mika-caka daily
Hal yang paling gue gak sangka bakal mempengaruhi hidup gue adalah Cakra. Lo bayangin, deh, awalnya dia cuma orang yang bakal dampingi gue dalam satu panggung—satu penampilan doang.
Hal yang paling gue gak sangka bakal mempengaruhi hidup gue adalah Cakra. Lo bayangin, deh, awalnya dia cuma orang yang bakal dampingi gue dalam satu panggung—satu penampilan doang.
tags : kiss scene, harsh words, implicit sexual content.
note : ini merupakan remake dari oneshot Jennifer – Awan yang ada di bawah kepala thread Taksa. <—more—! >
Jennifer yang dulu, sebenarnya sangat malas dengan sosok Awan. Laki-laki itu awalnya terlihat pendiam, tapi ternyata dia terlalu dilepas.
Keluarga mereka bisa kenal karena kerja sama bisnis, klise memang, tapi itu juga alasan kenapa Jennifer bisa tahu sosok Awan ada di dunia ini.
Mungkin karena Jennifer adalah anak perempuan, ia tak merasakan tuntutan sebanyak yang Awan rasakan. Laki-laki itu merasa tak sejalan dengan bisnis, oleh karenanya dia mencoba memberontak.
Dari merokok, mulai berani minum, hingga ikut balapan. Dengan semua kenakalan yang Awan lakukan, lalu kenapa Jennifer masih dapat untuk laki-laki itu raih?
Jawabannya mudah, Jennifer terlanjur tahu tentang Awan. Pada faktanya, keluarga mereka tidak hanya sekedar menjalin hubungan bisnis. Namun juga berencana untuk menjodohkan keduanya guna meninggikan nama perusahaan masing-masing.
Awan tak pernah menerima dan menolak. Ia tak banyak bereaksi dan pada akhirnya memilih membiarkan semuanya mengalir.
Sementara Jennifer, pada awalnya memikirkan untuk menolak hubungan antara keduanya. Namun ketika ibu Awan bercerita tentang kenapa bisa Awan melakukan hal-hal itu, ada dorongan dalam hati Jennifer. I can fix him!
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka memang membaik. Seperti kata Awan, mereka membiarkan semuanya mengalir. Tahu-tahu saling sayang, tahu-tahu enggan melepas, tahu-tahu rela menyerahkan semuanya.
Namun kebiasaan Awan tak banyak berubah. Setidaknya, Jennifer bisa sedikit mengendalikan laki-laki itu karena sosok Awan berhasil ia buat jatuh. Jatuh kepadanya.
Awan memang tak menghilangkan kebiasaannya, terlebih memiliki nama yang sudah dikenal di dunia itu. Namun setidaknya, Awan sudah berhasil mengurangi.
Jennifer pikir itu sudah cukup. Pikirannya tetap bertahan hingga mereka berlibur bersama—saat di mana Awan malah mencium kekasih sahabatnya sendiri.
Malam itu, Jennifer merasa ditampar dengan keras. Kepercayaan dirinya akan sosok Awan seakan melepuh, keberaniannya untuk menegur Awan hilang tak bersisa.
Ia tahu betul kalau Awan mabuk. Itu tak bisa dijadikan alasan untuk Jennifer memaafkannya. Awan tak menyadari kesalahannya; harusnya ia mendengarkan Jennifer untuk tak bersikap aneh-aneh. Namun laki-laki itu tetap nekat dan pada ujungnya semua kacau.
Hubungan mereka berakhir dan sempat tak saling mengabari karena Jennifer menutup akses antara keduanya.
Jennifer sempat ingin mengatakan pada kedua orang tuanya kalau hubungannya dengan Awan tak berhasil. Namun menemui mereka agak sulit, jadi Jennifer terus menahan diri hingga tanpa sadar ia bisa menyaksikan bagaimana Awan dapat berdiri kokoh. Berdiri bukan sebagai seorang pembalap yang dikenal karena kemenangannya.
Didukung dengan kepergian Rendra keluar kota. Awan dan yang lain semakin jarang keluar malam nyaris pagi hanya untuk mendengar suara bising motor seperti biasanya.
Lalu hubungan antara mereka berdua sekarang menjadi sedikit lebih kaku. Belum ada status lagi karena Jennifer mengajukan tiga syarat pada Awan.
Pertama, jika Awan sudah menyelesaikan skripsinya maka Jennifer akan menemani kalau Awan sidang dan wisuda.
Kedua, jika Awan berhasil mendapat pekerjaan yang bukan karena ayahnya dan membuat Awan langsung mendapatkan posisi tinggi. Maka Jennifer meminta Awan untuk membelikan apa pun yang diinginkannya.
Ketiga, itu rahasia.
“Jen! Ayo ikut gue!”
Sepertinya Jennifer terlalu asik melamun sampai tidak sadar kalau ada Rendra di sini. Entah kapan dan bagaimana bisa laki-laki itu menarik Jennifer dari kamarnya.
Mungkin karena pelayannya. Karena dekat dengan Awan, berhasil membuat Jennifer mengenali tiba temannya.
“Eh? Lo udah balik ke sini? Ini gue mau dibawa ke mana hey?!” protes Jennifer, berusaha menahan diri agar tubuhnya tidak tertarik oleh Rendra.
Rendra dengan cepat menjelaskan apa tujuannya datang kepadanya secara singkat. Lalu setelah itu, menjadi Jennifer yang lebih buru-buru menarik Rendra.
Ada banyak orang di sana dengan mulut yang tak bisa diam. Di tempat ini, rasanya telinga sudah akrab dengan kebisingan. Teriakan yang bersahutan, malah rasanya akan aneh jika tidak ada.
Jennifer sudah tak begitu asing dengan tempat ini. Namun, ia tak berhasil menemukan kenyamanan untuk berlama-lama ada di sini.
Di antara teriakan itu, ada berbagai nama. Namun, yang paling sering terdengar adalah nama seseorang yang sudah tak asing dilihat dengan jaket merah hitamnya.
Awan Pradipta. Sosok yang baru saja kembali ikut balapan dan berhasil membuktikan kalau dirinya juga akan tetap menang meski dalam keadaan sakit.
“Lo lihat? Gue gak cupu,” ucap Awan dengan bangga. Ia berhasil menyelesaikan balapannya di tengah demam yang melanda.
“Ya, ya, gue akui. Pertahanin posisi lo, karena gue selalu siap kapan aja buat ambil itu.”
Awan memutar bola matanya. “Ya, ya, terus aja berekspektasi.”
Orang itu—Seno memperdengarkan gelak tawanya. Dia sebenarnya hanya ingin mengetahui saja kemampuan Awan. Tidak benar-benar berniat mengambil posisi laki-laki itu.
“Keren! Udah mendingan tuh kepala dipakein helm?” Kana menghampirinya sambil menyerahkan satu botol air mineral. Awan menerimanya dan langsung meminumnya hingga sisa setengah.
“Makin pening gue, anjir! Tadi sempat oleng, tapi gue lagi beruntung. Btw, Rendra belum balik juga?”
Tadi saat Awan akan balapan, ia dan Rendra sempat bertengkar. Lalu, ketika Awan menyalakan mesin motornya, laki-laki yang baru kembali ke sini lagi itu sudah tidak ada.
“Udah, tadi pergi lagi sama Bisma. Jalan kaki. Gue disuruh tungguin lo.”
Awan meringis. “Lo bonceng gue, ya, baliknya. Gak kuat kayaknya kalau balik ke apart.”
“Gue bawa motor sen—”
“Oy, Awan! Selamatbuat kesekian kalinya, ya, lo emang keren.”
“Hahaha, yoi, Bang, makasih.”
Kana memutar bola matanya malas. “Gue gak bisa anter lo, gue bawa motor hari ini. Mau lanjut ke puncak.”
“Terus gue gimana, dong? Rendra pasti sama Bis—”
“Gak, kamu sama aku, naik mobil aku. Nanti Rendra yang nyetirin kita.”
Awan dan Kana spontan menoleh ke asal suara. Mata Awan membulat begitu melihat sosok perempuan dengan rambut yang diikat itu.
Tiba-tiba ia merasa takut.
“Jen, aku—”
“Iya, kamu sakit,” potong Jennifer sembari mendekat. Awan terpaku di tempatnya, sudah lama ia dan mantan kekasihnya itu tak berada dalam jarak sedekat ini.
Jennifer berjinjit untuk memasangkan plester demam di dahi sang raja jalanan yang baru saja merayakan kemenangannya. Di depan semua orang yang masih menjadikan Awan sebagai pusat perhatian.
Dia tak peduli dengan itu. Bahkan Awan pun tak mengeluarkan penolakan meski pada faktanya hal ini berhasil mengurangi harga dirinya di depan orang-orang.
Benar. Dia diam karena ini Jennifer.
“Rendra nyimpen motornya di rumahku, motor kamu biar Bisma aja yang bawa. Sekarang, ayo pulang.”
Kala Rendra, Bisma, dan Kana berusaha membawa Awan pulang, mereka bertiga tak berhasil. Bahkan tadi Awan sempat membentak mereka saking tidak maunya pergi. Katanya, ada harga diri yang dipertaruhkan.
Namun, lihatlah sekarang. Hanya Jennifer yang bisa menarik paksa Awan dari ruang kekuasaannya. Lengkap dengan plester demam yang mungkin bisa saja mempermalukan Awan kalau ada seseorang yang mengambil fotonya dalam keadaan ini lalu disebarkan.
Kana menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sehebat apa pun orang yang berkuasa di jalanan. Kalau ada pacar, ya ... pacarnya yang berkuasa buat dirinya.”
Laki-laki itu sedikit meregangkan tubuhnya. “Emang bener pas Awan bilang kalau dia bukan bosnya taksa. Orang yang bos itu Jennifer.”
Lalu pergi menyusul teman-temannya yang sudah berencana untuk pulang itu.
“Ganti baju sana.”
Awan menghela napasnya. Raut wajah Jennifer sudah berubah sepenuhnya, tadi ia masih menunjukkan sikap normal karena ada Rendra. Sekarang terlihat jelas kalau perempuan itu tengah menahan kesal.
Jadi, Awan tidak mau banyak berulah dan memilih untuk menurut. Selesai mengganti pakaiannya, laki-laki itu tanpa kata merebahkan dirinya di tempat tidur karena kakinya sudah terasa lemas.
Mereka ada di kamar apartemennya, omong-omong.
“Sini deketan ....” Awan menepuk bagian kosong di tempat tidurnya. Jennifer mendengus, tapi tetap duduk di sana.
“Jangan maksain lagi ke depannya. Harga diri kamu udah aku habisin pake plester ini tadi.”
Awan tertawa kecil. “Kalau sama kamu, aku gak masalah.”
Jennifer mendengus sekali lagi.
“Tidur.”
“Obat tidurnya belum kamu kasih.”
Jennifer memutar bola matanya malas. Sedang sakit pun laki-laki ini masih kepikiran untuk mencari kesempatan. Padahal status keduanya sudah jelas belum kembali lagi.
“Kamu udah sering ngehadapin aku yang sakit. Jennifer sudah terverifikasi tidak akan tertular demamnya Awan. Aku janji habis itu bakal tidur. Hadiah juga, soalnya aku menang.”
Seolah tidak sadar dengan apa yang ia minta. Awan malah menunjukkan raut seolah tak berdosanya sekarang.
Jennifer menghela napasnya. “Fine, kecup pipi aja.”
“Okay,” balas Awan dengan antusias, tiba-tiba tidak terdengar lemah lagi. Tanpa banyak kata, perempuan itu menundukkan kepalanya, berniat mengecup pipi Awan sesuai apa yang dia ucapkan.
Jika Awan pandai mengalihkan lawannya ketika sedang balapan. Maka, ia juga pandai mengalihkan ke mana tujuan bibir Jennifer akan mendarat.
Jennifer sudah tidak terkejut lagi ketika bibir Awan menyambut miliknya. Suasana antara keduanya semakin didukung dengan laki-laki itu yang membalikkan posisi mereka.
Entah kemana sosok Awna yang lemas karena demam tadi pergi.
“Lanjut?”
“No, that kiss was the last,” ucap Jennifer sembari mendorong Awan dengan pelan, tentu itu tidak membuat laki-laki itu menjauh darinya. Jennifer juga tidak benar-benar berniat menciptakan jarak lebih luas di antara mereka.
“Jangan lupa, kita udah putus,” sambung perempuan itu karena sadar Awan tak berniat mengubah posisinya.
“Ya udah, tinggal balikan. Jennifer, ayo balikan. Ayo pacaran sama aku lagi.”
Entah efek demam atau apa, tapi ucapan Awan itu malah terkesan seperti tak sadar ia ucapkan. Ngaco dan spontan.
Jennifer menggeleng. “Jangan pura-pura lupa. Kamu belum laksanain persyaratan ketiga. Dia masih baik loh sampai rela jemput aku supaya kamu yang lagi sakit ini gak balapan. Walau tetap telat sih, karena rumahku jauh dari lokasi.”
“Harus banget, ya, yang syarat ketiga?” tanya Awan sembari menatap Jennifer dengan memohon. Namun, perempuan yang lebih tua beberapa bulan darinya itu sama sekali tidak luluh.
Jennifer sudah terbiasa menghadapi Awan yang seperti jni.
“You have kissed his girlfriend, Awan.“
“I was drunk that time. Kami sama-sama gak sadar.”
“That's not a reason, kesalahannya kamu adalah gak dengerin aku. Aku bilang buat gak aneh-aneh, tapi kamu tetap mau minum dan akhirnya hak itu kejadian.”
Awan menghembuskan napasnya dan memilih untuk duduk di sisi tempat tidur. Membiarkan Jennifer tetap terbaring.
“Tarendra sama Shanaya udah maafin aku, Jen,” balas Awan.
“Kamu tahu syaratnya bukan cuma itu.”
Bibir Awan melengkung seketika. “Sumpah! Syarat ketiga paling susah, Rendra mana mau nonjok aku.”
Jennifer membalas, “Ya, gak papa. Bukan aku yang rugi.”
Bibir Awan semakin melengkung ke bawah. Dengan pasrah ia berkata, “Ya udah besok aku minta tonjok dia. Sekarang udah, ya?”
“Belum,” jawab Jennifer membuat bahu Awan seperti merosot. Di mata Jennifer sekarang, Awan seperti anak kucing yang meminta makanan.
Tidak heran kenapa Kana memanggil laki-laki itu kitten terus-terusan.
“Oke, apa lagi?”
“Kamu gak boleh minum tanpa izin dariku, terus harus kurangi rokoknya. Kalau mau balapan, jangan gak peduli sama kondisi kamu kayak tadi.”
“Kita ini masih mantan. Kamu kok atur-atur aku kayak gitu?” tanya Awan sedikit kesal. Jennifer yang sekarang, seakan sangat susah untuk ia raih.
Ya, walau salahnya juga sih sudah bersikap bodoh waktu itu.
Jennifer menaikkan kedua alisnya dan menatap pada Awan. “Oh. Jadi, kamu gak mau balikan? Padahal yang aku minta tadi juga buat kebaikan kamu.”
“Jennifer Evelyn, kamu kok gitu sih?” Tanpa sadar Awan merengek. Dia berusaha memeluk perempuan itu, tapi Jennifer tampa beban malah menahan perutnya dengan kaki.
Yap, dengan kaki. Hebatnya, Awan sama sekali tak merasa keberatan.
“Kamu, 'kan, masih sayang aku. Kenapa gak balikan sekarang aja, sih?!”
“Aku mau balikan kalau udah lihat muka kamu lebam karena ditonjok Rendra.”
Ah, kenapa yang ia cium harus pacar Rendra sih? Susah sekali meminta laki-laki itu untuk melakukan kekerasan walau Awan yang meminta sendiri.
Tangan Awan bergerak untuk menyingkirkan kaki Jennifer dari perutnya.
“Besok aku paksa Rendra supaya tonjok aku. Kalau perlu sekalian aku rekam. Sekarang mending kita lanjutin yang tadi, yuk?”
“Gak mau, sekarang kita masih mantanan. Kamu tolong sadar diri, ya! Di dahi kamu itu, masih ada plester demamnya!”
“Tapi, Jen—”
“Jangan protes atau aku tidur di sofa, Awan.”
Keinginan Awan tadi langsung luntur seketika. Ia buru-buru berbaring di sebelah Jennifer.
Masih untung Jennifer mau untuk ia peluk.
Besoknya.
“Rendra, lo harus tonjok gue sekarang juga!”
Ini sudah kesekian kalinya Rendra mendengar kalimat itu semenjak kedatangannya di studio Bisma. Tempat mereka berkumpul malam ini.
Rendra menggeleng dengan keras. “Awan, kejadian itu udah lama! Gue gak lagi marah sama lo. Lagian gue udah bersihin bekas lo dari dia. Jadi, berhenti minta gue buat tonjok lo!”
Tanpa sadar, Rendra membentak Awan karena kesal.
“Please, demi kelanjutan hubungan gue.”
“Gue gak mau! Sana lo jauh-jauh dari gue!”
“Serius, lo harus tonjok gue. Apa perlu gue cium cewek lo lagi supaya lo mau nonjok gue?” tanya Awan tanpa beban sama sekali.
“Si bangsat, malah ngelunjak. Gue bunuh sekalian kalau lo berani kayak gitu,” ucap Rendra dengan penuh penekanan.
Melihat tatapan mata yang Rendra berikan padanya. Membuat Awan tanpa sadar menelan ludahnya dengan susah payah.
“Awan, lo kerasukan plester demam, ya,” celetuk Kana. Membuktikan kalau bukan hanya Rendra yang merasa Awan tidak jelas hari ini.
“Gue butuh tonjokan Rendra supaya Jennifer mau sama gue lagi,” ucap Awan sambil memegang lengan Rendra agar laki-laki itu tidak menghindar darinya lagi.
“Bacot, gak mungkin Jennifer minta kayak gitu. Gak usah sok dramalah!” Tampaknya Rendra sudah berada di ambang kesabarannya.
“Banyak omong! Sini gue aja yang tonjok lo!” Entah sejak kapan, tapi Bisma sudah ada di dekat Awan.
Sesuai ucapannya, Bisma langsung menyerang Awan dengan menonjok pipinya lumayan keras. Namun tidak hanya Awan, Rendra juga mendapat tonjokannya.
Bisma melampiaskan rasa kesalnya karena mereka berdua sudah merusak konsentrasinya saat mengedit lagi tadi.
Mungkin di lain waktu, Bisma tak akan pernah membiarkan tiga temannya ini untuk memasuki studionya.
“Kok gue juga ditonjok, sih, Bis?!”
“Gue butuhnya tonjokannya Rendra!”
“Lo berdua bisa diem kagak?! Kalau enggak, jangan di studio gue berantemnya. Pergi sana yang jauh! Biar gak ada orang yang repot nguburin lo berdua!”
Kana di pojok ruangan sedang tertawa puas menyaksikan hal itu.
Hoshi as Edward. Sana as Anna. Momo as Emily. Seungyoun as Evan. Zoa as Amy.
tags: arranged married, pregnancy, trust issues, birth scene (implicit), typos
note : disarankan untuk membaca bagian sebelumnya yang ada di bawah tweet ini lebih dulu.
Pagi itu, Anna terbangun dengan perasaan yang sedikit membingungkan. Rasanya sesak tapi ia tak mengerti apa alasannya. Lalu, pada akhirnya Anna kembali menyimpulkan kalau apa yang ia rasakan adalah karena kedatangan Rhea dua hari yang lalu.
“Ah, kenapa harus keingetan sama Rhea lagi, sih?” gumamnya dengan nada kesal.
Anna menoleh ke sisi kirinya. Mata Edward masih terpejam dan tangannya juga terlipat kaku di atas dada. Entah sudah kebiasaan atau apa, semenjak menikah Anna sudah sering mendapati Edward yang tertidur dengan posisi itu.
Mata Anna kemudian beralih untuk melihat jam. Masih ada setengah jam sebelum dia harus membangunkan Edward untuk bersiap.
Perempuan itu bangkit dari tidurnya dan mengikat rambut. Selanjutnya, Anna mengambil pakaian dan pergi ke kamar mandi. Tanpa tahu kalau suaminya itu sudah bangun sejak tadi dan mendengar gumaman yang sempat ia lontarkan.
Untuk sejenak, Edward memandangi pintu kamar mandi yang tertutup itu. Setelahnya, ia berdiri dan keluar dari kamar mereka. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
“Edward,” panggil Anna ketika sudah mendapati keberadaan suaminya. Ia sempat kebingungan karena begitu selesai dengan urusan kamar mandinya, ia tak melihat Edward ada di kamar mereka.
Ternyata laki-laki dengan piyama merah itu sudah ada di dapur. Memunggungi Anna karena tangannya yang sibuk mengaduk masakannya.
“Good morning, Anna. Hari ini, biarin saya yang buat sarapan untuk kita, ya. Kamu cukup duduk di situ.”
“Kamu harus siap-siap buat kerja, Ed. Saya aja yang masak,” balas Anna merasa tak enak. Ia mencoba mengambil alih apa yang tengah Edward lakukan.
Namun laki-laki itu mencegahnya dan menggeleng. Edward tersenyum tipis lalu berkata, “Masakan saya memang gak seenak masakanmu atau mama, tapi saya bisa pastikan kalau ini masih layak untuk dimakan. Jadi, tolong, ya? Biarin saya masakin kamu.”
“Tapi saya perempuan, jadi harusnya saya yang masak buat kita, Ed.”
Mata Edward kembali melihat ke arah nasi goreng yang tengah ia buat. Laki-laki itu mengaduk sebentar lalu mematikan kompornya.
“Di restoran tempat kamu kerja, chef-nya perempuan semua kah?”
Meski bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba Edward ajukan, Anna tetap menjawab, “Enggak, ada beberapa laki-laki. Khususnya buat bagian daging.”
“Nah, berarti bukan hanya perempuan yang 'harus' masak, dong, Na? Lagipula, nasi gorengnya udah jadi. Sana duduk, saya mau hias dulu.”
Anna terdiam. “Ka-kalau gitu, saya buat kopi aja.”
Edward tersenyum dan mengangguk. “Thank you.“
Setelah itu, mereka memakan nasi goreng yang Edward buat bersama. Tak ada percakapan karena terbiasa makan dalam keadaan diam.
“Gimana masakan saya?” tanya Edward.
“Not bad, cuma ladanya kebanyakan. But i still like it. Makasih buat sarapannya, Edward.”
Edward tersenyum puas. “Kembali kasih, Anna.”
“Saya jadi penasaran sama masakan mama kamu,” ucap Anna. Ia memilih membuka topik karena tadi Edward sempat mengatakan kalau ia akan masuk siang.
“Kalau bisa, saya juga mau ajak kamu untuk makan masakan mama. Tapi, saya gak bisa, mama udah lama beristirahat.“
Anna menatap bingung pada yang lebih tua. “Loh? Lalu Nyonya Catherine?”
Baiklah, Edward agak tidak menyukai bagaimana Anna menyebut perempuan itu dengan nyonya.
“She is not my mom. She's just my father's wife, Anna. Lalu kamu tidak perlu memanggilnya nyonya.”
Meski Edward tak pernah menceritakan kisahnya secara gamblang. Namun dari reaksi yang ia keluarkan barusan, Anna bisa memahami kalau hubungan Edward dengan sosok yang Anna ketahui sebagai ibunya itu tidaklah baik.
“Kamu gak suka sama dia, Ed?” tanyanya memastikan dan Edward mengangguk.
“Evan juga sama?”
“Dia mungkin benci sama mereka berdua sampai gak sudi bawa nama papa lagi,” jawab Edward.
Okay.
Anna sekarang juga bisa memahami kenapa Edward dan saudaranya itu memiliki nama belakang yang berbeda.
Menyadari kalau suasana tiba-tiba menjadi canggung. Edward kembali berkata, “Tapi, masakan mamanya Mikhael gak kalah enak. Kapan-kapan kita main ke sana, ya.”
Anna tersenyum tipis dan mengangguk. “Boleh. Kalau masakannya Kak Rhea enak juga?”
Anna membulatkan matanya sendiri. Ia secara spontan mengajukan pertanyaan itu. Melihat Edward yang tak mengeluarkan reaksi apa-apa membuatnya merasa bersalah.
“Ed—”
“Enak, kok. Saya gak bisa bilang gak enak karena dia kerja di restoran mewah sama kayak kamu. Tapi walau begitu, masakan kamu dan mama adalah masakan yang saya suka.”
Tangan Edward mendarat di pipi kanan Anna, mengusapnya pelan. “Hari ini kamu ada rencana apa?” tanyanya.
“Mau ketemu Emily di kafe nanti jam 10, siangnya saya langsung ke restoran.”
Edward mengangguk paham lalu mengecup pipi Anna sekilas. “Saya antar ke kafenya, ya. Sekalian pergi ke kantor nanti. Sekarang saya mau siap-siap dulu.”
Anna tidak bisa menolak.
“Ya udah, Anna. Dia bilang sendiri kalau cuma teman lama, terus kamu khawatirin apa?” tanya Emily setelah Anna menceritakan apa yang menganggu pikirannya.
“Gak tahu,” balas Anna, “aku ngerasa gak enak aja. Takutnya, dibanding aku cemburu, ini lebih ke firasat. Aku gak bisa percaya kalau mereka cuma sebatas teman. Senyum Edward tuh beda kalau sama dia.”
Emily terdiam. Ia mengaduk minumannya dengan asal. Emily tak mengamati secara langsung bagaimana senyuman yang Anna maksud, ia tak bisa asal menyimpulkan.
“Ajak Edward bicara lagi kalau begitu, mau gimana pun jawabannya cuma ada di antara kalian berdua. Bukan di aku,” ucap Emily, “tapi, Anna. Yang aku nilai, Edward itu laki-laki yang memegang tanggung jawabnya.”
“Iya, dia emang memegang. Aku takut dia cuma lihat aku sebagai tanggung jawab, makanya dia bertahan sama aku meski suka sama Kak Rhea,” balas Anna langsung.
Emily meringis, sepertinya ia salah berbicara. Anna sedang dalam pikiran buruknya. Sepositif apa pun kalimat yang Emily keluarkan, perempuan itu akan selalu menangkapnya sebagai hal yang buruk.
“Ly, aku takut kayak dulu.” Kali ini, Anna berucap dengan pelan. Meski hanya satu kalimat, tapi Emily langsung paham ke arah mana Anna membawa pembicaraan ini.
“Anna, mereka adalah dua orang yang berbeda,” balas Emily. Menekankan pada Anna, bahwa Edward tak seperti sosok yang dulu ada di masa lalunya.
“Aku tahu,” ucap Anna, “tapi, kemungkinan dia bakal jenuh sama sikapku itu bakal selalu ada, Emily.”
“Anna, situasinya berbeda. Dulu kamu dan dia cuma pacaran, tapi kamu dan Edward sekarang sudah menikah.”
“Edward suka sama Kak Rhe—”
“Anna, jangan asal menyimpulkan.” Emily secara terpaksa memotong. Anna jika sudah dikuasai dengan pikiran buruknya sulit untuk dikendalikan.
Namun, ini juga bukan sepenuhnya salah Anna. Dia yang dulu selalu disertai dengan segala hal positif kini berubah semenjak orang itu meninggalkannya. Jika bertemu lagi, ingatkan Emily untuk memukul orang itu. Sampai pingsan kalau perlu.
Hening terjadi di antara keduanya karena Anna tak membalas lagi. Perempuan itu melamun dan Emily memutuskan untuk memberinya waktu.
“Natalie apa kabarnya? Kok gak diajak ke sini?” tanya Anna, mengalihkan pembicaraan.
Emily yang tiba-tiba ditanya mengenai anaknya itu tak langsung membahas. “Ah, sebenarnya Aiden lagi ngasih aku me time gitu. Jadi dia inisiatif buat jaga Nata di rumah hari ini, mau pakai jatah cuti katanya.”
Anna mengangguk paham. Kemudian memandang temannya itu dengan ragu. Cukup lama sampai Anna memberanikan diri untuk mengajukan satu pertanyaan lagi.
“Emily, kamu sama Aiden sebelum menikah, 'kan, udah pacaran lama. Bukan bermaksud menyinggung, tapi kenapa kalian bisa bertahan sampai sejauh ini?”
Emily terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang akan ia berikan pada Anna. Berharap itu setidaknya bisa memotivasi sahabatnya.
“Aku sama Aiden nyaris batal nikah sebenarnya, Na, karena ngerasa jenuh. Terus mungkin udah jalannya buat aku sama dia untuk sama-sama. Dulu gak ada alasan khusus kenapa kami mutusin supaya pernikahan itu tetap terjadi, tapi kami sama-sama ngerasa kalau kami bakal lebih gak bisa kalau pisah. Lalu semuanya berjalan sampai Natalie udah tiga tahun sekarang.”
Hening sesaat, Emily mengambil jeda dan Anna memilih tetap diam karena tahu sahabatnya itu belum selesai bicara.
“Selama sama Aiden, aku menangkap satu hal. Untuk jatuh cinta, itu terbilang mudah. Bagaimana mempertahankan untuk tetap saling mencintai, itu yang agak susah. Setiap kami menemui masalah. Baik aku atau Aiden selalu berusaha buat mendengar terlebih dahulu. Nanti kita tahu harus ambil langkah apa, Na.”
Anna menatap pada Emily. “Kalau satu pihak malah gak memperdengarkan, gimana?”
“Kita selalu punya hak untuk bertanya.”
Ucapan Emily di hari itu, semakin membuat Anna larut dalam pemikirannya sendiri.
Ketika jam kerjanya selesai, Anna mendapat Edward dan Rhea tengah bersama di depan mobil Edward. Ini bukan ketidaksengajaan, Anna mengetahui kalau Rhea menginginkan untuk ikut menjemputnya. Entah apa alasan perempuan itu, yang pasti Anna tak menyukainya.
Namun di sisi lain, ia tak bisa langsung melarang Edward mengingat bagaimana peran Rhea untuk suaminya itu. Anna hanya berharap kalau Rhea akan segera kembali ke negara tempatnya tinggal sekarang.
Edward tersenyum tipis dan menghampiri Anna. Ia merangkul pinggang istrinya dan bertanya, “Lelah?”
Anna menggeleng. “Gak terlalu.”
“Malam, Anna. Saya gak sangka kamu kerja di restoran ini. Bagian apa kalau boleh tahu?” sapa Rhea dengan akrab.
“Pastry.”
Rhea terlihat kagum. “Ah, apa dessert yang saya makan tadi buatan kamu?”
Anna bahkan tidak tahu perempuan ini memesan apa. Seolah paham dengan isi pikiran Anna, Rhea kembali berkata, “Aku makan chocolate cake tadi.”
Baiklah, Anna memang membuat itu. Akhirnya ia mengangguk. Wajah Rhea terlihat cerah seketika.
“You are a great pâtissière!”
Tak dapat ia elak, mendapat pujian akan hasil masakannya membuat Anna senang. Perempuan itu tersenyum gugup dan mengangguk. “Thank you!“
“Udah? Ayo pulang sebelum makin larut,” ucap Edward seraya membuka pintu mobil lalu mempersilahkan Anna untuk masuk.
“Kalian berdua masih bisa mengobrol lain kali. Let my wife rest, Kak. Masuk ke mobil sana,” balas Edward seraya masuk ke mobil menyusul Anna. Membiarkan Rhea di luar sendiri.
“What? You are not sweet to me anymore!“
“Take it or leave it, Kak. I'm a husband now.“
Wajah Anna tanpa dia sadari memerah begitu Edward mengatakan itu. Edward menyalakan mesin mobilnya, membuat Rhea buru-buru masuk dan duduk di kursi belakang.
“Kamu tadi bilang kalau Anna harus beristirahat. Terus barusan kamu bilang kalau kamu suaminya. Are you trying to tell me that you won't let Anna 'rest' tonight?“
Kedua orang yang lebih muda darinya itu terbatuk secara bersamaan, tersedak ludahnya sendiri alias salah tingkah. Rhea tak bisa untuk tak tertawa menyaksikan hal itu.
“Kak Rhea ... orang yang asik,” ucap Anna ketika mereka berdua sudah mengantarkan Rhea. Perjalanan singkat mereka malam ini juga obrolan yang ada di dalamnya, membuat semua pikiran buruk Anna tentang Rhea luntur seketika.
Edward tersenyum tipis. Lega karena ia berhasil menyingkirkan keraguan Anna kepadanya akibat kehadiran Rhea. Rencana yang sudah ia pikirkan sejak mendengar gumaman Anna tadi pagi.
“Iya, itu alasan kenapa aku sama Evan dekat sama dia.”
Anna mengangkat kedua alisnya. “Evan juga kenal Kak Rhea?”
Edward mengangguk. “Tentu, tapi kalau lebih dekat itu memang saya. Evan, 'kan, ikut mama dulu. Jadi gak bisa sering ketemu.”
Anna mengangguk paham sebagai balasan.
“Na, saya sama Kak Rhea memang dekat tapi bukan berarti saya berharap dia bisa menjadi pasangan saya—jauh sebelum kehadiran kamu pun, saya tidak pernah memikirkan hal itu.”
Edward berucap dengan penekanan di setiap katanya. Laki-laki itu masih fokus menatap jalanan.
Anna menunduk, memainkan jari-jarinya. Merasa bersalah karena ia baru menyadari kalau Edward sebenarnya tahu dengan pemikiran tak benarnya.
Lampu merah yang menyala seakan memberi kesempatan pada Edward untuk menatap pada istrinya. Laki-laki itu tersenyum tipis dan meraih sebelah tangan Anna.
“Edward, i'm sorry. Saya malah berpikiran yang gak benar, harusnya saya tanya baik-baik ke kamu. Semenjak waktu itu, saya jadi banyak meragukan orang-orang—bahkan termasuk kamu.”
“Tak apa, saya juga minta maaf karena lambat menyadarinya.”
Langkah mereka berhasil keduanya buat untuk kembali searah.
“It's almost midnight, Kak!” protes Edward ketika sosok Rhea muncul di layar laptopnya. Ia tadinya sedang mengetik artikel yang ia tulis dengan nama lainnya. Pekerjaan sebagai arsitek kadang membuat Edward jenuh, dan ini adalah salah satu cara Edward untuk mengatasi kejenuhan itu.
“Besok aku akan kembali ke Italia, penerbangannya pagi. Tadi sebenarnya aku iseng, sih. Tahunya kalian berdua belum tidur.”
Anna memang belum tertidur, tapi ia tiduran beralaskan paha Edward. Memperhatikan bagaimana suaminya itu menulis artikel yang ia coba buat. Anna juga yang membujuk Edward agar mau menerima ajakan video call Rhea karena yang lebih tua memang menghubunginya, bukan Edward.
“Anna, apa Edward ngebuat kamu capek lagi malam ini?”
Anna dengan kaku merubah posisinya menjadi duduk. “Enggak kok, Kak! Memang lagi males-malesan malam ini,” jawabnya dengan sedikit terburu.
Edward terkekeh. “Privas—ah wait.”
Tanpa memberikan penjelasan. Edward berlari kecil menuju kamar mandi, meninggalkan kedua perempuan yang sama-sama memiliki peran penting di kehidupannya itu.
“Ke mana dia?” tanya Rhea pada Anna.
“Kamar mandi, Kak,” jawab Anna begitu melihat pintu kamar mandi mereka yang ditutup.
“Kebelet, ya.”
Anna hanya tertawa kecil menanggapi itu.
“Kamu mau tahu sesuatu gak, Na?”
“Apa, Kak?”
“Dulu sebelum aku pergi untuk kuliah. Aku sama Edward sempat membuat janji. Janjinya itu, Edward akan menunggu aku buat pulang dan kami akan kembali sama-sama.”
Wajah Anna yang semula cerah, menjadi redup kala Rhea menghentikan ucapannya. Senyumnya luntur dan ia tak memperdulikan itu akan disadari oleh Rhea atau tidak.
“Nyatanya Edward ngelanggar janji itu,” sambung Rhea dengan tawa yang pahit. “Aku pulang dia sudah punya kamu. Aku gak tahu gimana ibunya Mikhael sama ibumu bisa ngebujuk dia supaya mau menikah sama kamu. Aku juga gak tahu kenapa kamu mau nerima dia.”
Anna tetap diam, tak memberi tanggapan sama sekali. Namun, pemikirannya sukses dibuat penuh.
“Meski keluarganya gak berjalan mulus, tapi Edward tetap tumbuh dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Mungkin dia gagal dalam mempertahankan janjinya sama aku, tapi itu bukan berarti dia melihat kamu tidak lebih dari tanggung jawabnya, Anna. Kamu bisa melihat sendiri, 'kan, dia lebih terbuka sama siapa?”
Rhea terlihat menyandarkan dirinya. “Ya tapi mau gimana lagi. Sekarang semuanya udah kayak gini. Edward gak mungkin ninggalin kamu karena kamu tanggung jawabnya dia.”
“Kak—” Anna menarik kembali perkataannya kala mendengar suara pintu yang dibuka. Edward datang seraya merapihkan piyamanya.
“Sorry, kebelet hehe,” katanya dengan ringan.
“Kamu ini, kasian Anna bingung tiba-tiba ditinggalin sama kamu. Lain kali kasih aba-aba deh, biar dia gak bingung.”
Anna paham dengan jelas kalau secara tak langsung ia baru saja diremehkan. Dia menyesal sempat menyukai Rhea kemarin-kemarin, karena pada kenyatannya perempuan itu sama sesuai dengan dugaannya.
Namun, apa yang Rhea bicarakan pada Anna malam itu sama sekali tak Anna katakan pada Edward. Bahkan di hari-hari berikutnya.
Pagi hari yang lain, Anna kembali terbangun dengan rasa yang tidak enak. Kali ini bukan sesak, tapi mual.
Bayangkan saja ketika nyawamu bahkan belum terkumpul, tapi kamu sudah harus memuntahkan isi perutmu. Anna sangat tidak menyukai keadaan ini.
Edward ikut terbangun dan memijat tengkuk Anna. Matanya menatap khawatir pada yang lebih muda. Tangannya yang lain membantu Anna untuk menyingkirkan rambut coklat madunya agar tak terkena muntahan.
“Ayo ke rumah sakit, Na,” ajak Edward setelah memberikan Anna segelas teh hangat.
Anna menggeleng. “Gak perlu, Ed. Ini mungkin karena semalam saya gak sempet makan. Nanti juga bakal baikan.”
“Kalau gitu, saya berangkat siang aja.”
Sekali lagi, ia diberikan gelengan oleh istrinya itu. “Gak perlu, Edward. I'm fine.“
Edward menghela napasnya. “Baiklah, tapi tolong kabari saya kalau ada apa-apa.”
Anna mengangguk sebagai jawaban. Perempuan itu menatap kosong pada segelas teh yang ada di genggamannya.
Kalimat Rhea waktu itu yang sudah Anna coba lupakan. Kini tiba-tiba terlintas kembali dalam pikirannya.
“Edward, saya mau tanya sesuatu.” Edward tak berkata, tapi ia memberi tanda agar Anna kembali melanjutkan kalimatnya.
“Apa benar sebelum Kak Rhea pergi kuliah, kamu dan dia sempat berjanji buat bersama?”
Hening melanda keduanya. Edward terlihat tidak menyangka dengan pertanyaan yang Anna berikan. Laki-laki itu terlihat kaku seketika.
“Anna, saya yang buat sarapan hari ini, ya. Kamu diam dulu di sini,” ucap Edward tak menjawab sama sekali apa yang Anna ajukan.
Laki-laki itu dengan sedikit terburu pergi dari kamar mereka. Meninggalkan Anna yang berhasil ia buat tenggelam dalam pemikiran yang tak mendapat kepastian.
“Kamu bilang apa ke Anna sih, Kak?”
“Uhm ... sedikit kenyataan?”
“Kita udah pernah bicarain soal itu, Kak Rhea. Kamu juga udah nerima itu.”
“Aku cuma nerima setengah hati. Kamu menerima dia, aku gak suka itu.”
“Anna istri aku.”
“Aku tahu. Dia memang istri kamu, tapi apa dia orang yang kamu sayang? Bukan, itu aku.”
Edward mendengus, wajahnya sedikit memerah karena kesal. Laki-laki itu mematikan sambungan teleponnya tanpa berbasa-basi. Lalu menonjok tembok di depannya.
“Kenapa, sih?” tanya Evan.
“Kak Rhea.”
Evan memberikan tawa remeh. “Aku udah sempat bilang belum, sih? Rhea itu sedikit obsesi sama yang dia mau. Dulu supaya bisa ke Italia juga dia banyak dramanya, 'kan?”
Edward menghela napasnya. Apa yang Evan katakan bukan omong kosong. Edward juga sudah menduganya, tapi ia kira Rhea sudah lebih belajar semenjak pergi ke sana. Mengingat bahwa sikap perempuan itu ramah pada Anna.
Nyatanya, itu hanya di hadapan Edward saja. Entah apa saja yang sudah Rhea katakan hingga keraguan Anna yang berhasil ia singkirkan kini kembali melanda istrinya itu.
“Kali ini dia kenapa?” tanya Evan. Jujur, ia sedikit terkejut mendapati Edward yang mendatangi huniannya. Meski keduanya adalah saudara kembar, semenjak kedua orang tua mereka bercerai mereka jarang terlibat obrolan.
“Aku gak tahu apa yang udah Kak Rhea omongin ke Anna, yang jelas dia sekarang ngeraguin aku.”
“Anna gak menyinggung satu hal pun?”
“Ada. Dia sempat tanya tentang janji aku sama Kak Rhea.”
Evan memiringkan kepalanya. “Terus kamu jawabnya?”
“Aku gak jawab apa-apa.”
“Tolol.”
Edward mengernyit mendengar itu.
“Kamu kenapa ke sini? Pergi sana, jelasin semuanya ke Anna,” ucap Evan lalu menarik tangan Edward yang semula tengah bersandar pada tembok.
“Aku harus jelasin apa ke Anna?”
“Ed, kamu ini arsitek. Udah banyak bangunan yang kamu rancang, bahkan rumahmu sekarang aja kamu yang bangun. Semua itu percuma kalau kamu masih tolol,” ucap Evan.
“Kamu kenapa ngatain aku terus, sih?!”
“Astaga, Edward tolol Kwon—ah udahlah! Sekarang kamu pergi dari rumahku dan jelasin semuanya tentang Rhea dan ungkapin gimana perasaan kamu.”
Edward akhirnya bisa memahami apa maksud Evan. Laki-laki itu menggeleng, menahan diri agar gagal untuk Evan dorong menuju pintu utama rumah adiknya itu.
“Tapi, Ev—”
“Sekarang atau kamu bakal lihat Anna pergi dari kamu, Edward. Kamu tuh harus berani buat ngasih tahu kebenarannya, jangan dipendem. Kamu mau kayak mama sama papa dulu?”
Dengan kalimat Evan itu, Edward langsung melangkahkan kakinya secara mantap untuk segera pulang ke rumah.
Rumahnya dan Anna.
Sepanjang perjalanan, Edward sudah menyiapkan kata-kata yang akan ia berikan pada Anna. Namun, begitu melihat perempuan itu ada di hadapannya membuat nyali Edward ciut seketika.
Ia tak pernah menempatkan dirinya akan ada di posisi ini. Pada Rhea pun, sebenarnya ia tak menjanjikan bersama dalam arti hidup sebagai pasangan. Namun, tetap menjalani hubungan yang terjalin di antara mereka sebelumnya. Dulu, Edward sama sekali tak berpikir untuk memiliki hubungan, terlebih sebuah pernikahan.
“Anna, saya—”
“Edward, saya mau kita pisah,” potong Anna membuat Edward merasa dijatuhi batu besar tepat di atas kepala.
“Ke-kenapa?”
“Saya gak mau menghalangi kamu sama Kak Rhea. Kalian berdua lebih saling memahami, dia lebih cocok untuk kamu.”
Edward menggelengkan kepalanya dengan ribut. Mata Anna membulat ketika Edward jatuh terduduk secara tiba-tiba. Namun, ia memilih untuk tegas kali ini dan mengabaikan hal itu.
“Pernyataan Kak Rhea lalu pertanyaan saya yang gak kamu jawab, itu seakan melekat satu sama lain. Kamu gak mengelak, kamu menghindar seolah itu adalah kenyataan yang kamu takut akui di hadapan saya. Sekarang, saya permudah jalan kalian berdua dengan mengajukan perpisahan ini.”
“Anna, tolong ... saya gak mau.”
“Saya bisa paham kamu gak mau karena melihat saya sebagai tanggung jawab kamu dengan menjadi istri kamu. Tapi ini saya yang mengajukan, saya tak keberatan dan nanti kamu tak lagi mempunyai tanggung jawab yang akan menghambat hubungan kamu sama Kak Rhea.”
“Enggak, Anna. Bukan itu yang saya mau. Bukan itu yang harus kamu pahami.”
“Lalu apa?! Kamu selalu diam dan ngehindar, Edward! Saya bingung kamu ini maunya apa!”
Nada suara Anna meninggi, tapi perempuan itu tak peduli.
“Kita sudah lama menikah, kontak fisik di antara kita juga udah jauh—saya udah percaya sama kamu. Tapi kenapa saya masih harus tahu tentang kamu dari orang lain?!”
Edward diam, membiarkan perempuannya itu melampiaskan amarahnya.
“Saya pikir, kita bisa lebih baik, Ed. Saya pikir apa yang saya terima dari dia gak akan saya dapatkan dari kamu. Meski berbeda, tapi kalian sama-sama tak mau mengakui apa yang sebenarnya kalian rasain ke saya hanya karena terikat hubungan.”
Dia.
Edward sampai sekarang masih tak tahu siapa dia yang Anna maksud. Namun, ia beberapa kali sudah mendengar kisah antara mereka. Hal yang sebelumnya membuat Anna ragu untuk menerima pernikahan mereka.
Anna menjongkokkan dirinya dan menutupi wajah dengan kedua tangan. Bahu perempuan itu bergetar dan Edward tak bisa menahan dirinya untuk tak mendekat.
“Anna ... maaf.”
Kepala Anna menggeleng, menolak permintaan maaf suaminya itu. Edward memeluk Anna, meski sempat menolak tapi pada akhirnya perempuan itu membiarkan Edward memeluknya.
Cukup lama keduanya ada di posisi itu. Hingga akhirnya tubuh Anna menjadi lemas dan kepalanya bersandar pada bahu yang lebih tua.
Awalnya Edward mengira Anna ketiduran sehabis menangis. Namun, ketika ia mencoba untuk membangunkannya, Anna tak kunjung memberi reaksi, bahkan napasnya pun terasa lambat.
“Anna, astaga.” Dengan sigap, laki-laki itu menggendong yang lebih muda. Segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
“Jangan biarkan dia mempunyai banyak pikiran bahkan sampai stress. Kehamilannya masih ada di awal trimester pertama, masih rawan mengalami keguguran. Tolong jaga dia baik-baik.”
Edward mengerjapkan matanya beberapa kali usai dokter yang memeriksa Anna berkata demikian.
Kehamilan?
“Ha-hamil?”
Dokter itu mengangguk. “Ah, apa kalian sebelumnya belum periksa soal ini?”
Edward menggeleng. “Belum, Dok.”
Kenapa Edward tak bisa menangkap kalau Anna yang muntah-muntah setiap pagi adalah gejala kehamilan? Seketika rasa bersalah kembali mengerubunginya. Kalau tahu lebih awal, mungkin Edward akan lebih berani dalam menjelaskan.
“Selamat, Pak. Istri Anda tengah mengandung. Selain apa yang saya katakan tadi, tolong untuk lebih memperhatikan pola makan dan asupan nutrisinya mulai sekarang.”
Edward mengangguk. “Sekarang dia baik-baik aja, 'kan, Dok?”
“Iya, dia hanya kelelahan dan sepertinya belum makan sama sekali.”
“Dia pagi tadi makan, Dok. Tapi tidak banyak. Kalau dia baik-baik juga?”
“Iya, bayi kalian juga baik.”
Edward tanpa sadar menghembuskan napasnya lega. Ia kemudian bertanya, “Sekarang apa saya sudah boleh melihat, Anna?”
“Silahkan, tapi biarkan dia untuk beristirahat dulu. Saya akan menuliskan resep obatnya, nanti akan saya serahkan pada kamu.”
Edward mengangguk. “Terima kasih banyak, Dokter.”
“Sama-sama.”
Edward membuka pintu ruang rawat Anna secara perlahan. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya, bukan karena ia merasa antusias untuk memberitahukan kabar tadi kepada Anna. Namun, karena ia merasa takut.
Apakah Anna tetap ingin mereka berpisah dan akan memutuskan untuk merawat anak mereka sendiri?
atau
Jika mereka masih diberi kesempatan untuk bersama. Akankah ia sanggup menjadi seorang ayah tanpa membawa bagaimana sikap ayahnya dulu padanya?
Mata Anna masih terpejam, tapi tampaknya kini ia tertidur. Edward duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang yang Anna tempati. Laki-laki itu mengelus tangan Anna sekilas, sebelum mengeluarkan ponselnya dari saku. Edward menelepon seseorang.
“Halo, Ed? Gimana?”
“Evan, Anna hamil.”
“Wow, congratulations, Ed! Aku gak nyangka kalau anakku sama anakmu umurnya bakal dekat.”
Edward terdiam. Ia menatap Anna dengan kosong. “Aku gak yakin aku bisa, Ev.”
“Loh? Tapi kamu beneran sayang sama Anna, 'kan, Ed?”
“Iya, Evan, aku sayang sama Anna. Kami udah ngelewatin banyak waktu berdua, gak mungkin aku gak naruh hati ke dia. Aku gak yakin kalau aku bisa jadi seorang ayah yang baik, yang bisa anaknya anggap sebagai pelindung. Aku takut, Evan.”
“Kamu bisa, Edward. Selalu bisa, kamu gak perlu memikirkan yang tidak-tidak.”
Edward meremat ponselnya tanpa sadar. Laki-laki itu menunduk.
“Kamu sadar, 'kan, Ev? Buat kita menjalani hubungan setelah nyaksiin gimana hubungan orang tua sendiri hancur itu agak susah. Kamu mungkin bisa lebih cepat dari aku karena kamu bisa memahami perasaanmu sendiri. Kamu tumbuh bareng mama yang selalu pengertian. Sementara aku sama papa ... dan keluarga barunya.”
“Edward, aku paham. Tapi terkadang itu cuma pikiran kita sendiri. Dulu ketika tahu Beby hamil pun, aku kepikiran hal yang sama kayak kamu. Aku tumbuh bareng mama dan papa gak layak untuk aku jadiin panutan untuk anakku nanti. Namun, seiring kehamilannya Beby, aku banyak belajar dan merasa. Tanpa sadar, sekarang aku malah ngerasa siap kalau bayi dalam perut Beby lahir.”
“Biarin semuanya berjalan, Ed. Jangan biarin pikiranmu ngehambat langkah kalian berdua”
“Evan, Anna tumbuh di keluarga yang hangat. Aku gak yakin kalau dia tetap mau bertahan ketika anak kita lahir nanti.”
“Kamu jangan ngesugesti diri kayak gitu dong, Ed. Pikirin yang baik-baik supaya dirimu sendiri yakin. Daripada kamu ngobrol sama aku dan ngebuat kamu makin mikir aneh, mending matiin telepon ini dan merenung, Kak Edward.”
Evan berkata dengan penekanan, bahkan memanggilnya dengan kakak. Laki-laki itu serius dan mematikan teleponnya tanpa aba-aba.
Edward menarik napasnya dalam-dalam. Dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menatap kakinya sendiri dengan lekat. Memikirkan semuanya baik-baik, sebisa mungkin menyingkirkan pikiran buruk yang menghinggapinya.
Edward mendongak untuk melihat keadaan Anna. Matanya tanpa sadar membulat begitu melihat mata Anna yang semula terpejam kini telah terbuka dan menatapnya lurus.
Edward secara spontan berdiri. “Sebentar, Anna. Saya panggilkan dokter dulu.”
Anna tak membalas. Namun ketika tangan Edward bari meraih pegangan pintu, suara Anna menyapa pendengarannya.
“Edward, saya gak akan biarin anak saya lahir tanpa ayah. Jadi, tolong untuk menerima peran baru kamu yang satu ini.”
Katanya.
Kehamilan Anna berlangsung dengan sedikit kaku. Anna tak berusaha seperti dulu dan Edward merasa sedikit canggung karena sadar kalau Anna mendengarkan obrolannya dengan Evan pada malam itu di rumah sakit.
Hari ini, Edward pulang dengan dua potong kue coklat dan susu kotak rasa vanilla yang Anna inginkan. Tadi siang Anna mengiriminya pesan untuk membeli dua makanan itu.
Omong-omong, istrinya itu memang sudah tidak bekerja di restoran lagi. Kafenya telah selesai dibangun dan sesuai rencana awal mereka, Anna akan berhenti sebulan sebelum kafe dibuka.
“Ini kue coklat dan susunya, Anna. Maaf saya cuma bisa beli dua potong karena hanya itu yang tersisa.”
Anna tersenyum dan mengangguk. “Thank you, Ed.”
“Sama-sama, saya mau bersih-bersih dulu, ya.”
“Eh tunggu! Kamu boleh bersih-bersih setelah ngehabisin kuenya,” jawab Anna setelah mengambil susunya, ia kembali mendekatkan kantung berisi kue itu pada Edward.
Edward meneguk ludahnya gugup. Kue cokelat yang Edward beli itu, rasanya manis dan Edward tak yakin bisa menghabiskannya. Terlebih ini ada dua potong.
“Tapi, Na—”
Anna menggeleng, memberi tanda kalau ia tak menerima penolakan sama sekali.
“Habisin, Ed. Dia mau lihat ayahnya makan makanan manis. Masa ibunya pastry chef tapi ayahnya gak suka makanan manis?”
“Baiklah,” jawab Edward pasrah. Ia mendudukkan dirinya lalu dengan sekuat tenaga mencoba menghabiskan dia potong kue itu.
Tak hanya itu yang terjadi ketika kehamilan Anna tengah berlangsung. Meski kadang keduanya akan sangat kaku, tapi ada beberapa momen yang mereka lewati dengan rasa lega.
Pembukaan kafe Anna, kembali mendatangi festival yang sempat keduanya kunjungi di awal pernikahan dulu, memasak bersama, hingga menghabiskan waktu seharian dengan malas-malasan dan masih banyak lagi. Yang jelas, Edward berhasil membuat Anna menikmati masa kehamilannya.
Namun, memasuki trimester ketiga akhir. Sikap Anna sedikit berbeda. Sebelum-sebelumnya, perempuan itu tak pernah menunjukkan kalau ia tak ingin jauh dari Edward. Namun di hari itu, Anna terus menempelinya bahkan membuat Edward mau tak mau mengambil cuti.
Padahal sebelumnya ia sudah mengajukan cuti di tanggal perkiraan Anna akan melahirkan. Anna benar-benar tak mau menjauh dari Edward meski terlihat jelas kalau ia sedang tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri.
Edward mengusap perut Anna perlahan. “Kamu gak pusing?” tanyanya dengan lembut, berharap kali ini ia tak mendapati penolakan dari Anna.
“Sedikit,” jawab Anna seraya merapatkan tubuhnya pada Edward. Rasanya mau bagaimana pun posisi tubuhnya, Anna tetap merasa tidak nyaman. Meski menjawab sedikit, tapi kepalanya terasa berputar. Perutnya mulas, belum lagi pinggulnya terasa pegal luar biasa.
Tangan Anna meremat baju yang dikenakan Edward tanpa sadar. Dahinya mengernyit merasakan mulas pada perutnya. Edward mengusap perut Anna, lalu beralih pada punggungnya. Berharap itu bisa membuat istrinya sedikit lebih rileks.
Tangan Edward berhenti di pinggul istrinya itu ketika menyadari sesuatu. Apakah Anna akan melahirkan? Tapi ini masih seminggu sebelum tanggal perkiraan.
Semua tangan Anna yang meremat berganti menjadi mencengkeram pakaian Edward. Anna meringis dan Edward tentu menyadarinya, ditambah dengan cengkeraman Anna yang lumayan kuat.
“Ed, perut sa-saya sakit.”
Edward menegakkan tubuhnya. Ia meraih tubuh Anna untuk digendongnya. Rasa panik melingkupi dirinya, tapi Edward tetap berusaha agar tenang.
“A-ayo ke rumah sakit, Anna.”
Untung Edward masih bisa mengendalikan diri hingga ia berhasil mengendarai mobilnya dengan selamat sampai rumah sakit.
Sesuai dugaan Edward, Anna memang akan melahirkan. Dokter bilang mereka perlu menunggu lima pembukaan lagi. Air ketuban Anna pecah ketika ia sudah dibaringkan di ruangannya.
Mereka menunggu, Edward sama sekali tak melepaskan genggamannya pada Anna. Kini, Anna sampai di tahap di mana ia merasa seolah-olah kontraksi terjadi terus menerus.
Semakin lama ia merasakan tekanan kuat di pinggul, begitu pula pada bagian bawahnya disertai dorongan untuk mengejan. Sekujur tubuhnya terasa panas lalu ia mengeluarkan keringat dingin. Tubuhnya terasa semakin lemas.
Di kala itu, ia bisa merasakan sentuhan Edward pada tubuhnya. Dahi Anna dikecup dan dengan lembut laki-laki itu berbisik, “Kamu wanita hebat, Anna. Saya percaya kamu pasti bisa untuk melahirkannya.”
Anna rasa ia tak bisa membuka matanya kagi karena rasa sakit yang ia rasakan. Perutnya semakin terasa mulas dan seperti ada tekanan ke bawah. Namun, ia merasa frustasi karena tak kunjung mendengar intruksi untuk mengejan di saat dorongan ke arah sana sudah muncul.
Elusan yang Edward beri tak lagi mempengaruhi dirinya. Ketika dokter sudah memasuki ruangan dan mengatakan kalau pembukannya sudah sempurna. Anna tak bisa mengingat apa pun selain rasa sakit yang ia rasa.
Namun, ia tetap tahu kalau Edward ada di sana. Sama sekali tidak melepaskan genggamannya. Membiarkan tangannya menerima rasa sakit karena dicengkeram kelewat erat.
Edward menerimanya karena tahu kalau apa yang Anna rasakan jauh lebih menyakitkan.
31 Mei adalah hari yang membuat Anna merasa hidupnya nyaris berakhir. Napasnya masih sulit ia kendalikan ketika tangisan kencang memenuhi ruangan itu.
Pandangannya memburam tanpa ia sadari. Air matanya memang sudah keluar dari tadi karena sakit yang ia rasa. Namun kali ini alasan air matanya adalah tangis anaknya itu.
Anna berhasil.
Ketika bayinya itu selesai dibersihkan dan diberikan padanya untuk disusui. Perasaan yang tak bisa ia deskripsikan itu datang lagi.
Anna menatap hangat pada bayi perempuan itu. Sedikit tak mempercayai kalau ia adalah orang yang telah melahirkan anak rupawan ini.
Anna mendongak untuk menatap Edward. Suaminya itu memang selalu di sisinya sejak tadi. Namun kini dia malah berdiri dengan kaku sembari memperhatikan bayi dalam gendongannya.
“Ed, duduk dulu,” ucap Anna, ia setidaknya bisa memahami kenapa Edward bereaksi demikian. Memang Anna yang melahirkan, tapi ia melewati proses itu dengan mata terpejam. Sedangkan Edward, melihat semuanya.
Edward dengan canggung menurut. Lalu menarik napasnya dalam-dalam.
“Ed, kalau gak ada dia mungkin sekarang kita gak akan pernah ada di dalam ruangan yang sama lagi,” ucap Anna dengan lembut. Memandang kagum pada bayi yang kini kembali tertidur itu.
“Kamu mau kasih dia nama apa?” tanyanya.
Sebenarnya, Edward sudah memikirkan beberapa nama. Namun, ketika ditanya secara langsung begini membuatnya menjadi gugup.
Terlebih keduanya memang tidak mendiskusikan soal nama. Anna memintanya untuk memikirkan hal itu sendiri, entah apa alasannya.
Edward menatap Anna dan bayi mereka secara bergantian. Lalu dengan pelan dia berkata, “Saya berharap dia akan mendapat banyak kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya kelak—terlebih dari kita berdua.”
“Namanya Amy, Amy Kwon,” sambung Edward kali ini terdengar lebih tegas.
“Amy?” tanya Anna memastikan dan Edward mengangguk.
“Amy artinya penuh cinta kasih, saya berharap dia akan mendapatkannya.”
Anna mengusap pelan pipi anaknya itu, sangat pelan. “Welcome to this world, Amy. I hope we can make you see us as a home where you can rest and feel safe.“
Edward tanpa sadar tersenyum tipis mendengar itu.
“Kita mungkin bisa wujudin harapan kamu itu kalau kitanya juga saling menyayangi, Ed.”
“Memang selama ini gak kerasa, ya, Na?”
Anna tersenyum geli, tak bisa menggoda Edward lama-lama. “Terasa, kok. Kamu mau coba gendong Amy gak?”
“Eh? G-gak perlu. Saya takut bakal nyakitin dia.”
“Gak akan, Ed. I believe you will be a good father who will always protect Amy. Coba dulu, ya?”
Melihat tatapan Anna yang begitu berharap padanya membuat Edward mengangguk dengan kaku. Anna menatap pada suster yang masih berdiam di ruangan mereka, memberi isyarat lewat tatap agar perempuan dengan seragam putih yang khas itu membantunya untuk memindahkan Amy ke gendongan Edward.
Begitu makhluk kecil itu pindah ke dalam gendongannya. Air mata yang sejak tadi berusaha Edward tahan karena tak ingin membuat Anna merasa tertekan saat melahirkan, kini tak bisa ia tahan lagi.
Amy masih sangat kecil, tapi ia sudah terlihat luar biasa dalam pandangannya. Edward mengusap kasar wajahnya, takut air matanya ikut menetes pada makhluk kecil dalam gendongannya.
“Kok malah nangis, Ed?”
Edward tersenyum tulis, tindakannya sebelumnya berakhir percuma karena kemudian ia gagal menahan air matanya lagi.
Edward menarik napasnya, berusaha untuk menghentikan air matanya agar berhenti mengalir. Laki-laki itu mendongak dan mempertemukan matanya dengan Anna.
Ia kemudian memilih untuk menjawab pertanyaan Anna yang sempat ia gantungkan tadi. Edward menatap lekat pada istrinya itu.
“Terima kasih untuk semuanya, Anna. Saya akan selalu mensyukuri kehadiran kalian berdua dalam kehidupan saya.”
Anna tersenyum tipis. “Kembali kasih, Edward. Saya juga bersyukur untuk itu.”
“Anna, kamu mau tahu apa yang ada di pikiran saya sejak tadi?” tanya Edward.
“Apa?”
“Saya gak pernah menduga akan memiliki anak semengagumkan ini dari seseorang sesempurna kamu, Anna.”
Sorry for typo(s).
—honeyshison.
tags: character crossover, kosasra x ednamy, sana and anna, marriage life, typos.
Gue sering ada di posisi di mana gue adalah sosok yang ditanya. Dituntut sebuah jawaban.
Menjadi seorang guru yang gak akan mungkin melewatkan harinya tanpa menjawab pertanyaan murid.
Menjadi seorang sahabat yang ditanya saran juga pendapatnya.
Menjadi seorang anak yang kini lebih sering ditanya gimana kabarnya.
Menjadi seorang istri yang ditanya apa kegiatan yang bakal dilakukan esok hari atau sekedar apa yang gue inginkan untuk dia beli di perjalanan pulang.
Menjadi seorang ibu yang pasti bakal selalu ditanya tentang bagaimana gue mengurus anak.
Gue jarang merasa keberatan dengan hal itu.
Namun, berbeda lagi ketika gue ditanya tentang apa gue menyesali keputusan gue atau alasan kenapa gue mengambil keputusan itu.
Ada satu masa ketika gue akan mengobrol dengan Jeongyeon dan Momo aja. Tanpa kosasra bagian cowok.
Jeongyeon akan bercerita bagaimana suka dukanya bekerja sebagai dokter hewan. Dia yang pada dasarnya kelewat sayang harus dituntut membelah bagian tubuh hewan itu kalau ada operasi. Juga hal lain yang dia keluhkan tapi ujungnya berhasil dia lakukan dengan baik.
Momo akan bercerita bagaimana kesehariannya di sanggar. Melatih anak-anak menari, mendengarkan cerita mereka, bahkan kadang harus membawa salah satunya ke rumah sakit gara-gara terjatuh saat menari.
Lalu gue, si Sana ini dibandingkan bercerita tentang kesehariannya di sekolah. Gue malah cerita gimana perkembangan anak gue, dia yang sudah mulai merangkak, mulai menyukai makanan tertentu dan sebagainya.
Lalu gue gak akan mengeluh gimana berisiknya murid ketika gue mengajar. Gue malah akan mengeluh gimana sibuknya suami gue yang kadang ketika sampai rumah pun harus melanjutkan pekerjaannya secara diam-diam setelah gue tertidur.
Kita bertiga seumuran, tapi kalau dipertemukan dalam kondisi kayak gini. Gue selalu berpikir kalau gue melangkah terlalu jauh.
Kadang kalau seharian itu capek, gue kerap membayangkan gimana kalau saat ini gue masih hidup hanya sebagai seorang anak, bukan ibu. Mungkin gue bisa banyak membuat video seperti dulu atau jalan-jalan tanpa kepikiran apa-apa selain titipan ibu gue.
Masih di saat yang sama ketika Selena dengan jelas tertidur di gendongan gue.
“Hey, jangan ngelamun.”
Entah kenapa.
Ketika perlahan gue merasa muak dengan keadaan akibat bayangan-bayangan itu. Si dia ada, mengambil alih dengan mudah, memberi gue ruang buat beristirahat. Meski pada faktanya dia cuma baru tidur selama satu jam semalam.
“Maaf.”
“Gak papa. Jadi, gak ke kafenya kamu?” tanya dia, menanyakan ulang pernyataan gue semalam.
Melihat kantung matanya, gue seketika ngerasa bersalah. Padahal dia sama sekali gak tahu apa yang gue pikirin barusan.
“Mau,” ucap gue, “kamu bisa gak?”
Hari Minggu seharusnya banyak dihabiskan di rumah. Ketika dengan jelas ini tanggal merah buat dia dan gue. Tapi kami jarang ngehabisin Hari Minggu bareng-bareng karena dia selalu ngasih gue me time untuk pergi kemana pun sendirian atau sama temen yang lain.
Tanpa dia dan Selena.
“Loh kok tanya aku? 'Kan, kamu yang mau pergi.” Dia mengambil alih Selena dari gendongan gue untuk dia letakkan di tempat tidur. Omong-omong, gue lagi duduk di sofa yang ada di kamar.
“Ya perginya sama kamu,” ucap gue dan si dia malah senyum.
“Ini, 'kan, hari di mana Sana cuma perlu jadi dirinya sendiri? Take your time, aku sama Selena nunggu di rumah. Mobil sama cc-ku bawa aja.”
“Ih ... serius. Masa aku terus yang dikasih waktu jadi diri sendiri.”
Dia malah tertawa. “Ya serius dong. Pas kamu pergi, aku juga bisa jadi diri sendiri.”
“Kapan? 'Kan, ada Selena.”
“Nanti siang. Aku udah undang Jihoon, Jun, sama Wonwoo buat datang. Mau ngobrol, mau main kartu, mau mengenang. Mereka juga seneng kalau diganggu suara nangisnya Selena. Kalau kamu masih ragu, ya udah, dua jam aja perginya.”
Rambut gue diusap dan gue spontan memejamkan mata. Semenjak kehadiran Selena, semenjak gue kembali bekerja, rasanya bersentuhan sama dia bisa terhitung jari.
Pas malam pun, pelukan buat ngejar ngantuk. Namun, gue harus siap ketika gak sengaja kebangun menemukan dia yang tengah fokus pada laptopnya.
Dia ini jauh lebih capek dari gue. Jadi seorang bos, jadi seorang anak, jadi seorang kakak, jadi seorang ayah, jadi seorang sahabat, dan juga gak jarang kosasra sama asrama masih butuh ketuanya alias dia.
“Minggu depan kita stay cation gimana? Selena nanti titip ke ibu kamu.”
Gue pada akhirnya mengangguk. Setuju. Mau bagaimana pun, pada dasarnya dia gak mau membiarkan gue merasa bersalah.
Secapek apa pun dia.
“Dua jam aja,” kata gue dan dia ketawa lagi.
“Iya dua jam. Lebih juga gak papa sih, siapa tahu kamu nemu hal menarik buat dipelajarin. Hati-hati bawa mobilnya terus kabarin kalau ada apa-apa. Oke?”
Dia berkata sambil mengeluarkan dompetnya. Gue langsung menahan gerakannya itu dan menggeleng.
“Gak usah. Ini, 'kan, me time masa pake uang kamu. Gaji aku juga gede walau belum bisa bikin kartu item kayak kamu.”
“Oke siap dah,” balasnya debgab nada jenaka yang gak pernah berubah dari dulu.
Kafe yang mau gue datangi itu kafe baru. Gue tertarik karena kata rekan-rekan gue yang beberapa di antaranya udah gak bisa makan manis sering-sering. Menu less sugar di sana bisa bikin puas.
Gue penasaran.
Nama kafenya Kwonazaki. Meski itu terhitung kafe baru dan ini kunjungan pertama gue. Mendengar namanya, gue merasa gak asing.
Ketika gue masuk, harum kopi langsung menyapa penciuman gue. Tahu gini harusnya gue paksa suami gue buat ikut mengingat dia sesuka itu sama kopi.
Mungkin lain kali.
“Selamat datang di Kwonazaki. Mau pesan apa?” tanya seorang perempuan yang ada di kasir.
Gue gak langsung menjawab. Melihat je arah menu kemudian menatapnya lagi.
“Saya dengar menu less sugar di sini enak-enak. Apa Anda punya rekomendasi?”
“Tentu. Sejauh ini menu yang paling disenangi orang-orang itu chocolate brownies. Kami sebenarnya tidak menggunakan gula di sini, tapi tetap manis dan gak bikin eneg. Tapi kalau kamu memang tidak biasa memakan yang seperti itu, saya sarankan membeli yang biasa saja.”
Gue mengangguk. Di rumah gak pernah kepikiran untuk makan yang gak terlalu manis sebenarnya. Baik gue sama dia sama-sama suka walau harus sambil minum kopi.
“Saya mau coba yang biasa satu dan yang itu satu. Uhm, sama almond cake satu. Minumnya iced coffee saja.”
Dia senyum. “Baiklah, silahkan tunggu pesanannya diantarkan.”
“Ah tunggu. Sebenarnya saya merasa penasaran dengan resepnya ... kalau boleh, saya mau mengobrol dengan pemiliknya. Kira-kira bisa tidak, ya?”
Cewek di depan gue itu cantik, rambut pirangnya yang diikat juga senyum yang gak bisa gak gue akui menawan.
“Boleh. Kebetulan saya sedang senggang.”
“Eh ... Anda?”
Dia ketawa pelan. “Salam kenal, saya Anna Kwon. Pemilik kafe ini.”
“Mari.”
Gue mengikuti ke arah mana dia membawa gue. Anna sempat berbicara dulu kepada pegawainya untuk menyiapkan pesanan gue. Lalu kami berdua pun duduk di meja yang sama.
“Kamu penasaran dengan resep yang mana?” tanya dia langsung tapi terdengar ramah.
“Coffee cake, suami saya sangat suka kopi tapi sejauh ini saya belum menemukan resep yang menurut saya enak.”
Dia terdiam sebentar lalu berkata, “Suami?”
Gue mengangguk dengan kaku. Aneh emang, ya?
“Oh my god, you look so young. Saya kira kamu masih mahasiswa,” kata dia sambil terkekeh.
“Saya sudah lulus 2 tahun yang lalu,“jawab gue, sedikit gak menduga kalau reaksi dia bakal kayak gitu.
“Ah begitu? Kita cuma berbeda 2 tahun kalau begitu. Baiklah, mari kita bahas coffee cake-nya.”
Cewek itu menatap gue kemudian tersenyum tipis. “Oh iya, what's your name?“l
“Sana.”
“Okay, Sana. Sebenarnya coffee cake ini terhitung lebih mudah. Sewaktu saya masih belajar dulu, ini sering direkomendasikan untuk dibuat oleh pemula.”
Gue menyimak setiap apa yang dia katakan. Mulai dari resep-resep yang sering dia gunain sampai ke tips pas panggang atau kukus kuenya.
Kami berdua berbincang sampai tanpa sadar brownies yang gue beli hampir habis. Sumpah, ya, ini enak banget. Mau yang less sugar atau yang biasa, sama-sama luar biasa rasanya.
“Kalau suami kamu memang gak keberatan sama makanan manis. Saya sarankan tidak perlu memberinya menu less sugar asal jangan sering-sering saja. Terlebih kalau dia orang sibuk, makanan manis bisa menghibur dan membuatnya lebih rileks.”
Gue tersenyum lebar sambil mengangguk. Mengobrol sama orang ini, nyaman. Kita belum seharian mengobrol bahkan sejam pun belum. Namun rasanya, kita adalah dua orang teman lama yang baru ketemu lagi.
“Kami sama-sama suka manis. Dulu zaman kuliah dengan tujuh orang lain, kami bisa ngehabisin martabak ketan dua kotak! Dipikir-pikir terlalu berlebihan tapi itu memang terjadi,” ucap gue diakhiri ketawa.
Kalau diingat lagi, itu emang sedikit konyol sih. Saking asiknya, kosasra sampai lupa sama kesehatan masing-masing. Untung sekarang udah pada sadar diri.
Anna menatap gue lembut. “Kamu sama suami kamu sebelumnya teman dekat, ya?”
Gue mengangguk. “Iya, kami sebelumnya memang sempat dekat. Cuma sempat menjauh juga karena sesuatu. Saya gak nyangka kalau akhirnya saya sama dia bisa sama-sama.”
“Memang terkadang ada hal tak terduga yang terjadi. Kadang disertai harapan, kadang juga tidak. Kita cuma bisa menerima,” kata Anna. Kalimatnya itu membuat dahi gue mengernyit seketika.
“Saya kurang setuju. Kita gak 'cuma' bisa menerima. Kita bisa menerima seraya mengubah. Kalau tetap diam alias pasrah itu terpaksa dan pura-pura ikhlas,” jawab gue yang sukses ngebuat dia terdiam cukup lama.
“Kita gak akan berkembang kalau tetap kayak gitu. Aduh, maaf, kalau semisal ucapan saya ngebuat kamu ngerasa tersinggung.”
Anna dengan cepat menggeleng selepas gue berkata demikian. Kata dia sambil tertawa canggung, “Maaf, saya kelepasan ngelamun.”
Ada jeda sebelum Anna kembali berkata, “Sana, saya boleh tanya sesuatu? Di luar kue.”
“Mau tanya apa?”
“Apakah kalian sudah mempunyai anak?” Gue kira mau nanya apa, ternyata pertanyaan umum.
Gue mengangguk. “Anak saya baru 10 bulan kemarin.”
“Selamat! Apakah saya boleh bertanya satu hal lagi?”
Dia tersenyum, tapi terlihat lebih dipaksakan? Entahlah, mungkin cuma perasaan gue aja.
“Maaf kalau semisal saya menyinggung, jika keberatan kamu tidak usah menjawabnya. Kamu terbilang masih muda lalu tadi kamu juga bilang kalau suami kamu orang yang sibuk. Apa kalian berdua tidak keberatan memilih jalan ini?”
Untuk ke sekian kalinya, gue ditanya lagi pertanyaan ini. Gue sendiri sampai hafal sama jawaban seperti apa yang akan gue berikan.
“Gini, Kak. 'Kan, setiap orang berhak mengambil pilihan yang memang dia mau. Di sisi lain, setiap pilihan yang kita ambil akan selalu disertai dengan sanggup atau tidaknya kita dalam bertanggung jawab terhadap pilihan itu.”
Gue berhenti sejenak. “Jadi, walau kadang saya capek, saya ngeluh, saya kepengen balik kayak dulu lagi. Saya selalu keinget sama itu. Pernah sekali saya ada di titik muak, saya pergi dan gak kasih kabar ke suami saya dan menutup akses komunikasi kami untuk sementara. Namun, pada saat saya pulang, saya menemukan mereka berdua sedang tertidur.”
“Dia kelihatan gak nyenyak sama sekali dan saya yakin tubuhnya pasti pegel karena sehabis pulang dari kantor dia harus mengurus anak kami. Belum lagi, dia tak berhenti menghubungi saya. Saat itu, saya menyesal karena sempat ingin lari dari pilihan saya sendiri. Saya nyari lupa kalau kami menjalaninya berdua, bukan masing-masing. Kamu, 'kan, menikah.”
Gue gak paham kenapa, tapi Anna malah ngelamun lagi. Apa perkataan gue menyinggung dia, ya?
Mungkin saatnya mengalihkan pembicaraan.
“Kalau kakak sudah menikah?” tanya gue.
“Sudah,” jawab dia, “saya ... dijodohkan.”
Oke. Sekarang gue paham kenapa dia ngelamun setelah dengar ucapan gue tadi.
“Kakak tidak menolak?”
Anna menggeleng. “Tidak, awalnya saya memang kurang yakin. Tapi makin lama saya sadar betul kalau dia a nice man, a very nice man.”
“Ah, syukurlah kalau begitu. Lalu yang membuat Kak Anna kepikiran karena...?”
Gue menebak aja sih, tapi kayaknya itu benar. Terlebih dengan reaksi yang Anna keluarkan.
“Karena teman lamanya ada. Saya sadar kalau mereka hanya teman dan dia pun selalu bertanya apakah saya nyaman atau tidak jika kami bertiga makan bersama. Namun tetap saja saya tak merasa baik karena temannya ini seperti tahu segalanya tentang suami saya—bahkan lebih dari dirinya sendiri.”
Gue terdiam, mencerna baik-baik kalimatnya yang terkesan cepat itu. Anna tampak menunggu reaksi gue.
“Lalu kamu tetap bilang nyaman meski pada faktanya kamu gak nyaman?”
Anna mengangguk. “Meski begitu, setidaknya saya bisa tahu apa lagi yang disukai oleh suami saya lewat perbincangan kami.”
Gue pun yakin kalau mereka bahkan belum mengungkapkan perasaan masing-masing lewat kata. Cuma dengan bahasa tubuh yang kadang itu kurang memuaskan untuk satu manusia.
“Kenapa kamu bisa menilai dia adalah orang yang baik?” tanya gue, walau belum diminta tapi setidaknya gue perlu memastikan beberapa hal sebelum kasih saran nanti.
“Dia selalu mendukung saya. Kafe ini awalnya nyaris jadi mimpi saya yang terkubur, tapi karena dia saya bertekad untuk mewujudkannya. Bahkan dia sendiri yang mendesain bangunnya. Lalu urusan rumah yang tak begitu dibebankan kepada saya walau kami hanya tinggal berdua, dan hal lainnya.
“Sikap dia yang selalu memastikan sebelum melakukan pun, membuat saya merasa kalau saya penting untuknya karena saya secara tidak langsung selalu ikut mempertimbangkan hal yang akan dia pilih.”
Anna meneguk tehnya ketika sudah mengatakan dialog cukup panjang itu.
Gue menegakkan duduk. “Kak, tahu gak kalau kunci sebuah hubungan itu kejujuran dan kepercayaan. Kalau kamu ngasih jawaban yang gak jujur dia akan merasa kalau kamu tak mempermasalahkannya.”
“Mungkin awalnya biasa aja, tapi makin lama kepercayaanmu ke dia makin tipis, Kak,” sambung gue.
“Sedihnya lagi, kalau semisal kita udah punya anak. Muncul pertengkaran-pertengkaran akibat kepercayaan yang berkurang, lalu anaknya mendengar semua itu secara langsung. Kalau sudah seperti itu, kita secara tidak langsung menyakiti seseorang yang gak salah juga, bukan?”
Anna mengangguk dan tersenyum canggung. “Benar ... saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya.”
Hening di antara kami untuk sejenak. Hingga kemudian gue memilih untuk kembali berkata, “Kak, saya boleh kasih saran?”
Anna tak langsung menjawab, dia mempertimbangkan. Untungnya,dia setuju sama hal itu.
“Untuk hal-hal yang gak diketahui oleh kamu tentang suami kamu, lebih baik tanyakan secara langsung. Kalian bisa mengobrol dan itu juga bisa ngurangin kecanggungan yang ada di antara kalian berdua,” ucap gue.
“Terus soal perasaanmu juga, Kak. Kalau dia tanya antara nyaman dan gak nyaman, maka jawab sesuai yang kamu rasain. Kalian bakal saling jujur dan itu bukan hal yang buruk.”
“Ketiga, gak ada salahnya kalau kamu curiga. Asal jangan main menuduh sebelum kamu bertanya atau punya bukti. Saya bisa memastikan kalau dia bakal lebih nyaman jika kamu tak pasif dalam hubungan kalian berdua.”
Ketika gue kadang mengeluhkan gimana temen-temen gue masih bisa berkembang tanpa ada yang menuntut mereka untuk cepat pulang. Gue ketemu seseorang yang bahkan belum benar-benar bisa mengenali suaminya sendiri.
Dia cewek di depan gue, Anna.
Anna tersenyum tipis tapi terlihat begitu tulus. Walau dia belum berkata apa-apa, tapi entah kenapa gue jadi lebih dulu terharu ngelihat itu.
“Makasih banyak, Sana. Kalau hari ini kita tidak mengobrol mungkin saya akan menyesali apa yang saya rencanakan untuk dilakukan tadi.”
Gue berdiri dan dia pun ikut berdiri. Kami berpelukan secara singkat sambil menempelkan kedua pipi masing-masing bergantian.
“Tidak perlu berterima kasih dan selamat mencoba, Kak Anna. Saya harap pernikahan kalian bisa terjaga hingga kalian tua nanti.”
Anna mengangguk. “Saya juga berharap begitu untuk kamu dan keluargamu, Sana. Semoga kalian senantiasa diberi kebahagiaan.”
Lalu, kami pun berpisah. Gue dengan cepat menaiki mobil, gak sabar buat bercerita tentang hari ini ke dua kesayangan gue di rumah.
Obrolan antara gue dan Anna sedikit memberi gue sentilan karena teringat bagaimana gue dulu ketika Selena lagi rewel-rewelnya.
Hal yang selalu gue sesali walau dia selalu meyakinkan gue semuanya baik-baik aja.
// harsh words, mention of cheating and broken family.
Kana meletakkan pulpennya di atas meja sebelum menyedot minumannya cepat. Haus setelah menjelaskan panjang lebar tentang materi yang Larena minta untuk diajarkan.
“Oke, paham. Tapi mungkin kalau dikasih soal aku bakal ada bingungnya. Nanti boleh tanya lagi, 'kan, Kak?” tanya Larena dan Kana mengangguk.
Ini sudah tugasnya, mengingat ia tidak mengajarkan Larena secara cuma-cuma. Meski awalnya menolak, tapi ibu Larena memaksa untuk membayar. Ya sudah Kana terima saja, tidak rugi juga untuk dirinya yang hidup sendirian.
“Boleh dong,” kata Kana langsung.
Mereka terlibat hening. Larena memilih untuk menyelesaikan apa yang ia tulis lebih dulu. Kana memberinya ruang untuk fokus dengan tak berkata apa-apa.
Barulah ketika Larena sudah meletakkan pulpennya, Kana bertanya, “Gimana rasanya ada orang tua lengkap sampai sekarang, Lar?”
Yang tiba-tiba ditanya seperti itu, diam. “Uhm, sebenarnya dibilang seneng juga gak selalu. Tapi aku selalu bersyukur.”
Larena melihat pada Kana. “Aku jarang ketemu papa karena dia sibuk. Apa-apa selalu mama, karena dia yang selalu nemenin aku, dukung aku—pokoknya mama is everything for me, Kak.”
“Makanya aku gak pernah masalah ketika orang-orang bilang aku anak mami dan hal sejenisnya. Itu, 'kan, bener dan aku gak perlu ngerasa malu karenanya.”
Kana mengangguk paham. Larena just being herself. Hal yang sulit dilakukan di masa sekarang dan Kana sendiri pun mengakuinya.
Ia dapat penilaian buaya, berisik, dan sejenisnya. Namun, cuma beberapa orang yang bisa melihat dan paham kenapa Kana demikian.
Taksa adalah contohnya. Makanya, meski mereka sering meghunat tingkah Kana, tapi mereka bertiga tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Kana.
“Kak Kana sendiri gimana?” tanya Larena.
Kana tersenyum miris. “Gue udah lama sendirian, Lar. Untungnya itu anak bertiga gak pernah kepikiran untuk ninggalin gue walau mereka tahu sejelek apa gue.”
“Jujur, Kak! Aku tuh dibilang mama kalau Kak Rendra ikut geng gak bener, makanya dulu sempat dilarang ketemu. Tapi aku gak tahu apa yang mereka omongin sampai aku dibolehin main sama kalian.”
Larena berhenti sejenak. “Terus aku sekarang paham sendiri! Kalian mungkin sama-sama pernah ngelakuin hal yang buruk, tapi kalian gak pernah menyerah buat satu sama lain. That's sweet kalau dari pandanganku yang jarang awet temenan.”
Kana tersenyum. Jika dipikir lagi pertemanan mereka memang sedikit aneh. Namun benar kata Larena, mereka tak pernah menyerah buat satu sama lain. Nyaris lebih tepatnya kalau saja Rendra tak memaafkan Awan kemarin.
“Uhm, makasih buat penilaiannya, Lar.”
Larena tersenyum. “Sama-sama! Ayo lanjut, Kak. Biar cepet pulang.”
Kana mengangguk. Mereka kemudian kembali melanjutkan kegiatan mengajar dan diajar yang sempat tertunda karena sengaja mengambil jeda. Kana tidak mau Larena terlalu pusing, jadi ia melakukan secara bertahap. Toh mereka juga sedang ada di kafe.
Kegiatan mereka itu terus berlanjut hingga mereka kembali sampai disaat Larena mengerjakan dan Kana menunggu.
Lalu, disaat itulah Kana merutuki Awan seketika. Laki-laki itu tadi bilang kalau ia akan kedatangan tamu tak diundang sebagai bentuk balasan karena Kana meledeknya.
Tampaknya, ucapan Awan itu dikabulkan karena sekarang Kana melihat dua mantannya memasuki kafe. Lalu tujuan mereka pun jelas, ke arah mereka—tepatnya ke arah dirinya.
Anjir, ini gue mau dilabrak? Dateng barengan gitu.
“Nah, ini dia si anjing.”
Anjir, dateng-dateng langsung dianjingin.
Kana melihat ke arah Larena. Perempuan itu melirik sekilas sebelum kembali fokus pada buku di hadapannya. Kana meringis tanpa sadar.
Salah satu di antara mereka menarik bahu Larena agar dia menegakkan tubuhnya. Sengaja agar Larena bisa melihat apa yang akan mereka lakukan pada Kana—agar dia fokus pada ucapan mereka.
“Sayang banget loh, lo cantik-cantik gini mau sama Kana. Mana lo kelihatan kayak anak baik lagi. Asal lo tahu, ya, cowok di depan lo ini brengsek. Dia macarin gue sama dia secara sekaligus tanpa diketahui satu sama lain!”
“Kita udah selesain ini—”
“Diem, selesai bukan berarti gue sama dia udah maafin lo.” Ucapan Kana dipotong. Ia melirik pada Larena, perempuan itu belum menunjukkan reaksi berarti.
Dulu, Kana sebenarnya tidak benar-benar berniat menjalin hubungan. Ia hanya ingin mencari tahu apa yang membuat ayahnya bisa menghacurkan keluarga mereka—menyakiti ibunya. Namun, ia tak kunjung menemukan jawaban karena tak benar-benar mengikut sertakan hatinya.
Ia tidak tahu kalau ujungnya dia bakal jatuh hati ke orang lain yang membuatnya harus rela melepaskan pacar-pacarnya.
“Serius deh, Dek. Lo jangan mau pacaran sama dia, dia gak akan bisa treat lo selayaknya perempuan. Dia aja gak bisa ngehargain satu hubungan.”
Oke, itu cukup menusuk. Jika sudah begini, Kana pasrah. Cuma jadi pengajar Larena pun tak apa—atau mungkin, Larena nanti tidak akan mau lagi belajar dengannya.
“Kok lo diem aja sih?!” tanyanya pada Larena.
Yang paling muda di antara mereka itu memang belum menunjukkan reaksinya. Jelas ia tahu Kana seperti apa karena Rendra memberi tahunya lebih dulu. Lalu dua orang ini berbicara seolah-olah ia dan Kana berpacaran.
Larena tentu tak punya alasan untuk bereaksi meski sekedar terkejut.
“Udah, Kak? Ada lagi yang mau diomongin?” Larena malah bertanya balik dan Kana meringis. Itu bisa memancing emosi dua mantannya.
“Gue tuh ngasih tahu lo baik-baik, ya! Kenapa lo malah kayak gitu?!”
Larena tersenyum tipis. “Pertama, i'm not his new gf, Kak. Kedua, aku tunggu kalian selesai bicara dulu.”
Larena memangku dagunya dengan sebelah tangannya. “Terus, apa Kakak-kakak ini gak lihat, ya, ada banyak buku di sini? Aku lagi belajar sama Kak Kana.”
“Aku tahu kalian dendam atau emosi. Tapi lain kali jangan asal labrak deh, Kak. Kalau salah, 'kan, kalian juga yang malu.”
Kana melirik, tidak menyangka kalau Larena akan berkata demikian. Sedikit meringis juga, ia jadi ikut merasa malu.
“Udah, 'kan, Kak? Lagian kalian juga udah selesai. Biarin aja Kak Kana dapat balesannya sendiri, pasti ada saatnya kok.”
Lalu, dua orang itu pun pergi dengan langkah yang dihentakkan. Malu karena balasan Larena juga orang-orang di sekitar mereka yang mulai memperhatikan.
“Sumpah ....” gumam Kana kemudian melihat kepada Larena.
“Gue gak nyangka—tapi makasih banyak,” kata Kana masih dalam keadaan tidak menyangka dengan yang Larena lakukan.
Larena tersenyum manis kemudian mengendikkan bahunya tak acuh.
“Jelasin ulang dong, Kak. Aku jadi lupa lagi gara-gara diganggu soal gituan,” ucap Larena membuat Kana menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa sulit.
Memang akhirnya sedikit kejam—tapi Kana juga cukup tahu diri dengan konsep apa yang dituai maka itu yang akan didapat. Siap tidak siap, ia akan mendapat dampaknya.
Larena memang anak kesayangan yang selalu layak buat dilindungi semua orang di sekitarnya. Yang tidak Kana sangka, ternyata perempuan seperti Larena pun bisa melindungi dia.
Walau dia ikut kena pedasnya.
Masih di masa-masa awal Amy masuk SD, Edward itu naik jabatan yang ngebuat dia dikasih rumah. Dia tentu omongin ini ke Anna, terus Anna bilangnya mau ngikut aja. Walau dia sempat kepikiran karena rumahnya ini jauh dari kafe.
Selama ini kan mereka tinggal di rumah yang Edward buat dengan banyak usaha—rumah yang pernah aku singgung di bagian pohon keluarga ednamy—. Rumah yang tentu punya kesan tersendiri buat Edward, tapi di sisi lain dia juga gak enak kalau nolak pemberian kantor.
Pada akhirnya, Edward mutusin buat pindah. Dia sama Anna beres-beres hari itu, terus sempat jemput Amy di sekolah. Amy yang bingung karena begitu pulang banyak kardus yang udah siap buat diangkut akhirnya nanya, “Ini barang-barangnya mau dibawa ke mana?”
Mereka gak bilang soal ini ke Amy. Cuma gak terlalu panik karena Amy masih kecil dan sama-sama yakin kalau Amy bakal nurut—mau gimanapun juga. Anna yang pertama jawab, “Kita mau pindah, sayang. Papi dapat rumah dari perusahaannya.”
Dalam ekspetasi keduanya, Amy bakal seneng. Sejauh ini, Amy selalu nunjukin keantuasiasan terhadap hal yang baru. Tapi kenyataannya, gak seperti itu.
Amy malah kelihatan kecewa. Dia kemudian bicara lagi, “Kita mau tinggalin rumah ini? Mami sama Papi kok gak tanya aku?”
Tanpa menunggu jawaban, Amy langsung masuk ke kamarnya.
Melihat bagaimana reaksi Amy, keduanya sama-sama sadar kalau mereka udah ngelakuin kesalahan karena mereka gak bilang ke Amy soal ini. Mungkin iya, anak itu masih kecil, dia masih anak-anak. Tapi Amy tinggal sama mereka dan dia juga punya hak buat berpendapat.
Anna selalu tanya pendapat Amy tentang resep barunya, foto yang dia ambil, bahkan sekedar tayangan tv. Edward juga kadang selalu tanya pendapat Amy soal rancangan yang dia buat. Mereka selalu tanya ke Amy meski sama-sama tahu kalau anak satu-satunya mereka pasti selalu memberi jawaban positif.
Baik Edward atau Anna, sama-sama selalu cerita ke Amy supaya Amy ngerasa kalau mereka juga butuh dia sebagai pendengar. Jadi, anak itu gak akan ragu kalau mau cerita ke mereka tentang apa pun.
Tapi, kenapa soal ini mereka gak tanya ke Amy?
Di hari itu, mereka berhenti buat berbenah. Keduanya ikut masuk ke kamar Amy dan memilih buat membahasnya. Memang terkesan telat, tapi itu lebih baik dibanding gak sama sekali.
“Amy, gak mau pindah dari sini?” tanya Edward.
Amy menggeleng. “Papi dulu cerita, 'kan, ke Amy. Kalau rumah ini berharga. Kata papi di sini semuanya dimulai dan papi ngerasa nyaman ada di sini. Papi emang gak sedih kalau kita ninggalin rumah ini?”
Yang ditanya balik diam, Anna juga tanpa sadar ikut memikirkan jawaban dari pertanyaan Amy.
Benar.
Edward hampir berhasil wujudin rumah ini jadi benar-benar rumah yang nyaman buat dijadiin tempat pulang dan aman untuk keluarganya. Di sini dia sama Anna memulai semuanya, sejak langkah mereka masih cenderung berlawanan sampai hampir selalu seiras kayak sekarang.
Terlebih rumah ini juga jadi saksi gimana Amy tumbuh. Setiap suara tangis yang selalu terdengar tiap jam dua pagi, tempat yang menjadi langkah pertama Amy, hingga bagaimana suara Amy ketika memanggil mereka yang terdengar semakin jelas setiap harinya.
Rumah yang Edward buat dengan sejuta harap, niat untuk tak melakukan hal yang sama, juga penekanan pada diri yang ngebuat dia bisa lebih baik lagi dengan segala perannya. Sebagai seorang anak, sebagai seorang suami, dan seorang ayah.
Bareng Anna, bareng Amy. Rumah ini tanpa sadar udah jadi bagian dari diri mereka bertiga.
Akhirnya dia ngelihat Anna, sekali lagi bertanya, “Kamu beneran mau pindah dari sini?”
Anna tampak tak yakin, meski ia menyatakan akan ikut apa pun keputusan Edward. Namun, jika harus pindah ia juga merasa keberatan walau tak mengatakannya.
“Aku sebenarnya ragu. Sesuai kata Amy, terlalu banyak hal berharga yang rumah ini simpan, Ed. Terus, aku bisa lebih mudah pantau kafe dari sini. Di sisi lain, aku juga paham kalau kamu gak mungkin nolak rumah itu.”
Edward diam lagi, merenung. Memikirkan ulang agar tak ada penyesalan.
Rencana awalnya, jika mereka jadi pindah ke sana. Mungkin rumah ini akan dijual. Rumah dengan banyak hal berharga ini akan Edward lepas dengan mudahnya. Rumah yang selalu membuat mereka sama-sama merasa cukup.
Edward menarik napasnya dalam-dalam. Kemudian mengusap rambut Amy perlahan. “Papi bakal bicarain ini ke atasan papi.”
Anna sama Amy sama-sama ngelihat dia penuh harap dan Edward paham jelas maksudnya.
“Kita tetap tinggal di sini,” ucap Edward yang ngebuat Amy senyum lebar seketika. Anak itu bangkit kemudian memeluk Edward.
“Makasih, Papi!”
Anna yang lihat itu gak bisa menahan senyumannya.
“Rumah ini memang gak begitu besar, gak begitu mewah, juga gak begitu ramai. Tapi, ada kalian di dalamnya. Ada lembaran kisah kita yang dampingi rumah ini. Papi gak seharusnya lepas dia semudah itu,” ucap Edward lagi.
“Papi, Mami ... Amy tahu Amy masih kecil. Tapi tolong nanti Amy juga ditanya, ya? Amy janji, Amy juga bakal selalu tanya kalian soal semuanya.”
Edward mengangguk. “Pasti, maafin papi, ya, Dek?”
“Mami juga minta maaf, sayang.”
Amy tertawa kecil laku berkata, “Gak papa!” kemudian kembali memeluk kedua orang tuanya.
“Aku juga minta maaf, kita jadi harus beres-beres ulang,” kata Edward ke Anna.
Anna menggeleng. “Gak papa, Ed. Untungnya belum semuanya,” jawab dia dengan sedikit bercanda supaya Edward gak terlalu merasa tertekan.
Edward tersenyum tipis dan mengeratkan pelukannya.
Dia bersyukur dengan kehadiran dua orang ini dalam rumahnya.
—honeyshison.
Masih di masa-masa awal Amy masuk SD, Edward itu naik jabatan yang ngebuat dia dikasih rumah. Dia tentu omongin ini ke Anna, terus Anna bilangnya mau ngikut aja. Walau dia sempat kepikiran karena rumahnya ini jauh dari kafe.
Selama ini kan mereka tinggal di rumah yang Edward buat dengan banyak usaha—rumah yang pernah aku singgung di bagian pohon keluarga ednamy. Rumah yang tentu punya kesan tersendiri buat Edward, tapi di sisi lain dia juga gak enak kalau nolak pemberian kantor.
Pada akhirnya, Edward mutusin buat pindah. Dia sama Anna beres-beres hari itu, terus sempat jemput Amy di sekolah. Amy yang bingung karena begitu pulang banyak kardus yang udah siap buat diangkut akhirnya nanya, “Ini barang-barangnya mau dibawa ke mana?”
Mereka gak bilang soal ini ke Amy. Cuma gak terlalu panik karena Amy masih kecil dan sama-sama yakin kalau Amy bakal nurut—mau gimanapun juga. Anna yang pertama jawab, “Kita mau pindah, sayang. Papi dapat rumah dari perusahaannya.”
Dalam ekspetasi keduanya, Amy bakal seneng. Sejauh ini, Amy selalu nunjukin keantuasiasan terhadap hal yang baru. Tapi kenyataannya, gak seperti itu.
Amy malah kelihatan kecewa. Dia kemudian bicara lagi, “Kita mau tinggalin rumah ini? Mami sama Papi kok gak tanya aku?”
Tanpa menunggu jawaban, Amy langsung masuk ke kamarnya.
Melihat bagaimana reaksi Amy, keduanya sama-sama sadar kalau mereka udah ngelakuin kesalahan karena mereka gak bilang ke Amy soal ini. Mungkin iya, anak itu masih kecil, dia masih anak-anak. Tapi Amy tinggal sama mereka dan dia juga punya hak buat berpendapat.
Anna selalu tanya pendapat Amy tentang resep barunya, foto yang dia ambil, bahkan sekedar tayangan tv. Edward juga kadang selalu tanya pendapat Amy soal rancangan yang dia buat. Mereka selalu tanya ke Amy meski sama-sama tahu kalau anak satu-satunya mereka pasti selalu memberi jawaban positif.
Baik Edward atau Anna, sama-sama selalu cerita ke Amy supaya Amy ngerasa kalau mereka juga butuh dia sebagai pendengar. Jadi, anak itu gak akan ragu kalau mau cerita ke mereka tentang apa pun.
Tapi, kenapa soal ini mereka gak tanya ke Amy?
Di hari itu, mereka berhenti buat berbenah. Keduanya ikut masuk ke kamar Amy dan memilih buat membahasnya. Memang terkesan telat, tapi itu lebih baik dibanding gak sama sekali.
“Amy, gak mau pindah dari sini?” tanya Edward.
Amy menggeleng. “Papi dulu cerita, 'kan, ke Amy. Kalau rumah ini berharga. Kata papi di sini semuanya dimulai dan papi ngerasa nyaman ada di sini. Papi emang gak sedih kalau kita ninggalin rumah ini?”
Yang ditanya balik diam, Anna juga tanpa sadar ikut memikirkan jawaban dari pertanyaan Amy.
Benar.
Edward hampir berhasil wujudin rumah ini jadi benar-benar rumah yang nyaman buat dijadiin tempat pulang dan aman untuk keluarganya. Di sini dia sama Anna memulai semuanya, sejak langkah mereka masih cenderung berlawanan sampai hampir selalu seiras kayak sekarang.
Terlebih rumah ini juga jadi saksi gimana Amy tumbuh. Setiap suara tangis yang selalu terdengar tiap jam dua pagi, tempat yang menjadi langkah pertama Amy, hingga bagaimana suara Amy ketika memanggil mereka yang terdengar semakin jelas setiap harinya.
Rumah yang Edward buat dengan sejuta harap, niat untuk tak melakukan hal yang sama, juga penekanan pada diri yang ngebuat dia bisa lebih baik lagi dengan segala perannya. Sebagai seorang anak, sebagai seorang suami, dan seorang ayah.
Bareng Anna, bareng Amy. Rumah ini tanpa sadar udah jadi bagian dari diri mereka bertiga.
Akhirnya dia ngelihat Anna, sekali lagi bertanya, “Kamu beneran mau pindah dari sini?”
Anna tampak tak yakin, meski ia menyatakan akan ikut apa pun keputusan Edward. Namun, jika harus pindah ia juga merasa keberatan walau tak mengatakannya.
“Aku sebenarnya ragu. Sesuai kata Amy, terlalu banyak hal berharga yang rumah ini simpan, Ed. Terus, aku bisa lebih mudah pantau kafe dari sini. Di sisi lain, aku juga paham kalau kamu gak mungkin nolak rumah itu.”
Edward diam lagi, merenung. Memikirkan ulang agar tak ada penyesalan.
Rencana awalnya, jika mereka jadi pindah ke sana. Mungkin rumah ini akan dijual. Rumah dengan banyak hal berharga ini akan Edward lepas dengan mudahnya. Rumah yang selalu membuat mereka sama-sama merasa cukup.
Edward menarik napasnya dalam-dalam. Kemudian mengusap rambut Amy perlahan. “Papi bakal bicarain ini ke atasan papi.”
Anna sama Amy sama-sama ngelihat dia penuh harap dan Edward paham jelas maksudnya.
“Kita tetap tinggal di sini,” ucap Edward yang ngebuat Amy senyum lebar seketika. Anak itu bangkit kemudian memeluk Edward.
“Makasih, Papi!”
Anna yang lihat itu gak bisa menahan senyumannya.
“Rumah ini memang gak begitu besar, gak begitu mewah, juga gak begitu ramai. Tapi, ada kalian di dalamnya. Ada lembaran kisah kita yang dampingi rumah ini. Papi gak seharusnya lepas dia semudah itu,” ucap Edward lagi.
“Papi, Mami ... Amy tahu Amy masih kecil. Tapi tolong nanti Amy juga ditanya, ya? Amy janji, Amy juga bakal selalu tanya kalian soal semuanya.”
Edward mengangguk. “Pasti, maafin papi, ya, Dek?”
“Mami juga minta maaf, sayang.”
Amy tertawa kecil laku berkata, “Gak papa!” kemudian kembali memeluk kedua orang tuanya.
“Aku juga minta maaf, kita jadi harus beres-beres ulang,” kata Edward ke Anna.
Anna menggeleng. “Gak papa, Ed. Untungnya belum semuanya,” jawab dia dengan sedikit bercanda supaya Edward gak terlalu merasa tertekan.
Edward tersenyum tipis dan mengeratkan pelukannya.
Dia bersyukur dengan kehadiran dua orang ini dalam rumahnya.
—honeyshison.
Tzuyu as Mika. Dino as Caka.
tags: toxic family, mention of divorce, violence, dancer!dn, singer!tz
Lo pernah gak sih? Lagi santai dan tiba-tiba semua kepala lo keisi penuh. Gak ada topik utama yang lo pikirin, hal beragam itu nyatu udah kayak bubur sumsum yang porsinya lengkap.
Terus pernah juga gak? Lo ngebiarin tubuh lo bergerak sebebas apa pun, lo seneng, tapi pada akhirnya lo jatuh karena gak begitu merhatiin sekitar.
Bisa disimpulkan bukan? Ada banyak hal sepele yang pada kenyataannya itu cukup berat.
Gue Cakra—orang-orang lebih akrab memanggil gue Caka. Gue adalah seorang penari dan gue berani bilang kalau kelompok gue udah cukup dikenal karena beberapa artis atau acara yang ditayangin di TV, pernah menghubungi kami buat jadi penarinya.
Sekarang gue gak lagi terlibat kerja sama siapa-siapa sih. Cuma gue di sini mau cerita tentang project gue yang terakhir.
Penyanyi terakhir yang meminta gue buat jadi penari latarnya adalah seorang Mihika. Nama yang cukup unik karena artinya tetesan embun. Namun kemudian, dia lebih akrab dipanggil Mika—sesuai keinginannya.
Mika itu bukan artis pendatang baru. Dia udah berkarir dari kecil, sempat menghilang dari publik, kemudian kini kembali lagi sebagai seorang penyanyi. Suaranya gak perlu diragukan, kecantikannya banyak dikagumi, dan sikapnya yang layak diacungi dua jempol.
Dengan semua itu, reaksi pertama gue waktu dibilang jadi penari latar Mika adalah kaget. Tentu aja, ya kali gak kaget. Sekelas Mika minta gue buat jadi penarinya dan itu sendirian, gak banyakan kayak biasanya. Buat acara award lagi. Gokil abis.
Meski itu Mika, gue tetap harus profesional. Gue gak banyak menunjukkan kekaguman gue karena takutnya dia gak nyaman. Ini dia sama gue mau kerja, bukan mau fanmeeting.
Nah.
Mudahnya itu seperti ini; gue kerja, begitupun dia. Kami dapat uang dan semuanya selesai. Tapi kenyataannya, malam itu dia ada di pelukan gue sambil nangis.
Hal yang kemudian membuat gue sama dia gak cuma sebatas kerja.
Pertemuan pertama gue sama Mika adalah membahas koreografinya seperti apa, juga gue yang diminta untuk membuatnya lebih terlihat natural.
Pertemuan kedua mulai latihan tipis-tipis karena ada beberapa gerakan yang bikin Mika gak nyaman jadi harus direvisi. Walau kesel sedikit, untungnya gue sama dia di hari itu ngobrol banyak. Gue jadinya gak perlu menahan emosi atau dendam sama idola sendiri.
Pertemuan ketiga dimana gue lihat dia yang menangis adalah saat kita berdua harus mantepin gerakan. Diiringi suara nyanyian Mika tanpa iringan musik, kita berdua akhirnya bisa dengan mantap bawain itu. Gerakannya memang gak terlalu ribet karena beat lagu yang dipilih Mika cenderung santai.
Namun untuk seseorang yang memang tubuhnya gak dibiasakan untuk menari, Mika tetap punya kesulitan. Ngingetin gue ke diri gue yang dulu.
Ketika di antara kami perlu menciptakan gerak memegang tangan, gue kemudian sadar kalau pergelangan tangan Mika itu ada lebam. Gue secara refleks menahannya dan bertanya, “Ini kenapa?”
Namun, Mika malah buru-buru menarik tangannya. Kemudian lari dari gue dengan wajah yang panik.
Gue ada di titik bingung seketika. Perlu beberapa waktu buat gue mencerna sebelum akhirnya mengejar cewek yang gak gue ketahui lari ke arah mana itu.
Ada rasa bersalah karena kespontanan gue tadi. Gue mencari dia di gedung yang kuas itu, semua orang yang gue jumpai gue tanya. Hingga akhirnya gue tahu keberadaan Mika.
Dia kelihatan lemas sambil menggenggam ponselnya. Sebelum akhirnya Mika jatuh terduduk dan membiarkan ponselnya terbanting.
Gue sering bertindak tanpa berpikir. Jadi yang gue lakuin waktu itu adalah berlari untuk semakin dekat ke dia. Berlutut di hadapannya dan memegang pundaknya.
“Mika, kenapa?”
Kata itu sekali lagi gue ajukan ke Mika. Cewek itu gak kabur lagi kayak tadi. Dia memandang gue sebelum akhirnya malah memeluk gue buat menangis.
Gue cuma bisa diam, menunggu dia selesai dengan rasa muaknya.
“Udah beli mie, nih. Apa lagi?” tanya gue kepada seseorang di ujung sana yang lagi terlibat obrolan sama gue.
“Caka, lo yakin gue gak akan dimarahin?”
“Yakin,” jawab gue, “lo, 'kan, makannya sama gue. Ngapain gue marahin orang yang mau makan? Lo juga gak makan aneh-aneh.”
“Gue takut.”
“Ya udahlah, lo kagak usah makan sampe tahun depan.”
“Kok gitu, sih?! Jangan mie deh, kalau suara gue kacau dan ketahuan. Bisa habis gue.”
Gue menghela napas. “Terus lo maunya apa, Mika?”
Benar, orang yang tengah menelepon gue adalah Mika.
“Bubur? Yang instan aja.”
“Ya elah, Sama-sama instan. Tapi ya udah, gue beli.”
“Yeay! Makasih, ganteng. Beli lemon tea juga, ya. Jangan yang dingin.”
Apa enaknya coba beli minuman yang gak dingin? Tapi gue cuma bisa nurut.
“Oke gue beli. Gue matiin dulu, ya.”
“Oke. Hati-hati nanti, ya. Makasih sekali lagi.”
“Hm, sama-sama,” kata gue dan mematikan telepon itu.
Ini udah lama sejak gue sama dia kenal karena kerja. Sekarang bisa dilihat sendiri, gue berujung jadi tempat Mika kalau dia ada di titik muaknya.
Selesai membeli apa yang Mika minta—juga sebotol minuman untuk gue sendiri. Gue kembali menjalankan motor itu ke rumah yang gue tinggali sendiri sejak lama.
Ada Mika yang menunggu gue di sana. Entah bagaimana bisa dia sampai ke rumah gue dengan keadaan yang gak diketahui sama siapapun. Dia berhasil sampai di sana tanpa dikenali sama sekali.
Gue membuka pintu dan Mika tetap duduk diam di ruang tamu. Posisinya memang berubah, terlihat lebih nyaman dibandingkan tadi.
Mika senyum begitu sadar ada gue. Tolong, bisa gak sih lo senyumnya biasa aja? Jangan mancing gue buat libatin hati selain simpati di sini.
Gue meletakkan kantung plastik berwarna putih itu di meja. “Nih, masak sendiri sana.”
“Loh, lo gak beli?”
Gue menggeleng sembari mengambil minuman punya gue. “Lo aja, gue juga gak yakin lo bakal ngabisin itu.”
Dahi Mika mengernyit. “Terus lo mau ngabisin sisa gue gitu?”
“Iyalah.”
“Gak boleh, ya! Mending gue bagi dua aja dari awal,” kata Mika lalu seolah dia adalah pemilik rumah gue, dia berjalan dengan santai ke arah dapur.
Gue menggelengkan kepala, memaklumi. Kemudian memilih buat nonton youtube sambil nungguin Mika.
“Caka, lo gak bosen kalau di rumah gini?” tanya Mika. Dia udah duduk lagi, ikut lesehan sama gue. Menunggu sup yang baru dia bikin, agak dingin.
“Kadang, tergantung pikiran gue lagi penuh apa kosong.”
“Berarti kalau lagi penuh lo bakal kepikiran, ya?” tebak dia tepat sasaran.
“Iya, tapi dibanding bosen lebih ke hampa sih. Dari kecil—tiap main, tiap sekolah, atau apa pun kegiatan luar rumah yang gue lakuin. Pasti ibu selalu ada di sini, nungguin gue pulang. Terus Ayah bakal jadi orang yang paling panik ketika gue telat pulang dan lupa berkabar.”
Gue berhenti sejenak. “Kalau sekarang, 'kan, gak ada yang nunggu gue pulang atau nyariin ketika gue pulang telat.”
Mika kelihatan shock dan gue tahu apa yang ada di pikirannya sekarang.
“Ortu gue masih ada kok. Mereka mutusin buat jalan masing-masing dan gue gak mau memilih salah satunya. Jadi, di rumah ini tinggal gue aja.”
Mika akhirnya mengangguk paham. “Lo tuh cerita juga dong, jangan membuat semuanya seolah tentang gue aja.”
Gue ketawa, jujur kalau gak ditanya gue gak akan berbagi. Tapi ketika ditanya pun, gue akan melihat siapa subjeknya sebelum menjawab.
“Itu barusan cerita,” jawab gue berusaha terlihat santai.
Mika mendengus. “Lo gak papa sama itu, Cak?”
Gue ketawa kecil. “Gimana bisa gue gak papa sama itu? Tapi awalnya ya berat banget, sekarang gue udah biasa.”
Gue senyum kecil ngelihat gimana ekspresi Mika. Gue ikut menyuap sup yang sama Mika malah dibagi dua itu. Kemudian bertanus, “Rumah lo apa kabar?”
“Eh?” balas Mika. “Kemarin wastafelnya bocor sih.”
Kocak.
“Maksud gue bukan itu. Tadi gue udah cerita, 'kan, gimana kabar rumah gue. Sekarang, lo yang cerita.”
“O-oh.”
“Soalnya lo hari ini tiba-tiba ke rumah gue. Ada yang buruk kejadian kah?” tanya gue lagi.
“Caka, lo tahu sendiri kalau di rumah gue jarang terjadi hal yang baik. Mama gue punya banyak aturan buat gue yang menurut dia bisa bikin gue sempurna kalau tampil di publik. Papa gue sibuk habis, sekalinya ke rumah cuma bisa bandingin gue sama kakak gue. Terus kakak gue gak pernah peduli. Belum lagi dengan popularitas yang ngebuat gue gak sebebas itu.”
Alasan kenapa Mika selalu mendatangi gue ketika dia muak akan semuanya adalah karena gue terlanjur tahu tentang dia. Di malam ketika gue mergokin dia nangis, mungkin dia gak sadar bilangnya. Tapi dia mengeluh soal isi hatinya ke gue malam itu.
Gue gak tahu harus bersyukur atau apa. Cuma gue ngerasa sedikit lega karena Mika cerita dan jujur soal perasannya. Kadang buat jujur sama perasaan sendiri pun adalah hal yang susah.
Gue mengakuinya karena gue selalu menekan diri gue sendiri buat baik-baik aja. Versi diri gue yang paling sering gue tampilkan ke dunia.
“Maaf, ya? Gue kesannya datang ke lo ketika susah aja. Dengan sikap anggota keluarga gue yang kayak gitu, kehadiran lo udah kayak lampu buat kehidupan gue yang gelap ini. Pokoknya gue janji, suatu hari nanti bakal bawa lo wisata kuliner dan semua itu gue yang traktir.”
Gue tanpa sadar tersenyum denger pengandaian sama janjinya itu. Lucu aja.
“Bisa aja,” balas gue dengan nada meledek.
“Gue serius tahu!”
“Iya dah, percaya.”
“Ih Cakaaaa!”
Kapan lagi lo bisa lihatin idola lo yang jadi lucu karena diledekin?
Sangat tidak disarankan untuk hati yang lemah.
Gue pernah ada di posisi kelimpungan dan bingung harus cari siapa. Gue sadar gue sendirian tapi gue membutuhkan orang lain untuk jadi sekedar teman bernapas.
Ruang yang luas itu tampak sempit. Di saat yang sama, gue bagai berubah jadi makhluk paling kecil. Gue terjebak dan gak bisa berlarian kemana pun.
Gue merasakan hal itu ketika awal-awal gue ada di rumah ini sendirian. Terbiasa ada di suasana hangat sebelum ditusuk dari belakang. Mereka bersikap baik ke gue tapi yang gue terima adalah ditinggalkan.
Padahal gue tahu jelas kalau gue yang gak mau ikut siapa-siapa.
Gue melihat sekitar sebelum kembali memandang ke ponsel. Terus begitu berulang kali, menunggu laporan memanggil itu berubah menjadi terhubung. Nama Mika ada di sana, ponselnya aktif tapi usaha menghubungi gue gak pernah diterima.
Gue khawatir. Perasaan ini kayak yang dulu gue rasain ketika hari pertama ditinggalkan.
Pagi tadi ada pengumuman secara tiba-tiba kalau Mika hiatus dari dunia hiburan dengan alasan kesehatan. Padahal semalam dia masih nelepon gue dan bilang kalau dia seneng karena bakal ada fanmeeting lagi.
Mika seneng karena bisa ketemu dengan orang-orang yang mendukung dia secara tulus.
Lalu paginya, kabar seperti ini yang gue terima. Bukan dari Mika langsung, tapi dari siaran berita yang awalnya gak berniat gue tonton.
Mengirim pesan, udah. Menelepon juga, udah. Namun gak satupun yang Mika beri respon.
Mau nyamperin ke rumahnya tapi gue gak yakin gue bakal diterima. Semisal Mika sakit, rumah sakit mana yang merawat anak itu?
Si Cakra ini kebingungan lagi.
Gue menghela napas sebelum merebahkan diri. Mungkin nanti, Mika bakal menghubungi gue lagi. Mungkin ... dia cuma belum bangun.
Buat sekarang, mari berpikir kayak gitu dulu, Cak. Jangan mikir aneh-aneh. Lo tahu sendiri, 'kan, kalau Mika gak baik-baik aja, dia bakal nemuin lo.
Dengan semua pemikiran yang memenuhi kepala gue. Gue tanpa sadar jatuh tertidur.
Ketika bangun, yang gue rasain pening abis. Gue melirik ke arah jam, sekarang udah jam 1. Gue tertidur lumayan lama. Mungkin efek bergadang dan capek?
Semalam sehabis pulang latihan gue langsung meladeni telepon Mika yang cerita soal fanmeeting.
Gue meraih ponsel. Ada satu notifikasi pesan dari Mika di sana.
Mika: |tlongsin gwe...ge ads di rumah...
dan tanpa berpikiran panjang, gue buru-buru pergi ke rumah Mika. Mika kirim pesan itu satu jam yang lalu, dengan ketikan yang gak bener itu. Gue yakin dia gak lagi baik-baik aja.
“Maaf, Anda tidak boleh masuk.”
Tangan gue mengepal. “Bos lo itu gak baik-baik aja! Lo kok masih bisa diem santai kayak gini, sih?!”
Satpam itu mengernyit.
“Mereka baik-baik saja. Mereka barusan pergi bertiga untuk makan siang.”
“Bertiga doang, 'kan? Yang gue maksud itu Mika! Dia minta tolong ke gue, ini—ini buktinya. Gue mohon izinin gue masuk.” Gue gak bisa menahan diri gue buat tetap tegar. Tanpa peduli bakal ketahuan, gue kasih lihat isi chat Mika.
Gue panik dan ucapan penjaga barusan ini ngebuat gue makin sedih. Bisa-bisanya mereka makan bertiga ketika Mika kayak gitu.
Gue udah menyusun rencana semisal gue tetap gak diizinin. Mungkin ngelompat lewat pagar belakang atau hal lainnya.
Tapi yang gak terduga, satpamnya malah bilang, “Baiklah, tolongin Non Mika, ya, Dek. Saya bakal tetap buat pagarnya terbuka.” sambil nyerahin balik ponsel gue.
Dia tahu sama apa yang terjadi di rumah ini.
“Makasih banyak, ya, Pak!”
Gue berlari secepat mungkin buat masuk ke rumah itu. Gue tahu ini gak sopan, tapi gue masuk tanpa permisi. Mencari keberadaan Mika sebelum ketahuan sama yang lain.
Mungkin rencana gue lagi didukung. Gue bisa sampai ke Mika tanpa ketahuan sama siapapun.
Gue tanpa sadar menahan napas ngelihat keadaan Mika. Dia tertidur, ada jejak air mata di wajahnya. Rambut yang acak-acakan juga lebam di beberapa bagian wajah.
Gue yakin, luka yang dia dapati gak cuma di bagian yang kelihatan aja.
“Mika! Bangun!”
Gue menepuk pelan pipi Mika supaya anak itu membuka matanya. Tapi nihil, Mika tetap memilih buat menutup matanya.
Gue memutuskan untuk langsung mengangkat tubuhnya. Belum sempat meninggalkan kamar Mika, ada piring yang terlempar ke arah kami. Membuat makanan yang ada di atasnya langsung berhamburan ke mana-mana karena piringnya pecah.
“Makan itu anak na—kamu siapa?!” bentak dia.
Gini? Kayak gini cara ngasih makan manusia? Sakit nih orang.
“Turunkan Mika! Kamu mau bawa anak saya kemana?”
Gue ketawa denger itu. “Anak? Kayak gitu, ya, cara ngasih makan ke ANAK sendiri?”
Wajahnya kelihatan marah. “Papa! Gio! Ada orang asing yang masuk ke rumah! Dia mau culik Mika!”
Cupu, bisanya manggil orang. Nuduh aneh-aneh pula.
Dua orang yang dia panggil itu gak lama kemudian muncul. Papa sama kakaknya Mika.
“Kamu siapa?! Turunkan Mika!”
Gue menggeleng. “Gak akan. Kalian bisa tolong minggir? Saya mau bawa Mika ke rumah sakit. Kalian sadar gak orang yang kalian bilang anak ini udah gak sadar dari tadi?”
“Tidak boleh! Lepaskan anak saya sebelum saya berbuat kekerasan pada kamu!”
Gue senyum, menantang. “Silahkan. Saya jadi punya bukti lebih untuk melaporkan kalian. Kekerasan yang Mika alami, perlakuan yang dia terima, juga saya yang nanti mendapatkan kekerasan padahal saya cuma mau tolong dia. Ah iya, asal kalian tahu. Ponsel saya sedang merekam percakapan kita sejak awal piring itu dilemparkan tadi.”
Headshot.
Tepat sasaran. Wajah mereka kelihatan memucat.
“Kurang ajar!”
Cuma bisa ngatain tapi gak bisa main tangan. Gue paham betul kalau emosinya udah siap meledak.
“Saya Cakra, teman Mika. Selama ini dia sering cerita segimana nyamannya rumah yang dia punya. Gak ada kenyamanan sama keamanan yang seharusnya dipunyai setiap rumah. Tapi dia tetap bertahan karena menganggap kalian orang tua yang patut dia sayangi dan hormati.”
“Kalau dipikir lagi. Kenapa juga dia harus sayang sama orang yang ngasih dia makan kayak ngasih makan ke hewan juga orang yang ngasih tubuh dia banyak rasa sakit? Saya gak bisa ngebayangin gimana sakitnya hati dia dengan perkataan kalian semua.”
Rencana gue berhasil. Ketika orang-orang itu maju, menghasilkan celah untuk gue lari dari kamar ini. Gue mempercepat langkah dan kabur dari sana.
Gue tentu dikejar, gue berusaha lari secepat mungkin meski harus sambil bawa Mika. Untungnya satpam tadi benar-benar bantu gue, dia bahkan memesankan gue satu taksi.
Gue pergi dari sana, motor pun gue gak pedulikan.
Sekarang, gue cuma bisa berharap kalau Mika bakal terbangun lagi nanti.
Gue gak bisa bayangin ketika gue harus ditinggalkan lagi. Terlebih gue gak bisa melihat dia lagi nantinya.
Gak bisa. Jangan sekarang, gue belum siap.
“Mika, lo harus bangun. Lo masih punya janji sama gue. Lo mau bawa gue wisata kuliner, 'kan?”
“Habis ini, gak akan ada yang nyakitin lo lagi. Gue gak bakal nemenin lo pas lo muak aja. Kita bisa langkah bareng-bareng, lo bebas mau ambil jalan mana pun nanti termasuk kalau gak sama gue.”
Yang penting lo bangun.
*Tolong, Mika. Gue mohon.”
Gue gak tahu harus apa selain menggenggam tangan dia erat. Walau tangan gue dingin karena panik. Gue tetap berharap itu bisa membuat Mika bangun.
“Ya Tuhan, makasih banyak.”
Gue spontan berucap demikian begitu ngerasain jari tangan Mika yang bergerak. Gue terpaku untuk beberapa detik, diam menunggu Mika membuka mata.
“Cakra,” panggil dia lemah.
“Iya, gue di sini.”
Mika membuka matanya. Niat gue yang ingin memanggil dokter harus tertahan karena anak itu ngebalas genggaman gue.
“Tolong jangan laporin mereka, Cak. Gue gak bisa kalau harus ngelihat mereka ada di tempat yang kayak gitu.”
“Gak bisa, Mihika. Ini udah parah banget.”
“Gue mohon. Lagian habis ini lo bakal nemenin gue kapanpun, 'kan? Itu cukup buat gue.”
Gue menggeleng. Mika, lo keterlaluan baik, mereka sama sekali gak akan belajar kalau kayak gini.
“Enggak. Rumah lo gak aman, gimana bisa gue biarin gitu aja?!”
Mika senyum, masih kelihatan lemah dengan wajahnya yang pucat itu. Dia mengelus pelan tangan gue. Anjirlah, gak segininya buat ngebujuk gue.
“Tolong, ya, Cak? Gue cuma punya mereka di dunia ini,” ucap dia.
“Ada gue, Mika. Lo gak usah mertahanin orang-orang yang bikin lo harus dirawat kayak gini sekarang.”
“Emang rumah itu harus kayak apa sih, Cak?”
Tiba-tiba?
“Rumah yang bisa dengerin lo, ngasih lo kenyamanan juga keamanan. Tempat istirahat lo juga.” Namun, gue tetap memutuskan untuk menjawab.
“Kalau gitu ada lo.”
“Hah?”
Sumpah, gue bingung habis.
“Iya, lo ngasih gue semua itu, Cak. Jadi, tolong biarin mereka, ya. Balasannya, gue gak akan masuk dunia hiburan lagi dan menghilang dari media sosial. Biar mereka yang diterror sama media. Itu udah cukup menekan.”
Gue masih bingung. “Jadi gimana?”
Mika menghela napasnya. “Bego.”
Si anjir, malah ngatain.
“Rumah gue yang sekarang itu lo dan lo juga bisa anggap gue rumah. Lagian lo sayang sama gue, 'kan? Jadi kesepakatan selesai.”
Gue diem, mencerna dengan baik. Mika bisa banget dah bikin hati orang yang awalnya khawatir jadi berbunga-bunga.
Gue gak butuh keadaan seperti ini, gak sekarang.
“Anjirlah,” kata gue.
“Oke, Cakra? Gue mau hidup biasa aja, sama lo. Jadi, lo gak usah peduliin mereka lagi.”
“Terus lo bakal masih peduli gitu?”
Mika mengangguk. “Mereka masih orang tua gue, gak ada yang namanya mantan orang tua, Cak. Gue tetap harus berbakti sama mereka. Lo juga gitu, 'kan? Orang tua lo udah pisah dan ninggalin lo, tapi lo tetap jaga komunikasi sama mereka.”
Gue menghela napas. “Ya udah.”
Mika senyum lebar. Gue jadi lebih lega karena lihat itu. Dia udah bisa senyum, Cakra. Lo lihat sendiri.
“Makasih, Caka. Lo emang yang terbaik!”
Maaf, tapi gue gak tahan buat ngelus kepala dia. “Sama-sama. Gue panggil dokter dulu, ya. Tadi disuruh gitu kalau bangun.”
“Oke, rumahku,” jawab Mika yang ngebuat hati gue makin acak-acakan.
“Lo tuh—ingetin gue kalau udah sembuh nanti buat peluk lo kenceng.”
“Yah, gak boleh sembuh dong berarti gue?”
“Mulut lo!”
Mika ketawa, tuh lihat, Cak, dia udah ketawa. Sekarang lo bisa bernapas dengan bebas.
“Udah ah, gue manggil dokter dulu.”
“Okay, kalau mau peluk habis diperiksa juga boleh, kok! Gak usah nunggu gue sembuh.”
“Awas, ya, lo nanti!”
Jadi, ini yang mau gue ceritain ke kalian. Kisah antara gue, Cakra sama Mihika yang berujung jadi rumah satu sama lain.
Rumah yang cukup baik buat satu sama lain, gue rasa.
Jadi, gue akan akhiri kisah ini dengan satu pertanyaan.
Rumah lo, apa kabar?
—honeyshison.
Hari ini Desember mencapai angka 31. Langkah kita akan beristirahat sejenak buat memulai hal baru besok.
Kalau diingat lagi, akun ini belum tepat setahun. Dia muncul bulan Maret dan aku sadar betul itu adalah waktu yang lama. Dalam waktu selama itu, sudah banyak hal yang kudapati dan pelajari.
Mudahnya begini; akun ini muncul dan hanya sekedar membagikan sesuatu. Tapi ternyata aku malah memulai interaksi, mengajak berdiskusi, berbagi apresiasi, juga hal lain yang memperpanjang durasi untuk berdiam di akun ini.
dan aku sama sekali gak menyesali itu, aku malah menikmatinya.
Seseorang pernah bilang ke aku untuk menikmati segala hal yang disukai, khususnya di sini adalah menulis. Walau begitu, kita tetap perlu hati-hati.
Banyak hal yang bisa dituangkan tapi gak semua dapat diserap dengan baik.
Besok kita semua bakal membuka lembaran baru. Akan ada cerita baru, tapi akan ada juga lembaran lama yang dilanjutkan. Itu bukanlah sebuah masalah, kita yang tetap terus melangkah udah hal yang sangat baik. Tapi jangan lupa untuk istirahat, ya?
Setahun ke belakang, di usia 17 ini. Aku banyak mendapat pengalaman menarik lewat akun ini; dari kalian. Ada banyak hal yang kupelajari dari yang kalian bagikan—baik karya atau informasi, bahkan dari sekedar cara typing.
Untuk itu semua, terima kasih banyak.
Terima kasih untuk pengalaman dengan berbagai rasanya, selanjutnya mari berdoa sama Tuhan kalau di 2022 akan ada hal baik yang kita semua dapatkan. Juga hal-hal lain yang bisa kita ambil untuk berkembang.
Selamat tahun baru, selamat mendatangi lembaran baru, selamat menutup juga memulai. I believe that you have tried your best dan itu adalah hal yang patut dikasih bintang lima—bahkan kalau bisa, semua bintang yang ada di langit.
Sudah, untuk saat ini itu saja. ♡
Aku buat playlist, siapa tahu ada yang gabut terus mau nonton 😬✌. Gak semua bertopik berat dan ini secara gak langsung juga rekomendasi beberapa channel yang bisa diikuti di youtube.
Bisa klik ini kalau mau nonton, yaa. 😼👍
Toko baru itu mengundang perhatian beberapa orang. Orang-orang yang ada di depan berusaha melihat isi toko melalui jendelanya, tapi mereka gagal karena di dalam sana terlalu gelap. Di pintunya, tergantung sebuah papan. Jika dibaca lebih lanjut, orang-orang akan mendapatkan informasi singkat tentang nama dan jadwal toko ini.
Genera Colorum.
Datang saat gelap, pergi saat terang.
Langit perlahan menjadi gelap. Orang-orang semakin banyak berkumpul di depan toko itu, dan kamu adalah salah satunya. Ketika malam sepenuhnya datang, lampu toko mulai menyala satu per satu.
Pintu yang sedari tadi tertutup pun akhirnya terbuka, menampilkan dua orang perempuan. Mereka memiliki rambut dengan warna yang cukup mencolok, hijau dan abu-abu.
“Selamat datang di Genera Colorum,” sambut si hijau, “saya Dahyun dan saya akan selalu menunggu kalian. Tetapi, saya juga akan selalu bisa menahan kalian.”
Perkataan Dahyun membuat mereka sedikit was-was, tapi rasa penasaran jauh lebih kuat. Sehingga mereka memutuskan untuk tetap bertahan di sana.
“Saya Chaeyoung,” sambung si abu-abu. “Sebelum masuk masing-masing dari kalian harus bisa menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Jangan ragu atau kalian tidak berhak untuk masuk.”
“Silahkan berbaris,” ucap Dahyun dan langsung dituruti. Entah bagaimana caranya, tapi orang-orang itu berhasil membuat kamu ada di barisan paling depan.
Chaeyoung menatapmu dengan serius, kemudian dia bertanya, “Sebutkan tiga nama hari kecuali Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Apakah kamu tahu?”
Pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi karena ini sudah malam dan fungsi otak menurun karena berbagai faktor, membuat kamu tidak bisa langsung menjawabnya. Orang-orang di belakangmu tanpa sadar ikut berpikir.
“Ah, ya! Kemarin, besok dan lusa?” tebakmu tanpa ragu.
Chaeyoung mengukir senyuman puas. “32 detik, baiklah silahkan masuk.”
Kamu masuk setelah Chaeyoung dan Dahyun sama-sama mengubah posisi mereka menjadi menyamping. Setelah itu, Dahyun tersenyum sambil menatap orang berikutnya. Perasaan gelisah karena takut tidak bisa menjawab menghilang begitu saja ketika melihat senyuman itu. Ia merasa seperti ditawarkan sebuah kedamaian oleh Dahyun.
Chaeyoung kembali mengubah raut wajahnya menjadi serius. Dia menatap laki-laki yang menjadi orang berikutnya yang akan menjawab pertanyaan darinya.
“Semakin banyak mengambil, semakin banyak tersisa. Apakah itu?”
“U-uhm apa ya? Makan ... makanan?”
“Ragu. Kamu tidak berhak masuk kesini,” ucap Chaeyoung penuh penekanan. Orang-orang yang menyaksikan di sana menahan napas mereka seketika saat laki-laki itu tiba-tiba berbalik dan berjalan pergi.
“Kenapa kakiku bergerak sendiri?! Hei apa yang kalian lakukan padaku?!”
“Tenang saja, dia hanya terperangkap dengan kakinya sendiri. Seperti yang Chaeyoung bilang sebelumnya, jangan ragu atau kamu tidak berhak datang kesini,” jelas Dahyun diakhiri senyum.
Lagi-lagi senyuman itu menimbulkan rasa damai bagi yang melihatnya. Membuat mereka lupa dengan kalimat yang sebelumnya ia katakan.
Abu-abu menggambarkan keseriusan, tapi di sisi lain dia akan menimbulkan rasa kurang percaya diri. Sementara hijau, tak pernah jauh dari kedamaian. Namun, jangan lupa bahwa kedamaian pun bisa memerangkap.
Ada banyak lorong di dalam toko itu, tapi yang menarik perhatianmu adalah lorong yang didominasi oleh warna kuning. Kamu berjalan memasukinya, langkahmu terhenti tiba-tiba karena kemunculan seseorang berambut pirang dari sana.
“Halo, saya Momo, pegawai di lorong ini. Kamu bisa berbahagia sepuasmu di sini, tapi tidak boleh berubah-ubah. Oh iya, kuning memang terang, tapi terlalu terang dapat membuatmu tertekan dan gelisah, benar kan?”
Kamu menatap Momo bingung, tapi kemudian mencoba untuk memahaminya.
“Benar.”
“Kamu pengunjung pertama di lorong ini, mari saya temani.” Momo mendekat padamu, dia merangkulmu seolah kalian sudah akrab sejak lama.
“Apakah kamu percaya bahwa kuning itu bahagia?” tanyanya pada kamu yang sibuk menatap sekeliling.
Benda-benda yang ada di sana memang berwarna kuning tanpa campuran warna lain. Beberapa makanan seperti sponge cake, keripik dan mie ada di sana. Bahkan di ujung lorong kamu bisa melihat bunga mawar dan gesanghua berwarna kuning. Benda yang tidak berwarna kuning hanyalah rak dan vas bunganya.
“Mungkin? Mengingat anak kecil banyak yang menyukainya,” jawabmu.
“Oh ada pengunjung lain,” ucap Momo membuat kamu langsung menoleh ke belakang. Benar saja ada dua orang perempuan di sana.
Momo melepaskan rangkulannya, dia berjalan mendekat pada kedua orang itu. Kamu berpikir mungkin Momo akan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan padamu tadi, oleh karena itu kamu memutuskan untuk mendekat pada bunga-bunga yang ada di ujung lorong itu.
Senyuman lebar terukir di wajahmu, perasaan bahagia muncul melihat betapa cantiknya bunga-bunga itu.
Langkah Momo terhenti ketika ada seorang perempuan pirang lain yang berdiri di depan kedua orang itu. Momo mengendikkan bahunya, kemudian kembali mendekat padamu dan diam di sebelahmu tanpa kamu sadari.
“Halo, saya Mina, pegawai di lorong ini. Kamu bisa berbahagia sepuasmu di sini, tapi tidak boleh berubah-ubah. Oh iya, kuning memang terang, tapi terlalu terang dapat membuatmu tertekan dan gelisah, benar kan?” ujarnya pada dua orang perempuan yang baru memasuki area lorongnya.
“Dia berbicara apa sih? Semua pegawai di toko ini aneh.”
Mina tidak tersinggung, dia masih memberikan kesan cerianya. Dia malah berkata, “Silahkan melihat-lihat, temukan satu benda yang bisa membuatmu bahagia.”
Kedua orang itu berpandangan, mereka memilih untuk mengabaikan Mina dan melihat barang-barang yang ada di sana.
“Lihat ini! Antingnya akan cocok denganku, aku akan tampak cantik dengan ini,” ujar salah satunya diakhiri dengan sebuah tawa bahagia.
“Sepatu warna kuning, bukannya ini akan serasi dengan jaket yang aku beli kemarin?” balas temannya sembari menunjukkan sepatu yang ia maksud.
“Banyak kue, di sini lihat. Kue lebih baik dari anting yang tadi.”
“Hei, ada cat kuku juga! Bahagia itu mudah ya, di sini banyak ala—” Dia menghentikan ucapannya ketika merasakan sesuatu menyentuh kakinya. Matanya membulat ketika melihat sesuatu yang mirip seperti tentakelnya ada di sana. Dia melihat pada temannya, mereka ada dalam keadaan yang sama.
“Hei apa ini?!” jerit keduanya.
Kaki mereka tiba-tiba ditarik, membuat keduanya hilang keseimbangan dan terjatuh. Mereka mulai berteriak ketika dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan yang entah sejak kapan ada di sana. Kamu mengalihkan pandanganmu dari bunga kala mendengar keributan itu, tapi yang pertama kamu lihat adalah sosok Momo yang masih tersenyum hangat.
Itu membuatmu terkejut dan spontan mengambil langkah mundur.
“Hai! Kamu suka bunganya? Apakah kamu bisa bahagia hanya dengan bunga dalam satu waktu?” Momo bertanya dengan nada ramah.
Kamu mengangguk dengan kaku, itu membuat senyum Momo semakin lebar. Dalam pandanganmu, dia tampak menggemaskan sekarang.
“Baiklah terima kasih sudah mengunjungi lorong kuning ini dan mengikuti perkataanku. Bunga mawar ini gratis untukmu! Kasir akan tahu, kamu tidak perlu mengatakannya.”
Kamu menerima bunga mawar yang Momo beri lalu tersenyum. “Terima kasih.”
“Sama-sama! Masih banyak lorong yang bisa kamu kunjungi sebelum terang datang, selamat berbelanja di toko kami. Dengarkan baik-baik apa yang mereka bilang, ya!” Momo sedikit berteriak di akhir karena terlalu antusias.
Meskipun merasa bingung, kamu mengangguk dan kembali melangkahkan kakimu menuju lorong yang lain.
Kuning selalu punya makna yang positif, dia punya kesan ceria dan bahagia. Sayangnya, semua kesan positif itu tidak lepas dari risiko kegelisahan dan inkonsisten.
Kamu hanya perlu menahan diri dalam lorong ini dan ikuti apa yang pegawainya katakan.
“Selamat datang di lorong merah! Tidak ada peraturan khusus, kamu hanya perlu berhati-hati dengan si merah. Saya Sana, apakah kamu tahu rasanya kasih sayang?”
Kamu disambut oleh seorang perempuan dengan rambut berwarna merah muda di lorong yang didominasi oleh warna merah. Ketika mendekat kamu baru sadar kalau di lorong itu, benda-bendanya tidak hanya berwarna merah, ada juga yang berwarna merah muda.
“Apakah setiap pegawai lorong memiliki warna rambut yang sama dengan lorong yang dia tempati?” tanyamu pada Sana, mengundang tawa dari perempuan itu.
“Begitulah, masing-masing dari kami mewakilkan satu warna.” Kamu mengangguk paham, pantas saja sedari tadi apa yang mereka ucapkan tidak jauh berbeda dari makna warna yang pernah kamu baca di internet.
“Lalu, apakah di sini ada dua warna?” tanyamu lagi.
“Iya, merah dan merah muda. Aku tidak tahu Jihyo ada di mana, yang pasti berhati-hatilah jika melihat perempuan berambut merah. Omong-omong kamu belum menjawab pertanyaanku sebelumnya,” balas Sana.
“A-ah maaf, tentang kasih sayang, 'kan?” Sana mengangguk.
“Aku masih merasakannya dari keluargaku.”
“Kalau cinta bagaimana? Apakah kamu mau dengan dia? Aku bisa membuat kalian saling jatuh cinta,” ucap Sana sembari menunjuk pada seorang laki-laki yang berdiri di hadapan sebuah gitar. Kamu menggeleng dengan cepat.
“Tidak ... tidak perlu. Untuk sekarang cinta keluargaku saja sudah cukup.”
“Kamu pengunjung pertama yang menolak, baguslah. Kamu tahu? Laki-laki itu tidak sama sepertimu, kalau kamu menyentuhnya maka akan .... “
Sana menggantungkan kalimatnya ketika laki-laki yang ia bicarakan terjatuh akibat ditendang oleh seseorang. Kamu memandang takut ketika lantai toko menghisapnya masuk, lalu menghilang bagai ditelan bumi.
“Dia menghalangi jalanku,” ucap Jihyo, si merah yang baru saja menendang.
“Lihat? Kalau disentuh, dia akan seperti itu,” sambung Sana, meneruskan ucapannya yang sempat tertahan tadi.
“Apa dia—”
“Hei, minggirlah!” Jihyo memotong kalimatmu, dia berjalan melewatimu dan Sana. Pundakmu dengan Jihyo sempat bertabrakan cukup keras, berhasil membuat kamu merintih sakit. Sementara Jihyo tampak tidak peduli dan kembali menghilang.
“Ah maafkan Jihyo. Merah memang identik dengan agresivitas dan kekerasan, tapi dia baik kok sebenarnya.”
Kamu tidak membalas perkataan Sana, kamu menatap kosong ke depan. Kamu menunjuk dengan gemetar ke tempat di dekat gitar. Ada sebuah tentakel yang kemudian berubah menjadi laki-laki yang sama dengan yang tadi ditendang oleh Jihyo. Bahkan posisinya pun sama, memandangi gitar.
Sana meringis. “Aku lupa menutupimu, maaf-maaf. Laki-laki itu hanya untuk menguji pengunjug, terkadang seseorang menjadi kurang berhati-hati dengan romansanya hanya karena fisik lawannya pantas dicintai.” Tangan Sana mengelus rambutmu, berusaha menenangkan.
“Kamu tadi bertanya lorong cokelat, 'kan? Ada di sebelah lorong ini,” ucap Sana sembari menjauhkan tangannya darimu.
Kamu mengerjapkan matanya. Tiba-tiba rasa bingung melingkupi dirimu. “Ah ya, aku rasa tadi aku mencari lorong cokelat ... kenapa jadi kesini ya?”
Di lorong dengan benda-benda berwarna cokelat ini suasananya terasa lebih nyaman. Aroma hutan yang kamu sukai sungguh terasa akrab. Bunga mawar yang kamu pegang sedari tadi seperti menambah suasana.
“Ah ya, aku belum memilih satupun barang untuk dibeli,” gumammu kemudian memilih untuk mendekat pada jajaran cokelat batang yang sungguh menarik perhatianmu.
“Hai! Maaf terlambat menyapamu, aku Nayeon. Pegawai di lorong ini bersama dengan Jeongyeon.” Kamu tersentak karena terkejut dengan kehadiran perempuan berambut sebahu itu. Nayeon langsung mengelus pundakmu untuk menenangkan.
“Maaf karena telah membuatmu terkejut.”
“Tak apa,” balasmu lalu tersenyum canggung.
“Kamu suka cokelat?”
“Aku sebenarnya hanya bingung mau membeli apa, aku pikir ini lorong terakhir yang akan aku kunjungi. Aku ingin segera pulang sebelum larut.”
Nayeon mengangguk paham. “Aku sarankan cokelat yang ini, tidak terlalu manis dan tidak juga terlalu pahit. Ada tambahan kacang, rasanya enak sekali!”
Kamu terdiam, tampaknya lorong cokelat akan menjadi kesukaanmu. Disini rasanya nyaman dan akrab, pegawainya pun berbeda dengan yang sebelumnya. Pegawai lain selalu memulai dengan kalimat atau pertanyaan yang perlu dipikirkan lebih lama.
“Baiklah, aku akan membeli ini.”
Nayeon tersenyum puas. “Terima kasih sudah mendengarkan saranku, hati-hati di jalan ya!”
“Iya, terima kasih kembali.”
Kamu berjalan menuju kasir dengan bunga mawar yang diberikan Momo dan dua buah cokelat yang disarankan oleh Nayeon tadi. Namun kemudian, langkahmu terhenti karena ada dua orang perempuan yang berdiri menghalangi kasir.
“Hari ini banyak yang terjebak di tempat Momo dan Mina. Aku dengar Chaeyoung dan Dahyun pun lebih banyak membiarkan mereka masuk dari pada keluar,” kata salah satunya yang memiliki rambut berwarna cokelat.
“Di lorongku apa lagi, Sana terus-menerus menawarkan makhluk itu pada setiap pengunjung,” balas perempuan yang berambut merah. Itu adalah Jihyo yang sempat kamu temui tadi.
“Kita akan makan banyak hari ini—”
“Maaf memotong, Kak Jeongyeon dan Kak Jihyo. Kalian sadar tidak kalau ada seseorang di sana yang mau membayar?”
Dua orang itu langsung memandang ke arahmu begitu mendengar suara kasir.
“M-maaf, saya hanya ingin membayar,” ucapmu sembari mendekat. Jeongyeon dan Jihyo memberimu jalan. Kamu berdiri di hadapan si kasir yang memiliki rambut berwarna hitam.
“Selamat malam, Kak. Perkenalkan, saya Tzuyu. Apa menyenangkan mengunjungi lorong-lorong dengan warna berbeda di sini? Kalau merasa aneh, tolong dimaklumi ya. Kami tidak sama sepertimu,” ujarnya sembari memasukkan dua cokelatmu ke dalam sebuah tas kertas.
Tzuyu tersenyum tipis. “Kak, warna itu tema yang menarik bukan? Orang-orang datang ke sini karena penasaran, tapi tak pernah berusaha mendengarkan. Kamu selalu mendengarkan, oleh karena itu aku tidak akan membiarkanmu untuk melanggar.”
Kamu memandang bingung, tidak menangkap apa yang Tzuyu maksud. Namun ketika melihat rambut hitamnya, kamu mengingat kalau hitam identik dengan misterius.
“Kamu mendapatkan bunga dari Kak Momo, jadi ini gratis.”
Kamu membulatkan mata. Kamu kira hanya bunga yang diberi gratis, ternyata coklatnya juga. “Sungguh?”
Tzuyu mengangguk. “Iya, terima kasih telah berkunjung, Kak.”
“Terima kasih kembali,” balasmu dan buru-buru ke luar dari toko itu. Kamu menarik napas dalam-dalam.
“Tempat yang aneh.” Setelah mengucapkan itu rasa pusing menyerangmu. Kamu spontan memejamkan mata untuk menahan sakit, juga bertumpu pada tiang yang ada di sana.
Kamu membuka mata, rasa bingung kembali kamu kamu rasakan.
“Kenapa malam-malam seperti ini aku ada di luar rumah? Lalu, dari mana aku mendapatkan cokelat dan bunga ini?”
Kamu melihat ke arah sekitar. Ketika kamu berbalik, yang kamu temukan adalah sebuah lahan yang kosong.
—honeyshison.