karsalakuna

Untuk Mami, dari Amy.

Mami, aku sebenarnya bingung kenapa papi nyuruh aku buat surat. Padahal masih banyak hal lain yang bisa dijadiin kado buat mami. Tapi kata papi, mami suka ini. Jadi aku buat deh.

Ini surat ketiga yang aku tulis buat mami. Tapi rasanya selalu ada banyak hal yang mau aku sampaikan.

Tadinya aku mau ajak papi buat kasih mami kejutan pas tengah malam. Supaya aku sama papi jadi orang pertama yang ngucapin itu. Tapi kata papi lebih baik paginya, karena seharian kemarin mami capek.

Kue itu aku sama papi buat sendiri, tadi pas jam 3. Supaya pas mami bangun, kuenya masih hangat. Aku tahu mami gak mungkin bilang kuenya gak enak. Semisal ada rasa yang aneh, aku minta maaf, ya, Mi. Aku sama papi gak sejago mami kalau soal bikin kue.

Mami selalu bilang ke aku untuk menikmati segala proses yang aku jalani dalam membuat karya. Aku udah usahain itu. Tolong mami juga, ya? Nikmatin semua waktu mami ketika masak, ketika di kafe, ketika sama aku, ketika sama papi, buat semuanya.

Tuntutan memang gak akan berhenti datang. Tapi seperti kata mami, kita harus percaya kalau kita mampu ngejalanin semuanya.

Waktu kecil, aku sering jatuh. Aku masih ingat, dulu mami bilang kalau kehidupan gak akan selalu membuat kita berdiri. Ada kalanya kita bakal jatuh, bahkan sampai tersungkur. Tapi itu bukan berarti kita gak akan bisa bangkit untuk berdiri tegak lagi.

Banyak hal yang kupelajari dari mami. Mami adalah orang terhebat yang aku kenal, bahkan ngalahin papi yang selalu kupercaya buat jaga kita berdua!

Untuk mami yang paling Amy sayang, selamat ulang tahun. Selamat mendatangi tahun baru mami. Aku bersyukur karena aku masih bisa nemenin mami sama papi sampai sekarang.

Oh iya, mami. Aku juga udah berdoa ke Tuhan buat mami. Pokoknya hari ini, aku sama papi janji bakal bikin mami bahagia!

Tertanda, Amy Kwon.


Untuk Anna.

Ini ke-tujuh belas kalinya saya dapat merayakan ulang tahun kamu. Yang berarti kita juga sudah berjalan selama itu.

Dalam waktu selama itu, saya sudah bersyukur tentang banyak hal yang menyangkut kamu. Kehadiranmu, kebersamaan kita, kehadiran Amy, segalanya.

Jika dulu saya memutuskan untuk mengenalimu tanpa melibatkan rasa, mungkin detik ini saya akan ada dalam penyesalan yang tak tuntas.

Kamu bebas jika ingin meminta apa pun Anna. Mungkin saat kamu baca ini, kamu baru menerima kue dan surat dari kami. Tapi setelah itu, kamu masih bisa untuk meminta, Anna. Waktu saya dan Amy hari ini, sepenuhnya untuk kamu.

Meski begitu, semua yang saya beri tak akan pernah selaras dengan apa yang sudah kamu berikan pada saya, Anna. Kamu memberikan hal paling berharga, yaitu Amy.

Mungkin kamu sudah bosan melihat kalimat ini. Tapi saya sangat bersyukur dengan kehadiran kamu, dengan segala hal yang ada pada kita, dengan semua yang kamu percayakan pada saya untuk saya jaga.

Selamat ulang tahun, Anna. Semoga tahun ini kamu banyak mendapatkan kebahagiaan. Terima kasih karena selalu hadir untuk saya dan Amy. Kamu adalah wanita yang hebat.

Ah, iya. Jangan lupa sampaikan permintaan kamu untuk ulang tahun kali ini, ya.

—Edward Kwon.

// kiss scene


Dua raga yang sebelumnya saling berpelukan itu mulai menciptakan jarak lagi antara keduanya. Tangan yang lebih tua ada di kedua pundak yang lebih muda, kemudian beralih menjadi membingkai kedua sisi wajah lawan bicaranya. Ll

“Ini dia si cantik Shanaya—eh atau si pawang pengendali taksa?”

Naya tertawa geli. “Apaan sih?”

“Benar, dua-duanya. Si cantik yang bisa ngendaliin taksa,” balas Rendra dengan nada candaannya.

“Kalau itu Jennifer.”

“Ya udah iya, Jennifer.” Rendra mengelus pipi halus itu dengan ibu jarinya. “Jalan-jalan sampai sore udah, pelukan lama juga udah. Nyonya Shanaya mau apa lagi buat hari ulang tahunnya ini?”

“Cium kening?” tanya Naya.

“Waduh, jadi gugup kalau gini.”

“Giliran cium bibir aja langsung gas,” sahut Naya dengan nada menyindir, Rendra cuma bisa tertawa canggung menanggapi itu.

“Kalau itu, 'kan, sering. Cium kening mah berasa simulasi suami istri.”

“Gak papa simulasi dulu aja, siapa tahu beneran.”

“Cakep. Ya udah sini cium,” ucap Rendra, dengan gerakan perlahan ia mengecup kening kekasihnya itu. Hanya sebentar tapi Naya dapat merasakan kalau Rendra gugup.

Ibu jari Rendra yang semula mengelus pipinya itu berpindah. Menjadi mengelus permukaan bibir Naya.

Mata keduanya bertemu. “Kalau yang ini boleh dicium?”

“Bolehnya kecup aja.”

“Oke siap,” kata Rendra kemudian memberi satu kecupan.

Hening setelahnya. Mereka menyelami naga satu sama lain.

“Kamu sering tanya, 'kan? Kenapa pada akhirnya aku jatuh ke kamu, apakah itu pantas dan sebagainya,” ucap Rendra kembali mengisi obrolan antar keduanya.

“Yang seharusnya mendapat pertanyaan itu, ya kamu. Kok bisa, ya, seorang Shanaya mau sama Tarendra? Shanaya yang dari kecil udah usaha, Shanaya yang wajahnya hampir ada di setiap majalah, Shanaya yang namanya udah banyak dikenal.”

Rendra memiringkan kepalanya. “Kok bisa, ya?”

“Ih, Rendra ....”

Sesuai dugaan Rendra, Naya akan membalas dengan rengekan lalu memeluknya untuk sekedar menyembunyikan wajah yang memerah.

Rendra tertawa kecil. Kemudian membalas pelukan itu.

This day is always meant to be bright and beautiful because the love of my life was born on this day. Happy birthday, girl,” ucap Rendra lalu mengecup puncak kepala Naya.

Naya mendongak, untuk menatap kekasihnya itu. “Tarendra, thank you so much for always being right there for me.”

“Kembali kasih, Shanaya. Selanjutnya apa lagi? Hari ini Tarendra di bawah pengendalian Shanaya sepenuhnya.”



“Cuma 10 menit, ya, Ru! Habis itu lo yang di-make up,” ucap Binar dan Aru memberikan ibu jarinya sebagai balasan.

“Mau apa, sih, ini sampai gue di suruh ke backstage duluan?” tanya Cici.

“Soalnya kalau habis konser nanti bakal kemaleman. Lo pasti capek, urang juga. Jadi, mending sekarang aja,” balas Aru.

“Iya, ini mau apa?”

Aru senyum—nyengir lebih tepatnya. Cowok itu kemudian ambil salah satu tangan Cici buat dia pegang. Selanjutnya ada satu buah permen lolipop yang mendarat di sana.

Cici ngelihat Aru bingung. “Kenapa tiba-tiba ngasih permen?”

“Soalnya lo ulang tahun hari ini,” ucap Aru, “tapi sebelum hari ini, urang sibuk buat nyiapin konser sekarang. Gak sempet beli hadiah, jadi urang kasih ini dulu. Anggap aja DP.”

Secara gak sadar, Cici senyum. Meski sederhana, cuma sebuah permen. Tapi karena Aru yang ngasih, ini kerasa beda.

“Hbd, ya, Ci. Lo manusia paling cakep, paling hebat yang urang kenal tahun ini. Makasih karena udah luangin waktu lo buat nontonin Aksa.”

Aru senyum, kali ini kelihatan tulus. Dia menepuk tangan Cici yang sedari tadi masih dipegangnya.

Urang gak tahu lo mau apa jadi nanti jangan lupa kirim apa yang lo mau ke kontak Randi Arusadha. Selesai urang tampil, pesannya harus udah ada, ya, Ci.”

“Gak perlu, Ru. Ini aja bisa gue anggap kado,” jawab Cici. Serius, dia udah anggap ini lebih dari cukup.

Aru menggelengkan kepalanya “Enggak, urang tetep mau kasih. Jadi jangan lupa chat, ya.”

Pada akhirnya, mau gak mau Cici mengangguk. “Oke, deh. Makasih banyak, ya, Ru.”

Teu kudu terima kasih. Urang seneng ngelakuin ini. Sekarang, lo mau uranganter lagi ke depannya atau enggak?”

“Gak usah,” jawab Cici, “nanti fans lo mikir aneh-aneh.”

Denger itu, Aru ketawa. Dia menepuk pelan puncak kepala Cici sambil bilang, “Ya udah, hati-hati ke sananya. Urang tunggu chat-nya.”

Cici mengangguk, Aru tetap diam di sana sampai punggung Cici hilang dari pandangannya. Ia kemudian berbalik, nyusul Binar, Januari, Gibran, sama Ian yang udah masuk ke ruangan itu lebih dulu.


Rhiana Sashi

Aru, kalau gue minta buat sehari lo memperlakukan gue sebagai Cici, sobat mendengarkan lo lagi. Sebagai Rhiana Sashi yang dulu, yang namanya cuma punya dua kata bukan tiga. Apa boleh?

cw // implicit bxb, gxg.


“Tuan muda gak ngambek, 'kan?” tanya Sana dan gue menggeleng.

“Ngambek buat apa?”

“Kita,” jawab dia, “berduaan lagi buat waktu yang agak lama.”

Gue diam, tapi beneran pas gue berangkat tadi Jihoon biasa aja. Dia tahu ini kerjaan dan gue sama Sana sekarang tuh ... ya kayak gini.

“Una gimana?” tanya gue.

“Biasa aja,” jawab Sana langsung.

“Nah ya udah, berarti mereka percaya kita. Lagian kita berdua juga ngapain? Rapat, visit lokasi, bahkan makan siang aja sama klien.”

“Sumpah, Soon. Ini belum setengah perjalanan, tapi gue udah mual?” balas Sana yang ngebuat gue ketawa. Dipikir lagi, iya, sih, bikin mual.

“Hadah, iya, sih.”

Tapi kerjaan tetap jadi kerjaan. Meski ngeluh segimana pun, tetap dijalanin, tetap beres, dan Sana tetap jadi orang yang mendampingi gue.

Kalau diinget lagi, dulu Sana bisa jadi asisten gue karena apa, ya? Dia nempuh pendidikan yang sama kayak gue, kita berempat—sama Wonwoo dan Jeongyeon—nyari ilmu dengan teburu-buru di negeri orang.

Jeongyeon sama Wonwoo menempuh bidangnya masing-masing. Tapi gue sama Sana tetap berdua. Alasan cukup kuat kalau salah satu dari kami bakal menaruh rasa dan itu adalah gue.

Mungkin Sana juga iya. Tapi emang udah jalannya aja buat gue sama dia untuk gak sama-sama. Dulu, ketika fokus gue selalu adik-adik gue, gue gak sempat memikirkan buat ngungkapin apa yang gue rasa.

Sana ada sama gue, itu udah cukup. Tapi tahunya dia melangkah duluan, dia punya pacar dan gue cuma bisa diam tanpa niat hilangin perasaan gue.

Waktu berjalan. Gue perlahan bisa lupa dan ketika Jihoon ada. Gue memberanikan diri buat ngungkapin semuanya sebagai tanda kalau gue udah berdamai dengan perasaan gue ke Sana.

Hadah, malah flashback.

“Tadi Una ngasih gue hadiah,” ucap Sana, dia paling gak betah kalau lagi dalam perjalanan gini kita saling diem. Padahal gak lagi berantem, tapi anak ini emang lebih nyaman kalau ngobrol.

“Hadiah?” tanya gue memastikan, “oh iya, hari ini lo ulang tahun. Kalau gitu selesai visit nanti lo gue jajanin, ya? Apa mau barang?”

Sana menggeleng. “Enggak— maksud gue jajan aja. Gue mau cerita hadiah yang Una kasih.”

“Hm, apa?”

“Dia ngasih surat sama boneka, gue terharu deh, Soon. Katanya bonekanya buat dibawa supaya gue gak kangen. Padahal kita cuma dua hari di sana,” jawab Sana.

“Lucu,” balas gue

“Iya, 'kan?!” sahut Sana antusias. Bukan bermaksud ngebandingin, tapi begitu sama Eunha anak ini lebih ekspresif, beda pas sama mantannya dulu.

“Beda sama lo yang malah dibogem. Pacar gue paling lucu pokoknya.”

“Iya dah.”

Ketika mobil yang gue kendalikan ini menemui lampu merah. Berkesempatan buat gue ngelihat ke arah orang yang ada di samping gue.

“Sana, happy birthday. Semoga segala sesuatu yang lagi lo kejar sekarang, bisa lo dapetin.”

Gue berhenti sejenak. “Meski kita udah jalan masing-masing, kita tetep gak lepas satu sama lain. Begitu yang lo bilang waktu itu dan gue mengakuinya.

“Gue berterima kasih karena lo masih bersedia buat temenin gue dan bantu gue dalam hal apa pun itu. Terima kasih juga buat segala hal yang udah lo lakuin sejauh ini, Na. Lo keren dan lo tahu, itu, 'kan?”

Sana diam, ekspresi wajahnya sekarang udah mirip dengan emoji favoritnya. Emoji yang selalu mengingatkan gue ke Sana—gak cuma gue sih, semua orang yang kenal dia juga mungkin berpikir demikian.

“Soonyoung, bentar. Gue mau minta izin Jihoon buat peluk lo.”

Gue ketawa kecil. “Ya udah, nanti gue izin Eunha juga.”

Gue sama Sana, ya kayak gini.


Hai, Sana?

Lo masih inget gue gak, ya? Gue nulis ini di hari ulang tahun lo, tapi gue gak tahu kapan gue bisa ngasih surat ini. Pada kenyataannya, sampai sekarang kita masih lost contact.

Adek-adek gue sendiri yang bilang kalau gue orangnya gampang lupa. Tapi ketika ada hal yang mancing, gue pasti bakal ingat meski itu kejadiannya pas kecil sekalipun.

Waktu pertama kali ketemu sama lo lagi dan lo tanya tentang kucing. Gue langsung ingat kalau lo adalah Sana. Orang yang gue cari selama ini.

Kita dulu sering main di panti. Rencananya gue yang pergi, tapi ternyata malah lo yang pergi duluan. Pas gue mau pamitan, lo malah menghilang duluan. Namun meski kayak gitu, gue tetep seneng karena lo ketemu dengan keluarga yang bakal menyayangi lo sepenuh hati.

Alasan kita ketemu lagi sebenarnya agak kocak. Gue tetep mau bantu lo nyari itu kucing padahal gue tahu jelas kalau dia memang gak akan balik. Tapi karena itu lo, gue tetap mau bantu nyari.

Gue gak mengharapkan lo bakal ingat gue sebagai Soonyoung yang dulu pernah jadi teman main lo. Tapi gue berharap kalau kita bisa temenan lagi. Meski gak ketemu bertahun-tahun, lo tetap Sana yang gue sayang.

Gue berharap, kita bisa buat kenangan yang baik lagi. Nyatanya enggak, gue melupakan satu sosok yang paling besar kemungkinannya menyakiti lo. Jadi setelah dia hadir, gue memilih buat menghindari lo. Supaya lo bisa baik-baik aja.

Mungkin iya, gue berhasil lindungi lo. Hingga ketika gue merasa semuanya aman, ternyata gue kelepasan. Lo disakiti dia, lo dibuat masuk rumah sakit.

Gue minta maaf untuk itu. Rasanya pantas ketika kini lo pergi dari gue lagi karena itu.

Gue gak akan pernah bisa ngelupain lo, Sana. Mungkin dulu karena lo teman pertama gue. Tapi sekarang alasannya udah berbeda.

Ini karena gue sayang sama lo. Sebagai satu cowok ke satu cewek. Bukan antar teman lagi. Dimana pun lo berada, gue yakin lo aman di sana.

Selamat ulang tahun buat cewek ketiga yang paling cantik di kehidupan gue setelah Mama sama Yena.

Gue sengaja menulis ini untuk mengurangi rasa kangen yang gue rasa. Jadi, ketika nanti kita dikasih kesempatan buat ketemu. Gue bakal tanya apa lo tahu di mana keberadaan cinta gue dan ngasih surat ini.

Ah iya, gue kasih kunci jawabannya sekarang. Nanti ketika gue tanya itu ke lo, lo tinggal jawab diri lo aja, ya.

See you.


Minatozaki Sana, selamat ulang tahun.

Saya di sini mau berbicara sebagai Pak Kwon. Kita pertama kali bertemu ketika kamu menjadi anggota divisi saya. Namun, belum banyak kita berinteraksi, saya sudah diangkat menjadi direktur yang baru.

Saya masih ingat bagaimana kamu memuji saya, karena saya menjadi direktur paling muda dibandingkan yang lain. Direktur keuangan pula.

Saya masih ingat dengan jelas bagaimana kamu ikut merasa senang. Kamu, si pegawai baru yang bahkan hanya sesekali mengobrol dengan saya menyampaikan semua itu.

Waktu itu Pak Choi menawarkan saya beberapa orang untuk di angkat menjadi asisten pribadi saya, sama seperti direktur yang lain. Di antara tiga orang itu, kamu adalah salah satunya.

Kamu memuji saya, padahal kamu sendiri bekerja dengan baik sampai Pak Choi berpikir untuk memberimu posisi ini. Saya tanpa ragu memilih kamu.

Menjadi seorang asisten, saya rasa lebih pusing dibanding menjadi direktur itu sendiri. Mungkin saya mengendalikan semua hal yang menyangkup bidang saya. Tapi, kamu mengendalikan saya.

Dulu kamu selalu berjalan di belakang saya. Namun kini, kita berdampingan. Masih dengan status yang sama.

Saya masih Kwon Soonyoung, si direktur keuangan. Kamu juga masih Minatozaki Sana, asistennya.

Kita berjalan berdampingan dengan kaku jika masuk ke kantor. Namun, ketika pulang tak jarang saya akan merangkul pinggang kamu.

Kamu memang masih asisten pribadi saya, tapi ketika jam kerja itu usai. Kita kembali menjadi sepasang suami istri.

Meski awalnya kita menikah untuk tuntutan. Tapi saya memilih kamu, Sana. Selalu.

Sekali lagi, selamat ulang tahun. Seharusnya hari ini saya yang memberikanmu hadiah, tetapi malah sebaliknya. Oleh karena itu, saya akan menjaganya dengan baik, menjaga kamu juga tentunya

Terima kasih untuk itu. Terima kasih untuk waktu yang bersedia dihabiskan bersama saya. Terima kasih untuk hadiah paling berharga selama saya hidup ini.

Selepas ini, kamu jangan terlalu memaksakan diri. Saya memang terbiasa dengan kehadiran kamu di ruangan saya. Namun, saya tak ingin jika nantinya itu akan membuat kalian sakit.

Jadi, saya akan membiasakan diri saya tanpa kehadiran kamu di kantor. Saya akan menjaga kalian dan kamu juga tolong jaga dia, ya? Jangan memaksakan diri kamu karena kamu asisten saya.

Kamu pasti paham apa maksud saya, 'kan? Kita bicarakan ini lagi secara mendalam nanti. Untuk hari ini, tunggu saya pulang dan saya akan bawa kue sesuai permintaan kamu tadi pagi.

with love, Soonyoung Kwon.


Minatozaki Sana, selamat ulang tahun.

Saya di sini mau berbicara sebagai Pak Kwon. Kita pertama kali bertemu ketika kamu menjadi anggota divisi saya. Namun, belum banyak kita berinteraksi, saya sudah diangkat menjadi direktur yang baru.

Saya masih ingat bagaimana kamu memuji saya, karena saya menjadi direktur paling muda dibandingkan yang lain. Direktur keuangan pula.

Saya masih ingat dengan jelas bagaimana kamu ikut merasa senang. Kamu, si pegawai baru yang bahkan hanya sesekali mengobrol dengan saya menyampaikan semua itu.

Waktu itu Pak Choi menawarkan saya beberapa orang untuk di angkat menjadi asisten pribadi saya, sama seperti direktur yang lain. Di antara tiga orang itu, kamu adalah salah satunya.

Kamu memuji saya, padahal kamu sendiri bekerja dengan baik sampai Pak Choi berpikir untuk memberimu posisi ini. Saya tanpa ragu memilih kamu.

Menjadi seorang asisten saya rasa lebih pusing dibanding menjadi direktur itu sendiri. Mungkin saya mengendalikan semua hal yang menyangkup bidang saya. Tapi, kamu mengendalikan saya.

Dulu kamu selalu berjalan di belakang saya. Namun kini, kita berdampingan. Masih dengan status yang sama.

Saya masih Kwon Soonyoung, si direktur keuangan. Kamu juga masih Minatozaki Sana, asistennya.

Kita berjalan berdampingan dengan kaku jika masuk ke kantor. Namun, ketika pulang tak jarang saya akan merangkul pinggang kamu.

Kamu memang masih asisten pribadi saya, tapi ketika jam kerja itu usai. Kita kembali menjadi sepasang suami istri.

Meski awalnya kita menikah untuk tuntutan. Tapi saya memilih kamu, Sana. Selalu.

Sekali lagi, selamat ulang tahun. Seharusnya hari ini saya yang memberikanmu hadiah, tetapi malah sebaliknya. Oleh karena itu, saya akan menjaganya dengan baik, menjaga kamu juga tentunya

Terima kasih untuk itu. Terima kasih untuk waktu yang bersedia dihabiskan bersama saya. Terima kasih untuk hadiah paling berharga selama saya hidup ini.

Selepas ini, kamu jangan terlalu memaksakan diri. Saya memang terbiasa dengan kehadiran kamu di ruangan saya. Namun, saya tak ingin jika nantinya itu akan membuat kalian sakit.

Jadi, saya akan membiasakan diri saya tanpa kehadiran kamu di kantor. Saya akan menjaga kalian dan kamu juga tolong jaga dia, ya? Jangan memaksakan diri kamu karena kamu asisten saya.

Kamu pasti paham apa maksud saya, 'kan? Kita bicarakan ini lagi secara mendalam nanti. Untuk hari ini, tunggu saya pulang dan saya akan bawa kue sesuai permintaan kamu tadi pagi.

with love, Soonyoung Kwon.


Kalau diingat lagi, bukan kali ini doang gue bingung ketika orang-orang tengah panik. Begitu masuk ke studio, gue lihat mereka yang bolak-balik. Sibuk ngedekor sambil dikejar waktu.

“Nah, ada Mas Hoshi! Mas boleh minta tolong, gak?” tanya Mbak Nay dan gue secara spontan mengangguk.

“Kenapa?”

“Tolong tahan supaya Shasa gak masuk dulu ke sini. Dekorasinya belum beres. Masa udah capek beli, eh, suprise-nya gagal?”

Suprise?”

“Iya, hari ini, 'kan, ulang tahun Shasa, Mas. Lupa atau gimana?”

“Oke, saya ke depan kalau gitu.”

Semenjak balik ke Bandung, semenjak orang-orang tahu hubungan gue dan Shasa. Ketika ada satu kejadian dan gue bersikap bingung selalu kalimat itu yang keluar dari mereka.

“Lupa atau gimana?”

Gue gak bisa secepat itu pulih setelah semua hal tentang Hoshi diterapin ke gue. Untuk kembali dengan karakter Soonyoung—diri gue yang asli—gue perlu waktu yang lama.

Pada akhirnya, gue kembali ke depan. Nunggu Shasa yang memang hari ini ada jadwal di radio dulu.

Gue belum mempersiapkan apa pun buat dia. Padahal tahun kemarin gue udah ada dalam posisi kayak gini. Bisa-bisanya, lo malah lupa lagi, Kwon Soonyoung.

Shasa pacar lo, Soonyoung. Masa lo gak bisa mengingat tanggal ulang tahun dia? Huft, lemah.

“Soonyoung!” Suara Shasa menyapa pendengaran gue dan gue tentu langsung melihat ke arah dia. Cewek itu datang menaiki ojek—seperti biasanya kalau dia habis dari radio.

“Kok diem di sini? Gak latihan?”

Mbak Nay belum nge-chat gue, artinya mereka belum beres di sana. Gue meraih tangan Shasa kemudian mengajaknya untuk berjalan.

“Kita harus ke akademi, Soonyoung.”

“Sebentar aja,” jawab gue sembari melirik sekitar. Mencari pedagang yang setidaknya bisa gue beli buat Shasa—buat sekarang. Hadiah benerannya bisa gue cari ketika acara suprise-nya kelar.

Kayaknya memang gue lagi dikerjain. Pedagang yang biasanya ramai mengingat murid kami kebanyakan anak-anak sekarang kayak gak ada. Cuma ada satu dan itu pun telur gulung.

Ya udah, daripada gak sama sekali.

“Jajan dulu, ya, Sha.”

“Tumben?” kata dia dan gue cuma tersenyum canggung.

“Kamu mau beli berapa? Aku jajanin,” tanya gue.

“Terserah yang ngasih aja,” jawab dia kemudian membalas genggaman gue. Sedari tadi memang terkesan gue yang menarik dia, Shasa yang bingung gak sempat membalas.

Mang, meser 10 tusuk weh.

“Siap, A.”

“Bikin yang spesial, ya, Mang. Buat yang lagi ulang tahun soalna.”

Pedagangnya ketawa dan sekali lagi membalas dengan kata 'siap.'

“Oh ini jajan dulu soalnya disuruh Mbak Nay ngulur waktu, ya? Di studio pasti lagi disiapin buat suprise, 'kan?” tebak Shasa langsung. Tampaknya gue harus minta maaf ke Mbak Nay nanti.

“Gitu deh.”

Kami berdua kemudian diam, mengamati bagaimana pedagangnya yang udah kelewat ahli itu membuat telur gulung. Ketika Shasa mengeratkan genggamannya, gue merasa kalau ini bukanlah hal yang baru.

Gue merasa kalau ini gak asing.

Berbarengan dengan kembalian yang diserahkan ke gue, Mbak Nay nge-chat. Kami berdua kembali jalan ke arah akademi, bedanya kali ini lebih santai.

“Soonyoung, kamu inget ulang tahun aku?”

Gue menggeleng. “Maaf, ya? Aku mungkin gak akan sadar kalau tadi gak pada panik di studio.”

Shasa senyum kecil. “Gak papa, aku paham kok.”

Shasa, lo keterlaluan baik. Gue gak tahu gimana jadinya kalau gue gak ketemu sama lo.

“Dulu waktu aku awalan pindah ke Bandung. Pertama kalinya rayain ulang tahun sama kamu. Kamu ngajakin aku buat jajan sepuasnya dan yang pertama kita beli itu telur gulung.”

Shasa menghentikan langkahnya untuk bisa menatap gue dengan benar. “Kamu ngerasain gak tadi? Kamu lupa, aku nyaris lupa. Meski begitu kenangannya bakal tetap kerasa, 'kan?”

Ingatan pernah hilang, rasa pernah pudar. Tapi benar kata Shasa, kenangan tetap ada untuk keduanya.

Gue senyum dan manusia paling cantik yang ada di samping gue pun tersenyum.

“Sha, happy birthday. Semoga hari ini kamu bisa seneng because today is your day. Nanti mau apa, bilang aja, ya. Aku bakal usahain buat nyari dan kasih itu ke kamu.”

“Gampang kok. Biar hari ini seneng berarti kamu gak boleh jauh-jauh dari aku. Aku senengnya pas sama kamu soalnya.”

Bisa aja.

Kalau diingat lagi, bukan kali ini doang gue bingung ketika orang-orang tengah panik. Begitu masuk ke studio, gue lihat mereka yang bolak-balik. Sibuk ngedekor sambil dikejar waktu.

“Nah, ada Mas Hoshi! Mas boleh minta tolong, gak?” tanya Mbak Nay dan gue secara spontan mengangguk.

“Kenapa?”

“Tolong tahan supaya Shasa gak masuk dulu ke sini. Dekorasinya belum beres. Masa udah capek beli, eh, suprise-nya gagal?”

Suprise?”

“Iya, hari ini, 'kan, ulang tahun Shasa, Mas. Lupa atau gimana?”

“Oke, saya ke depan kalau gitu.”

Semenjak balik ke Bandung, semenjak orang-orang tahu hubungan gue dan Shasa. Ketika ada satu kejadian dan gue bersikap bingung selalu kalimat itu yang keluar dari mereka.

“Lupa atau gimana?”

Gue gak bisa secepat itu pulih setelah semua hal tentang Hoshi diterapin ke gue. Untuk kembali dengan karakter Soonyoung—diri gue yang asli—gue perlu waktu yang lama.

Pada akhirnya, gue kembali ke depan. Nunggu Shasa yang memang hari ini ada jadwal di radio dulu.

Gue belum mempersiapkan apa pun buat dia. Padahal tahun kemarin gue udah ada dalam posisi kayak gini. *Bisa-bisanya, lo malah lupa lagi, Kwon Soonyoung.”

Shasa pacar lo, Soonyoung. Masa lo gak bisa mengingat tanggal ulang tahun dia? Huft, lemah.

“Soonyoung!” Suara Shasa menyapa pendengaran gue dan gue tentu langsung melihat ke arah dia. Cewek itu datang menaiki ojek—seperti biasanya kalau dia habis dari radio.

“Kok diem di sini? Gak latihan?”

Mbak Nay belum nge-chat gue, artinya mereka belum beres di sana. Gue meraih tangan Shasa kemudian mengajaknya untuk berjalan.

“Kita harus ke akademi, Soonyoung.”

“Sebentar aja,” jawab gue sembari melirik sekitar. Mencari pedagang yang setidaknya bisa gue beli buat Shasa—buat sekarang. Hadiah benerannya bisa gue cari ketika acara suprise-nya kelar.

Kayaknya memang gue lagi dikerjain. Pedagang yang biasanya ramai mengingat murid kami kebanyakan anak-anak sekarang kayak gak ada. Cuma ada satu dan itu pun telur gulung.

Ya udah, daripada gak sama sekali.

“Jajan dulu, ya, Sha.”

“Tumben?” kata dia dan gue cuma tersenyum canggung.

“Kamu mau beli berapa? Aku jajanin,” tanya gue.

“Terserah yang ngasih aja,” jawab dia kemudian membalas genggaman gue. Sedari tadi memang terkesan gue yang menarik dia, Shasa yang bingung gak sempat membalas.

Mang, meser 10 tusuk weh.

“Siap, A.”

“Bikin yang spesial, ya, Mang. Buat yang lagi ulang tahun soalna.”

Pedagangnya ketawa dan sekali lagi membalas dengan kata 'siap.'

“Oh ini jajan dulu soalnya disuruh Mbak Nay ngulur waktu, ya? Di studio pasti lagi disiapin buat suprise, 'kan?” tebak Shasa langsung. Tampaknya gue harus minta maaf ke Mbak Nay nanti.

“Gitu deh.”

Kami berdua kemudian diam, mengamati bagaimana pedagangnya yang udah kelewat ahli itu membuat telur gulung. Ketika Shasa mengeratkan genggamannya, gue merasa kalau ini bukanlah hal yang baru.

Gue merasa kalau ini gak asing.

Berbarengan dengan kembalian yang diserahkan ke gue, Mbak Nay nge-chat. Kami berdua kembali jalan ke arah akademi, bedanya kali ini lebih santai.

“Soonyoung, kamu inget ulang tahun aku?”

Gue menggeleng. “Maaf, ya? Aku mungkin gak akan sadar kalau tadi gak pada panik di studio.”

Shasa senyum kecil. “Gak papa, aku paham kok.”

Shasa, lo keterlaluan baik. Gue gak tahu gimana jadinya kalau gue gak ketemu sama lo.

“Dulu waktu aku awalan pindah ke Bandung. Pertama kalinya rayain ulang tahun sama kamu. Kamu ngajakin aku buat jajan sepuasnya dan yang pertama kita beli itu telur gulung.”

Shasa menghentikan langkahnya untuk bisa menatap gue dengan benar. “Kamu ngerasain gak tadi? Kamu lupa, aku nyaris lupa. Meski begitu kenangannya bakal tetap kerasa, 'kan?”

Ingatan pernah hilang, rasa pernah pudar. Tapi benar kata Shasa, kenangan tetap ada untuk keduanya.

Gue senyum dan manusia paling cantik yang ada di samping gue pun tersenyum.

“Sha, happy birthday. Semoga hari ini kamu bisa seneng because today is your day. Nanti mau apa, bilang aja, ya. Aku bakal usahain buat nyari dan kasih itu ke kamu.”

“Gampang kok. Biar hari ini seneng berarti kamu gak boleh jauh-jauh dari aku. Aku senengnya pas sama kamu soalnya.”

Bisa aja.


“Kamu bisa jemput Selena?”

Suara di ujung sana sekali lagi menyapa telinga gue. Gue melirik ke arah jam, memperhitungkan seberapa bisa gue menjemput Selena seperti yang dia tanyakan.

“Jam 4 kan, ya?”

“Iya, Soon. Tapi kalau bisa 30 menit sebelumnya udah di sana.”

Gue mengangguk, padahal tahu kalau dia gak mungkin melihatnya. “Oke, habis itu ke rumah. Selena suruh mandi dan kita pergi bertiga, gimana?”

Sana, orang yang memulai komunikasi ini. Dia gak langsung menjawab, mempertimbangkan juga.

Bertahun-tahun hidup bareng ditambah dengan Selena, kita berdua masih jarang langsung menyetujui permintaan satu sama lain. Perbedaan kesibukan jadi alasan utamanya.

Ada tiga hal yang melekat sama Sana, dan gue bukanlah salah satunya.

Pertama, media sosialnya. Sana dari zaman sekolah dulu udah punya beribu-ribu pengikut, ditambah dengan channel youtube yang konsisten update. Sosok Sana si selebgram pun masih melekat padanya walau dia gak seaktif dulu. Kesibukannya sekarang membuat dia gak bisa lama menjelajah isi ponsel.

Kedua, guru muda. Title ini ada setelah Sana mulai mengajar. Banyak orang tua yang gak menyangka kalau dia udah menikah dan punya anak. Makanya dia dapat julukan itu.

Ketiga, Selena. Anak perempuan yang tahun ini ada di usia keduanya. Selena sering menjadi ekor Sana, dia lebih dekat sama Sana. Bagi Selena, Sana segalanya. Bagi Sana, Selena dunianya. Gue cuma ngontrak, bayarnya mahal pula.

Bercanda, gue selalu bersyukur dengan kehadiran mereka yang menyambut gue setiap pulang kerja.

Gue mungkin masuk ke hal yang melekat sama Sana, tapi nomor ke sekian. Pda kenyataannya, orang-orang gak banyak yang tahu kami menikah—ini karena acaranya yang gak kami selenggarakan secara meriah. Cuma keluarga terus kosasra.

“Emang kamu gak lanjut kerja?” Nah, 'kan, ditanya.

“Enggak, 'kan, hari ini spesial.”

“Apanya?”

Hadeh, lupa nih anak.

“Kamu, 'kan, hari ini ulang tahun,” jawab gue. “Aku sengaja minta asistenku supaya jadwal ku hari ini sampai jam tiga. Biar bisa quality times sama kalian.”

“Selamat ulang tahun, Sana. Dari kita masih teman, ke teman dekat, ke teman tanpa status, sampai sekarang kita jadi sepasang ayah dan ibu. Aku selalu bahagia sama kehadiran kamu. Makasih udah ngasih kesempatan sebagai suami dan ayah. Kamu udah ngasih banyak hal berharga, terlebih Selena.”

Gue mengambil jeda, meski samar gue dapat mendengar napasnya yang memberat.

I promise, I will always take care of you two,” ucap gue mengakhiri.

Sesuai dugaan. Balasan yang diberi Sana adalah, “Kamu gak—hiks b-bisa pulang sekarang aja apa?”

Dia tetap dia, gak berubah.