karsalakuna

Dipikir-pikir, hidup gue emang cukup gokil. Gue berasa jadi orang yang paling beruntung begitu bisa dapetin Kak Sana.

Pertemuan pertama kami tuh di parkiran kampus. Dia datang buat sebuah urusan yang sebenarnya gak begitu gue peduliin apa urusannya. Tapi yang gue peduliin waktu itu adalah mukanya yang kelihatan frustasi abis.

Ya udah, gue jadi cowok baik dan nyamperin. Nanya dia kenapa dan jawabannya adalah mobilnya yang mogok. Dia nyalahin dirinya sendiri karena buru-buru berangkat sehingga gak sempat ngecek dulu.

Mau hubungin orang rumah, tapi dia harus segera berangkat ke tempat lain.

“Aku anter, deh, Kak. Kalau sungkan, anggap aja ojek. Lumayan uangnya buat beli pecel.”

Jangan salah, gue pake 'aku' soalnya nih orang kelihatan lembut dengan perangai tuan putrinya. Terus dia juga pakai aku dari tadi.

“Seriusan?”

“Iya, aku juga gak akan macem-macem, Kak. Aku masih mau lulus dari kampus ini tanpa kena masalah.”

Singkatnya, gue anterin dia ke tempat kerjanya. Sempat tukeran kontak karena orangnya gak bawa duit cash jadi dia bakal hubungi gue buat traktir makan, padahal gue tadi bercanda. Tapi sebagai anak kosan, gue tentu gak akan langsung menolak.

Bagai jalan yang baru diaspal, hubungan gue sama dia berjalan cukup mulus di awal. Gue udah kepedean kalau kita emang jodoh sampai mengabaikan soal dia yang kesusahan mengakui gue di dunianya.

Orang tua gue udah tahu dia pacar gue dan Kak Sana pun berhasil dibuat nyaman saat ada di rumah gue. Sementara gue, lihat wajah mamanya pun cuma lewat HP aja.

Udah perjanjian kami juga, sih, untuk gak terlalu mengumbar. Tapi kadang gue posting dia walaupun gak menunjukkan wajahnya. Sementara dia, gue gak pernah sekali pun lihat muka gue ada di story-nya.

Gue awalnya gak terlalu mempermasalahkan. Pekerjaan Kak Sana butuh pandangan yang bagus dari orang-orang. Gue sendiri pun, belum lulus dan kepengen jadi mahasiswa yang gak digosipin.

Kalau Seokmin, dia pernah mergokin waktu doi ke kosan. Untung anaknya gak bocor walau sering ledekin gue dengan bilang kalau Kak Sana itu sugar mommy gue.

Awalnya semua kerasa berjalan baik-baik aja. Ada yang nyelekit kayak tadi pun, gue gak terlalu memperhatikannya.

Mungkin faktor skripsian juga kali, ya. Gue jadi lebih sensitif dan lama-lama Kak Sana kesannya kayak nyembunyiin gue. Puncaknya yang kemarin itu. Waktu dia jalan sama cowok pilihan mamanya.

Gue cukup sadar diri kalau gue belum menjadi seseorang yang pantas buat dia. Namun, gue juga sadar kalau dunia gue tanpa dia mungkin bisa menjadi lebih bajingan lagi.

Jadi, gue berjuang.

Kak Sana menjadikan gue tempat istirahatnya dan itu terasa cukup untuk gue yakin kalau dia perlu diperjuangin.

Gue paling benci sama manusia yang selingkuh. Walau dia kemarin gak begitu, tapi gue kayak ... capek?

Dia menolak buat dateng lihat gue sempro, tapi jalan sama cowok lain. Kan agak anjir, ya.

Tapi si bulol ini tetap gak mau kehilangan dan beruntung minta break..

Kak Sana gak pernah berhenti menghubungi gue. Dia selalu membalas story yang gue unggah dan itu adalah usahanya. Gue agak membatasi diri karena ini masih break. Agak jahat dikit juga karena gue mau dia juga turut bergerak.

Sejujurnya, menemui orang tuanya juga bukan hal yang gue takutkan. Gue sayang Kak Sana dan gue akan memperjuangkannya. Tapi dia gak mau gue perjuangin.

Selama break gue menyibukkan diri menyelesaikan skripsi. Pengen cepet lulus dengan mulus, walau ada revisi dikit pada ujungnya. Namun, akhirnya gue hadir di kampus ini dengan setelan jas dan rambut yang udah ditata. Kemarin sempat dicukur juga omong-omong. Jadi, gue berasa keren hari ini.

Gue celingak-celinguk nyari temen. Dari kejauhan ada Seokmin yang kelihatan normal. Rambutnya masih kelihatan basah, kayaknya kebanyakan pake gel rambut. Gue gak akan komenin, biarin hari ini kita happy.

Gue mengecek HP sekali lagi, tapi Kak Sana masih gak balas pesan gue. Ya udah, mungkin dia gak jadi dateng? Gue gak mau capek-capek mikirin. Mending gue fokus dulu sama acaranya.


Setelah sesi berfoto sama dosbing juga temen-temen lain yang dibimbing beliau. Gue keluar dengan langkah lebar setelah nanya di mana papmam nunggu gue. Tubuh yang terbalut toga ini, lagi bangga sama diri sendiri karena dapat hasil yang lebih memuaskan dari ekspetasi.

Papmam bilangnya nunggu di parkiran karena rencananya habis ini kita bakal ke studio biar langsung foto habis kelulusan kayak orang-orang. Namun, masih jauh dari sana gue udah keheranan dengan dua orang asing yang mengobrol sama kedua orang tua gue.

Mama kayaknya sadar sama gue karena dia baru aja menunjuk ke arah gue. Terus tahu-tahu di belakang mama ada Kak Sana yang semula duduk di bawah pohon.

Dua orang tadi berarti salah satunya mamanya. Oh, yang satu lagi temennya yang sering gue lihat ada di IG-nya.

Kak Sana berdiri dan berjalan ke arah gue dengan buket bunga yang lumayan gede. Dia ngasih senyuman yang gue yakini bisa ngalahin cerahnya matahari tadi pagi.

Dia melangkah mendekat dan gue mau gak mau turut menghampiri. Ketika kami berdua udah berhadapan, dia langsung ngomong, “Selamat, ya, Dek, buat kelulusannya. Ini buat kamu.”

Bunganya belum sempat gue terima, tapi tubuh yang ngasih udah jatuh duluan ke pelukan gue. Gue menahan tubuhnya dan menepuk pipinya pelan. Tapi dia gak kunjung bangun.

Ibunya dia berlari menghampiri kami berdua. “Soonyoung, tolong gendong dia, ya. Ayo ke rumah sakit lagi. Dia masih sakit, tapi maksa ke sini supaya bisa ketemu kamu.”

Gue harusnya menikmati sisa hari dengan bangga dan bahagia karena kelulusan yang baru diraih. Bukan dengan kekhawatiran yang tiba-tiba melingkupi gue sampai tubuh ikut bergetar karenanya.

Gue gak menyukai keadaan ini.

Dipikir-pikir, hidup gue emang cukup gokil. Gue berasa jadi orang yang paling beruntung begitu bisa dapetin Kak Sana.

Pertemuan pertama kami tuh di parkiran kampus. Dia datang buat sebuah urusan yang sebenarnya gak begitu gue peduliin apa urusannya. Tapi yang gue peduliin waktu itu adalah mukanya yang kelihatan frustasi abis.

Ya udah, gue jadi cowok baik dan nyamperin. Nanya dia kenapa dan jawabannya adalah mobilnya yang mogok. Dia nyalahin dirinya sendiri karena buru-buru berangkat sehingga gak sempat ngecek dulu.

Mau hubungin orang rumah, tapi dia harus segera berangkat ke tempat lain.

“Aku anter, deh, Kak. Kalau sungkan, anggap aja ojek. Lumayan uangnya buat beli pecel.”

Jangan salah, gue pake 'aku' soalnya nih orang kelihatan lembut dengan perangai tuan putrinya. Terus dia juga pakai aku dari tadi.

“Seriusan?”

“Iya, gue juga gak akan macem-macem, Kak. Gue masih mau lulus dari kampus ini tanpa kena masalah.”

Singkatnya, gue anterin dia ke tempat kerjanya. Sempat tukeran kontak karena orangnya gak bawa duit cash jadi dia bakal hubungi gue buat traktir makan, padahal gue tadi bercanda. Tapi sebagai anak kosan, gue tentu gak akan langsung menolak.

Bagai jalan yang baru diaspal, hubungan gue sama dia berjalan cukup mulus di awal. Gue udah kepedean kalau kita emang jodoh sampai mengabaikan soal dia yang kesusahan mengakui gue di dunianya.

Orang tua gue udah tahu dia pacar gue dan Kak Sana pun berhasil dibuat nyaman saat ada di rumah gue. Sementara gue, lihat wajah mamanya pun cuma lewat HP aja.

Udah perjanjian kamu juga, sih, untuk gak terlalu mengumbar. Tapi kadang gue posting dia walaupun gak menunjukkan wajahnya. Sementara dia, gue gak pernah sekali pun lihat muka gue ada di story-nya.

Gue awalnya gak terlalu mempermasalahkan. Pekerjaan Kak Sana butuh pandangan yang bagus dari orang-orang. Gue sendiri pun, belum lulus dan kepengen jadi mahasiswa yang gak digosipin.

Kalau Seokmin, dia pernah mergokin waktu doi ke kosan. Untung anaknya gak bocor walau sering ledekin gue dengan bilang kalau Kak Sana itu sugar mommy gue.

Awalnya semua kerasa berjalan baik-baik aja. Ada yang nyelekit kayak tadi pun, gue gak terlalu memperhatikannya.

Mungkin faktor skripsian juga kali, ya. Gue jadi lebih sensitif dan lama-lama Kak Sana kesannya kayak nyembunyiin gue. Puncaknya yang kemarin itu. Waktu dia jalan sama cowok pilihan mamanya.

Gue cukup sadar diri kalau gue belum menjadi seseorang yang pantas buat dia. Namun, gue juga sadar kalau dunia gue tanpa dia mungkin bisa menjadi lebih bajingan lagi.

Jadi, gue berjuang.

Kak Sana menjadikan gue tempat istirahatnya dan itu terasa cukup untuk gue yakin kalau dia perlu diperjuangin.

Gue paling benci sama manusia yang selingkuh. Walau dia kemarin gak begitu, tapi gue kayak ... capek?

Dia menolak buat dateng lihat gue sempro, tapi jalan sama cowok lain. Kan agak anjir, ya.

Tapi si bulol ini tetap gak mau kehilangan dan beruntung minta break..

Kak Sana gak pernah berhenti menghubungi gue. Dia selalu membalas story yang gue unggah dan itu adalah usahanya. Gue agak membatasi diri karena ini masih break. Agak jahat dikit juga karena gue mau dia juga turut bergerak.

Sejujurnya, menemui orang tuanya juga bukan hal yang gue takutkan. Gue sayang Kak Sana dan gue akan memperjuangkannya. Tapi dia gak mau gue perjuangin.

Selama break gue menyibukkan diri menyelesaikan skripsi. Pengen cepet lulus dengan mulus, walau ada revisi dikit pada ujungnya. Namun, akhirnya gue hadir di kampus ini dengan setelan jas dan rambut yang udah ditata. Kemarin sempat dicukur juga omong-omong. Jadi, gue berasa keren hari ini.

Gue celingak-celinguk nyari temen. Dari kejauhan ada Seokmin yang kelihatan normal. Rambutnya masih kelihatan basah, kayaknya kebanyakan pake gel rambut. Gue gak akan komenin, biarin hari ini kita happy.

Gue mengecek HP sekali lagi, tapi Kak Sana masih gak balas pesan gue. Ya udah, mungkin dia gak jadi dateng? Gue gak mau capek-capek mikirin. Mending gue fokus dulu sama acaranya.


Setelah sesi berfoto sama dosbing juga temen-temen lain yang dibimbing beliau. Gue keluar dengan langkah lebar setelah nanya di mana papmam nunggu gue. Tubuh yang terbalut toga ini, lagi bangga sama diri sendiri karena dapat hasil yang lebih memuaskan dari ekspetasi.

Papmam bilangnya nunggu di parkiran karena rencananya habis ini kita bakal ke studio biar langsung foto habis kelulusan kayak orang-orang. Namun, masih jauh dari sana gue udah keheranan dengan dua orang asing yang mengobrol sama kedua orang tua gue.

Mama kayaknya sadar sama gue karena dia baru aja menunjuk ke arah gue. Terus tahu-tahu di belakang mama ada Kak Sana yang semula duduk di bawah pohon.

Dua orang tadi berarti salah satunya mamanya, oh yang satu lagi temennya yang sering gue lihat ada di IG-nya.

Kak Sana berdiri dan berjalan ke arah gue dengan buket bunga yang lumayan gede. Dia ngasih senyuman yang gue yakini bisa ngalahin cerahnya matahari tadi pagi.

Dia melangkah mendekat dan gue mau gak mau turut menghampiri. Ketika kamu berdua udah berhadapan, dia langsung ngomong, “Selamat, ya, Dek, buat kelulusannya. Ini buat kamu.”

Bunganya belum sempat gue terima, tapi tubuh yang ngasih udah jatuh duluan ke pelukan gue. Gue menahan tubuhnya dan menepuk pipinya pelan. Tapi dia gak kunjung bangun.

Ibunya dia berlari menghampiri kami berdua. “Soonyoung, tolong gendong dia, ya. Ayo ke rumah sakit lagi. Dia masih sakit, tapi maksa ke sini supaya bisa ketemu kamu.”

Gue harus menikmati sisa hari dengan bangga dan bahagia karena kelulusan yang baru diraih. Bukan dengan kekhawatiran yang tiba-tiba melingkupi gue sampai tubuh ikut bergetar karenanya.

Gue gak menyukai keadaan ini.

'Terus yang lagi ngopi sama cowok di starbucks itu siapa?'

Jantung Sana terasa berhenti begitu membaca pesan terakhir yang Soonyoung kirimkan. Kepalanya bergerak, memandangi sekitar. Guna mencari keberadaan kekasihnya.

Ia menemukan Soonyoung yang baru keluar dari tempat ini dengan langkah yang terburu.

“Kenapa?”

Sana memandang pada orang itu dengan gusar. “M-maaf, saya harus pergi dulu.”

Tanpa menunggu balasan, perempuan itu meraih tasnya dan berlari untuk mengejar kekasihnya. Meninggalkan sosok yang semula bersamanya begitu saja.


“Soonyoung, tunggu dulu!” Tangan Sana berhasil meraih lengannya. Menahan laki-laki itu agar berhenti bergerak.

Soonyoung menghela napasnya, lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berhenti bergerak, tapi enggan melihat pada yang lebih tua.

Sana menarik laki-laki itu untuk duduk. Jemarinya tak berhenti meremat lengan Soonyoung sedari tadi. Sana sedang gelisah dan itu malah membuat isi kepala Soonyoung semakin berisik.

“Kak, aku sebenarnya gak mau mikir yang enggak-enggak. Tapi kamu gak ngabarin aku dan yang tadi bukan rekan kerja kamu, 'kan?”

Sana mengangguk dengan kaku. Soonyoung memegang tangan Sana supaya perempuan itu berhenti meremat lengannya. Namun, kedua tangan Sana kini malah saling mencengkeram dengan erat.

“Aku bakal dengerin,” ucap Soonyoung dengan lirih.

Ada jeda cukup lama. Ponsel Soonyoung sudah bergetar berulang kali, ia yakin kalau itu dari Seokmin dan teman-temannya yang lain yang sudah menunggu sejak tadi.

“Kak, gak ada yang harus dijelasin, ya? Apa yang ada di pikiranku sekarang itu bener?”

Sana menggeleng dengan keras. “Enggak ... gak bener.”

Soonyoung menghela napasnya. “Jelasin kalau gitu.”

Sana kembali menunduk, jari tangannya saling bertautan.

“Mama ....”

Baru satu kata yang Sana ucapkan, tapi Soonyoung sudah bisa menebak apa yang tengah dialami oleh kekasihnya. Entah sudah berapa kali ia membuang napas karena kesal.

Soonyoung tertawa, hampa. Sana merasa dihabisi di tempat.

“Sesusah itu, ya, buat akuin kita di depan mama kamu? Kamu punya pacar, Kak. Kamu punya aku.”

“Soonyoung, gak gitu ... aku—”

“Aku pengen cepet selesain semua urusan kuliahku, aku nyari kerja part time. Aku terus kejar kamu karena aku gak mau kamu nunggu kelamaan. Tapi kamu malah ... gini.”

Soonyoung menatap pada Sana. Ada luka yang dipancarkan oleh kedua bola matanya dan ada getar yang Sana tunjukkan karenanya.

“Aku terkadang ngerasa kalau cuma aku yang berjuang buat kita, Kak. Aku sendirian padahal di hubungannya ada kita berdua. Kak, kalau kamu malu sama aku, seharusnya dari awal kamu tolak aku aja. “

Sana menggeleng. “Enggak, aku gak malu, Soonyoung. Aku b-bakal bilang sama mama, sama dunia kalau aku punya kamu. Tapi ini belum waktunya.”

“Terus kapan? Pas kamu ngerasa gak cocok sama cowok pilihan mama kamu? Itu namanya kamu jadiin aku pilihan!”

Sana menggeleng dengan keras. Tangannya bergetar ketika meraih lengan Soonyoung yang kini sudah berdiri.

Wajah laki-laki itu memerah, ia memundurkan langkahnya agar Sana tak bisa menyentuhnya. Sana rasanya ingin menenggelamkan dirinya sendiri. Sosok ceria Soonyoung yang sudah membuatnya jatuh, kini tak tampil di hadapannya lagi. Tak ada tatapan kagum yang biasa Sana lihat, tak ada lagi tubuh yang selalu ingin berdekatan dengannya.

Sana tak mau kehilangan Soonyoung.

“Soonyoung, aku sayang kamu. Aku—”

“Kak, let's take a break.”

“Hai?” sapa Keenan dengan ragu pada seorang perempuan yang berpakaian sama dengan yang dikirimkan padanya tadi.

Ines mendongak, melihat pada laki-laki yang baru saja memanggilnya. Laki-laki itu memakai hoodie hitam sesuai dengan apa yang ia katakan di-chat tadi.

“Shaka?”

Keenan tersenyum mendengar nama yang ia perkenalkan pada dunia satu ini keluar dari mulut perempuan yang baru saja menjadi partnernya. “Yes, that's my name.

Ines membalas dengan senyuman tipis sembari mempersilakan Keenan untuk duduk di depannya. Keenan menurunkan tudung hoodie-nya, lalu menatap Ines dengan lekat.

By the way, perjanjian dulu, dong. Setelah ini gak akan viralin masing-masing di tiktok karena kedapetan first impression yang gak sesuai sama harapan. Oke?”

Ines mengernyit mendengar itu. “Oke? Lagian gue gak main tiktok.”

“Ya gitu, deh. Kan, sekarang dikit-dikit spill, perkara sendok aja bisa di-spill,” balas Keenan diakhiri dengan tawa canggungnya. “Lo udah pesen?”

Ines mengangguk. “Gue tinggal nunggu nama gue dipang—”

“Atas nama Ines.”

“—gil. Gue ambil dulu, ya.” Keenan mengangguk, dia menyandarkan dirinya seraya mengamati sosok Ines dari belakang.

Ini mah bukan di luar ekspetasi lagi, lebih dari ekspetasi, batinnya.

Sesaat setelah Ines berbalik dengan nampan berisi makanannya, laki-laki itu pura-pura sibuk dengan ponsel di tangan. Menggerakkan jarinya seakan ia tengah membaca sesuatu, tapi pada kenyataannya layar ponselnya masih mati.

“Lo gak mau pesen?” tanya Ines setelah kembali duduk.

“Oh, iya. Bentar gue pesen dulu, ya.”


“Gue pernah, tuh, diajakin nonton Manusia Sandiwara. Tapi gak ikut, kalau tahu ada lo, gue pasti bakal nonton setiap pertunjukannya.”

Ines mengaduk minumannya dengan malas karena mendengar pernyataan barusan. Perempuan itu melirik ke arah Keenan. “Kalau tahu ada gue? Lo mau nonton karyanya apa gue?”

“Jujur? Lo. Gue gak begitu menikmati musik.”

Ines menghembuskan napasnya. Sebenarnya, ia tak menyukai kejujuran barusan. Namun, karena laki-laki itu jujur, Ines memilih untuk tak membahasnya lagi.

“Gue tahu lo gak suka sama jawaban gue barusan. Maaf, ya. Mungkin awalnya bakal begitu, tapi lama-lama nonton kayaknya gue bakal turut menikmati karyanya,” ucap Keenan dengan tenang. Ines membahasnya dengan kedua alis yang terangkat.

“O-oke,” balas Ines dengan canggung. Agak tidak menyangka kalau laki-laki itu akan berkata demikian.

Keenan berdeham. “Lo mau kita ada perjanjian dulu atau enggak, Sa?”

Ah, akhirnya mereka masuk ke pembicaraan yang seharusnya.

Ines mengangguk sebagai jawaban. “Gue gak mau ada sexual activity dulu sebelum kita beneran akrab. At least, gue perlu percaya dulu sama lo.”

Keenan menatapnya sebelum mengukir senyuman tipis. Ia tertawa kecil lalu berkata, “Langsung ditembak. Tapi, oke. Gue bakal terima. Gue boleh ngajuin juga gak?”

“Boleh, di hubungan ini bukan hanya gue sendiri.”

“Selama kita nyoba, baik lo sama gue jangan menjalin hubungan sama yang lain. Kalau lo baru punya crush jangan dulu confess gitu, lah. Gimana?”

“Oke, gue gak punya seseorang yang gue suka, kok. Kalau iya, gue gak akan main aplikasi ginian,” balas Ines.

Keenan tersenyum lagi. “Sip, itu aja, sih, dari gue.”

“Gue juga gak ada lagi. Just let it flow.”

Keenan memberikan anggukan. Laki-laki itu kemudian mengarahkan sebelah tangannya pada Ines, mengajak bersalaman. “Salaman dulu, lah. Sebagai pertanda kalau kita resmi.”

Ines menatapnya sekilas sebelum akhirnya membalas salaman itu. Dalam hati, ia berharap kalau laki-laki di hadapannya ini tak main-main dengan ucapannya.

Kedua tangan mereka sudah tak bertaut lagi. Keenan mengetukkan jarinya ke meja, bingung harus membicarakan apa lagi.

Oh, iya.

“Lo ada waktu sampai jam berapa?” tanya Keenan.

“Gue hari ini kosong.”

Keenan tersenyum lagi. “Gimana kalau jalan-jalan bentar di taman? Anggap aja kencan pertama. Kita bisa ngomongin banyak hal di sana. Tapi sore nanti gue harus kumpul. Gue bakal anter lo dulu sampai ke rumah.”

Ines menggeleng. “Gak usah dianter.”

“Iya, oke. Tapi mau gak jalan-jalannya?”

“Ayo,” balas Ines santai.

“Kalau gitu gue bayar makanan kita dulu, ya.”

Baru Keenan akan bangkit untuk membayar, tangan Ines sudah menahannya. Perempuan itu menyerahkan beberapa lembar uang padanya.

“Tolong, bayarin punya gue, ya. Itu uangnya.”

Keenan menatapnya lekat. Biasanya, ia akan bertemu dengan perempuan yng menginginkan makanan mereka dibayar olehnya. Namun, Ines berbeda.

Sosok ini, semakin menarik di matanya.

Aku akan menjadi seorang kakak.

image

Aku akan bilang padanya kalau kami punya orang tua yang keren. Mami bisa membuat segala macam kue yang manisnya sama seperti senyumannya. Lalu, ada papi dan tumpukkan kertas berisi gambar yang tak banyak orang bisa mengerti. Kertas-kertas yang kemudian akan diterapkan pada satu gedung yang nyata.

Aku akan menjadi seorang kakak.

Aku akan menunjukkan padanya segala sisi menyenangkan dunia. Nanti kita harus pergi ke kebun binatang. Aku akan memberi tahunya kalau aku menyukai rusa, papi menyukai harimau, mami menyukai kami yang sedang bersama, dan mencari tahu hewan apa yang akan ia gemari nantinya.

Aku akan menjadi seorang kakak.

Aku juga akan memberi tahu kalau dunia bisa menjadi kejam. Tak semua teman benar-benar teman, tak semua orang dapat dipercaya dengan mudah. Aku akan menjadi benteng pertahanannya. Aku akan membimbingnya tentang baik dan buruk.

Aku akan menjadi seorang kakak.

Aku tidak akan menjadi Amy si putri kecil milik Edward dan Anna lagi. Aku akan menjadi lebih besar dari dia. Aku akan menjadi penjaganya. Entah adikku nanti laki-laki atau perempuan, akan tetap kulindungi. Akan kujaga dia sebagaimana papi dan mami menjagaku hingga sekarang.

Aku akan menjadi seorang kakak.

Jarak umur kami cukup jauh, tapi aku tak akan menganggapnya sebagai sebuah hambatan. Akan kuusahakan untuk menjalankan peran sebagai kakak ini dengan baik. Aku akan menemaninya layaknya sahabat, mendengarkan layaknya keluarga, dan memberinya ruang sendiri layaknya orang asing. Aku akan mengusahakan itu. Jadi, papi dan mami jangan khawatir. Aku tak enggan untuk berinteraksi dengannya.

Aku akan menjadi seorang kakak.

Dia adalah hadiah bagi papi dan mami. Bagaikan sejuk dalam kemarau. Bagaikan hujan kala sinar nyaris membakar.

Menurutku adik bukanlah hadiah dan aku sempat tidak rela untuk berbagi papi dan mami dengannya. Namun, sekarang aku pelan-pelan mencoba menerima karena kebahagiaan mami dan papi adalah hal yang perlu aku prioritaskan.

Aku akan menjadi seorang kakak.

Hai, adik.

Perkenalkan aku Amy, kakakmu.

Aku anak pertama di keluarga ini dan ketika menulis ini aku masih kelas dua. Entah kapan kamu akan dapat membaca ini, yang jelas aku menantikan reaksimu.

Kita ada di rumah yang aman dan nyaman. Kamu bisa pulang ke rumah ini dan meninggalkan segala ketakutan di ambang pintu. Kamu bisa beristirahat di sini sepuas hati.

Papi dan mami akan membiarkan kita untuk mencari tahu apa yang membuat kita penasaran, tapi mereka tidak akan lepas begitu saja. Di setiap langkah pencarian kita, papi dan mami akan selalu menemani dan membimbing.

Kamu boleh memiliki mimpi apa pun selalu itu bukan hal yang buruk. Tak ada tuntutan soal akan menjadi siapa kamu nantinya. Yang ada hanya harapan bahwa apa yang kamu dapatkan; bisa diberikan juga.

Ini Amy, kakakmu.

Aku harap kamu bisa membaca ini nanti. Baik-baik dalam perut mami dan teruslah sehat. Tolong jangan buat mami banyak kesakitan.

Kami menanti kehadiranmu, adik kecil. Sampai jumpa nanti.

With love, Amy K.

Terakhir kali Amy melihat Edward marah itu saat ia pulang terlambat selepas kerja kelompok dan itu tanpa memberi kabar karena ponselnya mati. Sekarang, Amy mengulanginya lagi. Bedanya, dia melakukan ini secara sengaja.

Kemarahan Edward adalah hal yang paling Amy dan Anna hindari. Bukan karena Edward membentak atau apa, tapi laki-laki itu akan diam seribu bahasa dan tak keluar dari kamar.

Amy pikir, akibat ulahnya kali ini, ayahnya akan seperti itu. Namun, ia mendapati Edward duduk bersama mereka walau enggan menatapnya. Suasana di meja makan itu sangat canggung.

Anna yang murung, Edward yang marah, dan Amy yang merasa bersalah. Untuk pertama kalinya ia bertingkah seperti ini dan perasaannya sangat tidak menentu sekarang.

Anna menatap anak dan suaminya bergantian sebelum menghembuskan napas. Tangannya bergerak untuk menyentuh tangan Edward, lalu berkata, “Ed, mau martabak.”

Edward mengernyit. “Martabak? Kamu, ‘kan, gak boleh—“

“Saya janji cuma makan sedikit,” potong Anna sambil memberi tatapan memohon pada suaminya. “Please?”

“Okay … mau rasa apa?”

“Mau yang matcha, yang martabaknya hijau itu, loh.”

“Kamu gak suka matcha. Kita semua gak suka matcha.”

“Tapi saya lagi mau itu, pake keju sama susu di atasnya.”

Edward menghela napasnya. “Saya beli dulu, piringnya disimpan aja. Nanti saya yang cuci.”

Anna mengangguk, memilih untuk menurut yang penting suaminya itu lekas pergi. Sementara itu, Amy tengah memainkan sendoknya dengan gusar.

Setelah Edward pergi, baru lah Amy berani berbicara.

“Ma-mami, biar aku aja yang cuci piringnya.”

Tanpa menunggu balasan, anak itu sudah mengumpulkan bekas makan mereka dan mendekat pada wastafel. Anna juga memilih untuk tidak membalas.

“Kamu tadi ke mana?” tanya Anna dengan pelan. Yang lebih tua bertanya seperti biasa, tapi Amy sudah merasa terintimidasi.

“A-aku nyoba es krim. Sama te-temen yang biasa, Richard, Josie, dan yang lain.”

“Kenapa gak kasih kabar dulu?”

Amy menggigiti bibir bawahnya gugup. Ia tak terbiasa untuk berbohong.

“Ma-maaf, Mami. A-aku—“

“Sst, gak papa. Mami paham, kok, gak usah cari alasan yang gak sesuai dengan kenyataannya.”

“Amy, ikut mami ke kamar, yuk? Kita bicara berdua, mumpung papi lagi di luar. Biar dia nenangin dirinya sendiri dulu.”


Amy belum berani membuka suara ketika kakinya sudah memasuki kamar kedua orang tuanya. Anna mengelus pucuk kepala Amy yang kini tingginya sudah sedikit melebihi ya. Ia kemudian menuntun Amy untuk duduk di hadapannya cermin.

Sisi kamar mereka yang satu ini memiliki arti tersendiri untuk Edward dan Anna. Di sekitar cermin yang biasa mereka gunakan saat bersiap, ada banyak foto tentang perjalanan keduanya.

Mulai dari saat pernikahan, foto-foto USG Amy, hingga foto mereka bertiga saat Amy sudah sebesar sekarang.

Kedua tangan Anna ada di pundak Amy. “Dari dulu, semuanya selalu untuk kamu, Amy. Semua foto ini sengaja dipasang di sini sebagai pengingat untuk papi sama mami supaya gak menyerah. Baik untuk diri masing-masing atau satu sama lain.”

Sebelah tangan Anna berpindah, sekali lagi bergerak untuk mengusap pucuk kepala Amy. “Papi selalu bilang ke mami kalau kamu adalah hal paling menakjubkan yang pernah dia dapat seumur hidup. Mami juga merasa demikian. Amy terlalu luar biasa dan kami tentu harus jaga kamu dengan baik.”

Amy masih diam. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar itu dari kedua orang tuanya. Namun, perasaan hangat yang timbul tetap sama.

“Sebelum papi kerja, dia bakal diam di sini. Buat rapihin penampilannya dan lihat semua foto yang ada di sini. Mami juga akan melakukan hal yang sama kalau harus pergi ke kafe. Foto-foto ini—kamu adalah motivasi kami berdua.”

“Amy akan selalu menjadi segalanya untuk kami.”

Amy menunduk, bahunya bergetar. Anna sadar kalau putrinya menangis, dia membiarkan hal itu. Namun, tangannya tak berhenti memberi elusan.

“Ma-mami a-aku—hiks … aku minta maaf ma-malah—hiks … jadi anak nakal.”

“Sst, jangan bicara dulu,” ucap Anna sambil memutar kursi yang diduduki anaknya agar menghadap dirinya. Amy langsung memeluk perut ibunya.

“Gak papa, Amy boleh nangis. Tapi jangan lama-lama, ya? Nanti dadanya sakit.”

Anna membiarkan Amy mengeluarkan emosinya. Cukup lama ketika Amy sudah mulai tenang, pintu kamar itu terbuka disusul dengan kepala Edward yang muncul dari sana. Anna mengisyaratkan pada suaminya itu untuk tidak langsung berbicara saat masuk. Edward mengangguk paham dan melangkahkan kakinya ke dalam lalu duduk di atas tempat tidur.

Amy mendongakkan kepalanya yang sedari tadi tersembunyi di perut sang ibu. Ia kemudian sadar kalau Edward sudah ada di sana.

Napasnya masih memburu dan ia sadar tidak akan berucap dengan benar saat kondisinya masih seperti ini.

“Pa-papi, Mami, maafin aku. Aku bandel banget hari ini … aku minta maaf.”

Anna tak langsung membalas, dia mengusap jejak air mata yang ada di pipi putrinya.

“Kenapa tadi kamu gak ngabarin dulu?” tanya Edward.

“A-aku mau menghindar, t-tapi tetap kepikiran. Aku gak rela kalau harus berbagi papi sama mami nantinya. Aku juga khawatir sama kondisi mami, tapi aku gak bisa berbuat apa-apa. Aku … aku takut kalau nantinya adik malah buat mami pergi.”

Anna dan Edward saling berpandangan untuk beberapa detik. Anna kembali menunduk guna melihat wajah anaknya. Kedua tangannya membingkai sisi wajah Amy.

“Kata siapa Amy gak bisa apa-apa? ‘Kan, papi udah nawarin kamu buat bantu jaga mami?”

Amy menatap pada ayahnya dengan mata yang masih memelas. “Aku pasti jaga mami, tapi aku tetep takut.”

“Sayang,” panggil Anna, perempuan itu mengukir senyuman tipis. “Kamu mau mami baik-baik aja, ‘kan?”

Amy mengangguk.

“Kalau gitu, kamu harus percaya mami bakal baik-baik aja.”

Amy menatap kedua orang tuanya bergantian. “Papi sama mami seneng ada adik?”

Edward dan Anna kompak mengangguk.

“Ya-ya udah, aku bisa apa selain terima kalau gitu—hiks.”

“Loh, kok, malah nangis lagi? Cup … cup, kesayangan mami.”

Sekali lagi, Edward dan Anna tak meminta Amy untuk menghentikan tangisnya. Mereka tetap diam hingga Amy kembali tenang lagi.

Edward mengusap pucuk kepala anaknya. “Makasih banyak udah mau nerima. Pelan-pelan aja, gak papa. Kami gak akan paksa Amy supaya cepat terima.”

Amy mengangguk tanpa suara, dia mengusap wajahnya yang basah. “A-aku hari ini udah bandel, cengeng lagi. Jelek banget.”

“Mana ada anak mami jelek. Mami sama papi juga minta maaf, ya, karena mendadak kasih tahunya.”

Amy menatap keduanya heran. “Y-ya, pasti yang gitu mendadak, ‘kan ….”

“Maksudnya gak ngasih tahu kamu dari awal gejalanya muncul, sayang. Sebenarnya … papi sama mami juga ngerencanain ini.”

Amy tak membalas soal itu, dia tak ingin rasa kesalnya kembali muncul. Jadi, ia hanya mengangguk dan membiarkan Anna mengusap dirinya.

“Mau lihat foto adik gak, Dek?” tawar Edward.

“Kakak.”

“Eh?”

“Kan, udah ada adik bayi. Masa aku masih dipanggil adek, sih?”

Jeongyeon menjadi orang yang memimpin langkah mereka bertujuh. Perempuan berambut pendek dan memakai hoodie abu itu memegangi ponsel yang menampilkan peta supaya tidak salah arah menuju tempat bazaar dilaksanakan.

Di belakangnya ada Jun dan Wonwoo, lalu Momo dan Sana, terakhir Soonyoung dan Jihoon. Bersama-sama menyusuri trotoar dengan langkah yang hampir seirama.

“Masih jauh, Je?” tanya Wonwoo mulai pegal. Di bus ia kehabisan tempat duduk, saat sudah di alun-alun ternyata tempat bazaarnya tidak pas di sana. Mereka perlu berjalan lebih dulu.

“Dikit lagi,” jawab Jeongyeon tanpa menoleh ke belakang.

“Gini nih, keseringan naik mobil,” balas Jun sambil membenarkan jaketnya. Wonwoo cuma mendelik sebagai balasan.

Jeongyeon berhenti di sebuah tempat dengan banyak orang yang di depannya. Bazaar itu tidak dilaksanakan di alun-alun, melainkan di dalam sebuah mall yang ada di dekatnya.

“Nah, di sini!” kata Jeongyeon seraya mempercepat langkahnya. Mereka pun turut mempercepat langkah, memasuki Mall yang belum terlalu ramai karena bisa dibilang ini kepagian. Bazaar itu pun ada di tengah-tengah lantai satu.

“Belum rame banget, ya,” celetuk Momo ketika mereka sudah di dalam.

“Masih pagi soalnya,” sahut Jihoon.

“Ya udah kita mencar dulu aja, ya. Selamat mencari buku yang kalian mau. Nanti ke kasirnya barengan.” Tanpa menunggu apa pun lagi, Jeongyeon sudah lebih dulu memanjakan matanya dengan jajaran buku lama itu.

Jihoon tanpa kata berjalan ke arah tumpukan komik, diikuti Wonwoo di belakangnya. Sisanya berpencar, mencari buku yang menarik perhatian sampai puas.


Setelah masing-masing mendapatkan buku. Mereka segera pergi ke tempat bakso yang Momo bicarakan.

“Ini nyaris gak sampe ke bagian bawah mangkuknya.” Jun menjadi yang pertama berkomentar kala dua mangkuk berisi sebuah bakso besar dan mie yamien itu ada di hadapannya.

Sana meringis melihat apa yang dipesan teman-temannya karena penasaran. Tadinya, ia juga hendak memesan itu. Namun, melihat bakso kotak yang di pajang membuat nyalinya ciut. Tubuhnya tetap tak bisa menerima makanan sebanyak itu, apalagi ia memang bukan penggila bakso. Jadi, Sana memesan bakso yang kecilnya saja.

“Sebanyak itu, beneran cuma 17 ribu.” Sana agak takjub dengan harganya, ia kira apa yang Momo katakan waktu itu tak akan benar.

“Bener, Na. Eh, tapi ini jadi gak enak. Lo yang bayar, tapi lo malam pesen yang paling murah. Kita bayar sendiri-sendiri aja deh, ya,” balas Jeongyeon yang langsung diberi gelengan oleh Sana.

“Enggak, gak papa. Gue emang belum sanggup kalau harus makan banyak. Anggap aja gue traktir ini sebagai salam damai? Mengingat dulu geng gue sering ribut sama OSIS dan gue tahu lo sama Jihoon pasti kesel karena itu.”

Jeongyeon terkekeh canggung sambil melirik pada Jihoon. Tidak menyangka kalau Sana akan menyinggung persoalan itu.

“Kalau gitu, makasih banyak, ya, San! Salam damainya gak papa, loh, kalau gak sekali.” Malah Jun yang menanggapi ucapan Sana barusan dengan nada bercandanya.

“Jangan malu-maluin isi dompet lo,” balas Jeongyeon sambil menyikut Jun yang memang duduk di sebelahnya. Reaksi yang diberikan laki-laki itu tentu sedikit berlebihan, tapi semua kecuali Momo dan Sana sudah terbiasa.

“Ada Momo, lo jangan alay dulu,” celetuk Wonwoo membuat Jun langsung duduk tegak seketika. Laki-laki itu tertawa canggung sambil melihat ke arah Momo, yang dilihat juga cuma bisa membalas dengan senyuman yang sama canggungnya.

“Udah, mending kita makan dulu. Ngobrolnya lanjut nanti,” timpal Jihoon dan menjadi orang pertama yang menyuapkan potongan bakso ke dalam mulutnya.

“Selamat makan semuanya!” seru Momo dan dengan berakhirnya kalimatnya itu, mereka pun menikmati makanan masing-masing tanpa banyak kata.

Biasanya kalau hanya Jeongyeon, Wonwoo, Jun, dan Jihoon, mereka tak akan makan dalam diam. Selalu ada obrolan yang terjadi di antara keempatnya. Namun, mungkin karena ada Sana dan Momo mereka menjadi sedikit gengsi. Kalau Soonyoung, memang akan diam saat makan kecuali diajak bicara.

“Gak eneg?” tanya Soonyoung dengan pelan pada Sana yang duduk di sebelah kirinya, perempuan itu membalas dengan sebuah gelengan. Tak sengaja mendengar itu, Wonwoo yang ada di sisi Soonyoung satu lagi langsung berceloteh, “Perhatian amat.”

“Tuh, Je, lihat. Dia mah gak serius sama lo, masih kepo sama mantan,” tuding Jun membuat Wonwoo melotot seketika. Jeongyeon yang sedang dalam mood baik itu langsung membalas, “Emang, gue sadar, kok.”

Wonwoo agak panik, tapi masih berusaha untuk stay cool. Laki-laki dengan kacamata itu menggeleng dan berkata, “Enggak, gue gak bermak—”

“Ya udah, terima aja kalau ditolak. Orang lo tingkahnya begitu,” potong Jihoon dengan mata yang masih fokus pada baksonya.

“Je, gue—”

“Ssst ... diem. Gue lagi berdoa supaya dihindarkan dari buaya.” Lagi-lagi, kalimat Wonwoo dipotong. Kali ini oleh Jeongyeon. Perempuan itu memasang pose seakan berdoa. Momo dan Sana yang sedari tadi cuma mengamati langsung tertawa melihatnya.

Soonyoung menepuk paha Wonwoo pelan sambil berkata, “Yang sabar.”

“Kalian nyebelin banget anjir!”

Tawa mereka malah semakin keras melihat reaksi yang Wonwoo keluarkan.

Puas meledeki Wonwoo, mereka melanjutkan kegiatan mereka dengan sesekali melempar obrolan. Keadaan menjadi tak sehening sebelumnya.

“Nanti gue boleh post foto tadi, 'kan?” tanya Sana.

Post tinggal post,” balas Wonwoo.

“Emang gak papa? Kemarin aja pas foto lo sama Momo ... gitu.” Kali ini Jun.

“Gue sebenarnya udah gak peduli sama komentar mereka. Ini gue tanya kalian, takutnya malah kalian yang kepikiran.”

“Lo seneng, 'kan, hari ini?” tanya Soonyoung membuat Sana menatapnya heran. Namun, perempuan itu tetap mengangguk. “Seneng.”

“Kalau gitu,post aja. Lo bebas buat pamerin apa yang bikin lo seneng.”

Hyunjin as Ares. Chaeyoung as Katarina (Ina).

Part of: Meraki


“Ayo, Res. Nongkrong dulu lah kita. Gaji pertama kamu, 'kan?” ajak seorang seniornya, mendekat pada Ares yang sedang membereskan barang-barangnya.

“Lain kali deh, ya, Mas. Saya udah ada janji soalnya.”

“Ya udah,deh. Janji sama ayang, ya?”

Ares tertawa malu. “Gitu, deh. Saya duluan keluarnya, ya, Mas! Sampai jumpa Senin nanti!”

Tidak ingin makin diledekin, Ares buru-buru melangkah keluar. Toh, sebuah amplop sudah ada di saku jaketnya. Tak ada lagi alasan untuk ia bertahan lebih lama di sana.

Mata Ares melihat sekitarnya, mencari keberadaan seseorang. Wajahnya kini terhiasi oleh senyuman kalau melihat seorang perempuan yang tampak melamun di atas motornya. Helm merah yang ia kenakan membuat wajahnya terlihat bulat dan itu menggemaskan di mata Ares.

“Kak Ina!” panggil Ares dengan riang.

Ina tersadar dari lamunannya dan langsung melihat pada laki-laki yang baru saja memanggilnya. Perempuan itu tersenyum tipis seraya memundurkan dirinya, memberi ruang pada Ares untuk mengambil alih motornya.

“Ini motor si Iden, 'kan, Kak?” tanya Ares berbasa-basi sambil memakai helmnya.

Ina mengangguk. “Siapa lagi kalau bukan dia?”

“Keren banget Kak Ina bawa motor Iden buat jemput aku,” ucapnya dengan nada menggoda.

Ina memutar bola matanya malas. “Lagian kenapa harus naik motor, sih? Lebih enak naik angkot.”

“Biar gak kemaleman nantinya, kakak sayang.”

Ares menaiki motor itu dan duduk di depan, ia membenarkan posisi spionnya terlebih dahulu sebelum menyalakan mesinnya. Ia merasakan sepasang tangan yang memegang ujung pakaiannya.

“Peluk aja kali.”

“Kata Iden, nanti bensinnya harus diisi lagi.” Sudah biasa ketika Ina tak menanggapi godaan Ares. Perempuan yang lebih tua itu memang tak nyaman jika harus menunjukkannya di depan publik.

“Iya, siap. Nanti diisi sampai full, bilangin calon kakak iparnya lagi kaya.”

“Sombong banget, hati-hati seminggu udah habis, tuh, duit.”

“Ya ... jangan dido'ain juga dong, Kak!”

“Udah, ayo jalan.”

“Peluk dulu.”

“Res.” Ina berujar dengan tegas, membuat Ares mau tak mau melajukan motor yang mereka naiki. Ketika ia sudah fokus pada jalanan dan menikmati apa yang bisa ia lihat, Ares merasakan ada tangan yang melingkari pinggangnya. Disusul dengan sebuah dagu yang menyapa pundaknya.

“Pelan-pelan aja bawa motornya.”

Ares tak bisa untuk tak tersenyum lebar setelahnya.


Tempat makan bernuansa jadul itu menjadi tujuan Ares untuk mengajak Ina masuk ke dalamnya. Tadinya, Ares berniat membawa Ina ke tempat yang dihiasi lukisan seperti biasanya. Namun, ia pikir lebih baik di tempat yang berbeda mengingat mereka sudah sering menemui lukisan sejak masih di Art Club saat sekolah dulu.

Ina menatap tak suka pada sekitarnya, tangannya yang digenggam Ares tanpa sadar membalas lebih erat.

“Kenapa, Kak?” Ina bukanlah orang yang menyuarakan hal yang membuatnya tak nyaman. Namun, bahasa tubuh perempuan itu tak bisa berbohong. Sehingga gerakan sekecil apa pun, selalu Ares perhatikan.

“Banyak yang ngerokok,” ucap Ina pelan.

Ares memberi sedikit perhatian pada sekitarnya dan yang Ina ucapkan benar adanya. “Nanti kita di lantai dua aja, ya? Apa mau ganti tempat?”

“Ayo di lantai dua.”

Restoran ini nampak sederhana dan barang-barang yang ada di sana menambah kesan jadul yang berusaha untuk disajikam. Selain itu, makanan yang disediakan pun memang makanan-makanan Indonesia. Nasi Pendem menjadi pilihan Ina dan Ares karena dari namanya terdengar meyakinkan. Mereka juga memesan teh tawar dan roti bakar isi kacang gula.

“Kenapa pesennya ngikutin aku semua, sih, Kak?” tanya Ares.

“Kamu yang traktir terus aku juga bingung soalnya menunya banyak.”

Ares memangku kepalanya dengan sebelah tangan. “Orang lain bingung kalau menunya sedikit, ini bingung karena menunya banyak.”

“Makanan ginian, tuh, kebanyakan enak ... jadi bingung.”

Ares tertawa gemas. “Ya udah, kalau gitu selamat makan, Kakak sayang.”

Ina tersenyum. “Selamat makan, Res.”

Matanya Ares kunjung beralih dari sosok Ina yang malam ini tampil cantik dengan rambut yang digerai. Biasanya juga sudah cantik kalau menurut Ares.

Ina mendongak kala merasa kalau ia sedang diamati dan dugaannya benar, Ares tengah memandanginya. Perempuan itu kemudian memberi kode agar Ares fokus pada makanannya. Ares terkekeh dan memilih untuk menurut. Saatnya untuk mengisi perut karena jika mengisi hati itu sudah dipenuhi oleh perempuan yang ia panggil 'Kak Ina'.

Setelah makanan habis, keduanya masih berdiam di sana. “Tadi tuh ada yang jual bunga, 'kan, Kak?”

“Iya, tapi itu bukan bunga asli, deh.”

“Iya, bukan. Nanti aku mau beli buat kakak.”

Ina menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat. “Aku gak terlalu suka—”

“Mau, ya? Biar ala-ala couple romantis di IG yang dikasih bunga.”

Ares melancarkan bujukannya lengkap dengan mata yang memohon, meminta agar Ina menuruti keinginannya. Yang lebih tus menghela napasnya dan mengangguk. “Ayo beli.”

Ares langsung tertawa senang setelahnya.

“Kak, kalau diinget lagi ini first date kita gak, sih? Maksud aku ... setelah pacaran.”

Ina terdiam sebentar untuk mengingat. “Ah, iya juga, ya.”

“Soalnya waktu itu habis nerima Kak Ina langsung pergi.”

“Salah sendiri nembak di stasiun.”

Ares mendengus, tapi rasa kesalnya itu tak bertahan lama. “Tapi makasih banyak, ya, Kak. Mau aku ajakin ke tempat ginian.”

“Aku yang makasih karena udah ditraktir, pakai gaji pertama pula. Aku tiba-tiba ngerasa kalo aku orang penting.”

“Emang,” celetuk Ares. “Kamu,'kan, orang penting buat aku.”

“Gombal aja terus.”

Ina mengaduk memainkan sedotan miliknya. “Gaji pertama itu nyenengin, 'kan, Res?”

Ares mengangguk dengan antusias. “Iya, megang uang agak banyak dan itu buat aku sendiri, agak nyenengin. Jadi aku mau Kak Ina ikut ngerasain.”

“Makasih banyak,” ucap Ina sekali lagi.

“Jangan bilang makasih terus, ih, Kak. Aku emang pengen aja traktir orang yang aku sayang pake gaji pertama. Besok aku bakal traktir papi sama mami.“Ares menatap Ina sedikit kesal. Yang ditatap malah tertawa kecil, merasa terhibur dengan tingkah Ares.

” Traktir mereka makanan mahal, ya, Res,” ucap Ina dan langsung diangguki oleh yang lebih muda. Tak ada lagi kekesalan yang ia rasakan di menit sebelumnya. Anak itu kembali aktif sekarang.”

“Aku hari ini mood-nya bagus terus dari pagi. Ditambah gajian terus pacaran sama Kak Ina pulang kerja. Duh, jadi pengen nyanyi 'The Best Day Ever'-nya Spongebob semalaman.”

Jika mengingat masa lalu, terkadang Ares masih tak mempercayai kalau Ina bisa ada di hadapannya, menghabiskan waktu bersamanya. Ina yang dulu selalu jadi sosok yang ia keluhkan, kini malah menjadi sosok yang selalu ia rindukan.

“Ares, aku juga seneng bisa sama kamu. Makasih udah bawa aku ke tempat ini, walau ada yang ngerokok tapi aku tetep suka soalnya sama kamu. Makasih udah bikin aku seneng.”


“Jadi, gue harus anterin Ares dulu gitu?”

Ina mengangguk pada adiknya yang tampak mengantuk itu. “Anterin, ya, Den? Nanti gue kasih apa pun yang lo mau, deh.”

“Tapi aku sendiri juga gak papa, Kak,” ucap Ares merasa tak enak. “Bisa naik angkot.”

“Udah, dianter aja sama Iden.”

“Ya udah iya,” balas Iden pasrah dan mengambil alih kunci motornya hang dipegang oleh Ares.

“Eh, gak usah repot—”

“Udah, cuy. Ayo jalan, nanti beliin gue boba aja. by the way motor lo ke mana emangnya?”

“Lagi di bengkel, Den,” sahut Ares. Kalau sudah begini berarti Ares harus menurut apa kata Ina sama seperti yang dilakukan Iden sebelumnya.

Laki-laki kelahiran Maret itu menatap kembali pada Ina yang masih berdiri di sana. Berniat menunggu sampai adik dan kekasihnya menghilang dari pandangan.

“Aku pamit dulu, ya, Kak. Langsung istirahat habis ini. Besok kabarin berangkat jam berapa. Biar aku yang anter ke stasiunnya,” ucap Ares diakhiri dengan senyuman.

“Iya, hati-hati. Sekali lagi, makasih, Res.”

Ares baru mau berbalik untuk pergi, tapi tangan Ina tiba-tiba memegangi lengannya. Menahan Ares untuk tidak pergi begitu saja.

Perempuan itu sedikit berjinjit untuk menyapa pipi kanan Ares dengan bibirnya. Hanya sebuah kecupan kilat sebelum Ina berlari masuk ke rumah dengan wajah memerah. Meninggalkan Ares yang mematung seketika.

“Kalau udah sampai rumah, kabarin aku!” teriak Ina dari dalam rumah.

Dapat gaji hasil keringat sendiri untuk pertama kalinya, 'kencan' pertama setelah resmi jadi pasangan, ditambah sebuah kecupan pertama di pipi yang ia dapatkan selain dari keluarganya.

Ares tersenyum lebar sambil memegangi pipinya yang barusan disapa oleh Ina. Kurang sempurna apa lagi hari ini?

“Woi, buruan! Ayo pergi atau lo mau jadi boneka selamat datang di rumah gue?”

Hampir sempurna, tepatnya.


“Hanan berhasil juga, Lin. Tapi dia belum sempat tahu dan menikmati itu.

Elina meremat ujung pakaian yang ia kenakan. Sedari awal datang ke sini dan menyaksikan semuanya, perempuan itu belum mengeluarkan sepatah kata pun.

Tubuhnya bergetar melihat bagaimana sosok yang selalu menawarkan telinga untuknya itu memucat karena tak lagi di aliri darah. Ia menahan isaknya seiring dengan tubuh yang kini tertutupi oleh tanah.

Hanan, kita seharusnya lagi ngerayain keberhasilan kita.

Hanan, kamu harusnya ngasih tahu aku soal hasil kamu secara langsung.

Hanan, kenapa kamu tinggalin aku?

Elina jatuh terduduk, memeluk lututnya sendiri. Perempuan itu menyembunyikan wajahnya, menangis sejadi-jadinya.

Ia mengabaikan sekitarnya. Ia tak peduli kalau dunia akan tahu tentang kesedihannya.

Elina mengharapkan tawa mereka yang terdengar karena keberhasilan yang diraih. Bukan malah tangisnya untuk sosok yang bahkan tak bisa merengkuhnya lagi.

“Boleh nangis, tapi jangan kelamaan, ya, Lin? Nanti dadanya sakit.”

Elina mendongak, menatap gusar pada papan bertuliskan nama seseorang yang selalu menemani hari-harinya. Ia meraung sebagai protes pada semesta karena mengambil sosok itu terlalu cepat.

Elina dapat merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Di susul dengan sebuah tote bag yang diserahkan padanya.

“Ini barang yang dititipin Hanan ke bapak buat Elina.”

Elina menerimanya, tapi ia masih tak bisa mengendalikan dirinya. Air matanya tk mau berhenti, isakan yang terdengar semakin menjadi kalau tas itu sudah ada di pelukannya.

Hanan, kalau ini dikasihnya sama kamu langsung aku bakal seneng.

“Hanan gak suka kalau ada yang nangisin dia.”

Elina mengusap kasar jejak air matanya, dengan susah payah ia menahan agar tak memperdengarkan isakan lagi.

“Kemarin Hanan kejatuhan rak yang ada di gudangnya sampai batuk darah. Sekarang Hanan udah gak sakit lagi, Lin. Tuhan sayang sama Hanan, makanya Hanan diambil secepat ini.”

Sesak.

Kepala Elina terasa pening luar biasa, hatinya sakit bagai diremas dengan seribu tangan, air matanya masih ingin menghiasi wajah. Harusnya tidak seperti ini, harusnya ia dan Hanan tengah menikmati hasil dari kerja keras mereka selama ini.

Harusnya Elina dan Hanan menjalani mimpi mereka sama-sama. Namun, kenapa Hanan malah membiarkan Elina melanjutkan langkah sendiri?


Elina, ini Hanan.

Aku gak tahu kenapa, tapi aku tiba-tiba kepengen nulis surat ini. Rencananya aku mau kasih ini barengan sama bukunya nanti pas pengumuman, tapi ternyata aku belum bisa pulang karena harus ikut bantu pindah gudang. Maaf, ya, jadi kita gak bisa bareng-bareng lihat hasilnya.

Dulu, aku beberapa kali dengar soal kamu pas kelas 7 dan aku agak penasaran sama kamu karena itu. Tapi karena kelas kita beda lantai, aku gak bisa hafal sama wajah kamu. Lucunya kita disatuin pas kelas 8, sebangku pula. Lebih lucu lagi, kamu nemuin foto keluargaku yang udah aku robek.

Waktu itu, sebenarnya pemikiranku tentang perempuan baik nyaris tertutup. Aku ketemu kamu dan tahu-tahu kita bisa sedekat sekarang. Aku selalu antusias baca cerita kamu, aku gak pernah keberatan dengerin semua cerita kamu. Kalau ditanya siapa orang yang paling menarik di dunia ini, aku bakal jawab itu kamu.

Kita sama-sama gak tahu kita bakal kayak gimana setelah ini. Aku gak bisa jamin kita masih bisa pasang telinga untuk masing-masing atau enggak. Jadi, aku mutusin buat ngasih buku ini ke kamu. Aku juga punya satu yang kayak gini, kita punya barang couple lagi, deh.

Kamu dulu bilang mau bisa gambar juga, kan? Jadi, aku beli buku sketsa buat kamu. Omong-omong, aku masih simpan gambar kamu di sketsaku dulu. Nanti aku selipin di bukunya.

Buku satunya bisa kamu gunakan buat menulis semua pemikiran kamu atau apa yang kamu ingin curahkan ketika aku gak ada. Selain itu, aku paham gak semuanya bisa kita bagi, buku ini bisa jadi pengganti.

Apa pun kamu nantinya, aku maunya kamu tetap jadi Elina yang sekarang. Elina yang imajinasinya luas, Elina yang mampu menyalurkannya lewat kata, Elina yang gak pernah bohong sama perasaannya sendiri. Aku harap kamu bisa mempertahankan itu walau aku bukan lagi saksi hidupmu. Ketika aku bahkan udah gak ada di sekitar kamu lagi.

Elina, aku selalu berharap kamu dapat kesenangan. Aku gak bohong kalau aku ikut senang tiap kamu senang.

Apa pun hasilnya, kamu harus bangga sama dirimu. Bangga dengan apa yang udah kamu capai sampai hari ini. Bangga dengan kamu yang bertahan sampai detik ini.

I really adore you, Elina. Please, be happy.

—Hanan.

image

image