karsalakuna

Soonyoung, Sana – 1.


Soonyoung terkadang sering memikirkan alasan dibalik sesuatu yang terjadi padanya di hari itu. Jika bertemu dengan seseorang tanpa tuntutan seperti pekerjaan, ia akan semakin mempertanyakannya.

Read more...


“Akhirnya, bangun ... merasa baikan gak?”

Yang pertama kali Sana lihat ketika membuka matanya adalah lampu. Perempuan itu menoleh ke asal suara, ada Eunbi di sana. Sana sedikit merasa kecewa karena yang pertama kali ia lihat bukanlah Soonyoung. Sana menepis rasa kecewanya, dia adalah wanita yang akan berumur tiga puluh tahun, perasaan semacam ini seharusnya tak perlu ia rasakan.

Read more...


Kwon Soonyoung akan menikahi asisten pribadinya, Minatozaki Sana.

Pagi ini kantor diramaikan oleh berita itu, setelah semalam mereka sama-sama menerima email berisi undangan pernikahan. Tak ada yang pernah menduga kalau direktur keuangan akan berakhir dengan asistennya, lebih tepatnya tidak ada yang menyangka kalau Soonyoung menjalin sebuah hubungan.

Yang sedang menjadi topik pembicaraan muncul di lobi, pemandangan Soonyoung dan Sana dibelakangnya adalah hal yang biasa. Tapi, kali ini semuanya terasa berbeda karena undangan pernikahan keduanya. Bisikan mulai terdengar seiring langkah keduanya yang semakin dalam memasuki area kantor.

Soonyoung menghela napasnya, memang benar manusia dan hobinya membicarakan orang tidak bisa dipisahkan dimana pun tempat dan tujuan keberadaannya.

“Kalau mereka mau menikah, kenapa jalannya belum berdampingan?”

Kalimat itu menjadi satu bisikan yang jelas terdengar oleh Soonyoung, langkahnya terhenti seketika. Dia melirik pada pemilik suara lewat ekor matanya, raut tanpa ekspresi yang sering ditunjukkan menjadi ancaman tersendiri apabila Soonyoung menatap secara khusus.

Sana tentu menyadarinya. Bekerja semenjak sosok di depannya diangkat menjadi direktur, Sana sudah bisa menilai bagaimana Soonyoung.

Sana berjinjit agar bisa berbisik pada Soonyoung, “Pak Kwon, masih banyak pekerjaan lain.”

“Ah benar masih banyak pekerjaan,” balasnya sengaja mengeraskan suaranya, menyindir. Soonyoung melanjutkan langkahnya dan tentunya langsung diikuti oleh Sana.

“Ini dia yang baru aja ngehebohin dunia.” Begitu sampai di lantai tempat ruangan mereka berada, keduanya disambut oleh celetukan Jinhyuk yang sepertinya sengaja menunggu di dekat lift. Soonyoung memutar bola matanya malas, untung Jinhyuk bukan sekedar rekan kerja.

Ah, laki-laki itu pasti akan membahas hal yang sama yang menjadi topik pembicaraan mereka di group chat semalam.

“Kerja, Pak. Jangan kayak pegawai lo yang gosip di bawah,” balas Soonyoung, tanpa sadar ia sudah bersikap tidak formal di depan Sana.

“Lo belum jawab pertanyaan gue semalam, ya, Soon,” balas Jinhyuk, membuat Sana mengernyitkan dahinya. Tidak tahu menahu soal ini.

“Nanya lagi, lo gak akan dapet undangan cetaknya,” balas Soonyoung sembari berjalan menuju ruangannya. Memilih untuk mengabaikan Jinhyuk.

Jinhyuk yang kelewat hafal dengan tingkah sahabatnya kini berdecak, kesal karena tiba-tiba ditinggalkan. Laki-laki itu menatap pada Sana yang tidak mengekori Soonyoung.

“Sana, yakin nikah sama Soonyoung? Saya sebenarnya masih bingung kenapa kalian bisa tiba-tiba memutuskan untuk menikah, Soonyoung gak pernah cerita secara jelas. Apa pun itu, saya harap bukan jalan yang kalian ambil sebagai penyelesaian masalah. Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”

Sana terdiam untuk beberapa saat sebelum memandang Jinhyuk dan tersenyum tipis. “Pak Lee, sebentar lagi ada rapat dengan direktur utama.”

Jujur, ia selalu merasa kebingungan jika ditodong pernyataan seperti itu. Meski sudah diyakinkan sebagaimana rupa, ketakutan soal itu tetap ada dalam dirinya.

“A-ah benar juga, saya duluan ya, Sana.” Laki-laki itu teralih seketika, ia mengambil langkah cepat dan masuk ke ruangannya.

Rapat dengan direktur utama tidak pernah menjadi hal yang menyenangkan untuk mereka berempat. Para asisten paham dengan jelas.

“Setelah menikah, bukan berarti semuanya selesai.”

Sana menggelengkan kepalanya, ini bukan saatnya ia memikirkan itu. Kini, ia harus menjadi Sana yang berperan sebagai seorang asisten dari direktur keuangan. Bukan calon istrinya.


Soonyoung memandang lekat ke arah Sana, sedari tadi ia mengamati bagaimana gerak-gerik perempuan itu. Sudah jadi kebiasaannya untuk memeriksa kegiatan Sana. Namun, kali ini ada yang berbeda.

Perempuan itu tampak terlihat memucat dan gerakannya juga cenderung lambat. Ia terlihat lemas.

Laki-laki itu melihat pada jam tangannya, sebentar lagi jam kerja akan selesai. Tidak ada yang harus mereka lakukan setelahnya karena persiapan pernikahan hanya tinggal menunggu undangan cetaknya selesai.

Soonyoung merapihkan semua peralatannya kemudian membuka salah satu lacinya, mengambil jaket yang sengaja ia simpan di sana. Dia berjalan mendekat ke arah Sana, tanpa kata menyampirkan jaketnya pada bahu asistennya.

Sana terdiam masih memproses keadaan. Hingga ketika Soonyoung mulai membereskan barang-barangnya, dia baru bereaksi lebih.

“P-pak Kwon, biar saya saja.” Sana berucap panik dan spontan memegang lengan yang lebih tua. Gerakan Soonyoung terhenti dan mata mereka bertemu.

Si kelahiran Juni tersenyum tipis seraya menggeleng. “Ini sudah bukan jam kerja, Sana. Sekarang kamu pasangan saya, tidak perlu sungkan, ya.”

Sana langsung terdiam. Ia tidak lagi protes ketika Soonyoung melanjutkan kegiatannya tanpa menyingkirkan tangan Sana yang memegangnya. Merapihkan dengan satu tangan tanpa merasa keberatan.

Sana tiba-tiba meringis, merasakan rasa sakit di kepala yang sempat ia abaikan, sekarang kembali terasa.

Soonyoung sadar akan hal itu. Namun, ia tak mengatakan apa-apa. Soonyoung melirik sekilas pada Sana, kemudian mempercepat gerakannya.

“Kamu kuat jalan?” tanyanya seraya memegang dahi Sana, memeriksa suhu tubuh perempuan itu. Sana dibuat bungkam karena sentuhan pada dahinya yang dilanjutkan dengan elusan pelan di pucuk kepala.

“Sana?” tanya Soonyoung lagi ketika Sana tak kunjung menjawab pertanyaannya.

“A-ah kuat kok, Pak.”

“Pakai jaketnya ya, tas kamu biar saya yang bawa. Tidak ada yang tertinggal, 'kan?” tanya Soonyoung dan Sana mengangguk sebagai jawaban.

Ketika Sana berdiri, Soonyoung segera merangkulnya, sekaligus membantunya untuk berjalan. Laki-laki itu tidak yakin Sana kuat seperti yang dikatakannya, tapi ia diam karena paham kalau Sana masih sungkan padanya.

“Saya temani ke dokter, ya.” Sana tidak membalas lagi. Kali ini kepalanya benar-benar terasa pusing. Dalam posisi berjalan seperti ini rasanya semakin sakit.

Ditambah pikirannya masih terfokus pada satu hal.

Begitu keluar dari ruangan Soonyoung, kesadaran Sana menipis. Sebelum pandangannya berubah menjadi gelap, ia sempat mendengar, “Sini biar gue yang bawa barangnya. Lo jangan panik! KWON SOONYOUNG ASTAGA!”

Setelah itu, kesadarannya menghilang. Meninggalkan Soonyoung yang panik karena Sana tiba-tiba jatuh pingsan, untuk dia masih bisa menahan agar tubuh itu tidak menabrak lantai.

Eunbi yang barusan teriak menyuruhnya untuk tidak panik rasanya malah membuatnya semakin merasa panik. Perempuan itu tentunya tidak sendiri, ada Seungwoo yang mengekorinya.

“Tunggu apa lagi, sih, Soon? Gendong terus cepet bawa dia ke rumah sakit.”

Mata Soonyoung bergertar. “Bi, Sa-sana ... ini gara-gara gue. Harusnya dia jangan suruh dia kerja.”

“Nanti aja bahasnya, sekarang kesehatan dia lebih penting, okay? Kalau gak mau ke rumah sakit, bawa aja ke rumah lo. Nanti biar Seungwoo yang neleponin medis,” ucap Eunbi sembari mengusap pundak Soonyoung, berusaha membuatnya lebih tenang.

“Kwon Soonyoung, astaga. Malah nangis!”

Sana tidak ingat kapan terakhir kali rumahnya terasa hangat. Ketika Jeongyeon datang, tak ada perubahan yang ia rasakan dengan jelas. Perempuan itu datang tidak untuknya, tapi untuk Soonyoung.

Dua kali menolak kedatangan Soonyoung, Sana tidak pernah menyangka bahwa laki-laki itu berhasil membawa kehangatan pada rumahnya. Bahkan di saat dia hanya baru memasuki tempat Sana berlindung selama ini.

“Gue bawa makanan,” ucap Soonyoung, suaranya pelan. Meski berusaha disembunyikan, Sana masih bisa melihat getaran pada gerakan laki-laki itu.

Soonyoung benar, dia tidak akan benar-benar pulih apabila mereka berdua tak saling menerima secara langsung.

“Makasih,” balas Sana dibalas Soonyoung dengan senyumannya.

“Gue minta maaf kalau kehadiran gue malah menekan lo,” ucap Soonyoung kemudian.

Sana tahu, pada awalnya kehadiran Soonyoung sebagai soulmate sangat menekannya. Tetapi, ketika laki-laki itu duduk di hadapannya seperti sekarang. Segala rasa keberatan yang ia rasakan sebelumnya seolah menghilang begitu saja.

Mungkin memang benar, jika di luar kesadaran, soulmate akan selalu diterima.

“Gue udah terima lo, Soonyoung.”

Soonyoung menggeleng. “Lo belum terima gue, Sana. Lo cuma nerima ikatan antara kita.”

Sana terdiam. Apa yang Soonyoung katakan memang benar.

Mungkin, untuk menerima ikatan mereka ia sanggup untuk mengusahakannya. Tapi, untuk menerima Soonyoung dalam kehidupannya ia membutuhkan waktu lebih lama lagi. Meski tanpa melakukan apa pun, Soonyoung bisa membuatnya nyaman.

Mau bagaimanapun, keduanya tetaplah orang asing untuk satu sama lain.

“Lo sendiri udah nerima gue?” tanya Sana dan Soonyoung langsung menggeleng tanpa perlu berpikir panjang.

“Gue tadinya mutusin buat gak peduli sama lo,” ucapnya, “tapi, karena lo udah ngasih gue kesempatan. Gue bakal berusaha buat nerima lo sebagai soulmate gue.”

Sana tidak bisa menebak apa isi pikiran Soonyoung sehingga laki-laki itu tersenyum hangat setelah mengatakannya.

“Gue sedikitnya bisa menebak kalau kisah hidup kita gak jauh berbeda. Mungkin, itu alasan lo sama gue dipertemukan. Semesta kasih gue kepercayaan lagi buat jaga seseorang.”

“Apa yang adik lo bilang—semuanya, itu benar-benar kejadian di kehidupan kalian?”

Soonyoung sedikit memiringkan kepalanya. “Gue gak tahu apa aja yang Yena omongin ke lo.”

“Lupain,” balas Sana, tidak ingin menceritakannya kepada Soonyoung. Jika laki-laki itu memang tidak tahu, ya sudah.

“Okay, bakal gue lupain.”

Soonyoung menegakkan duduknya, sebelum kembali berkata, “Gue rasa, kita perlu kenalan ulang secara benar. Gimana?”

Sana paham hal itu, dan ia tak punya alasan untuk menolak ucapan Soonyoung.

Laki-laki itu sekali lagi memberikan senyuman hangatnya. Dia menawarkan tangannya pada Sana, mengajak perempuan itu untuk saling berjabat.

“Kenalin gue Soonyoung, 25 tahun. Kita punya tanda yang sama di waktu yang sama, lo bisa nyimpulin sendiri, 'kan, kita kenapa?”

Butuh beberapa detik untuk Sana hingga akhirnya ia mengangguk dan berkata, “Gue Sana, 24 tahun.”

Tangan Sana bergerak, menyambut tangan Soonyoung sehingga keduanya bersentuhan sekarang. Tak ada yang berani untuk berkata, tapi keduanya sama-sama tahu bahwa tak ada ketidakcocokan yang bisa mereka cari lagi.

Seakan, penolakan ketidakpedulian yang masing-masing dilakukan oleh keduanya adalah hal yang percuma—atau mungkin, memang percuma.

“dan, ya, gue tahu kita soulmate.”

Sana tersenyum, mungkin itu adalah pertama kalinya perempuan itu memperlihatkannya pada Soonyoung.

Semua rasa sakit yang masih samar Soonyoung rasakan, seakan menghilang begitu saja. Rasa sesak yang akhir-akhir ini ia alami, berubah menjadi rasa lega yang luar biasa.

Kita soulmate.

Hanya sekedar ungkapan saja, Soonyoung seakan diberi seluruh kesembuhan yang ada di dunia ini.

“Sana, kalau suatu saat nanti lo mau menjalin hubungan romansa sama seseorang yang bukan gue, gue izinin.”

Sana memperlihatkan wajah bingungnya. “Lo gak akan—”

“Gue gak tahu apa yang bakal terjadi di masa depan—kita sama-sama gak tahu,” potong Soonyoung, “tapi, buat sekarang, gue sama lo sama-sama belum bisa buat melangkah lebih jauh, 'kan?”

Sekali lagi, Sana tidak tahu bagaimana harus mengelak dari kalimat Soonyoung.

“Iya, Soon. Jujur gue belum siap.”

“Gak papa, Sana. Gue juga belum bisa fokus sama kehidupan gue kalau belum ada yang bisa jagain Yena lebih baik dari gue.”

“Sampai kapan pun gak akan ada yang bisa jaga Yena lebih baik dari lo, Soon. Lo abangnya,” balas Sana dan Soonyoung hanya tertawa kecil menanggapi itu.

“Pasti suatu saat nanti ada.”

Hening.

Keduanya kembali terperangkap dalam kecanggungan.

“Sana,” panggil Soonyoung, ''lo mau kita habis ini kayak gimana?“

Sana menggelengkan kepalanya. “Jujur, gue gak tahu. Tapi, gue belum bisa kalau harus menjalin hubungan romansa sama orang yang baru gue kenal.”

“Sama. Mau diusahain kayak gimana pun, kalau masih orang asing, kebahagiaan bakal cuma jadi tujuan, bukan?”

“Iya,” jawab Sana langsung. Ia merasakan sedikit beruntung karena Soonyoung mempunyai pola pikir yang tidak jauh berbeda dengannya.

“Sekarang, kita sama-sama coba buat satu sama lain supaya gak jadi orang asing lagi, ya? Biar waktu yang menjawab gimana hubungan kita nantinya.”

Sekali lagi, punya alasan apa Sana sehingga menolak apa yang Soonyoung katakan?

Tidak ada.

Mereka soulmate. Dengan jiwa yang saling terikat, sulit untuk keduanya saling menolak jika dalam pertemuan secara langsung. Berbeda dengan saat mereka tak bertemu kemarin.

“Oke, ayo coba, Soon.”

Di semesta ini semuanya aneh. Bagaimana bisa kita jadi penentu kelanjutan hidup seseorang cuma karena ikatan soulmate?

Jiwa yang terikat emang gak pernah enak.

Mungkin, beberapa bisa bahagia dan menerima dengan senang hati tentang pasangannya. Karena mereka bisa mengenal orang itu jauh sebelum tanda di pergelangan tangan muncul.

Menjadi soulmate dari seseorang yang belum pernah kita temui, bisa dibilang jarang terjadi. Biasanya jika ada yang seperti itu, pertemuan pertama akan selalu menjadi momen saat tanda di pergelangan tangan ini muncul di kedua belah pihak.

Seperti apa yang terjadi sama gue dan Soonyoung kemarin, dan gue sedikitnya membenci hal itu.

Gue gak pernah suka sama konsep ini. Sedikit pun.

Gue mutusin buat menjauh dari dunia, hidup sendirian biar gak ketemu sama soulmate gue. Walau ujungnya dia tetap berhasil nemuin gue.

Gue takut.

Gue nyaksiin gimana orang tua gue saling nyakitin secara perlahan. Entah apa yang terjadi, tapi mereka lama-lama gak bisa lagi saling nerima. Setiap hari, gue melihat darah, gimana ibu atau ayah gue terjatuh dan nyaksiin juga gimana mereka sebelum tertidur buat selamanya.

Gue takut kalau ujungnya hal itu bakal terjadi sama gue dan soulmate gue kelak.

Tapi, lihat sekarang.

Belum apa-apa, gue udah bikin laki-laki itu sekarat. Padahal gue cuma menolak ikatan ini.

Salah satu alasan kenapa gue gak menyukai konsep ini, karena itu. Kita bahkan cuma berpikir untuk menolak, tapi kita bisa aja ngebuat dia kenapa-kenapa.

Jika penolakan itu diucapkan secara langsung, dia bisa ada di ujung kehidupan dan kematian gak lama kemudian.

“Gue gak mau ketemu lo, Soonyoung.”

Gue sadar kalau itu bentuk penolakan yang ngebuat Soonyoung nyaris pergi dari dunia hari ini. Secara gak langsung, gue hampir bunuh dia.

Apa yang adiknya katakan ada benarnya. Jika menolak Soonyoung, itu gak membuat gue bisa melanjutkan hidup dengan tenang. Gimana pun, Soonyoung gak menolak gue.

Gue gak bisa ikut pergi sama dia, dan itu cuma ngebuat hidup gue makin dipenuhi penyesalan.

Jadi, gue memutuskan untuk mencoba menerima.

Gue udah gak ngerasain kehadiran Soonyoung lagi. Tapi, gue harap ini bisa membantunya. Gue harap dengan mencoba ikhlas dan menerima ikatan ini tanpa disuarakan, Soonyoung bisa segera bangun dari tidur.

Tapi, Yena gak kunjung ngehubungin gue.

Sebenarnya, ada sisi lain tentang konsep ini yang jarang terjadi. Beberapa orang gak berakhir menjadi pasangan soulmate-nya, dan itu gak membuat dia terluka kalau memang soulmate-nya menerima hal itu.

Menjadi soulmate, bisa ngebuat lo ngerasain kehadirannya, gimana perasaannya di hari itu, dan rasa sakit yang dia alami. Tapi, itu semua gak menjamin perasaan sayang dan saling memiliki bakal ada.

Bohong kalau gue bilang gue baik-baik aja. Setiap Soonyoung kesakitan, gue juga ngerasain hal itu. Tapi, karena Soonyoung gak menolak gue, gue gak separah dia.

Walaupun jiwa saling terikat, itu gak membuat semua soulmate berujung jadi pasangan dalam pernikahan. Meski lebih banyak yang memilih buat menikah karena punya kemungkinan saling nyakitin lebih sedikit.

Tapi, menurut gue sama aja. Setiap manusia selalu punya kemungkinan buat nyakitin manusia lainnya. Terbukti dengan setelah menikah dan punya anak pun, orang tua gue masih sanggup untuk saling nyakitin dan ninggalin gue di hari yang sama.

Ketika ponsel gue berdering untuk ke sekian kalinya. Semua itu berasal dari orang-orang di sekitar Soonyoung yang peduli sama dia.

Soonyoung bangun dan gue gak tahu harus bereaksi kayak gimana. Mereka semua ngucapin terima kasih ke gue karena mau untuk mencoba menerima ikatan kami.

Orang-orang itu beneran peduli sama Soonyoung.

Kapan, ya, gue bisa ngerasain dipeduliin orang sampai segitunya? Gue bahkan udah gak ingat gimana nama gue dipanggil oleh dua orang yang paling peduli sama gue, sama kedua orang tua gue.

Di malam hari, ada satu pesan lagi yang gue terima dan baca. Itu dari Soonyoung dan dia cuma bilang makasih karena gue gak membiarkan adiknya ngelihat dia kesakitan lebih lama.

Soonyoung bahkan lebih peduli sama adeknya dibandingkan diri sendiri.

Gimana bisa dia kayak gitu? Lebih peduli sama orang lain, daripada dirinya sendiri. Sesayang apa pun Soonyoung sama adiknya, dia harusnya tahu kalau ada kemungkinan adiknya gak melakukan hal yang sama ke dia.

Ah, udahlah.

Apa yang terjadi hari ini ngebuat gue pening setengah mati.

Soonyoung memang berusaha tidak peduli karena fokus kehidupannya hanya pada Yena. Mereka yang berulang kali mengalami kehilangan hanya bisa mempercayai satu sama lain untuk sekarang.

Soonyoung tidak ingin adiknya itu merasakan kehilangan lagi.

Jika ia terus bersikap tidak peduli, dan membiarkan perempuan itu terus menolak ikatan yang ada pada keduanya. Yena bisa kehilangan dirinya.

Soonyoung mungkin tidak akan bertahan lebih lama lagi jika terus mengabaikan ikatan ini. Tubuhnya tidak sekuat itu untuk terus menahan rasa sakit.

Soonyoung lelah terus menyembunyikan apa yang ia alami dari Yena. Ia tidak akan pernah mau memperlihatkan kesakitan yang ia alami pada adiknya.

Di hari kelima ikatan ini terungkap, Soonyoung berniat untuk menemui soulmate-nya. Namun, langkahnya tertahan di depan pintu rumah yang dikelilingi oleh tumbuhan ilalang itu.

Tangan Soonyoung bergerak untuk mengetuk pintunya, ia berharap Sana akan sudi untuk berbicara padanya.

“Sana, kita perlu ngobrol.”

Tak ada balasan. Soonyoung tidak yakin perempuan itu mendengar suaranya. Namun, meski samar Soonyoung dapat mendengar suara langkah kaki dari dalam.

Ia yakin, Sana akan membukakan pintu itu jika yang datang bukanlah Soonyoung, soulmate-nya.

“Gue harap lo bisa dengar ini,” ucap Soonyoung lagi.

“Gue gak peduli sama ikatan ini, tapi gue peduli sama adek gue. Kami udah kehilangan berulang kali, dan gue gak mau ninggalin dia karena lo—yang bahkan belum gue kenal nolak ikatan ini.”

Soonyoung mengepalkan tangannya. Segala rasa sesak yang selama ini berusaha untuk ia pendam karena tidak ingin Yena kembali terpuruk, sekarang seakan muncul di permukaan lagi.

“Gue mohon sama lo ... jangan biarin adek gue ngelihat gue kesakitan. Gue gak yakin bisa sembunyiin semua ini dari dia lebih lama lagi.”

Soonyoung paling tidak suka menunjukkan sisi lemahnya pada orang lain. Namun, untuk sekali ini, demi Yena, ia akan menunjukkan jika itu bisa membuat Sana tergerak hatinya.

Berharap perempuan itu akan membantunya untuk hidup lebih lama.

“Sana, adek gue cuma punya gue. Setidaknya, kasih gue waktu buat nemenin dia lebih lama sampai dia udah nemuin soulmate-nya. Setelah itu, kalau lo mau menolak gue dan membuat gue pergi dari dunia ini, gue gak akan peduli.”

Suara Soonyoung semakin lirih. Ia takut jika harus meninggalkan Yena sendirian di dunia yang jahat ini. Setidaknya, sampai Yena menemukan seseorang yang bisa menggantikannya untuk menjaga perempuan itu.

Di antara detik yang terus berganti pada menit. Harapan Soonyoung seperti dibawa untuk pergi sejauh-jauhnya. Bahkan ketika langit sudah gelap pun, pintu itu tak kunjung terbuka.

Sana membiarkan Soonyoung tertahan di depan pintu tanpa mengubah apa pun. Soonyoung paham bahwa tak ada kepastian yang perlu Sana beri lagi.

Sana sudah menolaknya.

“Lo masih di sana?”

Baru saja Soonyoung akan beranjak dari tempatnya, suara pelan itu berhasil membuat Soonyoung kembali berbalik.

“I-iya, gue masih di sini.”

Hening.

Sana tak langsung membalas ucapannya.

“Adek lo sendirian, 'kan? Lebih baik lo pulang.”

“Tapi, San—”

“Gue gak mau ketemu lo, Soonyoung.”

9 Oktober.

“Soon, akhirnya! Gue sama yang lain nyariin lo tau!” Entah keberuntungan atau kesialan ketika Jun mendatangi gue waktu itu. Gue sama sekali gak bisa mengubah ekspresi wajah gue. Untuk pertama kalinya, gue memperlihatkan wajah gak ramah ke sahabat gue satu ini.

“Lo kenapa, sih, Soon?” tanya dia lagi.

“Gue gak papa,” jawab gue bohong.

“Basi,” kata dia, “ayo cerita sama gue? Ini lo sampai duduk di tanah gini.”

Gue berdiri, tangan gue gerak buat nyengkram jaket yang dipakai cowok itu erat-erat. “Gue mau minta tolong.”

Pundak gue dipegang. “Iya, boleh. Lo mau minta tolong apa?”

“Tolong sampain ke Shasa, kalau besok gue bakal datangi dia buat ngerayain* anniversary. *Sehabis itu, apa pun yang terjadi dengan gue setelahnya, tolong buat dia benci sama gue.”

Gue langsung didorong sama Jun untuk menjauh. Wajah bingung sekaligus gak terima ditunjukkan sama Juni. “Gue serius, Jun.”

“Soonyoung, Shasa sayang sama lo—dia pacar lo. Gue gak mungkin bi—”

“Gue bakal putusin dia besok.”

“Anjing, jangan gila lo!”

Hari itu, gue gak peduli ketika harus bersujud di kaki Jun sekali pun. “Jun, gue mohon. Setelah ini, gue gak akan minta apa-apa lagi. Lo bisa anggap ini sebagai permintaan terakhir dari gue.”

Mungkin, gue menunjukkan sisi paling lemah gue di hadapan Jun waktu itu. Menangis di depan seseorang bukanlah hal biasa yang bakal gue tunjukin.

“Jun, gue mohon.”

“Soonyoung, jangan gini ....”

“Gue mohon, Jun. Lebih baik dia benci sama gue. Gue ... gue udah gak bisa sayang lagi sama dia.”

Iya, gue gak bisa. Kasih sayang gak lagi menjadi suatu hal yang bisa gue pahami ketika orang-orang yang memperkenalkan hal itu ke gue ternyata berbohong.

Masing-masing dari mereka, gak pernah menjadikan kebahagiaan gue sebagai salah satu dari tujuan yang mau mereka capai. Gue cuma anak yang kehadirannya gak diharapkan, tapi masih dibutuhkan.

Mereka memilih buat berpura-pura menyayangi gue. Menyayangi Soonyoung.

Gue takut kalau gue bakal memperlakukan Shasa sama kayak gitu.


15 Juni

“Hoshi-san, saya dengar parfum-parfum di sini bagus-bagus. Mau berkunjung dulu?”

“Boleh.”

Hoshi.

Nama ini katanya nama yang gue punya sejak lahir. Namun, entah kenapa selalu ada perasaan asing ketika mendengar orang-orang memanggil gue dengan itu.

Meski amnesia, gue tahu akan selalu ada perasaan tidak asing ketika gue diinformasikan sebuah ingatan, atau adanya bayangan ketika gue di satu tempat yang pernah dikunjungi.

Tapi, di sini, gue belum pernah merasakannya satu kali pun.

Bahkan tentang keluarga harmonis dengan dua anak laki-laki yang gue dengar dari Papa pun, gue malah merasa bahwa hal itu gak ada benarnya.

Tinggal sendiri di Jepang, ditambah sesekali keluar dengan asisten yang Papa percayai, membuat ingatan gue gak kunjung pulih padahal ini sudah dua tahun lebih semenjak gue terbangun.

Memasuki toko parfum itu tak ada wangi yang terlalu menyengat. Ketika mendekati jajaran parfum yang memiliki bahan jeruk, langkah gue otomatis terhenti.

“Kayak bintang di langit, keberadaanmu berarti banget buatku.”

Apa-apaan barusan itu?


10 Oktober

“Nah, ini ruang latihan utamanya Allegra, Mas. Kalau yang perkelas, ya, di kelas masing-masing. Tapi kalau gladi bersih atau buat acara akhir tahun, di sini. Kayak aula gitulah, Mas.”

Mbak Nay—begitulah dia menyuruh gue untuk memanggilnya—sekali lagi menuntun gue ke salah satu ruangan yang ada di akademi ini.

Di ruangan ini, lebih banyak orang yang berkumpul. Murid-muridnya emang perlahan udah berkurang, dan gue yakini jajaran orang dewasa yang ada di sini sengaja perempuan ini kumpulkan untuk diperkenalkan ke gue.

“Ini pengajar-pengajar di Allegra, Mas. Dari situ ada Momo, Hao, Mina, sama Juni. Chani sama saya juga ngajar.”

Laki-laki bernama Juni itu melihat gue seolah gue adalah penampakan. Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas gue merasa kenal sama dia.

“Oke, salam kenal semuanya! Saya Hoshi.” ucap gue dan tanpa sadar membungkuk, kebiasaan gue pas di Jepang. Orang-orang itu juga secara spontan mengikuti gerakan gue.

“Ada satu lagi sebenarnya, Mas. Tapi, dia ada jadwal di radio. Lagi dalam perjalanan ke sini kayaknya,” ucap Mbak Nay lagi.

“Oke, Mbak.”

Sekali lagi, Mbak Nay menjelaskan ke gue ada apa aja di akademi ini. Padahal informasi itu udah gue ketahuu dari Chani sama Papa, tapi gue sekali lagi memilih buat mendengarkan.

Dia kelihatan banget cinta sama tempat ini dan pekerjaan. Jadi agak gak enak gue karena datang-datang mau ganti posisi dia.

“Itu Mbak Shasa!” kata Chani, yang entah kenapa hari ini selalu berdiri di sisi gue.

“Pokoknya, mulai detik ini Gue bakal panggil lo Shasa terus!”

Gue otomatis berbalik untuk melihat sosok itu. Mencari tahu kenapa dengan mendengar namanya saja, bisa memunculkan bayangan itu.

Gue memejamkan mata untuk menahan rasa sakit yang selalu terjadi ketika bayangan semu tentang ingatan gue datang.

“Kalau jujur artinya pantas dipercaya, 'kan? Kecuali lo mau kasih kejutan ulang tahun.”

Aroma dan suara ini lagi.

Perempuan berambut merah muda ini menatap gue hampir sama kayak laki-laki bernama Juni tadi. Kenapa mereka melihat gue sampai segitunya?

“Nah, Mas Hoshi. Ini Sana atau biasa dipanggil Shasa. Terus, Sha, ini Mas Hoshi yang bakal gantiin gue.”

“Salam kenal,” ucap gue seraya membungkuk lagi. Tapi, perempuan yang dipanggil Shasa ini tetap diam. Dia kayaknya ngelamun.

“Mbak Shasa? Kok ngelamun?”

“Aduh ... gue ulang deh, ya. Sha, ini Mas Hoshi yang bakal gantiin gue.”

Entah gue yang salah lihat atau gimana, tapi yang jelas dia kelihatan kecewa.

Gue mengukir senyum ketika dia tersenyum. Katanya, “Salam kenal, Soon—eh Mas Hoshi maksudnya! Saya Sana, panggil Shasa aja.”

Suara kedengaran bergetar.


22 Desember

“Iya, pertama kali keinget kamu pas di toko parfum, karena nyium salah satu aromanya. Makanya, waktu chat pertama kali langsung nanya kamu pakai parfum apa,” jelas gue, menjawab pertanyaan yang Shasa ajukan sebelumnya.

“Bisa?”

Gue mengangguk. “Bisa. Ingatan itu sebenarnya luas banget kalau kita dengan sengaja nyari. Ada juga false memory, ketika yang kita ingat bukan yang sebenarnya.”

“Jadi ... waktu di Jepang kamu kayak gitu?” tanya Sana dengan ragu, sekali lagi gue mengangguk buat balasan.

“Iya, makanya aneh banget.”

Semenjak ingatan gue yang sebenarnya perlahan-lahan terungkap, gue sama Shasa jadi sedikit canggung. Gue belum terbiasa dan dia kayaknya bingung harus gimana.

“Soal pemalsuan kematian gimana?”

Ah, pembahasan ini lagi.

“Sebenarnya, surat kematiannya gak pernah ada,” ucap gue, “ini lebih kayak ganti identitas aja. Pemalsuan itu lebih ke apa yang mereka omongin ke kalian yang tahu Soonyoung.”

Sana ngangguk-nganggukin kepalanya, lucu, ya. Beda banget sama yang tampil sama gue di acara tadi. Padahal mereka orang yang sama.

“Kenapa mereka ngelakuin itu, Soon?” tanya dia, entah sadar atau nggak malah menyandarkan kepalanya ke gue. Yang jelas itu berhasil ngebuat gue deg-degan sih.

“Mereka sadar diri kalau apa yang mereka lakuin ke aku sama Chani jahat. Terlebih setelah aku labrak mereka, aku kecelakaan, sampai koma lagi. Ke aku bilangnya, sih, supaya memori yang itu gak diingat lagi.”

“Alasan kamu nyuruh Juni supaya aku benci kamu apa?” Udah beda aja pertanyaannya.

“Waktu itu, mungkin aku kayak dapat firasat gak bakal baik-baik aja. Makanya bilang gitu, supaya kamu gak sedih kalau aku tinggalin.”

Shasa makin mendekat ke gue. “Tetep sedih, apalagi aku gak boleh lihat kamu.”

“Selain itu, kalau semisal aku terus baik-baik aja. Aku takut bakal memperlakukan kamu sama kayak apa yang Papa lakuin ke Mama, ke ibunya Chani.”

Agak pening juga bahas ginian. Tapi, gue merasa gak asing sama sekali. Gue ingat kalau dulu kebiasaan gue mendatangi Shasa adalah buat cerita.

“Sha,” panggil gue karena dia terus diam, “aku ngerokok gak papa?”

Dia kelihatan agak kaget, dan gue maklumi itu. Gue juga jarang sih ngerokoknya, kalau lagi pening aja.

“Gak papa, jangan diarahin ke aku.”

“Gak ngelarang?”

Sana menggeleng. “Nggak. Juni sama Hao juga kadang ngerokok, kok.”

Gue senyum tipis. “Nanti aja, deh, di rumah. Kasihan kamu lagi nyender.”

Dia langsung negakin duduknya. Kelihatan salah tingkah, tapi masih lucu di mata gue. Gue merangkul pundaknya, menarik dia ke arah gue buat bersandar lagi.

“Gak papa, gue suka, kok.”

“Ih.” Balesnya gitu tapi mukanya malah ditutupi sama tangan sendiri.

“Sha, kayaknya aku gak pernah bilang. Tapi, makasih banget. Keberadaan kamu berarti banget buatku.”

“Ngikutin aku ngomongnya.”

Gue ketawa pas ngerasain pinggang gue dicubit, gak sakit, geli aja.

“Kalau Kak Hamster, kenapa kamu nyiptain dia?”

“Sebenarnya itu tadinya akun curhat aja tentang ingatanku. Tapi, jadi banyak yang follow karena mungkin temanya menarik. Aku pertahanin aja karena cerita yang mereka sajikan kadang ngebuat aku ngerasa, kalau bukan cuma aku yang kayak gini.”

“Sebelum tahu itu kamu, aku juga sempat kepikiran kayak gitu. Tapi, sekarang jadi jelas karena Kak Hamster itu kamu. Orang yang dulu anti banget disamain kayak Hamster.

Gue ketawa. “Dulu jadi Kak Hamster karena foto yang dijadiin profilnya lucu. Di web-nya gak bisa diubah jadi tiger.

“Gak papa, itu jadi lebih membekas tahu. Kak Hamster....”

Sekarang, baik gue ataupun Shasa sama-sama diam. Sama-sama mandangin langit yang hari ini lagi banyak bintangnya. Gue mengusap pelan pundak perempuan itu. Tiba-tiba keinget sesaat sebelum gue mutusin dia waktu itu.

“Sha, makasih sekali lagi karena gak pernah lupain aku.” Kalau Shasa ngizinin, mungkin gue bisa buat satu buku yang isinya cuma sekedar ucapan makasih gue buat dia. Shasa sangat pantas buat menerimanya, bukan dari gue aja, tapi dari seisi dunia kalau bisa.

“Soonyoung, kamu ini gak berhak dilupain sama siapapun. Kamu udah ngasih banyak kenangan baik buat orang-orang di sekitarmu.”

Kenangan, ya?

Semenjak ingatan gue yang dimanipulasi segitunya, kenangan sama sekali gak berasa buat gue. Yang ada cuma rasa gak asing itu aja.

Termasuk sama Shasa.

Gue sadar kalau dia kadang memancing gue buat bahas masa lalu, kenangan yang ada antara gue sama dia. Kemudian, gue selalu menghindari itu. Gue seakan menutup kenangan yang ada di antara kami.

Mungkin gue cuma belum terbiasa. Gue gak akan pernah mengatakan itu karena gue gak mau menyakiti perempuan ini lagi. Udah cukup sejauh ini.

Hubungan ini pun belum berubah, masih mantan.

“Sha, tunggu sebentar, ya?”

Dia langsung negakin duduknya lagi, melihat gue dengan bingung.

“Tunggu apa?”

“Tunggu sampai aku siap buat bikin kenangan sama kamu lagi, ya, sebagai kita. Kali ini aku janji gak akan pernah berhentiin kenangan itu lagi. Aku bakal berusaha supaya kenangan yang ada di antara kita, gak pernah menjadi kenangan buruk.”

“Soonyoung,” kata dia sembari memegang tangan gue, “kalau perasaan kamu memang udah gak sama, aku gak papa.”

Soal perasaan, gue merasa gak pernah gunakan hal itu lagi semenjak di Jepang. Tapi, gue sadar kalau itu akan selalu ada buat Shasa. Lagipula, gue siapa sampai menyakiti perempuan ini berkali-kali?

“Nggak, Sha. Perasaanku, bakal selalu ke kamu. Aku cuma perlu waktu lebih buat biasain diri aku sebagai Soonyoung lagi.”

“Soonyoung, aku juga bakal selalu nungguin kamu. Cepat pulih, ya, sayangku?“

Setelah berkata itu, dia dengan berani mencium bibir gue. Cuma kecupan, sih.

Gelak tawa gue pecah lagi ketika dia langsung malu sendiri. Dia yang ngelakuin, dia juga yang salting.

“Shasa, terus lucu, ya. Biar aku cepet jadi Soonyoungnya,” ucap gue seraya memeluk dia dari pinggir. Anaknya makin malu.

“Ih, apaan sih, Soon?!“ Tapi, dia gak berusaha melepas pelukan gue.

Gila.

Gue nyaman banget sama orang ini, dan semoga dia juga ngerasain hal yang sama. Sehingga nantinya, gue sama dia bisa sama-sama nyaman untuk membentuk kenangan baru.


—Honeyshison

sorry for typo.

#taut-11

9 Oktober.

“Soon, akhirnya! Gue sama yang lain nyariin lo tau!” Entah keberuntungan atau kesialan ketika Jun mendatangi gue waktu itu. Gue sama sekali gak bisa mengubah ekspresi wajah gue. Untuk pertama kalinya, gue memperlihatkan wajah gak ramah ke sahabat gue satu ini.

“Lo kenapa, sih, Soon?” tanya dia lagi.

“Gue gak papa,” jawab gue bohong.

“Basi,” kata dia, “ayo cerita sama gue? Ini lo sampai duduk di tanah gini.”

Gue berdiri, tangan gue gerak buat nyengkram jaket yang dipakai cowok itu erat-erat. “Gue mau minta tolong.”

Pundak gue dipegang. “Iya, boleh. Lo mau minta tolong apa?”

“Tolong sampain ke Shasa, kalau besok gue bakal datangi dia buat ngerayain* anniversary. *Sehabis itu, apa pun yang terjadi dengan gue setelahnya, tolong buat dia benci sama gue.”

Gue langsung didorong sama Jun untuk menjauh. Wajah bingung sekaligus gak terima ditunjukkan sama Juni. “Gue serius, Jun.”

“Soonyoung, Shasa sayang sama lo—dia pacar lo. Gue gak mungkin bi—”

“Gue bakal putusin dia besok.”

“Anjing, jangan gila lo!”

Hari itu, gue gak peduli ketika harus bersujud di kaki Jun sekali pun. “Jun, gue mohon. Setelah ini, gue gak akan minta apa-apa lagi. Lo bisa anggap ini sebagai permintaan terakhir dari gue.”

Mungkin, gue menunjukkan sisi paling lemah gue di hadapan Jun waktu itu. Menangis di depan seseorang bukanlah hal biasa yang bakal gue tunjukin.

“Jun, gue mohon.”

“Soonyoung, jangan gini ....”

“Gue mohon, Jun. Lebih baik dia benci sama gue. Gue ... gue udah gak bisa sayang lagi sama dia.”

Iya, gue gak bisa. Kasih sayang gak lagi menjadi suatu hal yang bisa gue pahami ketika orang-orang yang memperkenalkan hal itu ke gue ternyata berbohong.

Masing-masing dari mereka, gak pernah menjadikan kebahagiaan gue sebagai salah satu dari tujuan yang mau mereka capai. Gue cuma anak yang kehadirannya gak diharapkan, tapi masih dibutuhkan.

Mereka memilih buat berpura-pura menyayangi gue. Menyayangi Soonyoung.

Gue takut kalau gue bakal memperlakukan Shasa sama kayak gitu.


15 Juni

“Hoshi-san, saya dengar parfum-parfum di sini bagus-bagus. Mau berkunjung dulu?”

“Boleh.”

Hoshi.

Nama ini katanya nama yang gue punya sejak lahir. Namun, entah kenapa selalu ada perasaan asing ketika mendengar orang-orang memanggil gue dengan itu.

Meski amnesia, gue tahu akan selalu ada perasaan tidak asing ketika gue diinformasikan sebuah ingatan, atau adanya bayangan ketika gue di satu tempat yang pernah dikunjungi.

Tapi, di sini, gue belum pernah merasakannya satu kali pun.

Bahkan tentang keluarga harmonis dengan dua anak laki-laki yang gue dengar dari Papa pun, gue malah merasa bahwa hal itu gak ada benarnya.

Tinggal sendiri di Jepang, ditambah sesekali keluar dengan asisten yang Papa percayai, membuat ingatan gue gak kunjung pulih padahal ini sudah dua tahun lebih semenjak gue terbangun.

Memasuki toko parfum itu tak ada wangi yang terlalu menyengat. Ketika mendekati jajaran parfum yang memiliki bahan jeruk, langkah gue otomatis terhenti.

“Kayak bintang di langit, keberadaanmu berarti banget buatku.”

Apa-apaan barusan itu?


10 Oktober

“Nah, ini ruang latihan utamanya Allegra, Mas. Kalau yang perkelas, ya, di kelas masing-masing. Tapi kalau gladi bersih atau buat acara akhir tahun, di sini. Kayak aula gitulah, Mas.”

Mbak Nay—begitulah dia menyuruh gue untuk memanggilnya—sekali lagi menuntun gue ke salah satu ruangan yang ada di akademi ini.

Di ruangan ini, lebih banyak orang yang berkumpul. Murid-muridnya emang perlahan udah berkurang, dan gue yakini jajaran orang dewasa yang ada di sini sengaja perempuan ini kumpulkan untuk diperkenalkan ke gue.

“Ini pengajar-pengajar di Allegra, Mas. Dari situ ada Momo, Hao, Mina, sama Juni. Chani sama saya juga ngajar.”

Laki-laki bernama Juni itu melihat gue seolah gue adalah penampakan. Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas gue merasa kenal sama dia.

“Oke, salam kenal semuanya! Saya Hoshi.” ucap gue dan tanpa sadar membungkuk, kebiasaan gue pas di Jepang. Orang-orang itu juga secara spontan mengikuti gerakan gue.

“Ada satu lagi sebenarnya, Mas. Tapi, dia ada jadwal di radio. Lagi dalam perjalanan ke sini kayaknya,” ucap Mbak Nay lagi.

“Oke, Mbak.”

Sekali lagi, Mbak Nay menjelaskan ke gue ada apa aja di akademi ini. Padahal informasi itu udah gue ketahuu dari Chani sama Papa, tapi gue sekali lagi memilih buat mendengarkan.

Dia kelihatan banget cinta sama tempat ini dan pekerjaan. Jadi agak gak enak gue karena datang-datang mau ganti posisi dia.

“Itu Mbak Shasa!” kata Chani, yang entah kenapa hari ini selalu berdiri di sisi gue.

“Pokoknya, mulai detik ini Gue bakal panggil lo Shasa terus!”

Gue otomatis berbalik untuk melihat sosok itu. Mencari tahu kenapa dengan mendengar namanya saja, bisa memunculkan bayangan itu.

Gue memejamkan mata untuk menahan rasa sakit yang selalu terjadi ketika bayangan semu tentang ingatan gue datang.

“Kalau jujur artinya pantas dipercaya, 'kan? Kecuali lo mau kasih kejutan ulang tahun.”

Aroma dan suara ini lagi.

Perempuan berambut merah muda ini menatap gue hampir sama kayak laki-laki bernama Juni tadi. Kenapa mereka melihat gue sampai segitunya?

“Nah, Mas Hoshi. Ini Sana atau biasa dipanggil Shasa. Terus, Sha, ini Mas Hoshi yang bakal gantiin gue.”

“Salam kenal,” ucap gue seraya membungkuk lagi. Tapi, perempuan yang dipanggil Shasa ini tetap diam. Dia kayaknya ngelamun.

“Mbak Shasa? Kok ngelamun?”

“Aduh ... gue ulang deh, ya. Sha, ini Mas Hoshi yang bakal gantiin gue.”

Entah gue yang salah lihat atau gimana, tapi yang jelas dia kelihatan kecewa.

Gue mengukir senyum ketika dia tersenyum. Katanya, “Salam kenal, Soon—eh Mas Hoshi maksudnya! Saya Sana, panggil Shasa aja.”

Suara kedengaran bergetar.


22 Desember

“Iya, pertama kali keinget kamu pas di toko parfum, karena nyium salah satu aromanya. Makanya, waktu chat pertama kali langsung nanya kamu pakai parfum apa,” jelas gue, menjawab pertanyaan yang Shasa ajukan sebelumnya.

“Bisa?”

Gue mengangguk. “Bisa. Ingatan itu sebenarnya luas banget kalau kita dengan sengaja nyari. Ada juga false memory, ketika yang kita ingat bukan yang sebenarnya.”

“Jadi ... waktu di Jepang kamu kayak gitu?” tanya Sana dengan ragu, sekali lagi gue mengangguk buat balasan.

“Iya, makanya aneh banget.”

Semenjak ingatan gue yang sebenarnya perlahan-lahan terungkap, gue sama Shasa jadi sedikit canggung. Gue belum terbiasa dan dia kayaknya bingung harus gimana.

“Soal pemalsuan kematian gimana?”

Ah, pembahasan ini lagi.

“Sebenarnya, surat kematiannya gak pernah ada,” ucap gue, “ini lebih kayak ganti identitas aja. Pemalsuan itu lebih ke apa yang mereka omongin ke kalian yang tahu Soonyoung.”

Sana ngangguk-nganggukin kepalanya, lucu, ya. Beda banget sama yang tampil sama gue di acara tadi. Padahal mereka orang yang sama.

“Kenapa mereka ngelakuin itu, Soon?” tanya dia, entah sadar atau nggak malah menyandarkan kepalanya ke gue. Yang jelas itu berhasil ngebuat gue deg-degan sih.

“Mereka sadar diri kalau apa yang mereka lakuin ke aku sama Chani jahat. Terlebih setelah aku labrak mereka, aku kecelakaan, sampai koma lagi. Ke aku bilangnya, sih, supaya memori yang itu gak diingat lagi.”

“Alasan kamu nyuruh Juni supaya aku benci kamu apa?” Udah beda aja pertanyaannya.

“Waktu itu, mungkin aku kayak dapat firasat gak bakal baik-baik aja. Makanya bilang gitu, supaya kamu gak sedih kalau aku tinggalin.”

Shasa makin mendekat ke gue. “Tetep sedih, apalagi aku gak boleh lihat kamu.”

“Selain itu, kalau semisal aku terus baik-baik aja. Aku takut bakal memperlakukan kamu sama kayak apa yang Papa lakuin ke Mama, ke ibunya Chani.”

Agak pening juga bahas ginian. Tapi, gue merasa gak asing sama sekali. Gue ingat kalau dulu kebiasaan gue mendatangi Shasa adalah buat cerita.

“Sha,” panggil gue karena dia terus diam, “aku ngerokok gak papa?”

Dia kelihatan agak kaget, dan gue maklumi itu. Gue juga jarang sih ngerokoknya, kalau lagi pening aja.

“Gak papa, jangan diarahin ke aku.”

“Gak ngelarang?”

Sana menggeleng. “Nggak. Juni sama Hao juga kadang ngerokok, kok.”

Gue senyum tipis. “Nanti aja, deh, di rumah. Kasihan kamu lagi nyender.”

Dia langsung negakin duduknya. Kelihatan salah tingkah, tapi masih lucu di mata gue. Gue merangkul pundaknya, menarik dia ke arah gue buat bersandar lagi.

“Gak papa, gue suka, kok.”

“Ih.” Balesnya gitu tapi mukanya malah ditutupi sama tangan sendiri.

“Sha, kayaknya aku gak pernah bilang. Tapi, makasih banget. Keberadaan kamu berarti banget buatku.”

“Ngikutin aku ngomongnya.”

Gue ketawa pas ngerasain pinggang gue dicubit, gak sakit, geli aja.

“Kalau Kak Hamster, kenapa kamu nyiptain dia?”

“Sebenarnya itu tadinya akun curhat aja tentang ingatanku. Tapi, jadi banyak yang follow karena mungkin temanya menarik. Aku pertahanin aja karena cerita yang mereka sajikan kadang ngebuat aku ngerasa, kalau bukan cuma aku yang kayak gini.”

“Sebelum tahu itu kamu, aku juga sempat kepikiran kayak gitu. Tapi, sekarang jadi jelas karena Kak Hamster itu kamu. Orang yang dulu anti banget disamain kayak Hamster.

Gue ketawa. “Dulu jadi Kak Hamster karena foto yang dijadiin profilnya lucu. Di web-nya gak bisa diubah jadi tiger.

“Gak papa, itu jadi lebih membekas tahu. Kak Hamster....”

Sekarang, baik gue ataupun Shasa sama-sama diam. Sama-sama mandangin langit yang hari ini lagi banyak bintangnya. Gue mengusap pelan pundak perempuan itu. Tiba-tiba keinget sesaat sebelum gue mutusin dia waktu itu.

“Sha, makasih sekali lagi karena gak pernah lupain aku.”

“Soonyoung, kamu ini gak berhak dilupain sama siapapun. Kamu udah ngasih banyak kenangan baik buat orang-orang di sekitarmu.”

Kenangan, ya?

Semenjak ingatan gue yang dimanipulasi segitunya, kenangan sama sekali gak berasa buat gue. Yang ada cuma rasa gak asing itu aja.

Termasuk sama Shasa.

Gue sadar kalau dia kadang memancing gue buat bahas masa lalu, kenangan yang ada antara gue sama dia. Kemudian, gue selalu menghindari itu. Gue seakan menutup kenangan yang ada di antara kami.

Mungkin gue cuma belum terbiasa. Gue gak akan pernah mengatakan itu karena gue gak mau menyakiti perempuan ini lagi. Udah cukup sejauh ini.

Hubungan ini pun belum berubah, masih mantan.

“Sha, tunggu sebentar, ya?”

Dia langsung negakin duduknya lagi, melihat gue dengan bingung.

“Tunggu apa?”

“Tunggu sampai aku siap buat bikin kenangan sama kamu lagi, ya, sebagai kita. Kali ini aku janji gak akan pernah berhentiin kenangan itu lagi. Aku bakal berusaha supaya kenangan yang ada di antara kita, gak pernah menjadi kenangan buruk.”

“Soonyoung,” kata dia sembari memegang tangan gue, “kalau perasaan kamu memang udah gak sama, aku gak papa.”

Soal perasaan, gue merasa gak pernah gunakan hal itu lagi semenjak di Jepang. Tapi, gue sadar kalau itu akan selalu ada buat Shasa. Lagipula, gue siapa sampai menyakiti perempuan ini berkali-kali?

“Nggak, Sha. Perasaanku, bakal selalu ke kamu. Aku cuma perlu waktu lebih buat biasain diri aku sebagai Soonyoung lagi.”

“Soonyoung, aku juga bakal selalu nungguin kamu. Cepat pulih, ya, sayangku?“

Setelah berkata itu, dia dengan berani mencium bibir gue. Cuma kecupan, sih.

Gelak tawa gue pecah lagi ketika dia langsung malu sendiri. Dia yang ngelakuin, dia juga yang salting.

“Shasa, terus lucu, ya. Biar aku cepet jadi Soonyoungnya,” ucap gue seraya memeluk dia dari pinggir. Anaknya makin malu.

“Ih, apaan sih, Soon?!“ Tapi, dia gak berusaha melepas pelukan gue.

Gila.

Gue nyaman banget sama orang ini, dan semoga dia juga ngerasain hal yang sama. Sehingga nantinya, gue sama dia bisa sama-sama nyaman untuk membentuk kenangan baru.


—Honeyshison

sorry for typo.

Meski status gue adalah anak sulung, gue selalu kesulitan untuk merangkul kedua adik. Ditambah dengan apa yang terjadi di keluarga gue yang berhasil membuat anak-anaknya kesulitan buat percaya sama sesuatu.

Meskipun cuma Chaeyoung yang menunjukkan kalau ia masih enggan buat percaya sama gue, Jeongyeon juga sebenarnya kayak gitu. Tapi karena harus nyari Chaeyoung, dia mau gak mau menyakini gue buat sementara.

Gue memang takut sama sebuah hubungan, terlebih pernikahan. Gue sempat menyatakan dengan lantang bahwa gue gak akan pernah menikah. Tapi, keluarga gue dengan segala kekuasannya selalu membuat gue tunduk.

Gue takut kalau nantinya gue akan memperlakukan anak gue sama kayak yang orang tua gue lakuin. Gue takut kalau dikhianati lagi, dan masih banyak yang kadang gak bisa gue deskripsikan.

Intinya, gue merasa gak pantas buat seseorang. Siapapun itu.

Di antara semua itu, gue tetap gak bisa merubah fakta kalau gue sebenarnya baperan. Gue bisa mudah tertarik sama seseorang. Tapi, semuanya cuma bakal berujung sebagai sebuah ketertarikan.

Contohnya ya waktu Papanya Zia, alias Seungcheol itu. Gue tertarik sama dia karena dia bilang kalau dia percaya gue bisa jadi istri yang baik. Tapi, gue gak pernah menghubungi dia kecuali tentang Zia. Setelah itu, ya udah, kita hidup kayak biasanya lagi.

Kalau boleh jujur, seseorang yang membuat gue tertarik buat pertama kali selepas dikhianati adalah Minghao.

Kaget, gak? Hahaha.

Itu mungkin sedikit alasan kenapa kalau urusan akademi—sebelum ada Mas Hoshi—gue selalu lari ke dia. Kalau bukan urusan akademi, apa lagi yang bisa ngebuat gue sama dia ngobrol lama-lama? Gak ada.

Cuma memang itu usaha gue. Gue sendiri gak berniat buat nyeriusin perasaan gue karena gue tahu ujung-ujungnya gue yang gak bisa sama hubungan. Gue juga sadar kalau anak ini ngelihat Momo berbeda. Gue gak akan mau membuat dia merasa gak enak karena gak bisa menunjukkan kesukaannya sama Momo gara-gara gue suka dia.

Cuma memang mereka ini lagi gak dikehendaki semesta aja sampai-sampai saling paham dan berujung gak bisa sama-sama—mungkin belum, lihat aja nanti. Gue cuma berharap yang terbaik buat dia. Kepuasaan tersendiri buat gue ketika bisa melihat seseorang yang gue sukai bahagia dengan pilihannya.

“Jangan ngelamun.”

Sekarang, di kehidupan gue ada laki-laki ini. Dipertemukan dengan keadaan yang sama-sama gak berani sama hubungan, jelas gak pernah membuat gue berharap kalau kehidupan pernikahan kami bisa berjalan lancar.

Joshua—sekarang gue panggilnya Kak Shua sih karena faktanya dia lebih tua setahun dari gue. Awal panggilan itu keluar dari mulut gue, dia kayak mematung. Yang kemudian gue sadari kalau panggilan itu pertama kali datang dari Mina.

Gue sama dia bisa dibilang sama, pernah menaruh perasaan tanpa mencoba mengonfirmasinya. Bedanya, ketika yang gue takuti adalah sebuah hubungan, cowok ini takut sama komitmen.

Itu ngebuat dia membiarkan hubungannya sama Mina menggantung. Kak Shua ini sayang sama Mina, tapi gak pernah bilang. Tentu, itu ngebuat Mina merasa kalau dirinya gak punya pengaruh apa-apa buat Kak Shua.

Jahat emang.

Tapi, Mina bakal selalu jadi manusia paling baik menurut gue.

Malam itu, habis selesai latihan. Ketika semuanya sama-sama ngerasa lelah, gue ngajak Mina bicara. Gue lupa ada berapa kata maaf yang gue omongin ke dia. Bisa-bisanya gue dulu menyatakan penolakan sampai berencana kabur pas pernikahan di depan Mina—orang yang sayang sama Kak Shua.

Percakapan antara gue sama Mina waktu itu, mungkin bakal selalu melekat dalam memori gue.

“Gue udah jahat banget sama lo, kenapa lo gak bilang, sih? Gue bisa bantu biar kalian bisa sama-sama.”

“Aku paham kalau aku sama Kak Shua gak seharusnya jalan di jalanan yang sama.”

“Lo sayang sama dia, dan dia sayang sama lo, Na.”

“Nggak, Mbak. Matanya beda pas sama Mbak. Mungkin Kak Shua sayang sama aku, tapi bukan sebagai pasangan. Kalau sama Mbak, matanya tuh ketara jelas kalau dia suka banget sama Mbak Nay.”

“Lo kenapa baik banget sih, Na? Bahkan pikiran lo aja masih sepositif itu.”

Dia ketawa. “Gak selalu gitu, kok, Mbak. Aku sama Kak Shua udah sempat ngobrol jauh sebelum kalian menikah. Kami udah damai dan mutusin buat jalan masing-masing, Mbak. Makanya aku gak pernah bilang ke Mbak, karena aku rasa gak perlu.”

Dia berhenti sejenak buat ngambil napas. Kemudian kembali berkata, “Aku selalu berharap kalian bisa saling bantu buat sama-sama sembuh. Semogakalian bisa sama-sama terus dan jadi keluarga yang harmonis.”

Percakapan itu berakhir dengan gue yang nangis dipelukan dia, ditontoni sama pengajar yang lain. Gue gak mempermasalahkan itu, dan mereka juga membiarkan gue menerima perasaan sedih gue.

Malam itu, sebelum pulang gue sempat nyamperin Minghao buat ngomong, “Hao, makasih udah bantu gue buat mastiin kalau hati gue tetap bekerja.”

Tentu aja dia balas dengan sedikit teriak karena gue yang langsung nyelonong pergi. Katanya, “Gue ngapain anjir, Mbak?!”

“Nay, aku bilang jangan ngelamun.”

Gue ketawa. “Iya, maaf, Kak Shua.”

“Ini Cece seriusan mau pulang secepat ini?” Bener, sekarang gue sama dia emang lagi jalan ke bandara. Mau jemput adik bungsu gue itu.

“Pulang buat nonton acara akhir tahun akademiku aja. Besoknya dia balik lagi.”

Kak Shua kemudian cuma ngangguk sebagai jawaban.

“Dia janji sama Chani?”

Gue ngegeleng. “Sama aku.”


Acara akhir tahun Allegra bakal selalu menjadi memori terbaik di setiap tahun yang gue lalui sama mereka. Terlebih sekarang kami kedatangan satu orang lagi, Mas Hoshi.

Biasanya kami cuma bakal nunjukin drama musikal dengan satu jenis tarian aja, tapi pembukaannya tampilan tari dari masing-masing kelas dulu. Kalau sekarang agak beda.

Acara itu dibuka oleh para anak-anaknya Mina. Lucu melihat tubuh-tubuh kecil itu memutar secara bersamaan dengan tubuh yang bertumpu pada ujung jari kaki.

Setelah itu, barulah kami sebagai pengajar ikut menampilkan jenis tari yang berbeda-beda secara berpasangan.

Gue sama Chani, kami tampil pakai modern dance yang gak membutuhkan banyak skinship. Chani juga menunjukkan gerakan breakdance yang udah dia pelajari sejak lama sama Minghao sebagai puncak dari penampilan kami berdua.

Disambung sama Mina dan Minghao dengan balet. Walaupun sempat protes, Minghao tetap sempurna dalam menarikan itu sama Mina. Mereka seolah pangeran dan putri yang selalu sanggup buat terbang.

Murid anak-anak lebih banyak sama kami, omong-omong.

Kemudian pindah ke Jun sama Momo yang kebagian nampilin jazz. Gue jujur merasa bangga banget lihat mereka karena gerakannya yang begitu sinkron dan bisa menyajikan kepada penonton seolah mereka adalah cermin untuk satu sama lain. Belum lagi tubuh mereka yang seolah sangat ringan. Sebelum dua orang itu muncul, para remaja udah lebih dulu menari dengan sama sinkronnya.

Terakhir, ketika puncaknya dan musik yang menyedihkan diputar. Cuma ada Mas Hoshi sama Shasa dengan tarif kontemporer. Ini sebenarnya saran dari gue buat mereka tampil berdua aja. Waktu lihat keseluruhan koreografinya, entah kenapa itu kerasa menyakitkan. Gue berinisiatif nyaranin buat mereka tampil terakhir sebagai ujung dari cerita yang kami bawain malam itu.

Kalau gue jelaskan sedikit, ada saat di mana mereka memegang kepala masing-masing seolah bertengkar. Intinya, banyak skinship yang terjadi, tapi semua itu seolah mengartikan pemberontakan. Penonton gak banyak yang bersuara pas mereka tampil, tapi begitu selesai, ada sorakan yang keras.

Sebagai penutupan, kami menari bersama-sama dengan tarian wajib Allegra. Intinya semua murid wajib menguasai tarian ini, di bidang manapun dia belajar. Semuanya sama-sama puas dan bangga, tapi kami paham kalau ini bukanlah sebuah akhir.

“Makasih banyak, ya, buat kerja kerasnya hari ini. Acara kita berjalan lancar, syukurlah. Saya sudah belikan makanan, nanti masing-masing ambil, ya, ” kata Mas Hoshi yang udah ganti bajunya.

“Mas, kok udah ganti baju aja? Kita belum foto-foto.” Momo langsung protes.

Cowok itu kayak langsung sadar. “Oh, iya, ya. Ya udah bentar saya ganti lagi.”

“Gak usahlah, Soon. Asal jangan dulu hapus tuh make-up,” sahut Juni yang udah ngambil jatah makannya. Gue sebenarnya gak tahu kenapa dia manggil Mas Hoshi 'Soon'.

“Gue bercanda, Mas,” ucap Momo diakhiei dengan tawa, ikut bergabung dengan Juni buat makan.

“Foto dulu deh sebelum makan. Nanti kotor bajunya kalian,” ucap gue dan kemudian mereka cuma bisa menurut.

Selesai foto, kami jadi punya tujuan yang beda-beda. Ini masih jam 7-an karena acara digelar dari sore. Gue sendiri lebih milih buat ganti baju dulu baru ikutan makan. Pas balik lagi, udah ada anak-anak kafenya Kak Shua. Selain orang tua, mereka juga dikasih akses buat ke belakang karena hubungan gue Kak Shua.

Selain itu mungkin karena Cece sama Chani, atau Juni sama Tzuyu.

Ada juga pihak Suara Kota. Seungcheol yang sekaligus papanya Zia bareng istrinya. Ada juga Wonwoo sama Mingyu yang hari itu datang sebagai penonton bukan karena kerjaan. Terus ada Jihoon yang sempat Mas Hoshi minta bantuannya buat nyesuain lagu-lagu yang bakal dipakai.

Sementara itu, Jeongyeon pamit duluan sama Jeonghan, dan Cece milih buat ngikut mereka tadi.

Gue milih buat duduk sama Kak Shua setelah bawa nasi kotak yang disediakan Mas Hoshi. Dia kelihatan diem, gue pikir mungkin karena suasana ramai yang ada di sini.

“Mau, Kak?” tanya gue, basa-basi doang, sih. Karena penonton udah dikasih snack tadi.

Dia ngegeleng. “Udah makan snack tadi.”

Nah, 'kan.

“Kamu kok gak pernah bilang bakal nari berdua sama Chani?” tanyanya dan kali ini kerasa dingin? Entah bener atau cuma perasaan gue aja.

“Dari Mas Hoshinya gitu. Mumpung pas juga anggotanya. Jadi, kayak ditunjukkan gaya cewek sama gaya cowoknya,” balas gue apa adanya.

“Oh.”

Anjir?

“Kenapa, sih, Kak?”

Dia kemudian kelihatan salah tingkah. Kalau semisal cemburu, apa iya, ya? Padahal gue sama Chani gak kayak Mas Hoshi sama Shasa.

“Gak tahu, tiba-tiba pengen motong gajinya Chani aja,” balas dia ngaco. Baru aja gue mau menyuarakan itu, Chani tahu-tahu masuk ke pembicaraan kami.

“Pak, jangan motong gajiku karena cemburu! Lagian Mbak Nay kok gak bilang sama Pak Shua, sih?!”

Gue cuma bisa senyum, soalnya nih anak makin berani aja buat nyolot. Gak cuma ke Juni aja sekarang.

“Lagian lo ngejar duit buat apa, sih, Chan? Gaji lo di akademi aja gede, belum lo anak yang punya nih akademi,” balas gue. Emang akhir-akhir ini Chan jadi perhitungan banget. Kalau mau beli makanan pas latihan pun, biasanya dia tinggal pergi. Sekarang malah ngekorin Mas Hoshi dulu biar dikasih uang.

Chani nengok kanan dan kiri dulu kemudian berkata, “Mau kejar adeknya Mbak.”

Gue memutar bola mata malas. Kenapa, ya, dua adek gue sama-sama punya bucin yang emang bucin banget kayak gini. Mending kalau Jeonghan, Jeongyeon bucinin dia balik. Kalau Cece ... gak ada yang tahu isi hatinya. Kecuali mereka berdua sempet ngomong, sih.

“Kayak Cece mau aja balikan sama kamu,” bales Kak Shua pedes.

“Gak papa, yang penting Pak Shua nggak potong gajiku.”

Ya Tuhan, nih anak.

“Chani, sini, deh!” panggil Jun ke dia, dan gue merasa jadi manusia paling lega. Selain ke Mas Hoshi, Chani agak luluh juga ke Juni. Bedanya ke Juni dia suka nyenggol kalau Cece atau Tzuyu upload sesuatu tentang satu sama lain.

“Iya, Mas. Eh, semangkanya jangan dihabisin!”

Rasa lega gue cuma bertahan sebentar karena auranya Kak Shua masih gak ngenakin.

“Kak,” panggil gue, “beneran cemburu karena Chani?”

Sumpah, kalau beneran agaknya kocak.

“Nggak,” jawab dia pelan, “gak tahu kenapa, tapi gak suka aja kalau kamunya gak bilang.”

Kenapa dia tiba-tiba jadi kayak kucing gini?

“Oke, maaf,” bales gue tanpa sadar ikut melanin suara, “nanti aku bakal bilang.”

Dia mengangguk. Ah, gue paham, dia kayaknya tiba-tiba keinget sama masa lalunya lagi. Gue sama Kak Shua sama-sama pernah ngerasain kepercayaan yang dikhianati.

“Kamu makan aja, habis itu kita pulang,” ucap dia dan gue menurut. Tangan Kak Shua sempat buat ngusak rambut gue pelan.

“Nay,” panggil dia setelah cukup lama dari kami berdua gak bersuara. Gue sibuk makan, kalau dia kayaknya ngelamun.

“Hmm?” Gue cuma bisa gitu karena lagi ngunyah.

“Sama-sama terus sama aku, ya.”

Gue senyum dan mengangguk. Buat sekarang gue udah gak punya alasan lagi buat lari dari Kak Shua. Gue udah mulai sayang sama dia dan terbiasa dengan kehadiran dia dalam keseharian gue. Dia menghargai pekerjaan gue aja, itu udah menjadi poin plus tersendiri.

Kami bertatapan cukup lama. Dengan bibir yang sama-sama mengukir senyum.

Sekarang, kami udah bisa yakin buat satu sama lain. Menurunkan kepercayaan dalam komitmen yang memang seharusnya dibentuk dalam pernikahan. Gue berharap kalau ini bakal terus berjalan tanpa ada kata perpisahan.

“Dah, lanjut lagi makannya,” ucap dia. Gue lagi-lagi cuma menurut.

“Mbak Nay, saya mau nanya, mumpung ada suaminya.” Mas Hoshi nyamperin gue, sekarang udah gak ada make up lagi di mukanya.

“Kenapa nih, Mas Hoshi?”

“Mbak Nay ,'kan, sudah menikah, ya. Maaf sebelumnya, tapi kalian sudah program kehamilan atau belum?” tanya Mas Hoshi.

“Kalau semisal sudah, nanti Mbak Nay di kantor dulu jangan jadi pengajar aktif. Takutnya bayinya kenapa-napa.”

Bayi darimana disaat gue sama Kak Shua baru berani pegangan tangan dan usap-usap kepala?!

“Be-belum, kok, Mas.”

“Baru mau, Mas. Kemarin dia mau fokus ke acara ini dulu.”

Gue sama Kak Shua ngomong barengan.

“Oalah, kalau gitu awal tahun nanti Mbak Nay di kantor dulu, ya.”

“Cie Mbak Nay, ditunggu debaynya!” sorak Jun dan ngebuat yang lain ikut nyorakin gue.

Sial, sejak kapan mereka nyimak?!


—honeyshison

sorry for typo.

“Sehebat apa pun orang yang berkuasa di jalanan. Kalau ada pacar, ya ... pacarnya yang berkuasa buat dirinya.”

⚠ tags : harsh words, implicit mature content


Ada banyak orang di sana dengan mulut yang tak bisa diam. Di tempat ini, rasanya telinga sudah akrab dengan kebisingan. Teriakan yang bersahutan, rasanya akan aneh jika tidak ada.

Di antara teriakan itu, ada berbagai nama. Namun, yang paling sering terdengar adalah nama seseorang yang sudah tak asing dilihat dengan jaket merah hitamnya.

Awan Pradipta.

“Tadi katanya lo pusing, masih yakin mau ikut? Gue bisa ganti lo, kok.”

“Gak usah,” katanya, “pusing doang.”

“Muka lo kelihatan merah, pasti demam juga, 'kan? Sumpah, gue takut lo kenapa-napa.”

“Balapan ini cuma sekali, 'kan? Gue ikut pembukanya aja, ketua mereka gak bisa diem. Gue dihubungi terus dan dibilang cupu kalau gak hadir cuma karena sakit.”

Sahabat sekaligus anggotanya itu mengusap wajahnya frustasi. Sudah ia duga, rasa khawatirnya pada laki-laki ini tidak akan dihiraukan.

“Tapi, sakit itu bukan hal yang 'cuma', Wan?”

“Gue bosnya, gue harus tetep ikut, Ren.” Padahal jika dilihat lebih lama, terlihat jelas kalau dia sedang dalam keadaan yang tidak baik. Wajahnya terlihat memerah, napasnya memburu, dan mata yang sedikit tidak fokus.

Rendra—si sahabat yang tengah khawatir itu melihat sekeliling. Mencari hal yang setidaknya bisa membuat Awan tidak nekat untuk ikut balapan dalam keadaan seperti ini. Ia harus cepat karena balapan akan dimulai dalam 15 menit.

Ketika melihat Awan memakai helmnya, Rendra tersadar sesuatu. Ia dengan cepat menaiki motornya sebelum melajukan benda itu, entah untuk pergi ke mana.

Di sisi lain, Awan memejamkan matanya menahan pusing yang ia rasakan. Pegangangannya pada motor mengerat.

“Ah, lo beneran datang ternyata. Kata temen lo tadi, lo sakit.”

Sial, kenapa nih anak nyamperin gue segala.

“Sakit atau nggak pun, bukan urusan lo.”

Orang itu tertawa, jelas sekali kalau ia meremehkan.

“Urusan gue. Sebuah kehormatan bagi gue buat ngelihat harga diri lo hilang.”

Tenang, Wan. Jangan kepanci—

“Tapi, kayaknya lo emang gak punya dari lama, deh.”

“Bangsat.”

“Santai, Bos. Hahaha, semoga lo gak pingsan di belokan, deh,” ujarnya sambil menepuk pundak Awan sok akrab. Awan memilih untuk tak mengatakan apa-apa lagi, dia kembali berusaha untuk menolak rasa sakitnya.

Rendra masih belum kembali ketika orang-orang yang bertanding dengannya sudah menyalakan mesin motor masing-masing. Awan tahu sahabatnya itu pergi, dan ia terlalu pusing untuk bertanya meskipun lewat pesan.

Begitu bendera dikibarkan, Awan menaruhkan sisa kesadarannya untuk melajukan mesin motornya dengan kecepatan tinggi.


“Lo lihat? Gue gak cupu,” ucap Awan dengan bangga. Ia berhasil menyelesaikan balapannya di tengah demam yang melandanya.

“Ya, ya, gue akui. Pertahanin posisi lo, karena gue selalu siap kapan aja buat ambil itu.”

Awan memutar bola matanya. “Ya, ya, terus aja berekspektasi.”

Orang itu tergelak, dia sebenarnya hanya ingin mengetahui saja kemampuan Awan. Tidak benar-benar berniat mengambil posisi laki-laki itu.

“Keren! Udah mendingan tuh kepala dipakein helm?” Kana menghampirinya sambil menyerahkan satu botol air mineral. Awan menerimanya dan langsung meminumnya hingga sisa setengah.

“Makin pening gue, anjir. Tadi sempat oleng, tapi gue lagi beruntung. Btw, Rendra belum balik juga?”

“Udah, tadi pergi lagi sama Bisma, sih. Jalan kaki. Gue disuruh tungguin lo.”

Awan meringis. “Lo bonceng gue, ya, baliknya. Gak kuat kayaknya kalau balik ke apart.”

“Gak bisa, gue bawa moto—”

“Oy, Awan. Selamat, ya, lo keren.”

“Hahaha, yoi, Bang, makasih.”

Kana memutar bola matanya malas. “Gue gak bisa anter lo, gue bawa motor hari ini. Mau lanjut ke puncak.”

“Terus gue gimana, dong? Rendra pasti sama Bis—”

“Gak, Rendra yang nyetirin mobil aku.”

Awan dan Kana spontan menoleh ke asal suara. “Jen, aku—”

“Iya, kamu sakit,” potong Jennifer sembari mendekat.

Jennifer berjinjit untuk memasangkan plester demam di dahi sang raja jalanan yang baru saja merayakan kemenangannya. Di depan semua orang yang masih menjadikan Awan sebagai pusat perhatian.

Mungkin, hanya Jennifer yang bisa berlaku demikian tanpa mendapatkan bantahan dari Awan sama sekali.

“Rendra nyimpen motornya di rumahku, motor kamu biar Bisma aja yang bawa. Sekarang, pulang.”

Hanya Jennifer pula yang bisa menarik paksa Awan dari ruang kekuasaannya.

Kana menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sehebat apa pun orang yang berkuasa di jalanan. Kalau ada pacar, ya ... pacarnya yang berkuasa buat dirinya.”


“Ganti baju sana.”

Awan menghela napasnya. Raut wajah Jennifer sudah berubah sepenuhnya, tadi ia masih menunjukkan sikap normal karena ada Rendra. Sekarang terlihat jelas kalau perempuan itu tengah menahan kesal.

Jadi, Awan tidak mau banyak berulah dan memilih untuk menurut. Selesai mengganti pakaiannya, laki-laki itu tanpa kata merebahkan dirinya di tempat tidur karena kakinya sudah terasa lemas.

Mereka ada di kamar apartemennya, omong-omong.

“Sini deketan .... ” Awan menepuk bagian kosong di tempat tidurnya. Jennifer mendengus, tapi tetap duduk di sana.

“Jangan maksain lagi ke depannya. Harga diri kamu udah aku habisin pake plester ini.”

Awan tertawa kecil. “Kalau sama kamu, aku gak masalah.”

Jennifer mendengus sekali lagi.

“Tidur.”

“Obat tidurnya belum kamu kasih.”

Jennifer memutar bola matanya malas. Sedang sakit pun laki-laki ini masih kepikiran untuk mencari kesempatan.

“Kamu udah sering ngehadapin aku yang sakit. Jennifer sudah terverifikasi tidak akan tertular demamnya Awan.”

Fine, kecup pipi aja.”

Okay,” balas Awan tiba-tiba tidak terdengar lemah lagi. Tanpa banyak kata, perempuan itu menundukkan kepalanya, berniat mengecup pipi laki-laki.

Jika Awan pada mengalihkan lawannya ketika sedang balapan. Maka, ia juga pandai mengalihkan kemana tujuan bibir Jennifer mendarat.

Jennifer sudah tidak terkejut lagi ketika bibir Awan menyambut miliknya. Suasana semakin ditambah dengan laki-laki itu yang membalikkan posisi mereka.

Toh ujungnya, dia ikut menikmati juga.

“Lanjut?”

No, that kiss was the last,” ucap Jennifer sembari mendorong Awan dengan pelan, tentu itu tidak membuat laki-laki itu menjauh darinya. Jennifer juga tidak benar-benar berniat menciptakan jarak lebih luas di antara mereka.

“Jangan lupa, kita udah putus.”

“Aku sampai sekarang gak tahu kenapa kamu mutusin aku. Kalau kamu mau aku berhenti balapan, aku bakal lakuin.”

Jennifer menggeleng. “Jangan pura-pura lupa. Kamu belum bilang persoalan ini ke Rendra, ya? Dia masih baik sama kamu sampai rela jemput aku supaya kamu gak ikut balapan, walau telat juga, sih, ujungnya.”

“Kenapa harus?”

You kiss his girlfriend.

I was drunk that time. Kami sama-sama gak sadar.”

That's not a reason.

Awan menghembuskan napasnya dan memilih untuk duduk. Membiarkan Jennifer tetap terbaring.

“Aku harus apa lagi, Jen? Itu kecelakaan yang udah terjadi, aku gak bisa ngerubahnya. Kamu bahkan udah putusin aku.”

“Jujur ke Rendra dan biarin diri kamu ditonjok sama dia.”

“Udah?”

“Belum,” jawab Jennifer membuat Awan tanpa sadar merengut.

“Kamu gak boleh minum tanpa izin dariku, terus kurangi rokoknya. Kalau mau balapan, jangan gak peduli sama kondisi kamu.”

“Kita, 'kan, mantan. Kamu kok masih atur-atur aku?”

Jennifer menaikkan kedua alisnya dan menatap pada Awan. “Kamu gak mau balikan?”

Wajah Awan menjadi cerah seketika. “Kamu mau?”

“Mau aja, sih ..., ” ucap Jennifer menggantung.

Yes! Makasih say—” Baru saja Awan akan menyerbu perempuan itu dengan pelukan. Perutnya malah ditahan oleh kaki Jennifer.

“Tapi kalau aku udah lihat muka kamu lebam karena ditonjok Rendra.”

Tanpa banyak berpikir, Awan mengangguk. “Siap!” katanya dan menjauhkan kaki Jennifer dari perutnya.

“Sekarang, lanjutin yang tadi dulu, ya?”

“Nggak, karena sekarang kita masih mantanan. Lagian kamu ini sadar, dong, dahi kamu masih ada plesternya juga!”

“Tapi, Jen—”

“Jangan protes atau aku tidur di sofa.”

Tanpa basa-basi, Awan langsung mengubah posisinya menjadi tidur di sebelah Jennifer.

“Peluk boleh, ya?”

“Iyaaaa.”

“Jen, makasih banyak buat kesempatannya.”

“Iya, Awan. Tidur sekarang, biar besok udah enakan.”


Bonus

“Rendra, lo harus tonjok gue sekarang juga.”

Sumpah, demi apa pun. Rendra sepertinya bisa dibuat gila dengan kalimat itu. Setiap bertemu dengannya, Awan selalu mengatakan itu.

“Awan, gue ngerti kalau itu kecelakaan. Lagi pula gue udah bersihin bekas lo dari dia. Jadi, berhenti minta gue buat tonjok lo!”

“Serius, lo harus tonjok gue. Apa perlu gue cium cewek lo lagi supaya lo mau nonjok gue?” tanya Awan dengan wajah polosnya.

“Si bangsat, malah ngelunjak. Gue bunuh sekalian kalau lo berani kayak gitu.”

“Awan, lo kerasukan plester demam, ya,” celetuk Kana.

“Gue butuh tonjokan lo supaya Jennifer mau sama gue lagi,” ucap Awan sambil memegang lengan Rendra agar laki-laki itu tidak menghindar darinya lagi.

“Hidup lo kebanyakan drama, anying.”

“Banyak omong! Sini gue aja yang tonjok lo!”

Benar, Bisma langsung menyerang Awan dengan menonjok pipinya. Tapi, tidak hanya laki-laki itu. Rendra juga mendapat tonjokannya.

Bisma melampiaskan rasa kesalnya karena mereka berdua sudah merusak konsentrasinya.

“Kok gue juga ditonjok, sih, Bis?!”

“Gue butuhnya tonjokannya Rendra!”

“Lo berdua bisa diem kagak?! Kalau nggak, jangan di studio gue berantemnya. Pergi sana yang jauh!”

Kana di pojok ruangan sedang bertepuk tangan sambil menertawakan.

———

sorry for typo(s).