karsalakuna

“Kamu bisa jemput Selena?”

Suara di ujung sana sekali lagi menyapa telinga gue. Gue melirik ke arah jam, memperhitungkan seberapa bisa gue menjemput Selena seperti yang dia tanyakan.

“Jam 4 kan, ya?”

“Iya, Soon. Tapi kalau bisa 30 menit sebelumnya udah di sana.”

Gue mengangguk, padahal tahu kalau dia gak mungkin melihatnya. “Oke, habis itu ke rumah. Selena suruh mandi dan kita pergi bertiga, gimana?”

Sana, orang yang memulai komunikasi ini. Dia gak langsung menjawab, mempertimbangkan juga.

Bertahun-tahun hidup bareng ditambah dengan Selena, kita berdua masih jarang langsung menyetujui permintaan satu sama lain. Perbedaan kesibukan jadi alasan utamanya.

Ada tiga hal yang melekat sama Sana, dan gue bukanlah salah satunya.

Pertama, media sosialnya. Sana dari zaman sekolah dulu udah punya beribu-ribu pengikut, ditambah dengan channel youtube yang konsisten update. Sosok Sana si selebgram pun masih melekat padanya walau dia gak seaktif dulu. Kesibukannya sekarang membuat dia gak bisa lama menjelajah isi ponsel.

Kedua, guru muda. Title ini ada setelah Sana mulai mengajar. Banyak orang tua yang gak menyangka kalau dia udah menikah dan punya anak. Makanya dia dapat julukan itu.

Ketiga, Selena. Anak perempuan yang tahun ini ada di usia keduanya. Selena sering menjadi ekor Sana, dia lebih dekat sama Sana. Bagi Selena, Sana segalanya. Bagi Sana, Selena dunianya. Gue cuma ngontrak, bayarnya mahal pula.

Bercanda, gue selalu bersyukur dengan kehadiran mereka yang menyambut gue setiap pulang kerja.

Gue mungkin masuk ke hal yang melekat sama Sana, tapi nomor ke sekian. Pda kenyataannya, orang-orang gak banyak yang tahu kami menikah—ini karena acaranya yang gak kami selenggarakan secara meriah. Cuma keluarga terus kosasra.

“Emang kamu gak lanjut kerja?” Nah, 'kan, ditanya.

“Enggak, 'kan, hari ini spesial.”

“Apanya?”

Hadeh, lupa nih anak.

“Kamu, 'kan, hari ini ulang tahun,” jawab gue. “Aku sengaja minta asistenku supaya jadwal ku hari ini sampai jam tiga. Biar bisa quality times sama kalian.”

“Selamat ulang tahun, Sana. Dari kita masih teman, ke teman dekat, ke teman tanpa status, sampai sekarang kita jadi sepasang ayah dan ibu. Aku selalu bahagia sama kehadiran kamu. Makasih udah ngasih kesempatan sebagai suami dan ayah. Kamu udah ngasih banyak hal berharga, terlebih Selena.”

Gue mengambil jeda, meski samar gue dapat mendengar napasnya yang memberat.

I promise, I will always take care of you two,” ucap gue mengakhiri.

Sesuai dugaan. Balasan yang diberi Sana adalah, “Kamu gak—hiks b-bisa pulang sekarang aja apa?”

Dia tetap dia, gak berubah.

“Kamu bisa jemput Selena?”

Suara di ujung sana sekali lagi menyapa telinga gue. Gue melirik ke arah jam, memperhitungkan seberapa bisa gue menjemput Selena seperti yang dia tanyakan.

“Jam 4 kan, ya?”

“Iya, Soon. Tapi kalau bisa 30 menit sebelumnya udah di sana.”

Gue mengangguk, padahal tahu kalau dia gak mungkin melihatnya. “Oke, habis itu ke rumah. Selena suruh mandi dan kita pergi bertiga, gimana?”

Sana, orang yang memulai komunikasi ini. Dia gak langsung menjawab, mempertimbangkan juga.

Bertahun-tahun hidup bareng ditambah dengan Selena, kita berdua masih jarang langsung menyetujui permintaan satu sama lain. Perbedaan kesibukan jadi alasan utamanya.

Ada tiga hal yang melekat sama Sana, dan gue bukanlah salah satunya.

Pertama, media sosialnya. Sana dari zaman sekolah dulu udah punya beribu-ribu pengikut, ditambah dengan channel youtube yang konsisten update. Sosok Sana si selebgram pun masih melekat padanya walau dia gak seaktif dulu. Kesibukannya sekarang membuat dia gak bisa lama menjelajah isi ponsel.

Kedua, guru muda. Title ini ada setelah Sana mulai mengajar. Banyak orang tua yang gak menyangka kalau dia udah menikah dan punya anak. Makanya dia dapat julukan itu.

Ketiga, Selena. Anak perempuan yang tahun ini ada di usia keduanya. Selena sering menjadi ekor Sana, dia lebih dekat sama Sana. Bagi Selena, Sana segalanya. Bagi Sana, Selena dunianya. Gue cuma ngontrak, bayarnya mahal pula.

Bercanda, gue selalu bersyukur dengan kehadiran mereka yang menyambut gue setiap pulang kerja.

Gue mungkin masuk ke hal yang melekat sama Sana, tapi nomor ke sekian. Pda kenyataannya, orang-orang gak banyak yang tahu kami menikah—ini karena acaranya yang gak kami selenggarakan secara meriah. Cuma keluarga terus kosasra.

“Emang kamu gak lanjut kerja?” Nah, 'kan, ditanya.

“Enggak, 'kan, hari ini spesial.”

“Apanya?”

Hadeh, lupa nih anak.

“Kamu, 'kan, hari ini ulang tahun,” jawab gue. “Aku sengaja minta asistenku supaya jadwal ku hari ini sampai jam tiga. Biar bisa quality times sama kalian.”

“Selamat ulang tahun, Sana. Dari kita masih teman, ke teman dekat, ke teman tanpa status, sampai sekarang kita jadi sepasang ayah dan ibu. Aku selalu bahagia sama kehadiran kamu. Makasih udah ngasih kesempatan sebagai suami dan ayah. Kamu udah ngasih banyak hal berharga, terlebih Selena.”

Gue mengambil jeda, meski samar gue dapat mendengar napasnya yang memberat.

I promise, I will always take care of you two,” ucap gue mengakhiri ucapan tadi.

Sesuai dugaan. Balasan yang diberi Sana adalah, “Kamu gak—hiks b-bisa pulang sekarang aja apa?”

Dia tetap dia, gak berubah.

“Kamu bisa jemput Selena?”

Suara di ujung sana sekali lagi menyapa telinga gue. Gue melirik ke arah jam, memperhitungkan seberapa bisa gue menjemput Selena seperti yang dia tanyakan.

“Jam 4 kan, ya?”

“Iya, Soon. Tapi kalau bisa 30 menit sebelumnya udah di sana.”

Gue mengangguk, padahal tahu kalau dia gak mungkin melihatnya. “Oke, habis itu ke rumah. Selena suruh mandi dan kita pergi bertiga, gimana?”

Sana, orang yang memulai komunikasi ini. Dia gak langsung menjawab, mempertimbangkan juga.

Bertahun-tahun hidup bareng ditambah dengan Selena, kita berdua masih jarang langsung menyetujui permintaan satu sama lain. Perbedaan kesibukan jadi alasan utamanya.

Ada tiga hal yang melekat sama Sana, dan gue bukanlah salah satunya.

Pertama, media sosialnya. Sana dari zaman sekolah dulu udah punya beribu-ribu pengikut, ditambah dengan channel youtube yang konsisten update. Sosok Sana si selebgram pun masih melekat padanya walau dia gak seaktif dulu. Kesibukannya sekarang membuat dia gak bisa lama menjelajah isi ponsel.

Kedua, guru muda. Title ini ada setelah Sana mulai mengajar. Banyak orang tua yang gak menyangka kalau dia udah menikah dan punya anak. Makanya dia dapat julukan itu.

Ketiga, Selena. Anak perempuan yang tahun ini ada di usia keduanya. Selena sering menjadi ekor Sana, dia lebih dekat sama Sana. Bagi Selena, Sana segalanya. Bagi Sana, Selena dunianya. Gue cuma ngontrak, bayarnya mahal pula.

Bercanda, gue selalu bersyukur dengan kehadiran mereka yang menyambut gue setiap pulang kerja.

Gue mungkin masuk ke hal yang melekat sama Sana, tapi nomor ke sekian. Pda kenyataannya, orang-orang gak banyak yang tahu kami menikah—ini karena acaranya yang gak kami selenggarakan secara meriah. Cuma keluarga terus kosasra.

“Emang kamu gak lanjut kerja?” Nah, 'kan, ditanya.

“Enggak, 'kan, hari ini spesial.”

“Apanya?”

Hadeh, lupa nih anak.

“Kamu, 'kan, hari ini ulang tahun,” jawab gue. “Aku sengaja minta asistenku supaya jadwal ku hari ini sampai jam tiga. Biar bisa quality times sama kalian.”

“Selamat ulang tahun, Sana. Dari kita masih teman, ke teman dekat, ke teman tanpa status, sampai sekarang kita jadi sepasang ayah dan ibu. Aku selalu bahagia sama kehadiran kamu. Makasih udah ngasih kesempatan sebagai suami dan ayah. Kamu udah ngasih banyak hal berharga, terlebih Selena.”

Gue mengambil jeda, meski samar gue dapat mendengar napasnya yang memberat.

I promise, I will always take care of you two,” ucap gue mengakhiri.

Sesuai dugaan. Balasan yang diberi Sana adalah, “Kamu gak—hiks b-bisa pulang sekarang aja apa?”

Dia tetap dia, gak berubah.

Hoshi as Tara Angkasa Sana as Aluna Nathania


Sore itu hujan. Tidak terlalu besar tapi cukup menakutkan dengan kehadiran petir yang menemaninya.

Di tengah banyak air yang memberanikan dirinya untuk jatuh, ada dua pasang kaki yang tengah berusaha berlari secepat yang mereka bisa. Berusaha cepat meski khawatir akan jatuh dan takut akan teriakan langit.

Yang lebih tinggi ada di belakang, memastikan temannya supaya lebih baik darinya. Kedua anak itu tengah mendapat balasan akan telinga yang berani mengabaikan apa kata ibu.

Tadi mereka diperintah untuk tidak main keluar. Langit tengah mendung, tapi yang lebih muda kukuh ingin berlarian di taman. Mau tak mau anak satunya pun mengikuti. Lihatlah sekarang, keduanya kelimpungan berlari dengan air yang tak ada hentinya turun membasahi tubuh.

“Aduh!”

Satu balasan lagi untuk yang lebih muda. Dia terjatuh.

“Luna!” serunya dan dengan buru-buru membantu temannya untuk segera berdiri.

Sosok yang dipanggil Luna itu meringis ketika kakinya kembali menopang seluruh badannya. Dagunya terlihat lecet lengkap dengan lutut yang mengeluarkan darah walau tak begitu banyak.

“Luna berdarah! Ayo, kita harus cepat pulang. Supaya bisa diobati.”

“Tara, kaki Luna sakit.”

Tara.

Anak laki-laki yang sedari tadi hanya mengikuti kemana pun langkah Luna pergi.

Tubuh keduanya semakin basah akibat berdiam di tengah jalan, tempat Luna terjatuh. Tara mengamati sekitarnya, tinggal beberapa rumah lalu keduanya akan sampai di rumah Luna.

Tara berjongkok di depan temannya itu. “Sini, Luna. Tara gendong.”

“Kalau nanti kita jatuhnya berdua gimana?” tanya Luna memastikan.

Tara menggeleng. “Gak akan. Tara kuat kok! Cuma lemah di ingatan aja.”

Mendengar itu, Luna pun menurut.

Lagi pula, ini Tara Angkasa.

Diobatin disertai omelan? Sudah.

Luna cuma bisa mengangguk sambil menahan tangis karena perih yang ia rasa ketika diobati. Pertahanan Luna itu pada akhirnya gagal.

“Udahan nangisnya, nanti kamu susah napas,” kata ibunya sembari menempelkan plester di dagunya.

Luna mengusap air matanya. “Tara gimana, Bu?”

Ibunya menggeleng. “Ibu gak tahu. Besok aja, ya, Luna lihat Taranya. Habis makan langsung tidur, ibu khawatir kamu bakal sakit.”

“Luna besok tetap sekolah, 'kan?”

“Lihat besok, ya, sayang.”

Besoknya, Luna bisa sekolah. Meski mendapat ledekan dan berbagai pertanyaan karena penampilannya yang dihiasi plester. Namun, Luna tetap senang.

Dengan sekolah, Luna punya hal lain yang bisa ia ceritakan pada Tara selain membantunya untuk mengingat apa yang mereka alami kemarin.

“Loh Tara sakit?” tanya Luna melemas di akhir.

“Iya, Luna. Taranya demam,” ucap bunda, ibunya Tara.

“Luna boleh jenguk Tara, Bunda?” tanya Luna lagi, kali ini disertai raut memohon. Dalam hati ia merasa bersalah.

Padahal Luna yang ajak Tara main, tapi malah Tara yang jatuh sakit.

“Boleh, tapi jangan lama-lama, ya, sayang?”

Luna mengangguk patuh. Kemudian memeluk wanita di depannya sambil berkata, “Makasih banyak, Bunda.”

“Sama-sama. Luna langsung saja ke kamarnya Tara, ya. Dilihat dulu, kalau Tara sedang tidur nanti sore aja jenguknya.”

Luna mengangguk. Ia berjalan cepat menuju kamar Tara. Rumah ini rumah Tara, tapi Luna sudah akrab dengan isi dan penghuninya.

Ini sudah dua tahun sejak Tara pindah ke sini. Luna dengan kepribadian hangatnya berhasil merebut hati semua penghuni rumah ini.

Bibir Luna melengkung ke bawah begitu mendapati Tara yang bersandar pada sandaran tempat tidurnya. Di dahinya ada plester demam, Tara juga terlihat pucat.

“Tara, Luna minta maaf. Gara-gara Luna, Tara jadi sakit kayak sekarang.”

Tara menggeleng. Gerakannya lemas dan itu membuat Luna semakin merasa bersalah.

“Besok juga Tara pasti sembuh. Luna sendiri gimana? Kemarin Luna yang jatuh terus kehujanan juga. Luna juga berdarah, 'kan, kemarin?”

“Eh?” Itu reaksi Luna, membuat Tara menatapnya dengan bingung.

Mata Luna membesar kemudian raut cerianya kembali muncul. “Tara ingat kita kemarin ngapain?”

“Ingat. Kemarin kita main ke taman tapi pulangnya kehujanan. Terus Luna jatuh, jadi Tar—”

Tara menghentikan ucapannya. Baru menyadari kalau ia masih mengingat apa yang mereka alami kemarin. Ia kemudian tersenyum.

“Luna, Tara ingat ....”

“Yeay!” sorak Luna dan selanjutnya kedua anak itu berpelukan.

Mereka bahagia kali ini. Meski di hari selanjutnya ada kecewa yang hadir lagi karena Tara kembali melupakan.


Mimpi.

Satu hal yang kerap berubah, tapi ujungnya akan tahu mengejar yang mana. Membicarakan mimpi kadang bisa menyenangkan ketika lawan bicaranya adalah seseorang yang berharga untukmu.

Hal itu juga dirasakan oleh dua remaja yang tengah duduk di atap ini.

“Luna mau punya toko bunga sendiri kalau sudah besar nanti.”

Tara tersenyum tipis. Dengan mata yang masih fokus pada kamera, Tara menjawab, “Kemarin, Luna bilang mau punya toko roti. Waktu itu mau jadi model.”

Luna menatap Tara dengan sunguh-sungguh. “Kali ini Luna serius! Luna mau punya toko bunga sendiri.”

“Boleh, tapi kasihan bunganya nanti.”

“Kenapa kasihan? Luna pasti rawat semuanya dengan baik, kok!” ucap Luna penuh keyakinan. Hal itu juga terbukti dengan jajaran pot bunga yang berhasil dirinya rawat sampai hari ini.

Tara menoleh kemudian mengarahkan kameranya pada Luna. Ia tersenyum melihat hasilnya.

“Kasihan bunganya minder sama Luna. Mereka kalah cantik soalnya.”

“Ih, Taraaaaa!”

Meski kemungkinan paling besarnya adalah Tara yang melupakan momen ini ketika bangun esok. Setidaknya, Tara masih bisa mengingat bagaimana perasaan bahagianya ketika bersama Luna.

Keduanya tak selalu ada dalam keadaan baik. Namanya kehidupan, ada sisi baik dan buruknya tersendiri.

Begitu pula dengan kisah Tara dan Luna. Ada dalam umur remaja, dengan segala pencarian jati diri juga pengendalian emosi yang terus diuji.

Luna diberi kesempatan untuk banyak mengeksplor dunia luar. Ia pergi ke sekolah, bisa mengikuti ekstrakurikuler, organisasi dan hal lain yang ia minati dengan mudah. Berbeda dengan Tara yang tak pernah jauh dari rumah.

Dengan kondisi Tara, laki-laki itu tidak sekolah seperti Luna. Hal ini tentu membuat kehidupan sosial Tara cuma sebatas Luna dan kedua keluarga mereka.

Lalu di hari itu, Tara kedatangan teman baru. Orang itu secara tidak langsung juga tetangga mereka meski hanya sementara karena datang untuk berlibur. Entah kenapa, tapi yang jelas waktu itu belum memasuki waktu libur akhir tahun.

Sosok berambut pendek itu menemani Tara kala Luna belum pulang. Luna dihadapkan dengan berbagai program akhir tahun yang membuatnya harus tertahan lebih lama di sekolah.

Pulang dengan keadaan letih lalu melihat bagaimana Tara tampak nyaman berinteraksi dengan orang itu. Membuat emosi Luna memuncak seketika.

Namun, mereka berdua hanyalah teman. Luna tak punya pilihan lain selain menghindari Tara semampu yang ia bisa.

“Luna kenapa menghindari Tara, sih?”

“Luna, 'kan, sibuk di sekolah.”

Tara terdiam. Melihat bagaimana Luna membalas tanpa melihat padanya, Tara tentu sadar ada yang tidak beres dengan temannya ini.

“Tapi Luna bilang acaranya cuma sampai Kamis, terus ini hari Jumat.”

Tara ingat dengan apa yang sempat Luna katakan. Namun untuk kali ini, Luna tak senang mendengar itu.

“Ah, iya. Luna pasti lelah, Tara minta maaf karena udah ganggu. Luna sekarang istirahat, ya, Tara keluar dulu soalnya Din—”

“Enggak, Tara sama Luna aja,” potong Luna dengan cepat. Tak ingin mendengar nama itu disebutkan oleh Tara.

“Tapi, Luna pasti capek. Tara gak mau ganggu waktu istirahat Luna.”

Luna menggeleng ribut. “Luna gak akan pernah capek kalau sama Tara! Tara tetap di sini, ya?”

Luna paham, Tara pasti senang karena ia memiliki teman baru. Tidak hanya Luna.

Namun, ia tidak bisa menahan rasa tidak sukanya. Luna cemburu.

“Kalau gitu, Tara ajak Dinda masuk ke sini juga, ya? Kasihan dia nunggu.”

Luna mencengkeram sisi baju yang dikenakan Tara. Menahan laki-laki itu agar tidak beranjak dari kamarnya.

“Luna mau berdua aja sama Tara,” ucap Luna dengan pelan.

Tara mengerjapkan matanya beberapa kali. “Eh?”

“Kenapa? Gak boleh, ya, Luna mau berduaan sama orang yang Luna suka? Kangen tahu tiga hari ini gak ketemu Tara!”

Luna menutup mulutnya setelah berkata demikian. Dalam hati mengumpati dirinya karena secara tidak langsung, ia baru saja menyatakan perasaannya.

Wajah Luna memerah,

begitu juga dengan Tara.


“Luna mau, Tara.”

Tara tersenyum lebar. Ia meraih sebelah tangan Luna, menghiasi salah satu jarinya dengan cincin, mengakhiri dengan sebuah kecupan di punggung tangan.

Luna bahagia, perempuan itu memeluk erat bunganya dengan senyum yang masih senantiasa ia tampilkan.

Tara harus mengabadikannya.

Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya. Namun, selanjutnya ia terpaksa menekan asal karena Luna tiba-tiba memeluknya. Menghasilkan foto yang agak kabur.

Namun, tak apa. Tara yakin ia masih bisa mengambil foto Luna nanti. Foto itu tidak akan menjadi yang terakhir.

“Selamat ulang tahun, Luna sayang. Terima kasih karena mau menerima Tara. Luna ingin makan apa? Tara traktir, ya?”

Tara bisa merasakan gelengan dari Luna yang masih menyembunyikan wajah di dadanya. Perempuan itu kemudian mendongak.

“Ini hari ulang tahun Luna, harusnya Tara yang Luna traktir.”

“Tak apa, anggap aja hadiah terakhir untuk hari ini. Makan malam nanti, Luna bisa memasak untuk Tara.”

Luna mengangguk, menyanggupi kalimat Tara.

“Beli jus aja, ya, Tara? Di tempat yang biasa kita beli, tapi dibawa pulang ke rumah.”

Tara mengangguk. “Boleh. Pelukannya boleh dilepas dulu, Luna? Tara gak bisa nyetir kalau kayak gini.”

Luna tertawa kecil. Perempuan itu menjauh, menyamankan dirinya, dan membiarkan Tara melajukan kendaraan yang keduanya naiki.

“Luna tunggu di sini aja, ya. Biar Tara yang beli. Kayak biasa, 'kan?”

Luna mengangguk, ia menurut. Tara mengusak pucuk kepalanya satu kali lagi, kemudian keluar dari mobil.

Tara meninggalkan ponselnya. Ketika laki-laki itu belum kembali, ada panggilan yang masuk. Melihat siapa pemanggilnya, Luna tahu kalau orang itu penting untuk Tara.

Atasan Tara.

Luna meletakkan bunganya, mengambil ponsel Tara, kemudian ke luar dari mobil. Ia melihat Tara yang masih mengantri di seberang sana. Laki-laki itu sengaja parkir di sini karena banyak kendaraan pembeli lain di tempat itu.

Menyadari Luna keluar dari mobil. Tara melemparkan tatapan heran, Luna segera menunjukkan alasannya keluar dari mobil.

Tara dengan cepat memahami itu, ia menunjuk pada dirinya sendiri sebelum menunjuk pada Luna. Mengisyaratkan kalau ia akan menghampiri perempuan itu.

Luna langsung menggeleng ribut. Dia melakukan gerakan yang sama dengan Tara. Mengatakan bahwa lebih baik ia yang menghampiri Tara.

Tara mau tidak mau setuju.

Luna berlari kecil dalam perjalanannya menghampiri Tara. Perempuan yang merubah warna rambutnya jadi pirang itu pun berhasil sampai ke hadapan Tara, untuk menyerahkan ponsel milik laki-laki itu.

Luna berhasil sampai kepada Tara.

Memang antrian jus itu tidak panjang. Namun, orang sebelum Tara membeli cukup banyak sehingga mereka memerlukan waktu lebih lama untuk menunggu dua buah jus itu jadi.

Tara tertawa kecil sewaktu melihat Luna antusias dengan jusnya. Padahal itu hanya sekedar jus, hal sederhana tapi Luna bisa bahagia seperti ini.

Hujan turun dalam perjalanan pulang mereka. Untung keduanya ada dalam mobil milik Tara.

“Tara berhenti dulu di sini!” ucap Luna tiba-tiba. Membuat Tara secara spontan menghentikan laju mobilnya.

“Eh, kenapa?” tanya Tara tapi Luna tak menjawab. Perempuan itu malah keluar dari mobil, membiarkan tubuhnya terbasahi oleh air hujan.

Padahal sebentar lagi keduanya juga akan sampai di rumah Luna.

“Luna, jangan hujan-hujanan!” Tara dengan sedikit panik mencari dimana keberadaan payungnya. Setelah mendapatkannya, ia pun buru-buru keluar untuk melindungi tubuh perempuan itu dari air hujan.

Membiarkan tubuhnya sendiri menjadi basah.

“Tara ingat tidak? Dulu kita hujan-hujanan setelah kabur supaya bisa main di taman. Terus Luna jatuh di sini.”

Tara diam tak membalas. Ia terlihat mengingat dan Luna sudah terlanjur paham. Lagi pula itu saat mereka berusia 8 tahun.

“Jangan dipaksain, Tara.”

Tara menggeleng, kemudian tersenyum kecil. “Maaf, ya.”

“Gak papa, jangan sedih, ya? Ini hari ulang tahun Luna, kita semua harus bahagia.”

“Ayo masuk lagi ke mobil, ini hujan. Bisa sakit besok,” kata Tara.

“Sebentar aja.” Luna mendekatkan dirinya, memeluk tubuh di hadapannya. “Luna kangen pas kita dulu bisa bebas hujan-hujanan karena masih kecil. Luna kangen dimana kita gak bisa pulang malem karena masih kecil—ah Luna kangen kita pas kecil.”

“Pas kecil kita cuma tahu seneng-seneng. Meski kadang Luna sedih kalau Tara lupa, tapi Luna lebih sering ngerasain seneng sama Tara.”

Mendengar itu, Tara membalas pelukan Luna. Hanya dengan sebelah tangannya karena yang satu lagi masih memegangi payung yang masih berusaha untuk melindungi mereka.

“Luna juga kangen, karena pas kecil kita gak perlu pusing mikirin perasaan buat satu sama lain. Gak perlu khawatir Tara bakal direbut atau enggak. Banyak gak perlunya.”

“Iya, Luna.”

Semakin tinggi tubuh keduanya, semakin dikenal nama keduanya, semakin banyak aturan yang tanpa sadar mereka terapkan. Itu semua terasa begitu jelas meski tak terkatakan.

“Tapi Luna seneng karena sampai sekarang, Tara masih sama Luna. Kita masih sama-sama dan bakal terus sama-sama, 'kan, Tara?”

Luna menatap Tara dengan mata berbinarnya.

“Iya, kita sama-sama terus, Luna.”

Bibir Luna melukiskan senyuman lebar. Perempuan itu mengangguk senang. Tara ikut tersenyum melihatnya.

Di bawah payung yang tak sepenuhnya bisa menutupi tubuh keduanya. Tara merundukkan kepalanya. Untuk mempertemukan bibirnya dengan milik Luna.

Tara berkali-kali bilang kalau ia mempunyai ingatan yang payah. Luna tahu dan paham akan hal itu. Ia tak pernah menyerah untuk selalu mendampingi Tara.

Karena sejak awal kenal, Luna sudah menerima Tara. Bagaimanapun kondisi laki-laki itu.

Sebagai temannya, sebagai kekasihnya, hingga kini sebagai calon pendamping hidupnya.

Perasaan bahagia menyertai keduanya saat ini. Di hari ulang tahun Luna dengan status baru keduanya. Biarkan mereka menjadi dua orang paling bahagia untuk malam ini.

dan kemudian Tara pun terbangun.


—honeyshison.

sorry for typos

Hoshi as Tara Angkasa Sana as Aluna Nathania


Sore itu hujan. Tidak terlalu besar tapi cukup menakutkan dengan kehadiran petir yang menemaninya.

Di tengah banyak air yang memberanikan dirinya untuk jatuh, ada dua pasang kaki yang tengah berusaha berlari secepat yang mereka bisa. Berusaha cepat meski khawatir akan jatuh dan takut akan teriakan langit.

Yang lebih tinggi ada di belakang, memastikan temannya supaya lebih baik darinya. Kedua anak itu tengah mendapat balasan akan telinga yang berani mengabaikan apa kata ibu.

Tadi mereka diperintah untuk tidak main keluar. Langit tengah mendung, tapi yang lebih muda kukuh ingin berlarian di taman. Mau tak mau anak satunya pun mengikuti. Lihatlah sekarang, keduanya kelimpungan berlari dengan air yang tak ada hentinya turun membasahi tubuh.

“Aduh!”

Satu balasan lagi untuk yang lebih muda. Dia terjatuh.

“Luna!” serunya dan dengan buru-buru membantu temannya untuk segera berdiri.

Sosok yang dipanggil Luna itu meringis ketika kakinya kembali menopang seluruh badannya. Dagunya terlihat lecet lengkap dengan lutut yang mengeluarkan darah walau tak begitu banyak.

“Luna berdarah! Ayo, kita harus cepat pulang. Supaya bisa diobati.”

“Tara, kaki Luna sakit.”

Tara.

Anak laki-laki yang sedari tadi hanya mengikuti kemana pun langkah Luna pergi.

Tubuh keduanya semakin basah akibat berdiam di tengah jalan, tempat Luna terjatuh. Tara mengamati sekitarnya, tinggal beberapa rumah lalu keduanya akan sampai di rumah Luna.

Tara berjongkok di depan temannya itu. “Sini, Luna. Tara gendong.”

“Kalau nanti kita jatuhnya berdua gimana?” tanya Luna memastikan.

Tara menggeleng. “Gak akan. Tara kuat kok! Cuma lemah di ingatan aja.”

Mendengar itu, Luna pun menurut.

Lagipula, ini Tara Angkasa.

Diobatin disertai omelan? Sudah. Luna cuma bisa mengangguk sambil menahan tangis karena perih yang ia rasa ketika diobati. Pertahanan Luna itu pada akhirnya gagal.

“Udahan nangisnya, nanti kamu susah napas,” kata ibunya sembari menempelkan plester di dagunya.

Luna mengusap air matanya. “Tara gimana, Bu?”

Ibunya menggeleng. “Ibu tidak tahu. Besok saja, ya, Luna lihat Taranya. Habis makan langsung tidur, ibu khawatir kamu bakal sakit.”

“Luna besok tetap sekolah, 'kan?”

“Lihat besok, ya, sayang.”

Besoknya, Luna bisa sekolah. Meski mendapat ledekan dan berbagai pertanyaan karena penampilannya yang dihiasi plester. Namun, Luna tetap senang.

Dengan sekolah, Luna punya hal lain yang bisa ia ceritakan pada Tara selain membantunya buat mengingat apa yang mereka alami kemarin.

“Loh Tara sakit?” tanya Luna melemas di akhir.

“Iya, Luna. Taranya demam,” ucap bunda, ibunya Tara.

“Luna boleh jenguk Tara, Bunda?” tanya Luna lagi, kali ini disertai raut memohon. Dalam hati ia merasa bersalah.

Padahal Luna yang ajak Tara main, tapi malah Tara yang jatuh sakit.

“Boleh, tapi jangan lama-lama, ya, sayang?”

Luna mengangguk patuh. Kemudian memeluk wanita di depannya sambil berkata, “Makasih banyak, Bunda.”

“Sama-sama. Luna langsung saja ke kamarnya Tara, ya. Dilihat dulu, kalau Tara sedang tidur nanti sore aja jenguknya.”

Luna mengangguk. Ia berjalan cepat menuju kamar Tara. Rumah ini rumah Tara, tapi Luna sudah akrab dengan isi dan penghuninya.

Ini sudah dua tahun sejak Tara pindah ke sini. Luna dengan kepribadian hangatnya berhasil merebut hati semua penghuni rumah ini.

Bibir Luna melengkung ke bawah begitu mendapati Tara yang bersandar pada sandaran tempat tidurnya. Di dahinya ada plester demam, Tara juga terlihat pucat.

“Tara, Luna minta maaf. Gara-gara Luna, Tara jadi sakit kayak sekarang.”

Tara menggeleng. Gerakannya lemas dan itu membuat Luna semakin merasa bersalah.

“Besok juga Tara pasti sembuh. Luna sendiri bagaimana? Kemarin Luna yang jatuh terus kehujanan juga. Luna juga berdarah, 'kan, kemarin?”

“Eh?” Itu reaksi Luna, membuat Tara menatapnya dengan bingung.

Mata Luna membesar kemudian raut cerianya kembali muncul. “Tara ingat kita kemarin ngapain?”

“Ingat. Kemarin kita main ke taman tapi pulangnya kehujanan. Terus Luna jatuh, jadi Tar—”

Tara menghentikan ucapannya. Baru menyadari kalau ia masih mengingat apa yang mereka alami kemarin. Ia kemudian tersenyum.

“Luna, Tara ingat ....*

“Yeay!” sorak Luna dan selanjutnya kedua anak itu berpelukan.

Mereka bahagia kali ini. Meski di hari selanjutnya ada kecewa yang hadir lagi karena Tara kembali melupakan.


Mimpi.

Satu hal yang kerap berubah, tapi ujungbga akan tahu mengejar yang mana. Membicarakan mimpi kadang bisa menyenangkan ketika lawan bicaranya adalah seseorang yang berharga untukmu.

Hal itu juga dirasakan olehdua remaja yang tengah duduk di atap ini.

“Luna mau punya toko bunga sendiri kalau sudah besar nanti.”

Tara tersenyum tipis. Dengan mata yang masih fokus pada kamera, Tara menjawab, “Kemarin, Luna bilang mau punya toko roti. Waktu itu mau jadi model.”

Luna menatap Tara dengan sunguh-sungguh. “Kali ini Luna serius! Luna mau punya toko bunga sendiri.”

“Boleh, tapi kasihan bunganya nanti.”

“Kenapa kasihan? Luna pasti rawat semuanya dengan baik, kok!” ucap Luna penuh keyakinan. Hal itu juga terbukti dengan jajaran pot bunga yang berhasil dirinya rawat sampai hari ini.

Tara menoleh kemudian mengarahkan kameranya pada Luna. Ia tersenyum melihat hasilnya.

“Kasihan bunganya minder sama Luna. Mereka kalah cantik soalnya.”

“Ih, Taraaaaa!”

Meski kemungkinan paling besarnya adalah Tara yang melupakan momen ini ketika bangun esok. Setidaknya, Tara masih bisa mengingat bagaimana perasaan bahagianya ketika bersama Luna.

Keduanya tak selalu ada dalam keadaan baik. Namanya kehidupan, ada sisi baik dan buruknya tersendiri.

Begitu pula dengan kisah Tara dan Luna. Ada dalam umur remaja, dengan segala pencarian jati diri juga pengendalian emosi yang terus diuji.

Luna diberi kesempatan untuk banyak mengeksplor dunia luar. Ia pergi ke sekolah, bisa mengikuti ekstrakurikuler, organisasi dan hal lain yang ia minati dengan mudah. Berbeda dengan Tara yang tak pernah jauh dari rumah.

Dengan kondisi Tara, laki-laki itu tidak sekolah seperti Luna. Hal ini tentu membuat kehidupan sosial Tara cuma sebatas Luna dan kedua keluarga mereka.

Lalu di hari itu, Tara kedatangan teman baru. Orang itu secara tidak langsung juga tetangga mereka meski hanya sementara karena datang untuk berlibur. Entah kenapa, tapi yang jelas waktu itu belum memasuki waktu libur akhir tahun.

Sosok berambut pendek itu menemani Tara kala Luna belum pulang. Luna dihadapkan dengan berbagai program akhir tahun yang membuatnya harus tertahan lebih lama di sekolah.

Pulang dengan keadaan letih lalu melihat bagaimana Tara tampak nyaman berinteraksi dengan orang itu. Membuat emosi Luna memuncak seketika.

Namun, mereka berdua hanyalah teman. Luna tak punya pilihan lain selain menghindari Tara semampu yang ia bisa.

“Luna kenapa menghindari Tara, sih?”

“Luna, 'kan, sibuk di sekolah.”

Tara terdiam. Melihat bagaimana Luna membalas tanpa melihat padanya, Tara tentu sadar ada yang tidak beres dengan temannya ini.

“Tapi Luna bilang acaranya cuma sampai Kamis, terus ini hari Jumat.”

Tara ingat dengan apa yang sempat Luna katakan. Namun untuk kali ini, Luna tak senang mendengar itu.

“Ah, iya. Luna pasti lelah, Tara minta maaf karena udah ganggu. Luna sekarang istirahat, ya, Tara keluar dulu soalnya Din—”

“Enggak, Tara sama Luna aja,” potong Luna dengan cepat. Tak ingin mendengar nama itu disebutkan oleh Tara.

“Tapi, Luna pasti capek. Tara gak mau ganggu waktu istirahat Luna.”

Luna menggeleng ribut. “Luna gak akan pernah capek kalau sama Tara! Tara tetap di sini, ya?”

Luna paham, Tara pasti senang karena ia memiliki teman baru. Tidak hanya Luna.

Namun, ia tidak bisa menahan rasa tidak sukanya. Luna cemburu.

“Kalau gitu, Tara ajak Dinda masuk ke sini juga, ya? Kasihan dia nunggu.”

Luna mencengkeram sisi baju yang dikenakan Tara. Menahan laki-laki itu agar tidak beranjak dari kamarnya.

“Luna mau berdua aja sama Tara,” ucap Luna dengan pelan.

Tara mengerjapkan matanya beberapa kali. “Eh?”

“Kenapa? Gak boleh, ya, Luna mau berduaan sama orang yang Luna suka? Kangen tahu tiga hari ini gak ketemu Tara!”

Luna menutup mulutnya setelah berkata demikian. Dalam hati mengumpati dirinya karena secara tidak langsung, ia baru saja menyatakan perasaannya.

Wajah Luna memerah,

begitu juga dengan Tara.


“Luna mau, Tara.”

Tara tersenyum lebar. Ia meraih sebelah tangan Luna, menghiasi salah satu jarinya dengan cincin, mengakhiri dengan sebuah kecupan di punggung tangan.

Luna bahagia, perempuan itu memeluk erat bunganya dengan senyum yang masih senantiasa ia tampilkan.

Tara harus mengabadikannya.

Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya. Namun, selanjutnya ia terpaksa menekan asal karena Luna tiba-tiba memeluknya. Menghasilkan foto yang agak kabur.

Namun, tak apa. Tara yakin ia masih bisa mengambil foto Luna nanti. Foto itu tidak akan menjadi yang terakhir.

“Selamat ulang tahun, Luna sayang. Terima kasih karena mau menerima Tara. Luna ingin makan apa? Tara traktir, ya?”

Tara bisa merasakan gelengan dari Luna yang masih menyembunyikan wajah di dadanya. Perempuan itu kemudian mendongak.

“Ini hari ulang tahun Luna, harusnya Tara yang Luna traktir.”

“Tak apa, anggap aja hadiah terakhir untuk hari ini. Makan malam nanti, Luna bisa memasak untuk Tara.”

Luna mengangguk, menyanggupi kalimat Tara.

“Beli jus aja, ya, Tara? Di tempat yang biasa kita beli, tapi dibawa pulang ke rumah.”

Tara mengangguk. “Boleh. Pelukannya boleh dilepas dulu, Luna? Tara gak bisa nyetir kalau kayak gini.”

Luna tertawa kecil. Perempuan itu menjauh, menyamankan dirinya, dan membiarkan Tara melajukan kendaraan yang keduanya naiki.

“Luna tunggu di sini aja, ya. Biar Tara yang beli. Kayak biasa, 'kan?”

Luna mengangguk, ia menurut. Tara mengusak pucuk kepalanya satu kali lagi, kemudian keluar dari mobil.

Tara meninggalkan ponselnya. Ketika laki-laki itu belum kembali, ada panggilan yang masuk. Melihat siapa pemanggilnya, Luna tahu kalau orang itu penting untuk Tara.

Atasan Tara.

Luna meletakkan bunganya, mengambil ponsel Tara, kemudian ke luar dari mobil. Ia melihat Tara yang masih mengantri di seberang sana. Laki-laki itu sengaja parkir di sini karena banyak kendaraan pembeli lain di tempat itu.

Menyadari Luna keluar dari mobil. Tara melemparkan tatapan heran, Luna segera menunjukkan alasannya keluar dari mobil.

Tara dengan cepat memahami itu, ia menunjuk pada dirinya sendiri sebelum menunjuk pada Luna. Mengisyaratkan kalau ia akan menghampiri perempuan itu.

Luna langsung menggeleng ribut. Dia melakukan gerakan yang sama dengan Tara. Mengatakan bahwa lebih baik ia yang menghampiri Tara.

Tara mau tidak mau setuju.

Luna berlari kecil dalam perjalanannya menghampiri Tara. Perempuan yang merubah warna rambutnya jadi pirang itu pun berhasil sampai ke hadapan Tara, untuk menyerahkan ponsel milik laki-laki itu.

Luna berhasil sampai kepada Tara.

Memang antrian jus itu tidak panjang. Namun, orang sebelum Tara membeli cukup banyak sehingga mereka memerlukan waktu lebih lama untuk menunggu dua buah jus itu jadi.

Tara tertawa kecil sewaktu melihat Luna antusias dengan jusnya. Padahal itu hanya sekedar jus, hal sederhana tapi Luna bisa bahagia seperti ini.

Hujan turun dalam perjalanan pulang mereka. Untung keduanya ada dalam mobil milik Tara.

“Tara berhenti dulu di sini!” ucap Luna tiba-tiba. Membuat Tara secara spontan menghentikan laju mobilnya.

“Eh, kenapa?” tanya Tara tapi Luna tak menjawab. Perempuan itu malah keluar dari mobil, membiarkan tubuhnya terbasahi oleh air hujan.

Padahal sebentar lagi keduanya juga akan sampai di rumah Luna.

“Luna, jangan hujan-hujanan!” Tara dengan sedikit panik mencari dimana keberadaan payungnya. Setelah mendapatkannya, ia pun buru-buru keluar untuk melindungi tubuh perempuan itu dari air hujan.

Membiarkan tubuhnya sendiri menjadi basah.

“Tara ingat tidak? Dulu kita hujan-hujanan setelah kabur supaya bisa main di taman. Terus Luna jatuh di sini.”

Tara diam tak membalas. Ia terlihat mengingat dan Luna sudah terlanjur paham. Lagi pula itu saat mereka berusia 8 tahun.

“Jangan dipaksain, Tara.”

Tara menggeleng, kemudian tersenyum kecil. “Maaf, ya.”

“Gak papa, jangan sedih, ya? Ini hari ulang tahun Luna, kita semua harus bahagia.”

“Ayo masuk lagi ke mobil, ini hujan. Bisa sakit besok,” kata Tara.

“Sebentar aja.” Luna mendekatkan dirinya, memeluk tubuh di hadapannya. “Luna kangen pas kita dulu bisa bebas hujan-hujanan karena masih kecil. Luna kangen dimana kita gak bisa pulang malem karena masih kecil—ah Luna kangen kita pas kecil.”

“Pas kecil kita cuma tahu seneng-seneng. Meski kadang Luna sedih kalau Tara lupa, tapi Luna lebih sering ngerasain seneng sama Tara.”

Mendengar itu, Tara membalas pelukan Luna. Hanya dengan sebelah tangannya karena yang satu lagi masih memegangi payung yang masih berusaha untuk melindungi mereka.

“Luna juga kangen, karena pas kecil kita gak perlu pusing mikirin perasaan buat satu sama lain. Gak perlu khawatir Tara bakal direbut atau enggak. Banyak gak perlunya.”

“Iya, Luna.”

Semakin tinggi tubuh keduanya, semakin dikenal nama keduanya, semakin banyak aturan yang tanpa sadar mereka terapkan. Itu semua terasa begitu jelas meski tak terkatakan.

“Tapi Luna seneng karena sampai sekarang, Tara masih sama Luna. Kita masih sama-sama dan bakal terus sama-sama, 'kan, Tara?”

Luna menatap Tara dengan mata berbinarnya.

“Iya, kita sama-sama terus, Luna.”

Bibir Luna melukiskan senyuman lebar. Perempuan itu mengangguk senang. Tara ikut tersenyum melihatnya.

Di bawah payung yang tak sepenuhnya bisa menutupi tubuh keduanya. Tara merundukkan kepalanya. Untuk mempertemukan bibirnya dengan milik Luna.

Tara berkali-kali bilang kalau ia mempunyai ingatan yang payah. Luna tahu dan lahan akan hal itu. Ia tak pernah menyerah untuk selalu mendampingi Tara.

Karena sejak awal kenal, Luna sudah menerima Tara. Bagaimanapun kondisi laki-laki itu.

Sebagai temannya, sebagai kekasihnya, hingga kini sebagai calon pendamping hidupnya.

Perasaan bahagia menyertai keduanya saat ini. Di hari ulang tahun Luna dengan status baru keduanya. Biarkan mereka menjadi dua orang paling bahagia untuk malam ini.

dan kemudian Tara pun terbangun.


—honeyshison.

sorry for typos

Hoshi as Tara Angkasa Sana as Aluna Nathania


Sore itu hujan. Tidak terlalu besar tapi cukup menakutkan dengan kehadiran petir yang menemaninya.

Di tengah banyak air yang memberanikan dirinya untuk jatuh, ada dua pasang kaki yang tengah berusaha berlari secepat yang mereka bisa. Berusaha cepat meski khawatir akan jatuh dan takut akan teriakan langit.

Yang lebih tinggi ada di belakang, memastikan temannya supaya lebih baik darinya. Kedua anak itu tengah mendapat balasan akan telinga yang berani mengabaikan apa kata ibu.

Tadi mereka diperintah untuk tidak main keluar. Langit tengah mendung, tapi yang lebih muda kukuh ingin berlarian di taman. Mau tak mau anak satunya pun mengikuti. Lihatlah sekarang, keduanya kelimpungan berlari dengan air yang tak ada hentinya turun membasahi tubuh.

“Aduh!”

Satu balasan lagi untuk yang lebih muda. Dia terjatuh.

“Luna!” serunya dan dengan buru-buru membantu temannya untuk segera berdiri.

Sosok yang dipanggil Luna itu meringis ketika kakinya kembali menopang seluruh badannya. Dagunya terlihat lecet lengkap dengan lutut yang mengeluarkan darah walau tak begitu banyak.

“Luna berdarah! Ayo, kita harus cepat pulang. Supaya bisa diobati.”

“Tara, kaki Luna sakit.”

Tara.

Anak laki-laki yang sedari tadi hanya mengikuti kemana pun langkah Luna pergi.

Tubuh keduanya semakin basah akibat berdiam di tengah jalan, tempat Luna terjatuh. Tara mengamati sekitarnya, tinggal beberapa rumah lalu keduanya akan sampai di rumah Luna.

Tara berjongkok di depan temannya itu. “Sini, Luna. Tara gendong.”

“Kalau nanti kita jatuhnya berdua gimana?” tanya Luna memastikan.

Tara menggeleng. “Gak akan. Tara kuat kok! Cuma lemah di ingatan aja.”

Mendengar itu, Luna pun menurut.

Lagipula, ini Tara Angkasa.

Diobatin disertai omelan? Sudah. Luna cuma bisa mengangguk sambil menahan tangis karena perih yang ia rasa ketika diobati. Pertahanan Luna itu pada akhirnya gagal.

“Udahan nangisnya, nanti kamu susah napas,” kata ibunya sembari menempelkan plester di dagunya.

Luna mengusap air matanya. “Tara gimana, Bu?”

Ibunya menggeleng. “Ibu tidak tahu. Besok saja, ya, Luna lihat Taranya. Habis makan langsung tidur, ibu khawatir kamu bakal sakit.”

“Luna besok tetap sekolah, 'kan?”

“Lihat besok, ya, sayang.”

Besoknya, Luna bisa sekolah. Meski mendapat ledekan dan berbagai pertanyaan karena penampilannya yang dihiasi plester. Namun, Luna tetap senang.

Dengan sekolah, Luna punya hal lain yang bisa ia ceritakan pada Tara selain membantunya buat mengingat apa yang mereka alami kemarin.

“Loh Tara sakit?” tanya Luna melemas di akhir.

“Iya, Luna. Taranya demam,” ucap bunda, ibunya Tara.

“Luna boleh jenguk Tara, Bunda?” tanya Luna lagi, kali ini disertai raut memohon. Dalam hati ia merasa bersalah.

Padahal Luna yang ajak Tara main, tapi malah Tara yang jatuh sakit.

“Boleh, tapi jangan lama-lama, ya, sayang?”

Luna mengangguk patuh. Kemudian memeluk wanita di depannya sambil berkata, “Makasih banyak, Bunda.”

“Sama-sama. Luna langsung saja ke kamarnya Tara, ya. Dilihat dulu, kalau Tara sedang tidur nanti sore aja jenguknya.”

Luna mengangguk. Ia berjalan cepat menuju kamar Tara. Rumah ini rumah Tara, tapi Luna sudah akrab dengan isi dan penghuninya.

Ini sudah dua tahun sejak Tara pindah ke sini. Luna dengan kepribadian hangatnya berhasil merebut hati semua penghuni rumah ini.

Bibir Luna melengkung ke bawah begitu mendapati Tara yang bersandar pada sandaran tempat tidurnya. Di dahinya ada plester demam, Tara juga terlihat pucat.

“Tara, Luna minta maaf. Gara-gara Luna, Tara jadi sakit kayak sekarang.”

Tara menggeleng. Gerakannya lemas dan itu membuat Luna semakin merasa bersalah.

“Besok juga Tara pasti sembuh. Luna sendiri bagaimana? Kemarin Luna yang jatuh terus kehujanan juga. Luna juga berdarah, 'kan, kemarin?”

“Eh?” Itu reaksi Luna, membuat Tara menatapnya dengan bingung.

Mata Luna membesar kemudian raut cerianya kembali muncul. “Tara ingat kita kemarin ngapain?”

“Ingat. Kemarin kita main ke taman tapi pulangnya kehujanan. Terus Luna jatuh, jadi Tar—”

Tara menghentikan ucapannya. Baru menyadari kalau ia masih mengingat apa yang mereka alami kemarin. Ia kemudian tersenyum.

“Luna, Tara ingat ....*

“Yeay!” sorak Luna dan selanjutnya kedua anak itu berpelukan.

Mereka bahagia kali ini. Meski di hari selanjutnya ada kecewa yang hadir lagi karena Tara kembali melupakan.


Mimpi.

Satu hal yang kerap berubah, tapi ujungbga akan tahu mengejar yang mana. Membicarakan mimpi kadang bisa menyenangkan ketika lawan bicaranya adalah seseorang yang berharga untukmu.

Hal itu juga dirasakan olehdua remaja yang tengah duduk di atap ini.

“Luna mau punya toko bunga sendiri kalau sudah besar nanti.”

Tara tersenyum tipis. Dengan mata yang masih fokus pada kamera, Tara menjawab, “Kemarin, Luna bilang mau punya toko roti. Waktu itu mau jadi model.”

Luna menatap Tara dengan sunguh-sungguh. “Kali ini Luna serius! Luna mau punya toko bunga sendiri.”

“Boleh, tapi kasihan bunganya nanti.”

“Kenapa kasihan? Luna pasti rawat semuanya dengan baik, kok!” ucap Luna penuh keyakinan. Hal itu juga terbukti dengan jajaran pot bunga yang berhasil dirinya rawat sampai hari ini.

Tara menoleh kemudian mengarahkan kameranya pada Luna. Ia tersenyum melihat hasilnya.

“Kasihan bunganya minder sama Luna. Mereka kalah cantik soalnya.”

“Ih, Taraaaaa!”

Meski kemungkinan paling besarnya adalah Tara yang melupakan momen ini ketika bangun esok. Setidaknya, Tara masih bisa mengingat bagaimana perasaan bahagianya ketika bersama Luna.

Keduanya tak selalu ada dalam keadaan baik. Namanya kehidupan, ada sisi baik dan buruknya tersendiri.

Begitu pula dengan kisah Tara dan Luna. Ada dalam umur remaja, dengan segala pencarian jati diri juga pengendalian emosi yang terus diuji.

Luna diberi kesempatan untuk banyak mengeksplor dunia luar. Ia pergi ke sekolah, bisa mengikuti ekstrakurikuler, organisasi dan hal lain yang ia minati dengan mudah. Berbeda dengan Tara yang tak pernah jauh dari rumah.

Dengan kondisi Tara, laki-laki itu tidak sekolah seperti Luna. Hal ini tentu membuat kehidupan sosial Tara cuma sebatas Luna dan kedua keluarga mereka.

Lalu di hari itu, Tara kedatangan teman baru. Orang itu secara tidak langsung juga tetangga mereka meski hanya sementara karena datang untuk berlibur. Entah kenapa, tapi yang jelas waktu itu belum memasuki waktu libur akhir tahun.

Sosok berambut pendek itu menemani Tara kala Luna belum pulang. Luna dihadapkan dengan berbagai program akhir tahun yang membuatnya harus tertahan lebih lama di sekolah.

Pulang dengan keadaan letih lalu melihat bagaimana Tara tampak nyaman berinteraksi dengan orang itu. Membuat emosi Luna memuncak seketika.

Namun, mereka berdua hanyalah teman. Luna tak punya pilihan lain selain menghindari Tara semampu yang ia bisa.

“Luna kenapa menghindari Tara, sih?”

“Luna, 'kan, sibuk di sekolah.”

Tara terdiam. Melihat bagaimana Luna membalas tanpa melihat padanya, Tara tentu sadar ada yang tidak beres dengan temannya ini.

“Tapi Luna bilang acaranya cuma sampai Kamis, terus ini hari Jumat.”

Tara ingat dengan apa yang sempat Luna katakan. Namun untuk kali ini, Luna tak senang mendengar itu.

“Ah, iya. Luna pasti lelah, Tara minta maaf karena udah ganggu. Luna sekarang istirahat, ya, Tara keluar dulu soalnya Din—”

“Enggak, Tara sama Luna aja,” potong Luna dengan cepat. Tak ingin mendengar nama itu disebutkan oleh Tara.

“Tapi, Luna pasti capek. Tara gak mau ganggu waktu istirahat Luna.”

Luna menggeleng ribut. “Luna gak akan pernah capek kalau sama Tara! Tara tetap di sini, ya?”

Luna paham, Tara pasti senang karena ia memiliki teman baru. Tidak hanya Luna.

Namun, ia tidak bisa menahan rasa tidak sukanya. Luna cemburu.

“Kalau gitu, Tara ajak Dinda masuk ke sini juga, ya? Kasihan dia nunggu.”

Luna mencengkeram sisi baju yang dikenakan Tara. Menahan laki-laki itu agar tidak beranjak dari kamarnya.

“Luna mau berdua aja sama Tara,” ucap Luna dengan pelan.

Tara mengerjapkan matanya beberapa kali. “Eh?”

“Kenapa? Gak boleh, ya, Luna mau berduaan sama orang yang Luna suka? Kangen tahu tiga hari ini gak ketemu Tara!”

Luna menutup mulutnya setelah berkata demikian. Dalam hati mengumpati dirinya karena secara tidak langsung, ia baru saja menyatakan perasaannya.

Wajah Luna memerah,

begitu juga dengan Tara.


“Luna mau, Tara.”

Tara tersenyum lebar. Ia meraih sebelah tangan Luna, menghiasi salah satu jarinya dengan cincin, mengakhiri dengan sebuah kecupan di punggung tangan.

Luna bahagia, perempuan itu memeluk erat bunganya dengan senyum yang masih senantiasa ia tampilkan.

Tara harus mengabadikannya.

Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya. Namun, selanjutnya ia terpaksa menekan asal karena Luna tiba-tiba memeluknya. Menghasilkan foto yang agak kabur.

Namun, tak apa. Tara yakin ia masih bisa mengambil foto Luna nanti. Foto itu tidak akan menjadi yang terakhir.

“Selamat ulang tahun, Luna sayang. Terima kasih karena mau menerima Tara. Luna ingin makan apa? Tara traktir, ya?”

Tara bisa merasakan gelengan dari Luna yang masih menyembunyikan wajah di dadanya. Perempuan itu kemudian mendongak.

“Ini hari ulang tahun Luna, harusnya Tara yang Luna traktir.”

“Tak apa, anggap aja hadiah terakhir untuk hari ini. Makan malam nanti, Luna bisa memasak untuk Tara.”

Luna mengangguk, menyanggupi kalimat Tara.

“Beli jus aja, ya, Tara? Di tempat yang biasa kita beli, tapi dibawa pulang ke rumah.”

Tara mengangguk. “Boleh. Pelukannya boleh dilepas dulu, Luna? Tara gak bisa nyetir kalau kayak gini.”

Luna tertawa kecil. Perempuan itu menjauh, menyamankan dirinya, dan membiarkan Tara melajukan kendaraan yang keduanya naiki.

“Luna tunggu di sini aja, ya. Biar Tara yang beli. Kayak biasa, 'kan?”

Luna mengangguk, ia menurut. Tara mengusak pucuk kepalanya satu kali lagi, kemudian keluar dari mobil.

Tara meninggalkan ponselnya. Ketika laki-laki itu belum kembali, ada panggilan yang masuk. Melihat siapa pemanggilnya, Luna tahu kalau orang itu penting untuk Tara.

Atasan Tara.

Luna meletakkan bunganya, mengambil ponsel Tara, kemudian ke luar dari mobil. Ia melihat Tara yang masih mengantri di seberang sana. Laki-laki itu sengaja parkir di sini karena banyak kendaraan pembeli lain di tempat itu.

Menyadari Luna keluar dari mobil. Tara melemparkan tatapan heran, Luna segera menunjukkan alasannya keluar dari mobil.

Tara dengan cepat memahami itu, ia menunjuk pada dirinya sendiri sebelum menunjuk pada Luna. Mengisyaratkan kalau ia akan menghampiri perempuan itu.

Luna langsung menggeleng ribut. Dia melakukan gerakan yang sama dengan Tara. Mengatakan bahwa lebih baik ia yang menghampiri Tara.

Tara mau tidak mau setuju.

Luna berlari kecil dalam perjalanannya menghampiri Tara. Perempuan yang merubah warna rambutnya jadi pirang itu pun berhasil sampai ke hadapan Tara, untuk menyerahkan ponsel milik laki-laki itu.

Luna berhasil sampai kepada Tara.

Memang antrian jus itu tidak panjang. Namun, orang sebelum Tara membeli cukup banyak sehingga mereka memerlukan waktu lebih lama untuk menunggu dua buah jus itu jadi.

Tara tertawa kecil sewaktu melihat Luna antusias dengan jusnya. Padahal itu hanya sekedar jus, hal sederhana tapi Luna bisa bahagia seperti ini.

Hujan turun dalam perjalanan pulang mereka. Untung keduanya ada dalam mobil milik Tara.

“Tara berhenti dulu di sini!” ucap Luna tiba-tiba. Membuat Tara secara spontan menghentikan laju mobilnya.

“Eh, kenapa?” tanya Tara tapi Luna tak menjawab. Perempuan itu malah keluar dari mobil, membiarkan tubuhnya terbasahi oleh air hujan.

Padahal sebentar lagi keduanya juga akan sampai di rumah Luna.

“Luna, jangan hujan-hujanan!” Tara dengan sedikit panik mencari dimana keberadaan payungnya. Setelah mendapatkannya, ia pun buru-buru keluar untuk melindungi tubuh perempuan itu dari air hujan.

Membiarkan tubuhnya sendiri menjadi basah.

“Tara ingat tidak? Dulu kita hujan-hujanan setelah kabur supaya bisa main di taman. Terus Luna jatuh di sini.”

Tara diam tak membalas. Ia terlihat mengingat dan Luna sudah terlanjur paham. Lagi pula itu saat mereka berusia 8 tahun.

“Jangan dipaksain, Tara.”

Tara menggeleng, kemudian tersenyum kecil. “Maaf, ya.”

“Gak papa, jangan sedih, ya? Ini hari ulang tahun Luna, kita semua harus bahagia.”

“Ayo masuk lagi ke mobil, ini hujan. Bisa sakit besok,” kata Tara.

“Sebentar aja.” Luna mendekatkan dirinya, memeluk tubuh di hadapannya. “Luna kangen pas kita dulu bisa bebas hujan-hujanan karena masih kecil. Luna kangen dimana kita gak bisa pulang malem karena masih kecil—ah Luna kangen kita pas kecil.”

“Pas kecil kita cuma tahu seneng-seneng. Meski kadang Luna sedih kalau Tara lupa, tapi Luna lebih sering ngerasain seneng sama Tara.”

Mendengar itu, Tara membalas pelukan Luna. Hanya dengan sebelah tangannya karena yang satu lagi masih memegangi payung yang masih berusaha untuk melindungi mereka.

“Luna juga kangen, karena pas kecil kita gak perlu pusing mikirin perasaan buat satu sama lain. Gak perlu khawatir Tara bakal direbut atau enggak. Banyak gak perlunya.”

“Iya, Luna.”

Semakin tinggi tubuh keduanya, semakin dikenal nama keduanya, semakin banyak aturan yang tanpa sadar mereka terapkan. Itu semua terasa begitu jelas meski tak terkatakan.

“Tapi Luna seneng karena sampai sekarang, Tara masih sama Luna. Kita masih sama-sama dan bakal terus sama-sama, 'kan, Tara?”

Luna menatap Tara dengan mata berbinarnya.

“Iya, kita sama-sama terus, Luna.”

Bibir Luna melukiskan senyuman lebar. Perempuan itu mengangguk senang. Tara ikut tersenyum melihatnya.

Di bawah payung yang tak sepenuhnya bisa menutupi tubuh keduanya. Tara merundukkan kepalanya. Untuk mempertemukan bibirnya dengan milik Luna.

Perasaan bahagia menyertai keduanya saat ini. Di hari ulang tahun Luna dengan status baru keduanya. Biarkan mereka menjadi dua orang paling bahagia untuk malam ini.

dan kemudian Tara pun terbangun.


—honeyshison.

sorry for typos

Hoshi as Tara Angkasa Sana as Aluna Nathania


Sore itu hujan. Tidak terlalu besar tapi cukup menakutkan dengan kehadiran petir yang menemaninya.

Read more...

Ini satu bagian gimana Sasa bisa ketemu Unyo. Satu bagian yang dikemas dengan kata-kata gak baku yang isinya pertemuan pertama mereka.

Read more...

Ini satu bagian gimana Sasa bisa ketemu Unyo. Satu bagian yang dikemas dengan kata-kata gak baku yang isinya pertemuan pertama mereka.

Read more...

Waktu masuk ke apartemen Soonyoung, hal yang pertama Sana lihat adalah Juni yang tengah duduk di sofa sembari bermain ponselnya.

Read more...