue rasakan.

“A-aku mau lihat Soonyoung.”

“Keluarganya bilang kalau Soonyoung baru saja dimakamkan.”

Dunia gue seakan hancur.

Soonyoung bahkan gak memberi gue kesempatan untuk melihat dia terakhir kalinya.

Soonyoung benar-benar pergi ninggalin gue.

Dia memang pergi, tapi kenangan yang dia beri ke gue gak pernah mau gue lupakan. Meski ada tanda tanya yang dia tinggalkan, dia akan selalu menjadi sosok berharga yang gak pantas dihapus dari memori. Gue gak akan peduli meskipun nantinya, dunia akan mendesak gue untuk melepasnya dari ingatan.

Soonyoung akan selalu jadi bintang gue.


—honeyshison

Tags ⚠ toxic family.


Mungkin diantara kami bertiga, guelah yang paling memberontak pada masanya. Pikiran gue selalu ada prasangka yang berani gue katakan tanpa pikir panjang.

Gue dari kecil tumbuh berbeda dari Kak Nay. Ketika didikan Mama supaya kami jadi anak yang anggun cuma berhasil di Kak Nay, itupun makin besar dia makin kenal sama kebar-baran. Sementara gue, yang temennya cowok doang ini malah jadi anak tomboy yang sukanya marah kalau disuruh tampil lebih feminim.

Sementara Chaeyoung, keberadaannya selalu dianggap ada dan gak ada sama orang rumah. Gue dulu pas kecil gak paham kenapa dia diperlakukan demikian, gue yang sibuk lari supaya terhindar dari rok atau hiasan rambut selalu gak sempat untuk melihat ke arahnya.

Punya anak tiga yang semuanya perempuan, mungkin sedikitnya gak terlalu membuat Papa senang. Mungkin, ketidaksenangan terbesarnya itu adalah lahirnya Chaeyoung. Papa butuh pewaris, dan dia ingin anak laki-laki.

Gue gak inget sih, karena dulu gue baru dua tahun. Tapi kalau kata Nenek, Papa sama Mama sama-sama mengharapkan anak laki-laki. Apalagi saat itu kondisi kandungan Mama lemah karena sempat terjatuh dan membuat kondisinya lebih mengkhawatirkan.

Semua perlengkapan bayi yang disiapkan itu buat anak cowok. Tapi, entah kenapa bisa atau memang gak mau, mereka gak pernah USG sehingga gak tahu bahwa sebenarnya anak bungsu mereka bukanlah laki-laki. Melainkan bayi perempuan yang dikasih nama Chaeyoung.

Papa sehabis Chaeyoung lahir, makin sering marah-marah. Mama yang ditekan akhirnya gak pernah mau nyentuh Chaeyoung, untungnya Nenek masih ada waktu itu.

Kedua orangtua itu, cuma perhatiin gue sama Kak Nay. Sementara gue sama Kak Nay terlalu sibuk sama dunia masing-masing sehingga gak pernah melihat Chaeyoung. Waktu Chaeyoung ditekan Mama atau Papa, gue sama dia cuma bisa ngelihatin karena pikiran kita memang udah dipengaruhi kalau katanya Chaeyoung gak seharusnya disayang.

Gue bahkan sempat marahin dia karena Chaeyoung gak pernah dapat tuntutan apa-apa. Dia gak dididik harus feminim kayak gue sama Kak Nay. Yang kemudian sekarang gue sadari bahwa dia gak dapat perhatian terlebih semenjak Nenek meninggal.

Makan pun, dia gak pernah kelihatan makan di rumah.

Zaman Chaeyoung ada di tingkat 12 bisa dibilang jadi saat-saat keluarga gue paling gak kerasa sebagai keluarga. Gak cuma Chaeyoung yang kena marah Papa tanpa sebab, gue sama Kak Nay pun sama. Rumah tuh jadi tempat paling ter-gak-nyaman.

Puncaknya Chaeyoung muak. Gue memang selama ini yang paling banyak ngelawan dan balas omongan mereka kalau gue disuruh buat jadi sesuatu. Tapi, saat itu Chaeyoung jauh lebih berani dari gue karena—

Kenangan terburuk.

Mereka menenangkan Chaeyoung dengan bilang bakal hadir di kelulusannya. Nyatanya, ketika Chaeyoung harus ke sekolah, mereka buru-buru narik gue sama Kak Nay buat pergi. Gue kira pergi yang masih di Bandung karena gak bawa apa-apa dan gak ada Chaeyoung.

Nyatanya, kami dibawa ke Jakarta.

Semenjak itu, gue yang tadinya hampir percaya mereka karena gak pernah nuntut apa-apa lagi dan mulai melihat Chaeyoung, kembali kehilangan kepercayaan. Gue jadinya selalu curigaan, apa lagi gue jadi harus berhenti kuliah.

Ketika Kak Nay bilang kalau dia dapat pekerjaan di Bandung sebagai instruktur tari, gue tahu bahwa dia gak hanya pergi ke sana untuk itu. Hubungan gue sama Kak Nay masih canggung, tapi karena sadar Kak Nay mau nemenin Chaeyoung akhirnya gue maksa dia buat ajak gue.

Awalnya, Papa sama Mama gak ikut balik ke Bandung. Mereka malah ngenalin gue sama laki-laki yang kemudian diketahui sebagai teman sekolahnya Kak Nay. Katanya, dia yang bakal dampingi kami selama di Bandung tanpa mereka.

Kak Nay setuju-setuju aja karena mereka tuh sahabat yang udah lama gak ketemu. Tapi, gue nggak. Gue pikir, kehadirannya buat mastiin kalau gue sama Kak Nay biar gak ketemu Chaeyoung.

Kak Han—begitulah gue disuruh buat manggil dia, agaknya bersikap aneh. Dia malah lebih banyak deketin gue dibandingkan Kak Nay.

Sebelum pergi ke Bandung, Papa ngenalin dia dengan cara yang berbeda ke gue. Katanya, dia calon suami gue dan gue dikasih waktu untuk gak langsung menikah karena gak boleh melangkahi Kak Nay yang saat itu punya pacar.

Itulah sebabnya, gue punya bahkan prasangka ke cowok ini. Gue gak suka dia, bahkan nyaris benci pada awalnya.


“Sekarang kayaknya udah bisa, Om. 'Kan, Nay udah ada suami,” kata Kak Han dengan nada bercanda ke arah Papa. Kalau ditanya apakah gue menjawab pertanyaannya waktu di-chat, maka gue gak jawab bahkan block kontaknya.

Itu pas malam aja, spontan karena gue masih belum bisa percaya sepenuhnya ke dia. Tapi, perkiraan gue yang semuanya terbukti salah ngebuat gue punya kemungkinan untuk gak bisa menolak dia.

Gue pikir dulu dia ada buat ngehindarin gue sama Kak Nay dari Chaeyoung, pada nyatanya dia langsung ngasih tahu kami kalau dia lihat anak itu. Perkiraan gue tentang dia yang suka Kak Nay karena lebih sering mendahulukan dia daripada gue bahkan beberapa kali berbohong, itu juga salah. Dia cuma megang prinsip kalau harus mendahulukan sahabat dari pada pacar, terlebih kami pacaran yang 'dijodohin'.

Jadi ya, apa masih pantas gue tolak dia selepas itu semua?

Mungkin. Mungkin loh ya. Tuh gue tebelin. Gue udah keburu sayang sama cowok ini.

Papa ketawa denger omongan dia yang ngebuat gue sedikit bergidik karena udah lama banget beliau gak ketawa.

“Terus kamu maunya apa, Han?” Kak Jeonghan kayak ambil sesuatu dari dalam jaketnya, kemudian meletakkan itu di atas meja, tepat di depan Papa.

Ah sial, cowok ini tampaknya jago banget buat ngeyakinin orang.

“Cincin, Om. Aku mau lamar anak Om. Kalau misal kecepatan karena baru aja nikahan Nay selesai, aku gak akan nikahin Jeje besok kok. Soalnya perlu siapin segala macem dulu pastinya, 'kan.”

Papa ketawa sekali lagi.

“Kamu mau lamar saya atau Jeje?”

Anjrit, sejak kapan bapak-bapak ini bisa ngelawak? Kayaknya pertemuan dia sama Chaeyoung kemarin ngebuat Papa agak ekhem, maaf nih ya stress.

“Jeje atuh, Om udah ada istri masa saya taksir.”

Disautin lagi sama Kak Han.

“Ya udah, ngomong sana ke anaknya. Om udah maksa dia buat pacaran sama kamu dulu, sekarang Om gak akan maksa-maksa lagi ke semua anak Om.”

“Syukurlah, Om udah sadar diri.”

Kenapa Yoon Jeonghan ada di dunia yang sama kayak gue sih.


“Ini gue mau dibawa kemana?” tanya gue dengan keras soalnya lagi di motor. Tadi selepas nyeletuk gitu ke Papa dia langsung narik gue buat ke luar. Iya, dia kabur.

“Langsung ke KUA,” balas dia keras juga.

Gue melotot, refleks mukul punggung dia keras.

“Turunin gue sekarang juga!” Mungkin karena tangan gue gak berhenti mukul dia, Kak Han akhirnya mau minggirin motornya buat berhenti.

“Lo gak mau nikah di KUA aja? Gak gue sangka lo cowok matre.”

“Gue cewek anjir.”

“Lah iya, typo. Sorry, sorry,” balasnya, gue jadi curiga sekarang.

“Lo tuh punya pacar cowok ya, Kak?”

“Papamu.”

Gue melotot lagi, siap-siap mau gebuk.

“Bercanda! Kagak ada, kamu doang kok pacarku.” Gue ngedengus dan nurunin tangan gue lagi.

“Kalau gue punya pacar yang lain, gue gak akan mengabdi buat keluarga lo—maksud gue tuh gini. Gue kan sahabat kakak lo, dan gue pacar lo. Gue juga dipercaya sama Papa sama Mama lo buat jagain kalian. Lo sendiri bilang kalau Chaeyoung minta dianterin sama gue buat ke bandara Minggu depan,” jelasnya.

“Jadi, lo harus bayar itu semua dengan jadi istri gue. Toh kita udah dijodohin.”

“Pamrih dih, lagian kita dijodohin sama orangtua, belum tentu kalau sama Tuhan.”

Cukup pedes gak sih omongan gue! Tapi memang gitu kenyatannya.

“Jangan pesimis. Lo harus percaya sama gue, sama hubungan ini, sia-sia lo setia sama gue selama ini kalau gak nikah sama gue.”

Gue akhirnya milih buat ngelihat ke arah dia. Ada yang kocak karena sumpah mukanya kelihatan berharap banget sama gue.

Gue menunduk, jauh diluar pemikiran gue tentang Kak Han. Gue lebih banyak ngasih prasangka ke diri gue sendiri. Mungkin Iya, dulu gue yang tomboy sama sekali gak gue permasalahin. Tapi, semenjak Kak Han sering ngeduluin Kak Nay padahal gue yang pacarnya, ngebuat gue meragukan diri gue sendiri.

“Kak, gue bukan Kak Nay ... gue bahkan gak bersikap kayak cewek pada umumnya. Gue juga—”

“Gue lamar lo loh, Je. Bukan Nay. Sama gue mah gak usah insecure, lo keluar masih ileran aja gue lamar kok.”

Iya, Kak Han nih hobinya ngerusak suasana.

“Yaudah sih kalau lo maksa.”

Dia ngegeleng dengan wajah yang dibuat terkejut. “Lo nyangka gue maksa? Nggak, gue cuma ngeyakinin lo aja.”

“Apa lagi sih yang mau lo yakinin, Kak? Harusnya gue yang ngeyakinin supaya lo masih bertahan sama gue.”

Kali ini, dia senyum lembut. Senyum paling tulus yang pernah gue lihat dari dia. Kak Han kemudian ngomong, “Lo gak berubah demi ngeyakinin gue itu udah cukup. Lo gak perlu jadi apa-apa untuk ngebuat gue bertahan, Je.”

Ah sial.

Kayaknya gue beneran sayang sama dia.

Dia ngerentangin tangannya, ngasih kode supaya gue meluk dia. Gue gak menolak, gue langsung masuk ke pelukannya.

“Kak, makasih banyak ... tapi buat nikah ... bisa nggak kalau sehabis Chaeyoung pulang dari sana?”

“Bisa, Je. Kalau dia gak mau pulang, kita culik aja.”

“Gue sayang sama lo ...,” ucap gue pelan, tapi gue yakin dia bisa dengar karena posisi kepala gue gak jauh dari telinganya.

Dia ketawa kecil. “Gue tahu, dan gue juga sama. Sayang sama lo. Cintanya nanti aja kalau kita udah punya anak, 'kan buah cinta. Apa mau nabung duluan sambil nunggu Chaeyoung?”

Gak perlu nunggu waktu lama buat perutnya kena tonjokan gue.

Kak Han memang selalu berhasil merusak suasana yang ada.

Namun, dia juga selalu berhasil untuk ngeyakinin gue atas semua prasangka yang ada di kepala gue.

Cuma dia.

Tags ⚠ Cheating, Toxic Family, mention of suicide attempts


Mungkin kehilangan yang paling membekas buatku cuma dua? Keduanya terjadi di waktu yang berdekatan.

Saat itu, hubunganku sama Cece bisa dibilang baik-baik aja. Kami sama-sama menikmati waktu bersama sambil nunggu waktu kelulusan. Di saat-saat kayak gitu, aku kehilangan sosok yang menjadi panutanku sejauh ini.

Antara kehilangan atau memang gak seharusnya aku punya dia.

Iya, itu Ayah atau yang sekarang aku sebut Papa.

Ayah jarang di rumah karena pekerjaannya, dia yang sibuk dan aku memakluminya. Ayah waktu itu pulang lebih cepat, biasanya seminggu sekali tapi waktu itu baru tiga hari dan dia ada di rumah. Ada yang aneh waktu itu, selalu ada motor yang penggunanya pakai helm yang menutupi seluruh wajahnya setiap Ayah pulang. Aku sadar karena aku selalu sambut Ayah kalau pulang. Tapi, karena motor itu jarang berhenti di sekitar rumah, aku selalu mikir kalau memang dia tinggal sekitar sini dan jam pulangnya barengan sama Ayah.

Kami menjalani rutinitas seperti biasanya, yang berbeda cuma kehadiran Ayah di rumah yang lebih lama dari biasanya. Di hari ketiga Ayah pulang ke rumah, aku gak sempat nyambut karena pulang telat habis perpisahan sama teman satu eskul. Gantian, jadi aku yang disambut sama mereka berdua.

Waktu makan malam, ada orang yang tiba-tiba masuk ke rumah tanpa salam sama sekali. Dia langsung berjalan ngedeket ke Ayah seraya nunjuk tepat di depan wajahnya.

“Jadi ini alasan Papa jarang pulang ke rumah?”

Iya, itu Mas Hoshi.

Ralat.

Itu Mas Soonyoung.

Mereka berdua bertengkar. Aku sempat membela Ayah karena waktu itu aku gak tahu sama sekali kenapa Mas Soon tiba-tiba berkata kayak gitu. Melihat Ibu yang cuma diam tanpa marah sama sekali, ngebuat aku yakin kalau cuma aku yang gak tahu sama sekali persoalan itu.

Pertengkaran mereka berdua adalah memori paling buruk buatku. Bahkan Mas Soon sempat teriak, “Gara-gara lo keluarga gue hancur!” ke arahku.

Setelah di dorong Ayah supaya Mas Soon pergi dari rumah, Ayah langsung berlutut di hadapanku. Banyak kata maaf yang keluar dari mulutnya. Gak lama setelahnya, Ibu ikut bersikap demikian.

Saat itu aku gak bisa balas omongan mereka. Di pikiranku cuma terlintas bahwa aku adalah anak hasil perselingkuhan.

Ayah sama Ibu memang menikah karena kehadiranku yang gak direncanakan, itu setelah Ayah menikah empat tahun sama ibunya Mas Soon, dan tanpa persetujuan dia. Sepertinya konflik ini memang hanya diketahui oleh para orangtua aja. Ngelihat reaksi Mas Soon, kayaknya dia juga baru tahu karena curiga sama Ayah.

Di hari itu, aku seakan kehilangan sosok Ayah yang selama ini aku bangga-banggakan.

Terlebih, gak lama setelah itu kami dapat kabar kalau Mas Soon kecelakaan.

Mas Soonyoung yang dibawa Ayah ke Jepang, dan kemudian mereka nyuruh aku buat tutup mulut soal anak pertama Ayah itu. Aku gak tahu kalau mereka malsuin kematian dia. Aku cuma tahu kalau Mas Soon bakal ganti nama jadi Hoshi seolah dia memang besar di sana.

Kehilangan keduaku terjadi disaat pikiranku masih terisi hal-hal yang udah kuceritain sebelumnya.

Dalam keadaan yang cukup menekan, Cece ngehindar tiba-tiba dariku. Padahal kehadirannya ngebuat aku gak terlalu fokus sama luka yang ada.

Pas hari kelulusan, dia tiba-tiba minta hubungan kami berakhir. Tanpa alasan sama sekali dia mutusin hubungan kami disaat kehadirannya jadi satu-satunya alasan supaya aku lebih kuat bertahan. Karena ketika aku merasa keluargaku jahat, aku masih bisa percaya kebaikan itu ada karena dia.

Selepas dia minta putus yang gak pernah aku setujui. Chaeyoung menghilang.

Aku kehilangan lagi, di waktu yang berdekatan.


“Gue mutusin lo waktu itu karena gue mau melepas semua alasan gue hadir di dunia, Chan. Keluarga gue waktu itu udah ninggalin gue, dan saat itu cuma lo yang nahan gue.”

Chaeyoung minta ketemuan. Dia mau selesain semuanya. Kali ini mungkin, aku sama dia bakal benar-benar putus.

“Kenapa?”

“Gue waktu itu menyerah sama dunia, harapan gue satu-satunya adalah supaya pergi dengan cepat dari dunia ini.”

Chaeyoung kelihatan tenang, pandangan matanya memang memandang kosong, tapi aku yakin dia cuma gak mau menunjukkan emosinya.

“Tapi, gue gagal buat pergi dari dunia ini, Chan. Ada seseorang yang nolongin gue, padahal gue udah nyoba buat gantung diri. Kalau dia lebih lama dateng, mungkin gue udah gak ada di hadapan lo sekarang.”

Aku natap dia ragu. “Tzuyu, kah?”

Dia mengangguk. “Iya, dia nyadarin gue banyak hal. Salah satunya, gue gak seharusnya melepas alasan gue buat bertahan.”

Kenapa aku jadi berharap...

“Makanya gue mencoba buat memperlakukan dia sebaik mungkin, karena sekarang alasan gue bertahan cuma dia.”

“Aku?” Aduh, kenapa keceplosan segala.

Chaeyoung menggeleng. “Gue sadar kalau dulu lo juga lagi tertekan, walau gue gak tahu karena apa. Gue gak mau nambah beban lo dan mutusin buat ngelepas lo, Chan. Kehadiran lo yang cukup lama gak ada di kehidupan gue ngebuat posisi itu bisa diambil sama Tzuyu.”

“Kamu sayang ya sama Tzuyu?”

“Iya, tapi bukan berarti gue pacaran sama dia. Lo gak harus mikir aneh-aneh.”

Meringis. Pas itu aku panik karena interaksi mereka berdua memang gak kayak temenan.

“Lo tahu, 'kan? Setiap manusia pasti akan punya luka yang suatu saat nanti bakal kebuka tanpa sadar. Mungkin detik ini kita juga lagi ngalamin hal itu, Chan.”

Kita? Dia ini tahu dari mana tentang Mas Oci yang tau aku ikut berbohong? Sekarang, masalahnya juga makin merembet karena Mas Oci mulai memberontak ke Papa. Keluarga kami sekali lagi ada di posisi yang gak baik-baik aja.

Sekali lagi, aku tanpa sadar malah berharap kehadiran Chaeyoung bisa membuatku gak terlalu fokus sama hal itu.

“Untuk buat luka itu sembuh, kadang daripada membuatnya pulih kita bisa melepas, Chan,” katanya.

“Gue udah mencoba buat pulihin itu semua. Ambil langkah dengan ngebiarin kakak-kakak gue untuk mantau gue lagi, bahkan tadi gue beraniin diri buat ketemu mereka,” sambung Chaeyoung, enggan melihat ke arahku. Dia kemudian menggeleng tanpa alasan.

“Tapi, gue tetep gak bisa. Gue malah ngerasa makin diteken, apalagi kehadiran lo yang ikut bantu Kak Nay.”

Final.

Aku kehabisan kata. Kupikir Cece udah mulai berdamai sama dirinya sendiri, dengan kerja di Kafe yang mengharuskan dia ketemu orang banyak udah termasuk langkah yang lumayan besar. Aku malah tanpa sadar ikut nekan dia...

“Ce, aku minta ma—”

“Nggak perlu, gue udah bosan sama kata itu,” potong dia.

“Gue mau mencoba melepas, Chan. Gue udah ngomong ke Kak Nay, kalau gue mau berhenti kerja di Kafe dan mau pergi dari Bandung. Bisa sementara, bisa juga selamanya.”

Lagi? Chaeyoung mau tinggalin aku lagi?

“Kali ini gue gak akan menghilang sepenuhnya, Chan. Lo masih bisa hubungi gue, tapi kayaknya bakal slow respon sih. Gue gak mau Tzuyu kesepian atau sedih, jadi tolong gantiin posisi gue ya?”

“Ce, tapi kita—”

Chaeyoung diam. “Gue melepas lo, Chan, sejak lama,” ucapnya tanpa keraguan sama sekali, “tolong ya? Lo juga kayak gitu. Ayo sembuhin dulu luka masing-masing, Chan. Gue gak bisa memastikan, tapi ada kemungkinan kalau dunia bakal berputar buat kita, Chan.”

“Kemungkinan,” ulangnya. Chaeyoung benar-benar gak mau aku berharap lagi buat hubungan ini. Satu-satunya yang bisa kuharapin dari dia adalah dia yang bakal pulang, dan gak selamanya pergi.

Tapi kata dia benar, untuk saat ini akan lebih baik kalau aku sama dia gak mempunyai hubungan. Dunia belum mau berputar buat kami, bahkan ada kemungkinan kalau itu akan menjadi tidak pernah.

“Aku juga melepas kamu, Ce,” ucapku sedikit bergetar, “janji ya gak putus komunikasi? Aku bakal nunggu soal itu.”

Dia mengangguk. “Janji, jangan marah kalau gue balasnya lama ya,” ujarnya diakhiri senyuman.

“Iya, Ce.”

Kali ini, aku mengizinkan sebuah kehilangan terjadi lagi supaya kami bisa sama-sama pulih.


honeyshison. sorry for typo(s).

Semesta tuh emang suka ngajak main, ya.


Hai, hehehehe.

Juni disini.

Sekarang gue udah ganteng, siap menuju tempat pernikahannya Mbak Nay yang sampai detik ini masih suka kaget setiap diinget. Mbak Nay tuh emang keliatan kayak yang lebih deket ke Minghao kalau di akademi, karena kalau mau nyuruh sesuatu pasti nama Minghao duluan yang keluar dari mulutnya.

Cuma gak banyak yang sadar kalau gue sama Shasa juga deket sama dia. Bukan karena kerjaan, tapi mungkin Mbak Nay lebih percaya ke kami gara-gara gue sama Shasa pernah mergokin dia nolak cowok. Waktu itu sampai nangis-nangis ... ah lupakan.

Masa lalu ada buat dikenang dan bukan buat dibahas, 'kan?

Tadinya gue mau jemput Shasa, tapi entah ada angin apa cewek itu bilang gak jadi bareng. Mungkin Mas Hosh—Soonyoung udah jujur juga ke dia. Gue bakal jadi manusia paling lega kalau dapat kabar mereka baikan. Walau masih kesel karena yang dilakuin keluarga Soonyoung agak anjing. Maaf nih, kasar.

Habis ngaca sekali lagi, gue mastiin semua kabel di kamar udah kecabut. Kemudian keluar dari kamar.

“Mah, Aa ke kondangan yaa,” kata gue begitu lihat Mama lagi santuy nonton TV.

“Kade di jalanna, A.” Orang-orang di rumah gue lebih sering pakai Sunda, begitupun juga gue. Tapi, semenjak di akademi dan orang-orang gak cuma orang Jawa Barat, gue mencoba buat lebih sering pakai Bahasa Indonesia biar gak harus jelasin artinya kalau ada yang gak paham.

Omong-omong kalau ada yang gak ngerti, barusan Mama gue ngomong, 'hati-hati di jalan.'

Apa yang lebih ngagetin dari fakta kalau Mbak Nay nikah hari ini? Seorang Chani yang jongkok di depan rumah gue.

Sumpah ya nih bocah satu ngehantuin hidup gue akhir-akhir ini tanpa alasan.

“Mas, aku nebeng dong ke tempatnya,” kata dia, “aku ditinggal sama Mas Oci.”

“Motor lo ke mana?”

“Lagi di bengkel,” jawab dia dan akhirnya gue ngangguk aja.

“Kayaknya mas lo bareng Shasa,” ucap gue sambil ngeluarin helm lain yang ada di balik jok motor.

“Loh kok tau-tau sama Mbak Sana?”

Ah ya, bener kayaknya yang Soonyoung bilang. Chan gak tahu apa-apa soal dia di masa lalu.

“Mereka pacaran,” ujar gue enteng sambil pake helm.

“Hahahaha lucu, Mas. Ya kali Mas-ku ada pacar,” ujar dia malah gak percaya.

“Iya, Mas Oci lo emang gak ada pacar. Tapi, Soonyoung ada.”

Dia kelihatan kaget. “Loh, kok Mas Juni tahu soal Soonyoung?”

“Loba nanya tea, burukeun naek. Tinggalkeun geura.”

“Ya Tuhan, Mas. Aku cuma ngerti bagian naik aja.” Ngomongnya emang gitu, tapi dia kayaknya cuma pura-pura gak ngerti. Lagian udah berapa lama coba nih anak ada di Bandung? Masa gak ada yang bisa dia pahami.

Habis dia naik, gue pun melajukan motor dengan kecepatan penuh.

Anjay, keren banget bahasa gue.


Gue mau ketawa miris.

Dari awal datang ke tempat ini gue malah sama Minghao terus. Anak ini lagi gak bisa diajak bercanda karena Momo bawa pacarnya. Dia bad mood. Emang susah ya kalau naksir cewek yang punya pacar.

Kalau kalian tanya kemana Chani, dari datang dia langsung ngacir, katanya mau duduk sama rekan-rekan kafenya. Yang gue yakini cuma modus supaya bisa sama Chaeyoung-Chaeyoung itu. Kalau Mina dari tadi ngikutin Momo, lebih tepatnya dia ditarik terus sama cewek itu. Walau kelihatannya Mina gak masalah sama hal itu. Sementara Shasa... gak usah ditanya lah, kalian pasti bisa nebak dia lagi sama siapa.

Gue kadang agak menyesali kalau disaat-saat kayak gini, Wonwoo sama Jihoon gak ada. Alasannya ya karena lingkup pekerjaan yang beda ngebuat gue sama mereka jarang banget diundang ke tempat yang sama. Kalian tahu sendiri, Soonyoung yang sekarang masih kerasa asing banget.

Gue menghela napas, udah ganteng gak boleh sedih.

Omong-omong, Mbak Nay sama bos-nya Chani di kafe itu udah resmi jadi suami istri. Tinggal nunggu resepsi nanti malem, pasti keren sih soalnya yang diundang aja bajunya harus biru langit. Kalau sekarang, gak terlalu ramai tamu yang datang, mungkin cuma keluarga mereka. Orang asing yang ada di tempat ini cuma pengajar akademi sama staff kafe-nya Mas Joshua.

“Selamet ya, Mbak. Gue percaya kok, lo bisa jadi istri yang baik,” kata gue begitu salaman sama Mbak Nay.

“Omongan lo kayak bapaknya Zia,” jawab dia pelan, entah apa motivasinya ngomong ini ke gue.

“Pasangan lo sekarang Hao nih? Hahahaha ditinggal Shasa sama Momo.”

“Masih bisa ketawa Lo, Mbak? Inget udah ada suami,” kata Minghao nyindir, “jagain baik-baik loh, Mas, istrinya. Suka kayak kelinci ngamuk.”

“Hao, ih!”

Mas Joshua cuma ketawa canggung.

“Mbak, gue pamit duluan ya,” ujar gue, “bilangin aja kalo ada yang nanyain Juni ganteng kemana.”

“Halah, gak akan ada yang nanya, Bang. Mbak Sasha udah sibuk sama Bang Hoshi,” ujar Minghao setelah nabok pelan kepala gue.

“Loh sejak kapan Shasa sama Mas Hoshi deket?” tanya Mbak Nayeon. Gue kadang lupa kalau mereka bisa dibilang orang-orang baru buat kehidupan Shasa. Lebih tepatnya Shasa emang jarang nyeritain soal Soonyoung sih, tapi gue yakin Momo sama Mina tahu.

“Tanya aja sendiri nanti, Mbak,” jawab gue, “gue pamit beneran ini.”

“Iya hati-hati, makasih udah dateng. Nanti malam lo harus dateng juga loh!”

“Santuy, Mbak. Udah ada baju cakep yakali gak dateng.”

“Gue juga ikut pulang deh, males lihat orang pacaran,” ujar Minghao.

“Lo ngomong gitu di tempat nikahan orang, anjir!”

“Yaudah bukan nikahan gue ini,” balasnya dan bahunya langsung ditepuk keras sama Mbak Nay.

“Dah sana, lo mah gue usir.” Pedes, tapi gue suka.

Gue ketawa kemudian ngerangkul Minghao. “Yaudah ayo, balik. Pamit sekali lagi ya, Mbak.”

“Iya, hati-hati. Besok pada kerja lagi loh ya, sama Mas Hoshi.”

“Iyeee, Mbak!” sahut kami barengan.

Niat gue untuk langsung pulang tampaknya gak bisa terealisasikan waktu Chan ngeberhentiin langkah kaki gue buat keluar. Sejak waktu itu, gue gak pernah punya pikiran positif buat nih anak. Mana sekarang di belakangnya dia nuntun si Chaeyoung-Chaeyoung, ditambah muka dua-duanya kelihatan panik.

“Mas, anterin ke Rumah Sakit ... Tzuyu katanya udah sadar.”

“Gue cuma bawa motor?” tanya gue karena gue yakin Chaeyoung ini juga bakalan ikut.

“Ini kunci mobil Mas Oci,” katanya sambil nyerahin kunci, “kunci motor punya Mas mana? Biar gantian dulu kalian.”

“Kenapa gak sekalian Hoshi aja anjir?” tanya gue tapi dengan bodohnya tetep ngasih kunci motor gue ke Chan. Yang kemudian langsung Chan kasih ke Soonyoung yang duduknya gak terlalu jauh dari pintu keluar.

Untuk kedua kalinya, gue nganterin dua bocah ini ke rumah sakit pake mobilnya Soonyoung.


Kayaknya hari ini semesta ngerasa gak cukup dengan ulah Chani ke gue. Tadi pagi dia tau-tau jongkok depan rumah cuma buat nebeng, kemudian minta anterin gue ke rumah sakit dan sekarang bocah itu minta gue nungguin Tzuyu yang tidur karena dia mau nganter Chaeyoung ke Kantin Rumah Sakit.

Kalau kalian nanya di mana keluarga Tzuyu, semenjak kedatangan gue, Chan sama Chaeyoung, mereka menitipkan Tzuyu yang tidur ke Chaeyoung karena mau pulang sebentar untuk bersih-bersih. Gue yakin mereka lega banget karena anaknya berhasil sadar dari komanya. Tzuyu berhasil untuk gak membuat dirinya terlena dalam alam mimpi.

Gue turut ngerasa lega tanpa sadar.

Gue duduk di sofa yang agak jauh dari tempat tidur Tzuyu. Cewek ini menarik menurut gue dan dua ribu lebih followersnya di twitter. Waktu gue lihat fotonya yang gak sengaja lewat gara-gara sama Chani di-reply, gue udah mikir kalau nih anak cakepnya luar biasa. Sampai gue dengan impulsif-nya chat Chani buat minta kontaknya walau ujungnya gue dimainin semesta lagi.

Kata Chani, saingan gue seorang cewek, dan gue percaya hal itu makanya gak banyak nyari tau lagi tentang Tzuyu. Yang kemudian baru terungkap kalau semuanya cuma pemikiran ngaco Chani. Dia sampai cemburu dan nge-tweet gak jelas dimana diantaranya nyebut nama gue? Kan kesel jadinya. Tapi, karena udah kelewat, jadi gue bahas segitu aja.

Cewek ini punya fisik yang pantas dicintai oleh siapapun apalagi dirinya sendiri, dan gue yakin sifatnya juga bakal banyak menambah rasa cinta itu sendiri. Gue diceritain Chan, walau gak detail, kalau mantan Tzuyu adalah kakaknya sekarang.

Semesta tuh emang suka ngajak main, ya.

Gue refleks berdiri ketika ngelihat dia gerak. Pesan orangtuanya tadi, kalau Tzuyu bangun segera panggil dokter buat diperiksa.

Gue jalan ngedeket ke arah dia supaya bisa mencet tombol buat pasien ngehubungin dokter atau perawatnya. Tapi, belum sempat jari gue mengenai itu, ada tangan dengan infus yang menahan tangan gue.

Itu tangan Tzuyu. Dia menatap gue bingung, ah ya gue belum pernah ketemu Tzuyu saat tubuhnya sadar dan matanya mau membuka.

“Kak?” ucapnya terdengar serak dan pelan, “kamu ganteng.”

Merinding. Kenapa tau-tau kayak gini? Okay, gue tahu banget kalau gue ganteng. Cuma gue gak nyangka kalau kalimat pertama yang dia ucapin adalah hal itu.

“Tolong temenin aku terus ya, a-aku kayaknya suka sama Kakak.”

Sekarang apa lagi anjir?! Ceweknya ini bilang suka langsung ketika bangun dan baru pertama kali lihat gue?

Kayaknya gue seorang bidadara di mata bocah ini.


honeyshison *Sorry for typo(s).