karsalakuna

“Ini beneran cuma minta diajarin, 'kan? Gak aneh-aneh, 'kan?” tanya Tzuyu dengan penuh curiga.

Jun yang baru menyalakan mesin mobilnya tertawa seketika. Laki-laki itu menatap pada Tzuyu seraya menaikkan alisnya menggoda.

“Beneran.”

Kening Tzuyu mengernyit seketika. “Yang bener, ih, June!”

“Bener, kok, bener. Masa mau belajar, akunya aneh-aneh. Gimana, sih, Juju?”

Sesuai dengan yang sempat mereka bicarakan. Sekarang, keduanya akan pergi menuju rumah orang tua Tzuyu. Niat yang terucap, sih, minta diajari membuat kue. Namun, Tzuyu tak begitu meyakininya.

Alasan pertama, Jun pernah berkata kalau ia akan meminta restu. Alasan kedua, tingkah Jun yang seperti barusan, senang menjahilinya.

Ke mana perginya June si overthinking?

Mobil yang mereka tumpangi mulai melaju. Perjalanannya akan lama, mereka juga sempat memberi beberapa cemilan sebagai teman.

“Aku putar musik, ya, Kak?”

Jun mengangguk dengan mata yang fokus pada jalanan. “Silakan.”

Setelah itu, lagu 'Adu Rayu' menjumpai pendengaran keduanya.

Jun tertawa kecil. “Lagu ini banget?”

“Aku puternya random,” balas Tzuyu apa adanya. Perempuan itu kemudian menyamankan duduknya.

“Ju, mau buat toko sendiri, 'kan?” tanya Jun setelah cukup lama tak ada yang bicara di antara keduanya.

Tzuyu melirik pada Jun, tentu perhatian laki-laki itu masih pada jalanan. “Iya.”

“Kalau gue bantu mau gak?” Pertanyaan Jun yang satu ini tepat setelah lampu merah menyala. Laki-laki itu sudah membalas tatapan Tzuyu.

Tzuyu mengerjapkan matanya. “Bantu gimana?”

“Bantu bangunnya. Lo pasti udah nabung untuk modalnya, 'kan? Gue bakal biarin semua tetap jadi usaha lo, kok. Gue cuma bantu hubungin orang-orang yang nanti lo butuhin dan promosinya. Tapi kalau lo emang masih butuh, gue juga bakal bantu.”

Yang lebih muda terdiam. Ia sebenarnya tidak menyangka Jun akan membahas persoalan ini.

Tzuyu menegakkan duduknya. “Makasih untuk tawarannya, June. Tapi, aku belum mau.”

Sebelah alis Jun terangkat, ia memandang heran pada Tzuyu. “Loh, kenapa? Bukannya ini mimpi kamu?”

“Memang, tapi mungkin gak dalam waktu dekat. Aku masih seneng kerja di sana,” ucap Tzuyu diakhiri dengan senyuman meyakinkan.

Jun menghela napasnya sebelum mengangguk. Ia tak akan memaksa Tzuyu, kalau seperti itu yang ia inginkan maka ia akan menurut.

Pandangannya kembali mengarah ke depan karena lampu sudah kembali hijau. Untuk beberapa menit mereka kembali dilanda keheningan.

Tzuyu mengambil salah satu cemilan berupa kue yang berukuran mini, lalu membukanya. Ia mencoba satu dan spontan memejamkan mata merasakan cokelat yang meleleh di mulutnya.

“Enak?” tanya Jun. Tampaknya laki-laki itu sadar dengan reaksi Tzuyu terhadap cemilannya.

“Enak! June, mau coba?” tawar Tzuyu.

Yang lebih tua mengangguk. Hal itu membuat Tzuyu langsung mendekatkan makanannya pada Jun.

“Ini, ambil aja.”

“Gue, 'kan, lagi nyetir?” balas Jun.

“Oh, iya.” Tzuyu kembali menarik makanannya untuk ada di pangkuannya. “Nanti aja kalau lampu merah cobanya.”

“Mau sekarang,” balas Jun.

Tzuyu memandangnya dengan heran. “Sekarang? Ya udah, ambil.”

“Suapin, dong, Juju,” balas Jun tanpa hambatan.

“Ih, gak mau!”

Please, sekali aja. Gue keburu penasaran, nanti gak fokus nyetirnya gimana?”

Tzuyu mendengus. Modusnya kenceng banget, males!

Namun, Tzuyu tetap mengambil satu dan mengarahkannya pada mulut Jun. Perempuan itu dengan cepat menarik tangannya kembali setelah Jun memakannya.

“Hm, padahal ini bukan pertama kali gue nyobain, tapi rasanya kayak beda. Jadi, lebih enak gitu. Mungkin ini karena yang nyuapin gue barusan.

Tzuyu menolehkan kepalanya ke arah jendela. Ke mana pun asal Jun tidak melihat wajah salah tingkahnya.


Rumah Tzuyu cukup besar dengan halaman yang luas. Dilihat dari halamannya, tampaknya seorang penghuninya senang berkebun.

Jun memandang apa yang ada di sekitarnya.

“Ibu lo suka berkebun?” tanyanya pada Tzuyu.

Tzuyu mengangguk. “Iya, katanya di rumah bosen. Tapi, aku gak ngebolehin dia buat kerja lagi karena kondisinya sekarang. Jadi, dia minta dibeliin semua hal yang dibutuhin buat berkebun.”

Jun mengangguk mendengar penjelasan yang Tzuyu berikan. “Kalau papa lo gimana?”

“Ayah selama kami sehat, dia selalu senang. Tapi aku tahu dia suka gak mau kelewatan acara favoritnya di TV. Jadi, kami suka nonton TV nurutin dia.”

Tzuyu mengetuk pintu rumahnya setelah itu. Cukup lama sebelum pintu rumahnya terbuka dan menampilkan seorang pria yang Jun yakini adalah ayahnya.

“Ayah,” sapa Tzuyu langsung sebelum memeluk ayahnya itu.

“Anak ayah akhirnya pulang,” balas ayahnya lengkap dengan memberikan usapan kepala.

Jun hanya tersenyum mengamati itu. Ia dan orang tuanya tak mungkin melakukan ini. Walau mereka berdua memberikan dirinya perhatian yang cukup, tapi dalam kontak fisik mereka masih canggung.

Tzuyu melepaskan pelukannya.

“Oh, iya, Yah. Ini yang aku bilang di-chat kemarin, namanya Junhui.”

Jun menyalami ayah Tzuyu dan berkata, “Salam kenal, Om. Saya Junhui, kalau kepanjangan panggil Jun aja. Saya pacarnya Tzuyu.”

Dunia seakan berhenti setelah Jun mengatakan itu dengan ringan. Baik Tzuyu atau ayahnya hanya menatap dirinya penuh arti tanpa kata.

“Ah, lebih baik kita mengobrolnya di dalam.”

Ayah Tzuyu mempersilahkan mereka untuk masuk. Ibu Tzuyu keluar dari kamarnya tak lama kemudian. Tampaknya Tzuyu sudah menceritakan tentang tujuan dari kunjungan mereka hari ini.

Setelah cukup lama berbincang. Ibu Tzuyu berdiri dari duduknya dan menatap pada Jun.

“Nak Jun, kalau sudah tidak lelah. Kita bisa buat sekarang.”

Wajah Jun langsung berubah menjadi antusias. Laki-laki itu mengangguk tanpa perlu berpikir dua kali.

“Boleh, Tan?”

“Boleh. Kan, saya yang ajak. Gimana, sih, kamu?”

Jun tertawa kecil sebagai balasan. “Boleh, deh. Ayo, Tan.”

“Ju, bantu ibu siapin bahannya dulu, ya.”

“Siap, Bu,” balas Tzuyu dan mengikuti ibunya.

“Om, saya ikut mereka dulu, ya.”

“Silakan, Nak Jun.”

Begitu sampai ke dapur, Jun melihat Tzuyu dan ibunya yang sedang mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat chocolate cake. Jun memutuskan untuk membantu dengan meletakkan benda-benda yang dikeluarkan oleh dua perempuan itu.

Mereka bertiga mulai sibuk membuat hidangan yang mereka rencanakan. Jun mendengarkan dengan baik setiap saran yang ibu Tzuyu berikan padanya. Dalam hati berharap kalau itu tak akan ia lupakan dengan mudah.

“Nak Jun, sudah berapa lama jadi pacarnya Juju?” tanya ibu Tzuyu tiba-tiba.

Jun menatap pada Tzuyu yang masih menundukkan kepalanya karena harus mengaduk adonan. Kemudian kembali menatap pada yang paling tua di sana.

“Belum lama ini, Tan,” jawab Jun berusaha terlihat meyakinkan.

“Oh, begitu. Sayang banget sama Juju?”

Jun terdiam sejenak sebelum mengukir senyuman tipis. “Sayang.”

“Kalau begitu, ibu mau minta tolong, boleh? Tolong jaga Juju di sana, kami gak bisa sepenuhnya menjaga dia karena jauh.”

Jun mengangguk mantap. “Pasti, Bu.”

Di sisi lain, tangan Tzuyu mengepal. Tangan satunya juga mencengkeram pengaduk dengan erat.

Ia sudah tidak tahan dengan segala pengajuan palsu yang Jun berikan pada keluarganya. Tzuyu tanpa kata mendekat pada Jun, sebelum menarik tangannya.

“Ibu, aku izin bicara berdua dulu.”

“Ju—”

“Diem.”

Kalimat Jun dipotong dengan cepat. Tzuyu terus menarik Jun hingga mereka ada di halaman belakang. Setelah langkahnya berhenti, baru ia melepaskan tangan Jun dengan menghempaskannya.

“Bisa berhenti gak? Aku gak suka kamu ngaku-ngaku gitu ke ayah sama ibuku.”

Jun menatap lekat pada Tzuyu. Terlihat jelas lalai perempuan itu tengah menahan dirinya agar tak meledak.

“Mereka seneng, Ju. Mereka jadi ngerasa lebih lega karena tahu kamu punya gue di sana.”

Tzuyu mengusap wajahnya kasar. “Itu bukan hal yang perlu dilakukan sama kamu!”

“Ju, gue gak bermaksud buat—”

“Kak Junhui,” potong Tzuyu lagi. Tampaknya perempuan itu benar-benar kesal sampai menyebutnya dengan nama itu.

“Tolong diinget, kita ini bukan siapa-siapa. Kita gak punya hubungan apa pun. Jadi, tolong tahu batasannya.”

Jennie bisa melihat kalau Wonwoo berusaha dengan maksimal. Meski terlihat masih canggung, tapi untuk seseorang yang tak biasa tampil di publik ini sudah cukup.

Satu per satu novel karyanya yang dibawa pengunjung ditandatangani. Laki-laki itu selalu memberikan senyuman setiap pergantian orang yang duduk di depannya.

Setelah kekasihnya, kini giliran Jennie.

“Hai,” sapa Jennie sembari duduk di depan Wonwoo. Mereka masing-masing mendapatkan waktu 7 menit.

Tidak hanya buku yang diletakkan Jennie, tapi perempuan itu juga menaruh kotak bekal di atas meja Wonwoo.

“Aku buat olahan salmon lagi, kali ini gak dipanggang. Tapi dicoba, ya, Won. Kata Kak Jean, sih, enak.”

Wonwoo mengangguk dengan senyuman. “Okay, makasih, Jen.”

Wonwoo membenarkan posisi kacamata setelah selesai memberi tanda tangan. Jennie memakai gaun, tak seperti biasanya. Wonwoo sudah tahu apa alasannya.

“Selamat, ya, Wonu. You did it,” ucap Jennie setelah menerima novelnya lagi. Perempuan itu menatap Wonwoo lekat. Padahal belum lama ia mengenal versi manusia Wonwoo.

Wonwoo menghela napas menyadari waktunya Jennie sebentar lagi. “Jen, tadi aku udah bilang sama Kak Jean. Pulangnya tunggu aku dulu. Aku mau beliin kamu sesuatu. Kamu mau gak?”


Wonwoo menoleh ke belakang dan kekasihnya Jennie sudah menunjukkan ibu jari padanya. Laki-laki berkacamata itu tersenyum tipis dan mengangguk.

“Ayo, Nu. Gocar-nya udah di depan,” ajak Jennie tiba-tiba membuat Wonwoo langsung menaruh atensi pada perempuan itu.

“Ayo,” balas Wonwoo.

Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari gedung itu. Wonwoo bisa melihat mobil kekasihnya Jennie yang sudah melaju. Laki-laki itu mendesah, sedikit menyesali keputusannya untuk ikut serta dalam acara ini.

“Ini beneran mau ke Mall?” tanya Jennie memastikan lagi.

Wonwoo hanya mengangguk sebagai balasan.

“Emang gak capek? Kamu, 'kan, habis fansign. Di sana juga rame.”

Wonwoo menatap Jennie lekat sebelum menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu mengangkat tote bag miliknya yang berisi bekal yang Jennie berikan tadi.

“Nanti makan ini dulu,” ucap Wonwoo diakhiri dengan tawa kecil.

“Terus aku?”

“Ya, kita makan berdua aja,” balas Wonwoo menggantung, “atau kamu beli dulu terus kita makan.”

Jennie terkekeh. “Okay, okay. Ayo masuk.”

Perjalanan menuju Mall tidak terlalu jauh. Untungnya, jalanan pun sedang tidak padat. Jadi, mereka hanya membutuhkan 10 menit sebelum sampai.

Mereka berdua langsung menuju Food Court. Setelah Jennie membeli beberapa dessertdan minum, mereka baru duduk.

“Gak beli makanan berat?”

Jennie menggeleng. “No, nanti Kak Jean pasti ngajak makan. Aku gak mau kekenyangan aja, Wonu.”

Wonwoo tersenyum tipis dan mengangguk. Mereka berdua fokus dengan makanan masing-masing cukup lama.

“Kamu kapan mau nerbitin buku lagi?”

Wonwoo tak langsung menjawab. “Mungkin tahun depan? Ini juga udah akhir tahun, 'kan, Jen.”

Please let me know when the book is published, okay?” ucap Jennie dengan binar di matanya yang membuat Wonwoo otomatis mengangguk.

Okay.”

Jennie melirik pada kotak bekal yang isinya tingal setengah. Ia baru menyadari kalau Wonwoo lebih lamban dibanding Wonu dalam makan.

“Suka gak salmonnya?”

“Suka,” jawab Wonwoo penuh dengan rasa antusias. “Selalu suka sama masakan Jen.”

Jennie tertawa kecil. Hanya Wonwoo yang selalu memuji masakannya di setiap laki-laki itu makan. Ini yang membuat dirinya kadang merindukan keberadaan Wonu di apartemennya.

“Kalau sama masakan ibu kamu lebih enak yang mana?” tanya Jennie dengan nada jahil.

“Oh kalau dibandingin sama ibu, jelas ibu lah. Maaf, ya, Jen.”

Jennie tertawa kecil melihat ekspresi penuh percaya diri yang Wonwoo tunjukkan. “Iya, aku juga lebih suka masakan ibuku daripada ini.”

“Ibu Jen sibuk, ya?” tanya Wonwoo. Seingatnya, selama menjadi Wonu, hanya sekali kedua orang tua Jennie berkunjung ke apartemen.

“Enggak, kok. Akunya yang sibuk dan susah buat pulang. Kalau mereka yang ke apart terus, 'kan, kasihan.”

Wonwoo mengangguk paham. “Aku semenjak hilang kemarin gak dibolehin pisah rumah dulu sama ibu.”

“Ibu kamu pasti takut banget kemarin. Aku jadi merasa bersalah karena tahan kamu,” ungkap Jennie dengan jari yang saling bertaut.

“Gak usah merasa bersalah, Jen. Kamu bukan orang jahatnya.”

Suapan terakhir dimasukkan ke dalam mulutnya. Wonwoo meminum air mineralnya hingga habis setengah, lalu membereskan bekasnya.

“Ini aku bawa dulu, ya. Biar aku cuci,” ucap Wonwoo.

“Gak usah, Won.”

Wonwoo menggeleng. “Aku maksa, Jen.”

Jennie tertawa kecil. “Ya udah, deh. Sekarang kita mau ke mana?”

Wonwoo terdiam, laki-laki itu tampak berpikir. Jennie mengangkat sebelah alisnya heran. Padahal Wonwoo yang mengajak, tapi ia kelihatan bingung.

“Kamu ada tempat yang mau dikunjungi?”

Jennie mengangkat kedua bahunya. “Gak ada, sih.”

Wonwoo bangkit dari duduknya. “Kalau gitu, ayo ikut aku.”

Jennie menurut. Toh, memang Wonwoo yang mengajaknya kemari. Dari sekian toko yang bisa dikunjungi, Jennie tidak menyangka kalau Wonwoo akan memasuki toko yang menjual aksesoris.

“Kamu mau beliin aku sesuatu di sini?” tanya Jennie dan yang ditanya hanya mengangguk.

“Kamu kalau mau pilih, pilih aja, ya. Nanti aku yang bayarin,” ucap Wonwoo secara tak langsung mengatakan kalau tak apa mereka berpisah sejenak untuk memilih. Namun, Jennie malah memilih untuk membuntuti dirinya.

Mata Wonwoo terpaku pada anting cherry. Laki-laki itu mengambilnya dan berkata, “Maaf.” sebelum mendekatkan benda itu pada telinga Jennie.

Wonwoo tersenyum puas. “Cocok. Suka gak?”

Jennie balas tersenyum dan mengangguk. Ia akan menerima apa pun yang Wonwoo pilihkan untuknya.

Selain anting buah berwarna merah tadi, Wonwoo juga memilih jepit beruang dengan empat warna, dan pita-pita kecil. Jennie tak bisa menahan senyumnya sejak tadi melihat tingkah Wonwoo. Setiap memilih sesuatu, laki-laki itu pasti mendekatkannya pada Jennie untuk menilai apakah benda itu cocok atau tidak.

“Jennie mau sesuatu?” tanya Wonwoo, sepertinya dia sudah merasa cukup.

Jennie terdiam sejenak sambil melihat sekitarnya. Perempuan itu kemudian mengambil gelang anyaman sebanyak dua buah.

“Ini, tapi aku aja yang bayar.”

Wonwoo mengangguk, tak ingin memaksa. Mungkin Jennie ingin membeli itu untuk dirinya sendiri dan kekasihnya.

Mereka berdua langsung membayar. Tak lama setelah itu keluar dari sana tanpa banyak berbasa-basi. Tepat setelah keluar, ponsel Wonwoo bergetar menandakan adanya notifikasi yang masuk.

“Dari Kak Jean,” ucap Wonwoo. “Ayo ke sana sekarang, Jen. Aku anterin dulu.”

Jennie mengangguk. Sebelum berangkat tadi, Jean memang menyuruh Wonwoo untuk mengantarkannya ke suatu tempat yang belum Jennie ketahui. Sepertinya kekasihnya meminta Wonwoo untuk melakukan ini.

Mereka tiba di sebuah restoran yang alamatnya Jean kirimkan pada Wonwoo. Sebelum mereka masuk, Jennie menahan tangan Wonwoo.

Perempuan itu tanpa kata memasangkan gelang yang ia beli pada Wonwoo. Lalu, memasangkan miliknya sendiri.

Jennie menatap pada Wonwoo dan tersenyum hangat. Ia menepuk gelangnya dan Wonwoo bergantian sebelum berkata, “Anggap aja friendship bracelets.”

Wonwoo menatap pada gelang yang kini menghiasi pergelangan tangannya. Setelahnya, baru ia menatap pada si pemberi.

Laki-laki itu kemudian menyerahkan kantung berisi aksesoris yang ia belikan untuk Jennie tadi. Wonwoo mengukir sebuah senyuman lagi.

“Ini buat, Jen,” ucap Wonwoo. Jennie menerimanya dengan senang hati.

Thank you.

“Aku juga berterima kasih,” ucap Wonwoo. “Makasih, ya, Jen, udah jaga dan sayang sama aku selama jadi Wonu kemarin. Aku bersyukur kenal sama kamu.”

Tangan Wonwoo bergerak untuk mengelus kepala Jennie sebentar sebelum memasang jarak antara keduanya. “Setelah ini, siapa pun kamu nantinya. Kamu bisa lihat aku sebagai sahabat, Jen.”

Jennie mengangguk. “Kamu juga, ya, Won.”

Wonwoo tersenyum, ia memandangi Jennie dengan lekat. Hanya sebentar, karena setelah ini ia tak akan berani melakukan hal itu.

Please, be happy with him, Jen.”

Rules:

• Kamu boleh mengunggah potongan ceritanya saat memberi tanggapan di akunmu. Pastikan akun tidak dikunci, ya, dan jangan lupa tag aku.

• Untuk yang ingin menyampaikannya secara pribadi, silakan tulis di tellonym saya agar bisa saya bagikan.

• Link cerita tidak boleh dibagikan pada yang lain. Ini khusus untuk yang mengikuti vote kemarin.

Happy reading dan maaf kalau ada salah dalam pengetikannya.


Jennie as Jennifer. Tzuyu as Larena.

Jennifer mengikat rambutnya sambil menunggu Larena masuk ke dalam mobil yang ia kendarai. Larena masih menunggu lumpia basahnya dibuat. Tampaknya tadi ramai sampai Jennifer sudah di sini pun, Larena masih mengantri.

“Kak, maaf lama, ya,” ucap Larena begitu masuk. Tampilan perempuan itu tak begitu rapi. Selain karena dia habis lembur, pasti Larena juga mengacak-acak rambutnya sendiri saking pusingnya.

“Maaf juga aku gak jadi ke tempat Kakak. Seharusnya, kan, aku yang nyusul bukan Kak Jen yang jemput.”

Jennifer menatapnya lekat. Dia kembali teringat dengan apa yang diadukan Larena padanya tadi.

'Aku baru keluar kantor. Habis dikerjain sama seniorku huhu.'

Jennifer menghela napasnya. Ini bukan pertama kalinya Larena diperlakukan demikian. Tangan Jennifer bergerak untuk mengusak puncak kepala perempuan itu dengan lembut.

“Gak papa. Pasti laper banget, ya, kamu?”

Larena itu cukup ekspresif. Pengaruh dia yang selalu menjadi paling muda di mana pun. Jadi, ketika Jennifer bertanya seperti tadi, Larena langsung menunjukkan wajah sedihnya.

“Iya, laper. Mana tadi ini ngantrinya lama,” balas Larena setengah merengek.

Jennifer terkekeh, merasa gemas melihat itu. “Ya udah, sambil jalan dimakan aja, ya. Kita beli makanan dulu nanti, makannya di apartemen aja.”

Larena memandang Jennifer penuh tanya. “Emang Kak Jen mau makan jam segini? Biasanya, kan, gak mau.”

“Sesekali gak papa,” balas Jennifer dan Larena mengangguk paham. Dia kemudian sibuk sendiri dengan lumpia basahnya.

Jennifer menggeleng kecil melihat itu. Dia kemudian menyalakan mesin mobilnya dan mulai melakukan benda itu dengan kecepatan sedang.

“Oh, iya, aku udah izin ke mama kamu, ya,” ucap Jennifer dengan masih fokus melihat pada jalanan.

Larena mengangguk. “Iya, mama juga tadi chat aku buat mastiin.”

Good.

Sisa perjalanan itu, mereka lebih banyak diam. Jennifer sengaja tak memulai obrolan agar Larena fokus dengan makanannya.

Mereka sempat berhenti di sebuah restoran makanan cepat saji untuk membeli beberapa potong ayam, nasi, dan kentang. Larena juga sempat meminta es krim, tapi Jennifer menolaknya dan menjanjikan dia akan membelikan untuknya besok.

Ini sudah malam.

Sesampainya di rumah Jennifer, Larena diminta untuk membersihkan dirinya secara singkat. Jennifer juga sudah menyiapkan piyama yang bisa dikenakkan oleh kekasihnya itu.

Sekarang, yang lebih tua sudah di dapur. Menyiapkan makanan mereka sambil menunggu Larena selesai.

Larena datang dengan rambut yang basah. Di tangannya ada handuk yang menggantung.

Jennifer langsung menatapnya tak suka. “Kenapa keramas, sih?! Udah malem.”

Bibir Larena mengerucut mendengar kalimat Jennifer yang galak. “Kepalaku pening abis, Kak! Jadi, aku keramasin aja!”

Jennifer menghela napasnya lalu menuntun Larena agar duduk. Dia mengambil alih handuk yang dipegang oleh Larena dan berkata, “Kamu makan aja, ini aku keringin bentar. Habis itu, nanti di kamar pake hair dryer.

“Nanti Kak Jen makan juga, ya,” ucap Larena dan Jennifer hanya bergumam sebagai balasan.

Larena mengambil nasi yang sudah Jennifer alasi dengan piring. Perempuan itu kembali fokus dengan makanannya disaat Jennifer menggosok rambutnya dengan handuk.

Jennifer menggeleng kecil kala melihat Larena mengambil satu suapan besar. Dasar.

Larena itu mudah ditebak. Dia yang manja pada Jennifer bukanlah hal aneh lagi. Larena memang akan menjadi manja pada orang-orang yang sudah dia sayangi.

Yang lebih muda baru memasuki dunia kerja dan senior menyebalkan sudah bukan hal baru lagi. Biasanya orang yang lebih dewasa dari Larena akan membimbingnya. Namun, sekarang dia dipertemukan dengan orang dewasa yang merepotkannya. Entah apa alasan mereka, Larena tak pernah menceritakannya pada Jennifer.

Jennifer meletakkan handuknya pada sandaran kursi. Kemudian, dia menyusul Larena untuk makan.

“Padahal kalau tadi beli es krimnya enak, sambil dicocolin kentangnya ke sana,” ucap Larena sambil menyiapkan kentang yang sudah dia lumuri dengan saus.

Jennifer terkekeh dan mengusap sisa saus yang tertinggal di ujung bibir Larena dengan ibu jarinya. “Udah malem, sayang. Masa makan es?”

“Udah gede,” balas Larena. Ngeyel.

“Penyakit tetep dateng walau kamu udah gede.”

“Tapi—”

“Sst, udah, ya. Makan yang bener, jangan banyak omong. Denger, Dek?”

Sekarang, Jennifer malah bertingkah seperti ibunya. Larena mendengus, tapi masih memberi anggukan pada yang lebih tua.

Larena kembali fokus dengan makanannya tanpa berkata apa-apa lagi, tapi bibirnya mengerucut sebal. Jennifer lagi-lagi menggeleng kecil melihat tingkahnya. Dia pun mulai memakan makanannya.


“Aku juga gak tahu kenapa, Kak. Padahal aku bukan anak magang di sana. Mungkin emang pada dasarnya udah gak suka aja sama aku,” jelas Larena saat Jennifer bertanya kenapa para seniornya itu senang mengerjai Larena.

Larena memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap pada Jennifer. Sekarang, mereka sudah di kamar dan tiduran di atas tempat tidur. Mengobrol hingga mengantuk.

Jennifer yang tidur terlentang menolehkan kepalanya untuk membalas tatapan yang lebih muda. “Coba inget lagi, siapa tahu kamu ada kesalahan?”

Larena menggeleng. “Enggak, Kak. Aku nurut kata mereka dan gak pernah merintah juga. Posisi aku juga masih rendah buat bersikap seenaknya.”

Kini, keduanya sama-sama diam dengan mata yang masih saling bertatapan. Tiba-tiba mata Larena membulat, sepertinya perempuan itu teringat sesuatu.

“Ah, aku inget! Mereka mulai ngerjain aku tuh semenjak papanya kakak nyamperin dan ngajak aku ngobrol.”

Jennifer terdiam memikirkan kemungkinan yang terjadi. Sepertinya ada kabar tak enak yang menyebar tentang Larena setelah melihat interaksinya dengan papa Jennifer.

Omong-omong, Larena memang bekerja di perusahaan keluarganya. Namun, dia masuk ke sana juga benar-benar melamar seperti yang lain. Tidak karena hubungan keduanya.

Mau bagaimanapun, Jennifer tidak terlibat dengan perusahaan. Keputusannya untuk menjadi model adalah alasan utamanya.

Melihat Jennifer yang terus diam. Larena merapatkan tubuhnya pada Jennifer. Tangannya bergerak untuk melingkari pinggang yang lebih tua. Membawanya ke dalam sebuah pelukan.

“Udah, ah, Kak. Jangan bahas itu, aku mau pelukan aja.”

Jennifer terkekeh, memilih untuk menurut. Dia membalas pelukan Larena dan menepuki pinggulnya dengan perlahan.

Larena memejamkan matanya, menikmati. Ini sudah cukup larut, sudah waktunya untuk tidur.

Good night, Kak.”

Good night, Dek.”

Tak lama, Jennifer bisa merasakan napas Larena yang mulai teratur. Gerakan tangan Jennifer yang semula menepuki Larena kini berhenti.

Jennifer memandangi wajah Larena, perempuan itu sudah tertidur. Terlihat jelas kalau Larena kelelahan meski semua itu berhasil ditutupi oleh keceriaannya.

Dia benar-benar harus mengajak seniornya bicara.


“Udah sana, Kak. Kenapa harus ikut turun, sih?”

Jennifer menaikkan kacamata hitam yang dipegangnya. Tak mengacuhkan kalimat Larena barusan, dia tetap membuntuti yang lebih muda hingga mereka akan memasuki ke lantai tempat divisinya berada.

“Gih, kerja,” kata Jennifer, dia berhenti di ambang pintu.

Larena menatap bingung, tapi tak ambil pusing. “Hati-hati nanti.”

Jennifer mengangguk dan memberikan senyuman meyakinkan. Larena masuk dan itu tak lepas dari pandangan Jennifer hingga dia duduk di tempatnya.

Sesuai dugaan Jennifer, akan ada yang langsung menghampiri Larena dan menyimpan setumpuk dokumen di meja perempuan itu. “Ini tolong diperiksa, ya. Terus nanti jangan lupa di-fotocopy

“Tapi, Kak—”

“Udah, kerjain aja.”

Jennifer menghembuskan napasnya kasar. Yang meminta seenaknya, yang diminta tak bisa menolak. Larena kadang terlalu baik.

Jennifer mengambil langkah lebar memasuki ruangan itu. Dia menatap sekitar dan orang-orang menatapnya heran karena Jennifer tak berpenampilan seperti seseorang yang bekerja di sini. Terlebih dengan kacamata yang dia kenakan.

Jennifer mengambil kembali dokumen itu. Larena yang bisa menangkap apa yang akan Jennifer lakukan langsung menahannya.

“Kak—”

Diabaikan. Jennifer tetap berjalan ke meja orang yang memberi Larena dokumen tadi dan meletakkan dokumennya.

“Kerjain sendiri, semua punya porsi masing-masing. Gak lihat di meja Larena masih ada kerjaan?”

Orang itu menatap Jennifer dengan tidak senang. “Kamu siapa? Bersikap seenaknya kayak gini. Dia junior, dia berhak untuk ngerjain ini.”

Jennifer menggeleng. “Kamu juga bukan bosnya, kamu lebih berhak untuk mengerjakan ini.”

Orang itu tertawa remeh. “Terus Larena gak berhak karena dia simpenan si bos? Itu, 'kan, yang mau kamu bilang?”

Jennifer mengernyit mendengar itu. Sementara Larena sudah menampilkan raut terkejutnya. Ide dari mana aku jadi simpenan bos?

Jennifer menggeleng, dia sedikit tak mempercayai kalau dugaannya benar. Tangannya bergerak untuk melepaskan kacamata yang dirinya kenakan.

I'm Jennifer Evelyn. Tahu, 'kan, siapanya yang punya perusahaan ini?”

Hening tercipta seketika. Orang yang semula menatap Jennifer dengan remeh, kini bahkan tak lagi berani menatapnya.

“Biar gue lurusin. Larena bukan simpenannya bos kalian, tapi dia pacar anaknya. Dia bisa aja dapat posisi yang langsung tinggi, tapi enggak. Anaknya baik sampai mau kerja dari bawah, eh malah ketemu orang-orang model kalian yang lebih suka gosip dari pada kerja. Gue bisa bikin kalian keluar dengan mudah, loh.”

“Ma-maaf, Bu ... saya gak bermak—”

“Gue gak mau dengerin pembelaan kalian,” potong Jennifer sambil memandang dengan tajam.

Perempuan itu berbalik untuk melihat pada Larena.

“Besok kamu pindah divisi, jangan ke lantai ini lagi.”

“Tapi, Kak—”

“Mau kamu yang pindah atau aku keluarin mereka semua?”

Jennifer tahu, Larena tak mungkin membiarkan seniornya keluar. Walau sudah dikerjai, Larena itu masih akan berbuat baik pada mereka. Entah terbuat dari apa hati Larena.

“Aku ... aku yang pindah,” balas Larena sambil menunduk.

Jennifer tersenyum tipis. Dia kemudian memandangi satu per satu orang yang ada di sana.

“Denger gak? Larena masih baik dan ngebiarin kalian kerja di sini. Perlakuin dia dengan baik hari ini, tolong diingat gue selalu tahu apa aja yang kalian lakuin. Mata gue banyak.”

Jennifer menatap Larena, lalu mengedipkan sebelah matanya. Dia kemudian memakai kembali kacamatanya dan tanpa berpamitan, Jennifer keluar dari sana.

Biarlah sesekali dia memanfaatkan kekuasannya.


Larena: Kak, ih, bikin kesel aja. Kenapa tiba-tiba ngelabrak??-_- AKU MAIN DIPINDAHIN LAGI Tapi makasih, hari ini aku ditraktir mereka hehe :D

Jennifer menggeleng kecil membaca pesan Larena kala jeda pemotretannya. Lihat? Satu traktiran saja, anaknya sudah bisa senang.

Larena itu baik dan menyenangkan. Dia juga hangat sampai lewat pesannya saja Jennifer bisa mengukir sebuah senyuman seperti sekarang. Dalam hati, Jennifer berjanji akan senantiasa agar membuat Larena dikelilingi oleh kebahagiaan.

Larena is the sunshine and Jennifer is her protector.

Wonwoo as Awan. Jennie as Jennifer.

Seingat Awan, Jennifer bukanlah sosok perempuan yang senang dengan hal sentimentil seperti senja atau puisi. Makanya, Awan jarang berkata manis padanya.

Pernah Awan sekali memberikan puisi sebagai ucapan untuk menemani kue ulang tahunnya. Namun, Jennifer malah bergidik setelah selesai membacanya. Itu membuat Awan enggan membuat puisi lagi.

Seingat Awan pula, Jennifer bukanlah seseorang yang menyukai bunga. Perempuan itu akan menerima kalau diberi dan mengapresiasinya. Namun, dia tak akan menyimpannya meski selama satu hari. Selesai difoto, terserah mau diletakkan di mana juga, dia tak peduli.

Namun, sekarang perempuan itu malah antusias untuk mendatangi sebuah kafe bunga. Kafe yang tak pernah Awan bayangkan ada.

Lagian kenapa harus ada, sih?

Awan tak suka jika keinginannya ditentang. Begitu juga dengan Jennifer. Jika Awan selalu berusaha agar tiga temannya mau menuruti apa yang ia inginkan dengan susah payah, maka Jennifer bisa membuat Awan menurut dengan mudah.

Cukup dengan tatapan tajam dan Awan akan duduk manis. Menunggu Jennifer melakukan apa pun pada dirinya.

Seperti sekarang.

Jennifer baru saja memaksa Awan untuk mengenalkan rompi rajut dibandingkan jaket kulitnya yang biasa. Tangan perempuan itu bergerak untuk merapihkan rambut Awan, lalu memasangkan kacamata di wajahnya.

Jennifer menepuk pelan kedua sisi wajah Awan. Senyum puas terukir di wajahnya sekarang.

“Anak manis,” komentar Jennifer dengan nada meledek. Sengaja karena dia tahu Awan tak akan berani mengajukan protes.

Benar saja, Awan cuma berani mendelik padanya.

Jennifer sendiri mengenakkan gaun di bawah lutut berwarna biru tua. Rambutnya disanggul ke atas dan sengaja memperlihatkan poninya. Awan sendiri memakai kemeja berwarna biru tua yang dibalut rompi cokelat pilihan Jennifer.

Sebenarnya mereka tak benar-benar mengenakkan sesuatu yang benar-benar cerah seperti yang Jennifer katakan di-chat.

“Mau motoran, 'kan?”

Jennifer menggeleng. “I'm wearing a dress, jadi pake mobil, ya.”

Awan mengangguk setuju. Malas bedebat lagi.

“Ya udah, mana kuncinya? Biar aku yang nyetir.”

Awan pergi ke rumah Jennifer menggunakan motornya. Niatnya biar lebih cepat saja tadi karena Jennifer menginginkan dirinya memakai pakaian yang perempuan itu pilihkan. Ternyata ujung-ujungnya, Jennifer tetap menginginkan mereka menggunakan mobil.

Jennifer merapikan poninya lebih dulu sebelum mengambil kunci mobil yang ada di atas laci. Dia melemparkan benda itu pada Awan dan berhasil ditangkap oleh kekasihnya.

“Yuk, keburu macet,” ucap Jennifer seraya mengambil tasnya.

Awan malah merangkul pinggang kekasihnya itu, menahan Jennifer agar tak mondar-mandir lagi. Yang ditahan, menatap penuh tanya.

“Cium dulu, dong. Aku, kan, udah jadi anak penurut.”

Jennifer memutar bola matanya malas. Namun, meski begitu dia tetap meraih sebelah wajah Awan dengan tangannya. Sedikit berjinjit dan memberikan sebuah ciuman cukup panjang pada kekasihnya itu. Tentu Awan dengan senang hati membalasnya.

“Udah, ah, yuk.”

“Iya, ayo, Jen sayang.”


Perjalanan menuju kafe yang Jennifer inginkan tak begitu jauh sebenarnya. Namun karena mereka sempat terjebak macet, jadi perjalanannya lebih lama dari yang seharusnya.

Langit pun tampak mendung, sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Kali ini, Awan bersyukur karena mereka memilih untuk menaiki mobil.

Sebelum turun, Jennifer lagi-lagi membenarkan rambutnya. Jika biasanya saja, perempuan itu sudah terbiasa untuk merapikan rambut. Kini, ketika dia memiliki poninya kebiasaannya itu semakin menjadi.

“Aku, 'kan, udah bilang kalau rambut kamu acak-acakan pun, you're still pretty?”

Jennifer mendelik pada Awan. Tak benar-benar mempedulikan ucapan kekasihnya itu.

Thanks. But I want to look pretty for myself, not for you.

Awan mendengus mendengar itu. Kemudian, dia mencubit pipi Jennifer dengan gemas sampai empunya menepuk tangan Awan dengan keras karena merasa sakit. “Ih, sembarangan banget nyubitnya!”

Jennifer mengusap bekas cubitan Awan yang terasa sakit. Sementara itu, si pelaku malah terkekeh dan ikut mengusap pipi Jennifer yang memerah.

Sorry. Habis kamu dikasih tahu jawabnya gitu mulu. Ya udah, yuk, turun?”

Tangan Jennifer menahan Awan yang hendak membuka pintu mobil. “Awan, wait.

Awan mau tak mau kembali menghadap pada kekasihnya. Dia menatap Jennifer dengan heran, meminta penjelasan.

“Aku mau minta sesuatu dulu.”

“Mau apa lagi, Jen sayang?”

Jennifer terdiam sejenak. Dia menatap pada gelang pemberian Awan yang menghiasi pergelangan tangannya, lalu pada si pemberi dengan ragu.

“Di dalem jangan singgung soal kelanjutan hubungan kita, ya? Sekali ini aja.”

Awan tak langsung membalas. Dia menatap Jennifer dengan menyelidik. Namun, pada akhirnya laki-laki itu tetap mengangguk. Awan paham kalau Jennifer sedikit muak membahasnya selepas makan malam terakhir dua keluarga mereka.

“Oke.”

Bibir Jennifer mengulas senyum. “Thank you! I love you.

Kedua pipi Awan mendapatkan kecupan singkat. Awan tersenyum lebar, lalu membalas dengan kecupan singkat di bibir yang lebih tua beberapa bulan darinya itu.

Setelahnya, Awan turun dari mobil. Dia juga membukakan pintu untuk Jennifer. Kekasihnya malah tersenyum geli melihat tingkah Awan yang tak seperti biasanya.

Mereka memasuki kafe itu dengan tangan Awan yang merangkul Jennifer. Meski tempatnya tak cocok dengannya, Awan ingin Jennifer memiliki mood yang baik kali ini. Pokoknya, Awan tak ingin lagi menimbulkan kekesalan pada diri Jennifer.

Setidaknya untuk hari ini. Dia tidak bisa menjamin bagaimana dirinya esok hari.

Mereka berdua sama-sama memesan pasta pesto ditemani dengan caramel machiato dan lemon tea. Tak ketinggalan sepotong cheesecake untuk mereka makan berdua pun ada di atas meja tempat mereka berada sekarang.

“Suka gak sama makanannya, Wan?”

Awan tak langsung membalas. Dia perlu untuk menelan makananya dulu, jadi Awan hanya bisa mengangguk.

“Enak, aku suka.”

Jennifer tersenyum puas. Ya, setidaknya makanannya cocok untuk Awan.

Tangan Jennifer bergerak untuk mengambil tisu, lalu mengusap saus yang tertinggal di ujung bibir Awan. Yang diusap malah menunjukkan seringainya.

“Pake jari harusnya, biar romantis.”

“Kalau gitu, tisu yang ada di sini gak akan berguna.”

Awan tertawa mendengar balasan yang Jennifer berikan. “Bisa aja jawabnya.”

“Harus lah? Kalau enggak nanti malah kamu manfaatkan.”

Tawa Awan kembali pecah. Kini, Jennifer pun ikut tertawa bersamanya.

Setelah agak lama. Baru Awan bertanya, “Kamu kenapa, deh, tiba-tiba pengen ke tempat kayak gini? Biasanya suka bunga cuma buat formalitas aja.”

Jennifer tak langsung membalas. Dia memilih untuk meneguk lemon tea-nya terlebih dahulu. Setelah itu, Jennifer memandang Awan lekat.

“Di umur kita sekarang, tuh, kita seakan ngelakuin hal yang 'itu-itu aja'. Jadi, aku mau nyoba suasana baru, Wan.”

Awan terdiam sejenak, berusaha memahami maksud Jennifer. “Terus kamu mau nyoba dari hal yang kurang kamu sukai?”

Jennifer mengangguk. “Bener. Setelah baca beberapa artikel, bunga ternyata tema yang cukup menarik. Mereka punya makna masing-masing.”

Perempuan itu menunjukkan pada bunga lily putih yang ada di dekat kasir. “Kayak bunga lily putih, identik sama kesucian dan kesetiaan. Mereka cocok buat menghias sebuah pernikahan.”

Awan terdiam mendengar kata terakhir Jennifer. Catet, nanti harus ada bunga itu, Wan.

Jennifer kembali memandang pada Awan. Dia mengukir sebuah senyuman tipis. “Lagian di kehidupan juga gitu, 'kan? Kadang kita harus melakukan sesuatu yang gak begitu kita sukai untuk mencapai tujuan kita. Kayak maksa, tapi itu supaya tujuannya terwujud.”

Awan menatap lekat pada Jennifer. Perempuan itu meminta pada Awan agar tak membahas kelanjutan hubungan mereka di sini, tapi sekarang Jennifer secara tak langsung sudah menyinggungnya.

Namun, Awan memilih untuk tetap mengikuti alur yang Jennifer ciptakan.

“Aku tahu, karena dunia gak selalu berputar buat kita, 'kan?”

Jika mengingat masa lalu. Awan tak menyangka kalau dia dan Jennifer bisa menjalin hubungan serius sampai sekarang.

Walau mereka terhambat untuk meneruskan ke jenjang berikutnya. Pada kenyataannya, mereka masih ada untuk satu sama lain hingga detik ini.

“Iya dan kita sewaktu-waktu bisa jadi manusia yang paling ditentang,” ucap Jennifer. “Tapi tetep aja, semuanya proses. Mau buruk atau bagus, itu tetap proses. Kita perlu menerima, menikmati, dan belajar darinya.”

Awan meraih tangan Jennifer. Diusapnya dengan pelan punggung tangan halus milik kekasihnya. Awan tersenyum tipis dan menatap Jennifer dengan penuh arti.

“Kita perlu melakukan hal yang gak kita sukai untuk mencapai sesuatu,” ucap Awan mengulang kalimat Jennifer tadi. “Kayak kita, ya?”

Ada jeda sebelum Jennifer tersenyum dan mengangguk. “Kayak kita.”

Hening tercipta di antara keduanya. Ibu jari Awan masih mengelus punggung tangan Jennifer. Sementara, Jennifer memilih untuk mencicipi kuenya agar bisa teralih dari tatapan Awan.

Mereka bertemu karena dijodohkan. Menjalin hubungan karena ketidaksengajaan. Lalu, menjalankannya hingga sekarang.

Semenjak itu, selalu ada Jennifer di hari-hari Awan begitu pula sebaliknya. Meski kadang kewalahan menghadapi satu sama lain, tapi mereka tetap ada di sana. Untuk satu sama lain.

“Ini gak mudah, Jen,” kata Awan. “Kita dulu mudah, tapi sekarang malah jadi susah. Tapi aku gak pernah kesel sama semuanya karena aku tahu ini buat kamu, buat kita.”

“Aku sama kamu itu beda, selalu ada perbedaan. Tapi kita masih duduk di hadapan satu sama lain dengan kasih sayang yang udah diungkapkan. Aku minta maaf karena kita jadi sulit akibat ulahku, tapi makasih karena kamu masih bersedia untuk ngasih aku waktu supaya kita bisa bersama.”

Jennifer menggeleng. “Gak sepenuhnya ulah kamu. Aku yang ngasih kamu ide itu, ingat?”

Awan terkekeh kecil. “Ya, tetap aja aku minta maaf.”

Pada akhirnya, Jennifer mengangguk. “Oke, dimaafkan.”

Awan mengeratkan genggamannya pada tangan Jennifer. Dia berusaha memberi tatapan tulus agar Jennifer paham kalau memang itu yang ia rasa.

“Aku tahu aku udah banyak minta sama kamu. Tapi aku harap, kamu masih mau nerima yang satu ini,” ucap Awan.

Jennifer memiringkan kepalanya penasaran. “Apa?”

Let's fight for each other, Jen!” ajak Awan dengan nada tegas.

Jennifer tersenyum dan mengangguk. Tangannya yang lain menepuk genggaman tangan keduanya.

Let's fight for each other, Wan,” jawab Jennifer sama tegasnya.

“Semoga kita berjuangnya gak perlu lebih lama lagi, Jen sayang.”

Punggung tangan Jennifer dikecup oleh Awan dengan lembut. Penuh harapan akan kalimatnya barusan yang dapat menjadi kenyataan.

They will continue to fight for each other until they can be together.

Hoshi as Rendra. Sana as Naya

Selama mengenal Rendra, Naya tak pernah sekali pun terpikirkan untuk meremehkan laki-laki itu. Rendra itu bisa dibilang sebagai manusia yang jarang sekali menolak permintaan. Dia mau membantu siapapun yang meminta pertolongannya dan terkadang itu akan membuat dirinya sendiri kewalahan. Namun, Rendra tetap dapat menyelesaikan semuanya.

Menyaksikan Rendra dari jauh tanpa mereka yang saling mengenal akrab pun, Naya sudah menghela napas melihat kegiatan laki-laki itu selama di sekolah. Apalagi saat mereka sudah menjadi sepasang kekasih di mana Rendra tak pernah ragu menceritakan kegiatannya.

Oleh karena itu, Naya sering bertanya, 'kapan sekiranya Rendra akan kewalahan?'

Naya tahu jawabannya sekarang. Ketika laki-laki itu sudah resmi menjabat di perusahaan dan harus tinggal di luar kota, Rendra perlahan-lahan menjauh dari dunianya.

Naya juga sebenarnya tak langsung menyadarinya. Ketika dia bertanya soal Taksa pada Rendra, baru dia sadar. Kekasihnya itu biasanya menjadi yang paling tahu, sekarang dia malah ragu dalam menjawab.

Pertemanan, perusahaan, lalu ditambah dengan persiapan pernikahan. Naya akhirnya tahu kalau seorang Tarendra pun bisa kewalahan.

'Kita kabur, yuk? Sebentar aja. Ke tempat yang cuma ada kita berdua.'

Itu adalah kalimat yang paling tidak mungkin disuarakan Rendra. Namun, kenyataannya dia mengucapkannya.

Kini, entah ke mana mobil yang mereka tumpangi akan pergi. Naya memutuskan untuk diam hingga Rendra yang tengah menyetir duluan bersuara. Suasana hati kekasihnya itu tampak buruk, jadi Naya memilih untuk memandangi jalanan.

Sejujurnya, Naya tak mendapat ide ke mana mereka akan pergi. Yang pasti mereka akan menginap karena Rendra menyuruhnya membawa beberapa baju ganti.

“Nay,” panggil Rendra ketika mereka menemui lampu merah. Yang dipanggil menoleh dan lekas bertanya, “Kenapa?”

“Nanti beli jajanan dulu,” ucapnya pelan. “Di minimarket.”

Okay.

Cukup canggung, memang. Mereka sama-sama memiliki sesuatu yang ditahan agar tak terungkapkan.

Mobil itu kembali melaju dan Rendra memberhentikan mobilnya di depan sebuah minimarket yang buka 24 jam.

“Kamu mau ikut turun?” tanya Naya.

Rendra menatapnya dengan ragu. Jarinya mengusap cincin pertunangan mereka. “Aku boleh ngerokok gak?”

“Butuh?”

Rendra mengangguk. Naya menghela napasnya. “Boleh, tapi jangan banyak-banyak dan jangan di deket aku, oke?”

“Oke.”

Dengan itu, dapat disimpulkan kalau Rendra pun akan ikut turun. Mereka berjalan beriringan memasuki minimarket. Rendra dengan sigap membawa keranjang dan membuntuti Naya tanpa kata.

“Mau beli mie juga gak?” tanya Naya. Mereka cukup jarang mengonsumsi mie instan.

Rendra terdiam sebentar. Matanya melirik pada jajaran mie, lalu pada kasir. Tepatnya pada onigiri yang ada di sana.

“Makan mie-nya di sini, yuk, Nay!” ajak Rendra. “Kayak yang suka ada di youtube.

Naya mengerjapkan matanya. Rendra meminta izin untuk merokok lagi dan menginginkan mereka memakan mie di tempat. Sepertinya laki-laki itu memang membutuhkan pengalihan pikiran.

“Ayo,” balas Naya membuat senyuman muncul di wajah kekasihnya. Naya tanpa sadar ikut tersenyum melihatnya.

“Beli onigiri, sosis, sama yang lain juga, ya?” ucap Rendra dengan antusias.

Naya terkekeh. “Iya, boleh, sayang. Semuanya boleh.”

Rendra tertawa kecil mendengar itu. Sebenarnya dia merasa konyol untuk tingkahnya barusan. Sudah lama sejak terakhir ia merasakan ini.

Laki-laki itu mengecup sekilas pipi Naya. “Thank you!

Naya menggeleng kecil. Tumben.

“Ayo pilih, keburu malem banget. Buat makan di sini sama buat bekel kita,” ajak Naya sambil menarik tangan Rendra yang tak memegang keranjang.


Perut sudah terisi penuh, mobil yang kembali melaju. Rendra lebih pelan dalam mengendarai mobilnya kali ini. AC dimatikan dan jendela mobil diturunkan setengah. Sengaja, mereka ingin merasakan angin malam.

“Kita mau ke mana?” tanya Naya sambil melihat pada kekasihnya.

“Lihat aja nanti aku berhenti di mana. Jaketnya pake yang bener, Nay. Jaga-jaga, takut habis kabur malah sakit.”

Ketika Rendra berkata kabur, itu benar adanya. Mereka pergi tanpa mengabari siapa pun. Ponsel keduanya pun sengaja dimatikan dan disimpan di tas.

“Ini bukan tempat aneh-aneh, 'kan?”

Rendra menggeleng dengan mata yang mash fokus pada jalanan. “Bukan lah. Masa aku bawa kamu ke tempat kayak gitu?”

“Ya, siapa tahu kamu iseng,” balas Naya lagi dengan nada meledek.

Rendra terkekeh. “Udah lupa aku caranya jadi iseng.”

Senyuman di wajah Naya luntur mendengar itu.

“Tempatnya bagus gak?” tanya Naya. Dia lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

“Bagus. Langitnya juga seharusnya cantik kayak kamu.”

Naya tertawa kecil. “Dih, malah gombal.”

“Aku jujur, sih.”

Naya hanya membalas dengan gumaman. Setelah itu tak ada lagi yang bersuara di antara keduanya.

Naya nyaris tertidur kalau saja mobil Rendra tak lekas berhenti. Perempuan itu mengernyit seraya memandang apa yang ada di sekitarnya.

“Pantai?”

Rendra menatapnya dan tersenyum. “Betul.”

Laki-laki itu melepaskan sabuk pengamannya dan milik Naya. Dia turun duluan untuk mengambil selimut juga tikar yang sengaja dibawa tanpa sepengetahuan Naya dari bagasi.

Naya menyusul keluar. Dia semakin bingung melihat barang yang Rendra keluarkan. “Kita mau ngapain?”

Rendra tak membalas. Laki-laki itu malah menggelar tikarnya tak jauh dari mobil, lalu mengajak Naya untuk duduk dengan menepuk sisi kosong di sebelahnya.

Naya menurut meski masih merasa heran. Perempuan itu duduk di sebelah kekasihnya. Rendra menariknya pelan agar posisi mereka lebih dekat, lalu selimutnya direntangkan untuk menyelimuti mereka berdua.

Tangan Rendra bergerak untuk merangkul Naya. Kepalanya kemudian mendongak menatap langit.

“Kita mau lihat bintang. Gak sebanyak biasanya, sih, tapi tetap indah.”

Naya mengikuti arah pandang Rendra. Memandangi langit yang berhiaskan bintang di atas sana. Mata Naya berbinar melihat itu.

Cantik, batinnya.

“Cantik, 'kan? Kayak kamu.”

Naya tertawa kecil dan menyenggol Rendra pelan. “Kali ini, lebih cantik langitnya.”

Rendra hanya membalas dengan senyuman. Tangannya yang semula merangkul Naya, kini menuntun kepalanya agar bersandar pada bahu Rendra. Setelah itu, Renda juga menyandarkan kepalanya pada kepala Naya.

“Ayo kayak gini dulu, sebentar aja,” ucap Rendra sembari mengusap lengan atas Naya.

Naya memejamkan matanya, menikmati sensasi ini. Untungnya, anginnya tak terlalu kencang. Ada di posisi ini dengan selimut yang mengelilingi, cukup membantu mereka agar tak terlalu merasa kedinginan.

“Shanaya,” panggil Rendra setelah cukup lama hening.

“Hm?”

“Aku lagi kewalahan,” ucap Rendra pada akhirnya mengakui. “Aku cuma minta istirahat sebentar, habis itu bakal kuselesain semuanya satu per satu.”

Naya mengangguk. “Iya, gak papa, Tarendra. Makasih udah jujur sama aku dan ngajak aku buat istirahat juga.”

“Aku pikir bukan cuma aku aja yang butuh istirahat. Kamu juga pasti pusing ngurusin pernikahan kita.”

Naya terkekeh. “Pusing, tapi aku gak akan nyesel.”

Naya mengajak tangan Rendra untuk saling menggenggam dengan miliknya. “Kamu tahu gak? Jennifer bilang ke aku kalau aku beruntung karena sama kamu. Katanya, kalau sama Tarendra pasti bakalan lebih mudah.”

“Soal beruntung, aku mengakuinya. Tapi soal lebih mudah, aku gak sepenuhnya setuju.”

Rendra sudah bisa menangkap ke mana Naya akan membawa pembicaraan ini. Namun, ia memilih untuk tak langsung menebak dan bertanya, “Kenapa?”

Naya terdiam sebentar. “Emang, sih, pacarku ini keren dan rasional. Tapi dia terlalu memusatkan semuanya jadi milik sendiri sampai lupa diri sendirinya harus kayak gimana.”

Rendra menunduk, menatap pada tautan tangan keduanya yang dimainkan oleh Naya.

“Bener, aku gak kenal diriku sendiri yang sekarang,” katanya disertai dengan tawa hambar.

“Kamu ini terlalu nge-push diri kamu sendiri, Ren. Jadinya, kamu gak bisa menikmati setiap prosesnya,” ucap Naya. “Ini seharusnya jadi perjalanan yang panjang, tapi kamu kesannya malah terus-terusan mengambil jalan pintas.”

“Kamu sampai lupa sama temen kamu sendiri, loh.”

Rendra terdiam. “Aku setiap pulang kerja, capek. Terus aku gak mau jadi siapa-siapa termasuk seorang teman. Makanya, aku menghindari mereka. Kamu tahu, 'kan, Taksa itu—”

“Gak bisa apa-apa tanpa kamu? Aku tahu,” potong Naya. “Kamu juga kayak gitu, 'kan?”

Rendra terkekeh canggung. “Oke, aku kalah,” katanya, tak memiliki argumen lagi.

“Sebenarnya gak papa kalau kamu mau menghindar karena capek, Ren. Tapi jangan kelamaan, ya. Apa lagi kita mau nikah, loh. Jangan sampai mereka tahu dari orang lain,” ucap Naya seraya mendongak agar bisa menatap kekasihnya.

Rendra tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku bakal hubungi mereka secepatnya.”

Naya tersenyum puas dan kembali menyamankan posisinya. “Kamu gak pernah capek sama aku?”

Dia bisa merasakan kalau Rendra menggeleng. “Gak pernah.”

“Kenapa?”

“Banyak yang bilang kalau aku ini mampu ngendaliin semuanya, tapi kamu adalah orang yang ngendaliin aku. Contohnya kayak barusan, ucapan kamu bisa tiba-tiba yakinin aku buat ngelakuin sesuatu.”

Rendra terdiam, dia mengeratkan genggaman tangan keduanya. “Kalau gak ada kamu, aku gak yakin bisa tetap waras sampai sekarang.”

“Gak ada aku pun, aku yakin kamu bisa.”

Rendra menggeleng. “Aku gak yakin akan tetap berfungsi kalau gak ada kamu.”

Naya melepaskan tautan tangan keduanya. Beralih menjadi memeluk lengan laki-laki itu karena suhu dingin yang meningkat akibat angin lumayan kencang.

“Kayak aku siapa aja,” ucap Naya sembari mengusakkan dirinya pada pundak yang lebih tua.

“Kan, emang siapa? Orang kamu istri aku.”

“Masih calon, ya, Pak!” papar Naya sambil memukul pelan dada kekasihnya itu.

Rendra tertawa dan Naya pun ikut tertawa. Laki-laki itu mengecup puncak kepala Naya lalu berkata, “Shanaya, makasih banyak karena mau jadi istri aku.”

Naya mengangguk, senyuman belum luntur dari wajahnya. “Makasih juga udah pilih aku, Tarendra.”

“Tetap jadi kita?”

“Tetap jadi kita.”

Mereka masih Tarendra dan Shanaya. Dua orang yang selalu mampu memberi solusi, terlebih untuk satu sama lain.

Rules :

• Kamu boleh mengunggah potongan ceritanya saat memberi tanggapan di akunmu. Pastikan akun tidak dikunci, ya, dan jangan lupa tag aku.

• Untuk yang ingin menyampaikannya secara pribadi, silakan tulis di tellonym saya agar bisa saya bagikan.

• Link cerita tidak boleh dibagikan pada yang lain. Ini khusus untuk yang mengikuti vote kemarin.

Happy reading dan maaf kalau ada kesalahan dalam pengetikannya.


Wonwoo as Awan Jun as Kana.

Awan kira, begitu dia mengetuk pintu tempat tinggal Kana, mereka akan langsung pergi keluar. Namun, laki-laki yang rambutnya mulai memanjang itu malah menariknya untuk masuk terlebih dahulu.

Kana mendorong Awan agar mau duduk. Lalu, laki-laki itu sibuk sendiri dengan mondar-mandir. Mulai dari mengambil minum untuk Awan, menyerahkan kotak rokok yang masih ada setengah isinya, dan terakhir masuk ke kamar untuk mengambil pakaian yang serupa dengan yang tengah ia gunakan.

Baru Awan akan mengambil rokoknya sebatang, tapi niatnya itu ia batalkan. Dia menatap tak suka pada pakaian yang tengah Kana tunjukkan sekarang.

“Lo beneran mau suap gue supaya mau pake baju couple sama rokok?”

Dengan wajah sok polosnya, Kana mengangguk.

“Iya lah.”

Awan menyandarkan duduknya, lalu mengangkat salah satu kakinya dengan angkuh. “Gak mempan.”

Kana menatap Awan dengan sengit. Namun, detik berikutnya tatapan memohon lah yang dirinya tunjukan. “Ayo, dong, Wan.”

Awan menggeleng. “Gak.”

Kana duduk di sebelah laki-laki itu, mulai menempelkan dirinya pada Awan. Tangan dan kakinya mengelilingi tubuh laki-laki yang lebih muda satu bulan darinya itu. Lalu, pipinya mengusak pada bahu Awan.

Membujuk.

Awan menahan napasnya tanpa sadar. Dia juga menahan diri supaya tak membalas pelukan Kana.

“Ayo, dong, Wan!” ucap Kana. “Lo nurut, gue juga nurut, deh.”

Sebelas alis Awan terangkat, merasa tertarik. Dia menolehkan kepalanya agar bisa menatap pada Kana. “Beneran?”

Kana mengangguk.

“Apa pun itu?”

Kana mengangguk lagi.

“Oke, siniin bajunya.”

Kana tak langsung membalas. Dia masih diam di posisinya dan menatap Awan dengan curiga.

“Apa?” tanya Awan.

“Jangan minta yang aneh-aneh,” jawab Kana dengan nada tegas.

Awan tersenyum meledek. “Iya.”

Kana melepaskan pelukannya, lalu mengambil baju yang semula ia taruh secara asal di sandaran sofa. Laki-laki itu menyerahkannya pada Awan seraya mendorong agar Awan berdiri dari duduknya.

“Ganti di kamar sana,” perintahnya. Awan hanya bergumam tak jelas dan pergi ke kamar Kana.

Sebenarnya, Awan tak begitu masalah kalau pakaian yang Kana beri masih terlihat bagus untuknya. Masalahnya Kana menginginkan mereka memakai baju overall dengan dalaman putih. Baju seperti itu bukan Awan sekali.

Namun, karena Kana sudah menjamin dirinya akan memberi sesuatu sebagai balasan. Jadi, Awan sekarang tak begitu masalah.

Kitten,” panggil Kana begitu Awan keluar dari kamarnya. Laki-laki berambut pirang itu menatap kekasihnya dari atas hingga ke bawah.

Awan menarik kedua sisi celana yang dia kenakan. “Aneh, njir, gue pake ginian.”

“Lucu, kok.”

Awan menatap Kana dengan aneh. Sementara, Kana sekarang sedang merentangkan tangannya.

“Gue seneng kita pake baju couple. Ayo jalan sekarang!”


Awan rasanya ingin mengubur dirinya sendiri. Mereka sekarang ada di pusat perbelanjaan. Memakai pakaian seperti ini cukup menarik perhatian, terlebih tubuh keduanya memang sama-sama tinggi. Jadi, mereka terlihat mencolok.

“Mau main gak? Apa kulineran aja?” tanya Kana dengan antusias. Matanya berbinar kala menatap Awan. Itu membuat rasa sebal Awan kembali tertanam seketika.

Awan berdeham. “Kulineran aja.”

Okay! Ayo beli crepes.”

Tangan Awan kembali ditarik. Kana berjalan dengan cepat dan Awan mau tak mau mengikutinya.

Untuk beberapa detik, Awan terdiam memandangi laki-laki yang berjalan sedikit lebih depan darinya itu.

Rambutnya yang diwarnai pirang itu sudah memanjang sehingga Kana mengikat setengahnya. Jujur, pakaian ini juga cocok untuknya.

Dulu Kana selalu tampil sok keren supaya permainannya dapat lebih mudah ia mainkan bersama dengan targetnya. Namun, semenjak dengannya Kana tak pernah mencoba lagi. Mungkin karena ini Awan dan mereka tak perlu mencoba untuk saling mengenal lagi.

“Mau traktir gak, Kitten? Nanti gue yang beli minumnya.”

Awan mengerjapkan matanya, dia tak sadar kalau mereka sudah sampai di tempat makanan yang Kana inginkan.

“Gue aja.”

Kana mengernyit mendengar itu. Awan yang paham kalau Kana kebingungan kembali berkata, “Gue aja yang bayar buat malam ini.”

“Beneran? Jadi, lo gak minta gue yang traktir sebagai balasan karena udah minta lo pake baju ini?”

Awan menggeleng. Tangannya bergerak untuk mengusak pucuk kepala Kana dan mendorongnya pelan untuk mundur.

“Beli ginian doang, gue mampu kali. Lo kau tokonya pun, gue beliin.”

Kana menatap Awan dengan sebal. Lengannya menyikut Awan lumayan keras. “Songong!”

“Dah, lo mau yang mana?”

Choco banana!

Awan mengangguk dan memesan apa yang Kana inginkan barusan dan juga untuk dirinya. Mereka kembali memutari area itu untuk mencari minuman yang diinginkan. Awan dan Kana pun sempat membeli dimsum satu untuk berdua karena tadi tampak menarik.

Setelahnya, baru mereka bisa duduk untuk menikmati makanan masing-masing.

“Kalau dipikir-pikir ini kayak date sama cewek,” ucap Kana menjadi orang pertama yang memulai obrolan lagi.

Sebelah alis Awan terangkat. “Masih mau sama cewek?”

Kana menggeleng. “Gue cuma mengungkapkan apa yang gue pikirkan, oke? Harusnya gue yang tanya itu ke lo gak, sih?”

“Kenapa gue harus kayak gitu?”

“Soalnya lo bucin abis sama Jennifer,” ucap Kana, lalu memasukkan satu buah dimsum sekaligus ke dalam mulutnya. Membuat pipinya menggembung seketika.

Awan menatap Kana lekat dan terkekeh. “Kan, gue udah bilang. Kalau dipaksa bareng-bareng gak akan bener.”

Kana memilih untuk tak membalas karena sibuk mengunyah. Awan pun tak mengatakan apa-apa lagi setelah itu.

“Lo kenapa, deh, tiba-tiba pengen kita pake baju couple kayak gini?” tanya Awan setelah cukup lama mereka saling diam.

Kana menatap pada laki-laki berkacamata itu dengan ragu. Namun, sedetik kemudian tatapannya berubah menjadi jahil.

“Mau tahu banget apa mau tahu aja?”

Awan menancapkan garpunya lumayan keras pada dimsum yang tersisa. Laki-laki itu menatap tajam pada yang lebih tua.

“Jawab yang bener.”

Kana bergidik menyaksikan itu. Namun, dirinya tentu gengsi untuk menunjukkannya.

“Iya elah, gue jawab. Galak bener soal ginian doang,” katanya sok santai.

Laki-laki Gemini itu menunduk dan mengaduk minumannya dengan asal. Dia antara ragu dan malu untuk mengungkapkannya pada Awan.

“Sebenarnya, gue pengen aja. Mumpung ada juga bajunya,” jawab Kana.

Awan masih menatap dengan tatapan yang meminta penjelasan. Tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Kana.

“Beneran gitu doang? Bukan karena Rendra kemarin posting dia sama Bisma pake baju kembaran?”

Kana terdiam, gerakan tangannya pun terhenti. Itu dapat Awan tangkap dengan baik.

“Oh, bener ternyata,” ucap Awan langsung menyimpulkan. “Panasan banget.”

Kana mendengus dan mendelik pada Awan. “Ya biarin, sih! Lagian pake baju ginian, kan, satu cara supaya—”

“Dunia tahu gue punya lo? I see.

Kana menunduk, telinganya memerah. Ah, sial.

Awan menumpukan dagunya di atas tangan. Kini, dia menatap Kana dengan dalam. Senyum terukir di wajah laki-laki kelahiran Juli itu.

“Kana, kalau lo ngizinin gue bisa bikin dunia tahu gue punya lo dan begitu pun sebaliknya. Detik ini juga.”

“Hah?” Kana mendongakkan kepalanya, menatap Awan dengan heran. “Gimana?”

“Kayak gini.”

Ujung bibir Awan tertarik, dia bangkit dari duduknya dan memajukan kepalanya untuk mendekat pada Kana. Paham apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu, Kana langsung menahan wajah Awan dengan tangannya.

Stop, anjir! Jangan di sini juga!” ucap Kana nyaris membentak sembari mendorong Awan agar duduk di tempatnya lagi.

“Dih? 'Kan, gue mau nunjukin kalau kita kepunyaan masing-masing?”

“Tapi gak segila itu juga, ya, Awan. Dasar lu orgil. Di sini rame!”

Awan tertawa, merasa terhibur dengan reaksi yang Kana berikan. Padahal dulu laki-laki ini memainkan pasangannya, tapi lihatlah sekarang? Dia menjadi payah.

“Kalau sepi boleh berarti?” goda Awan dan Kana langsung menghindari matanya seketika. Kana berusaha mencari pemandangan lain, apa pun asal itu bukan kedua bola mata kelam miik Awan.

“Y-ya, bo-boleh aja, sih.”

Awan tertawa kecil, tangannya bergerak untuk menghiasi kedua sisi wajah Kana. Memaksa laki-laki itu agar mau menatapnya.

“Oke, nanti di mobil, ya. Apa mau ke toi—”

Ucapan Awan terpotong karena Kana memasukkan dimsum yang tersisa ke dalam mulutnya tanpa basa-basi. “Udah, anjir! Gue malu!”

Awan mati-matian berusaha agar bisa menelan makanannya sebelum tertawa. Laki-laki itu mencubit pipi Kana sebentar dan memasang wajah tak bersalah setelahnya.

Awan tersenyum, hingga matanya yang berhiaskan kacamata itu pun ikut tersenyum.

“Lucu banget, dah.”

Kana mengerjapkan matanya melihat hal itu, dia masih memproses. Detik berikutnya, pipi Awan diserang oleh kedua tangan Kana.

Kana mencubit kedua pipi Awan tanpa keraguan sama sekali. “Lo yang gemes! Huhu kenapa lo gemes gini, kitten?!”

“Sakit, anjir!”

Walau berakhir demikian, selalu ada yang bikin Awan ketawa kalau lagi sama Kana setiap harinya.

Woozi as Bisma. Eunha as Caca.

Dulu yang Bisma tahu, Friska itu anaknya pemalu. Suaranya bagus, tapi ragu kalau disuruh ke depan.

Dulu yang Bisma tahu, Friska itu tak mudah menyerah. Meski beberapa komentar tak enak ia dapat, tapi Friska selalu berusaha agar komentar semacam itu tak muncul lagi.

Dulu yang Bisma tahu, Friska itu anak manis yang lemah lembut. Dia selalu berkata sopan dengan tenang dan akan diam ketika marah.

Dulu.

Sekarang, sosok Friska lebih akrab ditemui sebagai Caca.

Tak ada lagi Friska si pemalu, yang ada adalah Caca si pemberani dan nyaris seperti pemberontak.

Tak ada lagi Friska yang tak mudah menyerah karena sekarang Caca lebih banyak mengeluh dan mengabaikan hal yang bikin susah.

Tak ada lagi Friska si anak manis, yang ada hanya Caca si anggota geng motor yang mulutnya sulit dikontrol.

Namun, baik Friska atau Caca sama saja di matanya. Bisma tetap akan menyayangi selama itu Friska Varrenia.

Bertemu lagi setelah sekian lama, sebenarnya tak benar-benar Bisma anggap sebagai sesuatu yang 'malu-maluin'. Bisma tak menyesali kala dirinya harus berlutut dulu, dia lega karena dengan itu Caca sedikit luluh padanya.

Membuat Caca menunggu dua tahun karena kontraknya pun akan menjadi satu hal yang Bisma syukuri. Caca ada di sisinya dan rasanya tak ada lagi yang Bisma butuhkan.

Namun, melihat satu per satu temannya mulai menikah, Bisma merasa dikejar. Satu pertanyaan tentang hubungan yang serius itu terasa seperti seribu langkah maju mengejarnya.

Bisma tak memiliki jalan lagi. Caca pada faktanya masih enggan dengan komitmen sedalam itu dan ia pun tak bisa benar-benar menyakinkannya karena kontrak sialan itu belum mengizinkannya untuk menikah.

Dunia sudah tahu kalau Bisma adalah milik Caca. Namun, dunia tak benar-benar tahu kalau hubungan mereka ini menjadi rumit karenanya.

Kalau diingat lagi, selalu Bisma yang membuatnya rumit.

Bisma yang dulu membuang surat-surat itu yang tentu menyakiti hati sampai dia berubah dari Friska menjadi Caca. Lalu, sekarang kontrak Bisma yang terkesan bodoh karena tak memperbolehkan mereka menikah di tahun ini.

Selalu gue yang bikin semuanya jadi ribet.

Bisma mengacak rambutnya kasar, lalu menarik napasnya dalam-dalam. Kalau Caca sudah mau, mungkin dia akan berusaha lebih. Namun, Caca belum mau dan Bisma tak ingin yang lebih muda merasa tak nyaman jika terus ditanya.

Bisma termenung sendiri hingga tak menyadari kalau pintu studionya terbuka. Sosok perempuan berambut hitam pendek dengan highlight pink adalah pelakunya.

Caca berjalan mengendap-ngendap begitu sadar kalau Bisma sedang melamun. Perempuan itu kemudian sedikit melompat dan memeluk Bisma yang duduk di kursi kebesarannya dari belakang.

Bisma sedikit terlonjak karena terkejut, tapi dia langsung tenang karena mengenali aroma parfum ini. Sementara Caca terkekeh, puas karena kekasihnya terkejut.

“Katanya libur, kok kayak overthinking sama lagu?”

Bisma menggeleng, memilih untuk tak mengatakan apa yang dia pikirkan barusan pada Caca. Mereka akan menghabiskan waktu berdua hari ini setelah sekian lama, Bisma tak ingin kekasihnya memiliki suasananya hati yang buruk.

“Gak papa, biasa kalau ngelamun pikirannya suka lari ke mana aja.”

Caca mengangguk paham. “Ayo kalau gitu, Kak! Lo pakai jaket.”

“Jadi pake motor lo?”

Caca mengangguk. “Lihat, dong, gue udah pake jaket kesayangan lagi,” katanya sambil memasang pose.

Caca memakai jaket yang dulu sering ia kenakan kalau ke arena. Bisma sudah lama tak melihatnya menggunakan benda satu itu.

Bisma tersenyum. “Iya, dah, cakep.”

Bisma berjalan menuju laci yang sengaja ia sediakan di studio untuk menyimpan beberapa pakaiannya. “Gue pake ini aja, ya. Jaket taksa ada di rumah.”

Bisma menunjukkan hoodie biru tua yang sengaja ia simpan di studio. Caca mengangguk, merasa tak masalah.

Caca mengamati kala Bisma memakai hoodie-nya. Keduanya kini saling bertatapan. Bisma tersenyum tipis dan merentangkan tangannya. “Sini, isi bensin dulu.”

Caca menatap geli dan berkata, “Apa, sih?”

Namun, ia tetap melangkah maju untuk memeluk yang lebih tua. Keduanya berpelukan cukup erat dan agak lama.

“Udah, ah. Kelamaan,” ucap Caca seraya menjauhkan dirinya. Namun, Bisma masih belum mau melepaskannya.

“Satu lagi belum.”

Keduanya kembali bertatapan. Caca memajukan kepalanya, lalu memberi kecupan kecil di bibir yang lebih tua.

“Tuh, udah.”

“Bukan gitu caranya.”

Pinggang Caca diremas pelan. “Sini, gue ajarin.”

Bibir mereka kembali bertemu.


Ketika Caca bilang kalau agenda kencan mereka ini seperti dulu kala mereka bukan 'seseorang' yang dikenal dunia. Bisma langsung paham kalau perempuan itu rindu dengan motornya.

Dulu, Bisma rela kalau harus dibonceng oleh Caca. Dulu, ego Caca sekeras batu dan Bisma butuh melakukan sesuatu agar bisa melunakkannya sedikit demi sedikit.

Kalau sekarang agak malu juga dia.

Bisma tetap menjadi seseorang yang tak mau membuat kekasihnya memiliki suasana hati yang buruk. Jadi, dia sekali lagi membiarkan dirinya sendiri duduk di jok belakang.

Selama Caca mengendarai motor yang mereka tumpangi dengan benar, maka Bisma tak akan mempermasalahkannya.

Tujuan mereka kali ini adalah sebuah angkringan. Dulu, tempat ini cukup sering mereka kunjungi karena Bisma dan Caca sering keluar bersama menjelang tengah malam.

Pada saat itu juga mereka sedang kuliah dan jauh dari keluarga. Jadi, angkringan adalah pilihan yang tepat.

Bisma turun duluan, dia melepaskan helmnya dan menunggu Caca. Perempuan itu berbalik, memberi kode agar Bisma merapikan rambutnya.

Bisma menurut tanpa kata. Laki-laki itu merapikan rambut pendek Caca yang sedikit acak-acakan karena baru melepaskan helm. Lalu, dia dengan iseng mencubit pipi empuk kekasihnya.

“Gemes, dah, kalau rambutnya diginiin.”

Caca memutar bola matanya malas. “Gombal mulu.”

“Padahal gue jujur.” Caca mengabaikan hal itu, dia mengambil alih helm yang ada di tangan Bisma. Diletakkannya helm itu bersama dengan helm yang baru dia gunakan.

“Ayo, Kak,” ajak Caca sembari menarik pergelangan tangan Bisma. Namun, laki-laki itu bergeming di tempatnya.

Tangannya bergerak agar kedua tangan mereka saling bertaut. Bisma memasukkan itu pada saku hoodie-nya, lalu memimpin langkah mereka berdua.

“Ayo.”

Caca mengerjapkan matanya, Diam-diam merasa hangat. Namun, dia menggelengkan kepalanya. Gak boleh salting, Ca. Cuma gitu doang!

Ini malam Minggu dan angkringannya ramai itu bukan hal aneh.

Bisma dan Caca menatap sekitar, mencari tempat yang kosong. “Nah, di sana. Lo tunggu aja, Kak. Biar gue yang beli makanannya, sate-satean aja, ya.”

Bisma menurut. Pokoknya, hari ini terserah Caca. Bisma akan menjadi anak penurut.

Anggap saja permintaan maaf karena Bisma lebih banyak meninggalkan Caca bulan ini. Dia dan teman agensinya yang lain sedang melakukan tur. Bisma duduk di tempat yang Caca maksud tadi dan menunggu kedatangan kekasihnya dalam diam.

Masih menunggu Caca. Bisma didatangi oleh seorang perempuan yang tampaknya lebih muda darinya. Perempuan berambut panjang bergelombang itu mendekatinya dengan malu-malu.

“Pe-permisi, Kak.”

Bisma menatap heran. “Kenapa?”

Bukannya menjawab, perempuan itu malah menyerahkan selembar kertas yang dirobek asal. Dia letakkan di atas meja Bisma bersama dengan sebuah pulpen.

“Boleh minta kontaknya gak?”

Kedua alis Bisma terangkat. “Kontak gue?”

Perempuan itu mengangguk. “Iya, mau akun medsos atau nomor. Terserah Kakaknya aja.”

“Eh, tapi—”

Belum selesai Bisma berucap, Caca sudah datang dengan makanan yang dia inginkan. Caca menatap Bisma dan perempuan tadi bergantian, lalu menatap pada kertas yang masih kosong.

“Oh, lo mau minta kontak kakak gue?”

Bisma mengernyit mendengar itu. “Ca—”

“Sini gue tulisin, ya,” potong Caca lagi sambil menuliskan sesuatu di kertas itu. Bisma tak bisa memastikan Caca menulis apa karena tangannya yang lain menutupinya.

Caca menggulung kertas itu, lalu mengukir senyuman manis kala menatap pada perempuan tadi. “Ini, bukanya pas udah agak jauh aja, ya.”

Perempuan itu tersenyum lebar. “Makasih, Kak! Saya pamit duluan kalau gitu, ya.”

Caca mengangguk, membiarkan perempuan itu menjauh. Baru setelah lepas dari pandangan, Caca menatap Bisma sengit.

Perempuan itu berdecak. “Kesenengan, kan, lo?”

Bisma menggelengkan kepalanya, jujur ia merasa terhibur dengan ekspresi Caca saat ini. Namun, ia tak ingin menunjukkannya. Tak seharusnya ada masalah hari ini.

Bisma menarik agar Caca duduk. Tangannya merangkul dan memberi usapan pelan pada lengan atas Caca.

“Gue mau nolak, tapi lo keburu dateng.”

Caca memutar bola matanya malas. “Basi.”

“Beneran,” kata Bisma sambil mencubit pipi perempuan itu. “Lo sendiri kenapa nulis di kertasnya?”

Caca mengendikkan bahunya, memilih untuk tak menjawab dengan kata. Bisma sendiri memilih untuk tak memaksa agar Caca mengatakannya. Dia yakin kalau Caca tak benar-benar memberi kontaknya pada perempuan tadi.

“Udah, ah, ayo makan.”

“Satu berdua banget, nih?” tanya Bisma sadar kalau Caca hanya membawa satu piring berisi banyak sate-satean.

“Biar cepet,” balas Caca.

Sadar kalau Caca masih merasa sebal. Bisma mengambil salah satu satenya lalu menyiapkan itu pada Caca. Untungnya, Caca mau menerimanya.

Sekali lagi, cubitan lembut diberikan pada pipi Caca. Perempuan itu berdecak. “Apa sih? Nyubit terus!”

Bisma memangku kepalanya dengan tangan. Menatap Caca lekat lengkap dengan senyuman miring di wajahnya.

“Gemes soalnya.”

Caca mengalihkan pandangannya, ke mana pun asal tak melihat kekasihnya. Bisma yang sadar kalau Caca salah tingkah hanya bisa menertawakan.

“Friska,” panggil Bisma.

Bisma sangat jarang memanggilnya dengan nama itu. Kalau sudah, berarti Bisma tengah benar-benar serius.

“Gue selalu lihat lo,” katanya. “Dari dulu, orang yang selalu gue lihat adalah lo. Tolong jangan diraguin lagi.”

Caca menghela napasnya dan memberanikan untuk diri menatap Bisma. Tangannya bergerak untuk mengusap perlahan pipi yang lebih tua. Mata Bisma terpejam menikmati sentuhan Caca.

“Sama.”

dan cukup.

Keduanya tak perlu mengatakan perasaan masing-masing. Hanya seperti itu saja sudah cukup untuk membuat keduanya paham perasaan satu sama lain.

Mereka sama-sama tipe orang yang mempunyai gengsi tinggi. Untuk mengatakan perasaan lewat mulut itu butuh tenaga lebih.

Selagi hangat itu masih ada, maka masih ada benang tak kasat mata yang menyatukan mereka.

Cukup lama mereka diam dan menikmati makanan masing-masing. Caca tiba-tiba menyandarkan dirinya pada bahu Bisma. Laki-laki itu membiarkannya, dia malah menyandarkan kepalanya pada kepala Caca.

“Kak, soal pernikahan di kontrak lo itu tahun depan, 'kan?”

Bisma sebenarnya bingung kenapa Caca tiba-tiba membahas hal yang selama ini selalu ia hindari. Namun, bibirnya tetap menjawab, “Iya.”

Jari Caca kini memainkan tali hoodie yang Bisma kenakan. Dalam sekejap Caca mendongak untuk melihat ekspresi yang Bisma tunjukkan. Namun, Bisma jarang sekali mengeluarkan ekspresinya.

“Yakinin gue soal kitanya pas udah itu aja,” ucap Caca lebih pelan dari sebelumnya. Untung, Bisma masih bisa menangkapnya dengan baik.

“Supaya gue sama lo bisa sepenuhnya yakin sama kita tanpa perlu kepikiran kontrak yang ngabisin tenaga.”

Bisma terkekeh pelan, tangannya mengajak tangan Caca yang semula memainkan taki agar saling menggenggam.

“Beneran?”

Bisma dapat merasakan Caca mengangguk. “Bener.”

“Oke.”

Caca membalas dengan gumaman tak jelas seraya mengusakkan dirinya pada bahu Bisma. Dia merasa semakin nyaman dengan posisi ini.

“Friska,” panggil Bisma setelah hening menguasai mereka untuk beberapa menit.

“Kenapa?” tanya Caca.

“Jangan kabur lagi kayak waktu kita masih sekolah.”

“Gak akan, Kak,” katanya. “Gue gak akan ke mana-mana lagi.”

“Gue di sini sama lo.”

I wanna stay with you. Today, tomorrow, and every single after that day.


Di sisi lain, perempuan yang tadi memberanikan diri untuk meminta kontak Bisma itu membuka gulungan kertasnya dengan tak sabaran.

Senyum sudah menghiasi wajahnya. Ponsel juga sudah menyala siap memasukkan apa pun kontak yang diberikan. Namun, senyuman itu seketika luntur setelah membaca isinya.

'Dia punya gue, bego.'

Jun as Kana Tzuyu as Larena.

“Kakak, bentar. Sepatuku tiba-tiba hilang sebelah.”

Kana yang sudah menunggu di luar menghela napasnya. Ia meletakkan tas berisi pakaian mereka di bawah, lalu mendekat pada Larena yang terduduk di ambang pintu. Dekat dengan rak sepatu.

“Ini ada, Dek. Kedudukin kamu sendiri,” ucap Kana sambil menarik sepatu putih dengan corak warna-warni favorit Larena. Istrinya itu tertawa kecil, merasa malu lalu lanjut memakai sepatu.

“Oh, iya.”

Ini sudah seminggu sejak mereka berdua tinggal di sini selepas menikah. Namun, mereka baru berkesempatan untuk pergi bulan madu sekarang. Hanya tiga hari, jadi mereka memutuskan untuk tak mengunjungi tempat yang jauh dan Bandung menjadi tujuan mereka.

“Yuk, gocar-nya udah di depan,” ajak Kana seraya mengajak Larena untuk berdiri. Perempuan itu menerima uluran tangan yang Kana tawarkan, lengkap dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya.

“Ayo!”

Mereka pergi keBandung menggunakan kereta. Di stasiun sempat membeli beberapa jajanan untuk mengganjal perut, lalu kembali memesan gocar menuju hotel.

Setelah bersih-bersih, Kana dan Karena langsung pergi ke luar untuk makan siang. Pilihan mereka jatuh ke restoran dengan gaya prasmanan yang tak jauh dari hotel.

Ini permintaan Larena tentu saja.

“Agak jauh dari sini, ada jalan yang biasanya penuh sama kuliner malam. Nanti mau nyoba?” tanya Kana seraya mengusap bekas saus yang ada di ujung bibir Larena.

Larena tak langsung menjawab, dia menelan makanannya dulu baru berkata, “Mau! Di sana juga ada yang jual olahan kodok gitu, 'kan, Kak? Aku mau nyoba.”

Kana mengerjapkan matanya. Tubuhnya tiba-tiba terlihat kaku. “Ko-kodok?”

Larena mengangguk dengan wajah antusias. “Iya! Biasanya, sih, pahanya aja.”

Sejujurnya, Kana beberapa kali mendengar soal masakan dengan bahan baku hewan yang satu itu. Namun, jika disuruh untuk mencobanya, Kana memilih mundur.

Tak ada alasan khusus, tapi Kana tak pernah membayangkan kodok akan menjadi santapannya. Di sisi lain, wajah Larena membuatnya tak tega kalau harus menolak.

Menyadari ada perubahan pada suaminya, Larena memiringkan kepalanya agar bisa menatap wajah Kana lebih jelas. “Kak Kana gak mau, ya?”

Kana langsung gelagapan. “E-eh, enggak. Aku—”

“Gak papa, nanti aku pesan buat aku sendiri aja. Aku gak akan maksa kakak buat makan itu.”

“Beneran gak papa?”

“Iya, Kakak!”

Kana merangkul istrinya itu lalu mendaratkan sebuah kecupan di pipi. Larena hanya tertawa kecil menanggapi hal itu.

“Masih di luar, ih, Kak.”

Kana tak mengacuhkan itu. Dia memberi satu lagi kecupan di pelipis Larena sebelum berkata, “Biarin lah, biar pada paham kamu punya aku.”


Mungkin sudah bukan rahasia lagi kalau sosok yang Larena harapkan sejak kecil adalah Rendra. Tidak hanya sekali atau dua kali Larena membayangkan tentang masa depannya dan Rendra ada di setiap bayangannya. Hadir sebagai sosok paling penting dalam hidupnya.

Jika mengingat itu, rasanya sedikit lucu karena Rendra malah menjadi seseorang yang membantu dirinya dan si kakak agar bisa menikah. Larena sebenarnya heran karena laki-laki itu mau melakukan hal ini di tengah kesibukannya. Namun, setelah dipikirkan lagi kalau yang memintanya bukan Larena dan Kana, mungkin Rendra tak akan mau.

Masih segar dalam ingatannya bagaimana Kana melompat ke arah Rendra selepas laki-laki itu mengatakan ibunya telah setuju dengan hubungan mereka. Tubuh Kana itu lebih tinggi dari Rendra, jadi laki-laki yang sudah memiliki anak satu itu agak kewalahan pada awalnya.

Namun, pada akhirnya mereka malah tertawa bersama seperti orang tak waras.

“Jagain yang bener, tuh, lo udah bawa-bawa nama gue dua kali.”

“Pasti lah! Lo boleh pukul gue kalau sampai Larena nangis karena gue.”

“Kalau udah nikah gak cuma gue pukul. Gue bikin lo miskin sekalian.”

“Anjing, tega banget.”

Larena terkekeh mengingat itu. Taksa selalu punya interaksi yang unik menurutnya, walau cara mereka menghabiskan waktu dulu kurang bermanfaat.

“Hayo, mikirin apa kamu tiba-tiba ketawa?”

Pipi Larena dicubit dan siapa lagi pelakunya kalau bukan Kana? Larena mengerucutkan bibirnya sebal karena cubitan tadi sakitnya lumayan membekas. “Terserah aku lah.”

“Jangan mikirin mantan kamu.”

“Dibilang terserah aku?”

Yang lebih tua mengernyitkan kening. “Kok gitu?”

Larena menahan tawanya, merasa terhibur dengan ekspresi yang sedang Kana tunjukkan. Perempuan itu menyandarkan kepalanya pada bahu yang lebih tua seraya mengaitkan tangan mereka berdua.

Mereka sedang ada di kamar hotel. Menunggu langit berubah menjadi gelap sambil malas-malasan. Televisi menyala, menampilkan kartun yang tak benar-benar keduanya tonton.

“Kamu kalau aku gak ada bakal tetap ngejar Rendra gak?”

“Kita lagi honeymoon, loh, Kak. Kok bahas yang lain?”

Kana ikut menyandarkan kepalanya di atas kepala Larena.

“Pengen nanya aja.”

Larena terdiam sebentar. “Gak akan, deh. Walau gak ada kamu, Kak Rendra, kan, tetap ada Kak Naya. Dia tuh naksir Kak Naya dari zaman sekolah tahu.”

“Lama juga, sekarang udah nikah lagi. Gak pernah bosen apa, ya, mereka?”

“Kalau bosen sama hubungannya, mungkin gak pernah. Tapi kalau bosen sama keadaan pasti pernah. Cuma kita aja yang gak tahu.”

Larena memainkan jari-jari keduanya yang masih saling bertaut. “Mereka selalu punya cara supaya rasa bosan itu gak bunuh hubungan mereka.”

“Aku harap kita juga bisa kayak gitu, Kak. Gak ngebiarin rasa bosan nguasain hubungan kita. Pokoknya, kalau semisal nanti kita gak bisa dipaksa cocok lagi. Aku gak mau rasa bosan itu jadi alasannya.”

Kana mengangguk, lalu mengelus surai Larena dengan tangannya yang lain. Laki-laki berambut pirang yang cukup panjang itu memberi kecupan di kening istrinya. “Dimengerti, sayang. Aku gak akan bosen sama kamu.”

Larena semakin menyamankan dirinya di posisi ini. “Buktiin, ya, jangan manis di mulut aja.”

“Siap!”


Selama berhubungan dengan Larena, Kana sudah memahami bagaimana kebiasaan perempuan itu. Salah satunya kalau sedang jalan-jalan, Larena akan lebih fokus pada makanan dibanding tempatnya. Berbeda dengan Kana yang lebih suka memperhatikan tempat juga jalanannya.

Tempat yang sering mereka kunjungi untuk berkencan adalah pantai. Kana mencari angin untuk menikmati suasana, sedangkan Larena mencari kelapa muda.

Namun, sejauh ini Kana menikmati saat kebersamaannya bersama si adek. Kana selalu menikmati kala mereka sedang berdua.

Selesai mencari warung makan tempat makanan yang Larena inginkan tadi siang, kini mereka sedang duduk di pinggir jalan. Ada bakso bakar berukuran jumbo di tangan Kana, sedangkan Larena sedang menikmati minumannya.

Kana lebih memilih membeli 'cemilan' daripada makanan berat.

“Mau nyoba?” tawar Kana sambil mendekatkan bakso itu pada Larena. Yang lebih muda mengangguk dan mengambil satu gigitan besar.

Rasa panas dan pedas-manis yang menyapa lidahnya membuat Larena memejamkan matanya. Setelah menelan, Larena berkomentar, “Enak!”

“Kakak, yakin bakal habis?” tanya Larena. Masalahnya ada tiga bakso berukuran besar di sana dan mereka baru menghabiskan satu.

“Bungkus lagi aja kalau gak habis buat ngemil tengah malem,” balas Kana dengan tawa di akhir kalimat. “Tapi selama bakso, aku pasti habis, sih. Apa lagi ini enaknya tipe aku.”

Jangan heran kenapa username Kana itu sukabaso, Kana memang sangat menyukai makanan satu itu.

“Aku mau nyoba kue basah itu, deh, Kak. Kamu tunggu di sini aja, ya!”

Kana mengangguk. Dia setuju karena gerobak yang Larena maksud masih masuk dalam pandangannya, Kana bisa mengamati Larena dari jauh.

Namun, fokusnya teralih begitu melihat sebuah gerobak bertuliskan 'bakso kecil'. Dia jadi teringat sesuatu. Mau beli, tapi bakso bakar di tangannya saja belum habis.

“Kakak!”

Kana baru sadar kalau Larena sudah menuju ke arahnya lagi. Perempuan berambut pirang itu berlari kecil ke arahnya. Ah, gemas. Untung udah jadi istri gue.

Rambut mereka masih sama-sama pirang. Mereka sengaja mewarnai rambut untuk foto pre-wedding, tapi itu malah dibiarkan hingga sekarang.

Sesekali kembaran tak apa, bukan?

“Aku gak beli banyak, takut kenyang banget soalnya,” ucap Larena.

“Gak papa. Kalau masih mau, nanti tinggal beli lagi aja.”

Larena mengangguk. “Dulu pas kecil aku selalu jajan ini tiap pulang sekolah, terus jadi sedih karena ibu yang jualnya gak ke sekolah lagi.”

“Kenapa?”

“Gak tahu, tiba-tiba kayak gitu.”

Kana mengangguk paham. “Dulu, ibu selalu bikin ini kalau lagi ada perayaan di rumah. Entah ulang tahun atau kelulusan.”

“Seru, dong? Ibu jago, ya, kak?”

“Jago dia, tapi jadi kurang motivasi setelah mereka cerai. Kamu coba ajakin lagi, deh, nanti. Siapa tahu dia semangat lagi.”

Larena mengangguk dengan antusias. “Oke!”

Namun, rasa antusiasnya itu hanya bertahan sebentar. Perempuan itu tiba-tiba menunduk lesu sambil mengamati kue yang ada di pangkuannya.

“Maaf, ya, Kak.”

Kana menatap dengan heran. “Maaf kenapa?”

“Semenjak kita nikah, kita selalu beli makanan. Padahal aku harusnya masak buat kamu.”

“Ya, gak papa lah. Kan, ada uangnya.”

“Lama-lama boros, Kak. Aku sama kamu bukan seseorang dengan keuangan yang bisa dijamin akan selalu stabil,” ucap Larena dengan lesu. “Terus udah tugasnya juga, 'kan, seorang istri harus masak buat suaminya?”

Kana merangkul pinggang Larena, sedikit menariknya untuk mengurangi jarak yang ada pada keduanya. “Loh? Aku, kan, jadiin kamu istri, bukan chef.

“Tetep aja, Kak. Aku—”

“Sst,” potong Kana. Tangannya bergerak untuk mendorong kepala Larena pelan agar bersandar pada dadanya.

Larena mengerjapkan matanya beberapa kali, wajahnya perlahan memerah. Mereka sekarang ada di tempat yang ramai. Matanya menatap sekeliling, untungnya orang-orang tampak tak begitu peduli.

Jadi, Larena memilih untuk memejamkan mata. Mendengarkan detak jantung Kana dengan jelas.

“Lagipula aku bisa masak, Ren,” ucap Kana, “dan kita ini cuma manusia yang bakal terus belajar. Gak papa, pelan-pelan aja. Gak usah buru-buru. Kita baru nikah seminggu, loh.”

Larena tak membalas dan Kana pun memilih diam. Tangan laki-laki itu kini mengelus pelan surai Larena, membiarkan perempuan itu mendengarkan detak jantungnya. Berharap Larena paham kalau detak jantungnya yang seperti ini hanya untuk Larena.

“Kak, makasih, ya.”

Kana tersenyum geli. “Aku yang harusnya makasih.”

“Aku. Pokoknya aku makasih banget Kak Kana mau jadi pasanganku. Kakak bolehin aku kerja dan ngasih aku waktu buat terus belajar,” papar Larena.

Sebenarnya masih banyak lagi, tapi dia yakin Kana sudah paham apa saja yang Larena syukuri tentang kehadirannya. Bukan hanya sekali ini Larena mengatakannya. Perempuan itu selalu mengungkapkan pikirannya pada Kana ketika banyak pikiran.

Larena tahu dulu Kana seperti apa. Larena juga tahu bagaimana Kana mau berubah untuknya. Tak seharusnya, Larena menanyakan tentang perasaan Kana untuknya lagi. Sekarang pun, ia masih dapat merasakannya sendiri.

“Dek, diterima sama kamu itu hal yang paling kusyukuri seumur hidup. Makasih, ya, mau nerima aku yang jauh berbeda sama sosok impian kamu.”

Larena tak membalas, dia mengusakkan dirinya pada dada Kana. Kedua tangannya melingkari pinggang laki-laki itu.

“Aku sayang kakak.”

Kana terkekeh lalu mengecup puncak kepala Larena. “Aku juga sayang sama kamu.”

and love is when both feel lucky to have each other.

Yena as Candy Hoshi as Edward Woodz as Evan

⚠ mention of cheating, broken family.

Cerita ini merupakan bagian dari semesta ednamy.


“Pokoknya asik, deh! Kakak pas pulang langsung ngajakin aku buat main boneka!”

“Kayaknya seru, ya, punya kakak? Aku punyanya adik, nangis terus, berisik!”

“Jangan gitu! Saudara, kan, harus saling sayang.”

“Aku sayang dia, kok, cuma kadang sebel aja kalau udah nangis.”

Candy hanya diam mendengarkan pembicaraan kedua temannya. Anak itu memainkan jarinya kala telinganya mendengarkan semua yang mereka katakan dengan baik.

Perhatian dua temannya itu tiba-tiba teralih pada dirinya. Candy menatap keduanya bingung.

“Candy, kamu punya kakak atau adik?” tanya salah satunya.

Perempuan yang tahun ini menginjak usia 8 tahun itu tak langsung menjawab. Baru akan membuka mulut, temannya yang satu lagi sudah berkata, “Candy bukannya anak tunggal, ya? Soalnya waktu kita main ke rumah dia, cuma ada mamanya.”

Candy menggeleng dengan cepat. “Aku punya kakak ... tapi mereka udah gede. Jadi, mereka gak ada di rumah.”

“Udah gede?”

Ada wajah antusias yang ditunjukkan oleh perempuan yang akrab dengan poni itu. “Iya, mereka udah kerja.”

Kedua temannya turut merasa antusias. “Wah, kakaknya Candy punya nama yang lucu juga gak? Soalnya nama kamu lucu, Bahasa Inggrisnya permen.”

“Nama mereka Edward sama Evan,” jawab Candy diakhiri dengan senyuman.

“Candy punya dua kakak?”

Candy mengangguk. “Iya, mereka kembar.”

“Wow, keren! Enak, dong, punya dua kakak. Sebelum mereka kerja, kalian bertiga suka main apa?”

Candy terdiam, senyuman di wajahnya luntur seketika. Jemarinya kembali ia tautkan satu sama lain.

Kalian bertiga suka main apa?

Candy memejamkan matanya, tak ingin kalimat itu mengisi kepalanya. Setelah mendapat panggilan satu kali lagi akibat terlalu lama tidak bersuara, Candy baru mendongakkan kepalanya. Memberanikan diri untuk menatap kedua temannya.

“Banyak,” jawab Candy disertai sebuah tawa yang dipaksakan.


Dalam ingatan Candy, tak ada satu pun momen berarti yang ia lewati bersama kedua kakaknya. Jangankan bermain bersama, menatap wajah masing-masing saja dapat dihitung dengan jari.

Edward dan Evan jarang berkunjung ke rumah. Mama bilang mereka sibuk Candy perlu untuk mengerti. Namun, terkadang Candy ingin mempertanyakan sesibuk apa mereka sampai berkomunikasi lewat ponsel saja susahnya minta ampun?

Candy ingin merasakan bagaimana bermain bersama saudara. Merasakan bagaimana dirinya dikejar oleh kedua kakaknya dengan tawa yang mengiringi setiap langkah. Merasakan bagaimana kepalanya disentuh oleh tangan keduanya.

atau mungkin, yang paling sederhana. Candy ingin merasakan bagaimana ia ditatap oleh Edward dan Evan.

Ketika Candy bisa melihat Edward dan Evan secara langsung dalam waktu yang lumayan lama adalah saat dirinya berulang tahun. Candy selalu menantikan hari di mana umurnya akan bertambah karena di hari itu Edward dan Evan sudi menginjakkan kaki di rumah.

Candy tidak mengerti kenapa dua orang itu enggan berlama-lama di tempat yang merupakan rumah mereka sendiri. Namun, Candy tak berani untuk menyuarakannya.

“Selamat ulang tahun,” kata Evan tanpa menatapnya. Laki-laki dengan kacamata itu kemudian menyerahkan satu kotak berukuran sedang. “Ini kadonya.”

“Makasih banyak, Kak Ev!” Candy menerima kotak itu dengan senyuman lebar. Sayangnya, senyum manis itu sama sekali tak dilihat oleh Evan.

Edward di sebelahnya turut menyerahkan kotak yang ia pegang. Laki-laki yang rambutnya diwarnai pirang itu menatap Candy sekilas sebelum mengalihkan matanya ke arah lain.

Happy birthday, Candy.

Candy senang. Tanpa kado pun ia sudah senang. Candy merasa cukup dengan kehadiran dua orang yang wajahnya nyaris sama ini.

“Makasih banyak, Kak Ed!”

“Sudah, ya. Kami mau—”

“Tunggu, Kak. Candy mau kita foto bareng, satu kali aja. Boleh, ya?” potong Candy, menahan kedua kakaknya yang jelas ingin segera pulang setelah kado lepas dari tangan.

Evan berdecak. “Gak ma—”

“Ayo,” jawab Edward, memotong ucapan Evan barusan. Evan menatap Edward tidak terima, sementara Edward hanya mendekat dan berbisik, “Sekali aja, Ev.”

Begitulah bagaimana mereka bisa berpose dengan kaku di hadapan kamera sekarang. Edward dan Evan ada di kedua sisi Candy dengan posisi berlutut. Candy memeluk kedua kado yang diberikan kakaknya dengan erat, ia menunjukkan wajah secerah matahari. Sedangkan Evan dan Edward sama-sama berpose canggung dengan senyum yang jelas dipaksakan.

Kilatan dari kamera muncul, tak lama setelah itu kedua orang di sisi tubuh Candy kompak berdiri. “Aku harus pulang, Beby gak mungkin aku tinggalin lama-lama,” kata Evan sambil menjauh. Edward mau tak mau mengikuti kembarannya.

Yang ditinggalkan mengeratkan pelukannya. Kepalanya menunduk, menatap kado yang diberikan kedua kakaknya dengan lekat.

Katanya saudara itu dekat. Saudara itu harus saling sayang. Namun, kenapa untuk menatapnya saja mereka enggan?

Candy menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus memori itu. Ia sedikit meremas figura yang terdapat satu-satunya foto mereka bertiga kala Candy berulang tahun yang ke-10.

Candy lalu menatap pada ponselnya, belum ada notifikasi semenjak ia mengirim pesan ke grup yang dibuat atas saran Anna itu. Candy menghela napasnya, mungkin mereka gak mau, ya?

Namun, baru Candy akan mematikan ponselnya. Muncul notifikasi dari sana.

Kak Edward : Boleh, kabarin aja pastinya gimana, ya. Nanti kami datang.

“Kamu kalau mau macarin anak saya, yang bener jagainnya. Ini bisa sakit gini kamu apain?”

Sumpah, demi apa pun. Bahkan gue gak ketemu Kak Sana lagi semenjak break. Itu berlangsung di hari gue sempro sampai gue wisuda.

Tapi kalau itu berhubungan dengan pikirannya, maka gue ikut terlibat dalam membuat tubuh Kak Sana menjadi selemah sekarang.

“Maaf ....”

“Maaf, maaf! Kamu ini mau merjuangin anak saya atau enggak?!”

“Mau ....”

“Jawab yang tegas!”

“Mau, Tante!”

“Sekarang, mohon-mohon ke saya supaya saya restuin.”

Kejadian lain yang gokil di kehidupan gue. Pas ngelakuinnya gue biasa aja, tapi kalau inget lagi agak malu juga, ya, soalnya itu di depan ruangan Kak Sana. Semua orang yang lewat lihat gue. Ortu gue juga jadi nyaksiin gimana anak mereka ini jadi budak cinta.

Tapi, ya udah. Udah kejadian dan gue gak menyesal sama sekali. Meski harus berlutut buat mohon-mohon dan dapet omelan sana-sini, kalau balasannya adalah si kakak yang gak pernah keberatan untuk ajak gue ke dunianya atau sebaliknya, gue gak masalah.

Sekarang kita lagi di jalan. Nyusul temen-temen gue yang udah ke pantai sejak semalam. Pake mobilnya dia, tapi gue yang nyetir.

“Berangkatnya kepagian tahu, Kak,” kata gue. Bayangin aja, lo masih nyenyak udah ada yng jemput.

“Biar seger,” balasnya dengan enteng. Sekali lagi dia menyuapkan roti isi yang dia buat. Tentu, dengan senang hati gue kunyah.

“Kalau ada resto yang udah buka, kita mampir dulu aja, ya. Roti gini satu berdua mana kenyang.”

“Ya, kenapa pake disuapin ke aku? Kan, bisa kamu makan sendiri, Kak.”

“Pokoknya sarapan dulu.”

Bisa apa gue selain menurut?

Butuh waktu sekitar satu jam lebih menuju tujuan kami berdua. Itu kalau jalanannya mulus. Namun, mengingat berangkatnya cukup pagi kayaknya bakal lancar-lancar aja.

“Warung nasi gitu mau gak? Deket sini ada kalau gak salah, yang 24 jam gitu.”

“Warteg?”

“Mirip, tapi tampilannya lebih wah. Masa aku bawa kamu ke warteg. Ke angkringan aja gak mau.”

Bibir dia langsung manyun dan gue sebisa mungkin tetap fokus.

“Ya udah, ayo ke sana aja. Aku udah laper,” katanya agak merengek sambil menyandarkan dirinya. Perutnya yang terbalut kaos merah muda itu ditepuk-tepuk. Percaya gak dia lebih tua 5 tahun dari gue?

Wkwk.

“Iya, ayo.”

Gue sama Kak Sana makan di tempat yang gue maksud tadi. Sebuah tempat makan yang cukup besar dengan gaya prasmanan. Untungnya menu ayamnya baru diperbarui dan nasinya juga anget, jadi dia gak kelihatan malas.

Kak Sana tuh udah biasa yang mewah, orang udah kaya dari lahir. Dia kadang suka maksain gaya hidup gue di kosan, tapi mentok-mentok tetep ada yang dia komenin.

“Minyaknya banyak banget, Dek.”

Tuh, kan.

“Gak lama dikeringinnya kali, Kak,” jawab gue satu gelas es teh padanya. “Mau yang lain?”

“Ini aja, tapi kulitnya buat kamu, ya?”

“Iyaa, pindahin aja ke piring aku.”

Sebenarnya penampilan kami sekarang gak menunjukkan mau jalan-jalan. Gue sama dia sama-sama pake kaos, mana gue pake celana pendek pula.

Kami gak biasa makan sambil diem. Ada aja yang diceritain. Entah itu dari gue atau dia.

“Nanti Senin aku padet banget tahu, kayaknya bakal lama bales.”

Sebuah kode yang dapat langsung gue pahami. “Kalau malemnya?”

“Bisa.”

Oke.

“Tapi mulai Senin aku bakal full, Kak. Mau nabung buat beli laptop baru, sebentar lagi juga keluar jadi aku mau manfaatin waktu aja,” jawab gue jujur.

Kak Sana melirik ke arah gue. “Tutupnya jam berapa, sih?”

“Jam 10, tapi karena ada beres-beresnya. Mungkin aku sampai rumah jam 11-an.”

Dia mengangguk paham. “Ya udah, komunikasinya pas lunch.

“Oke. Eh, Kak, mau nanya.”

“Tanya aja.”

Gue diem dulu, mikir ulang. Takutnya malah sisa perjalanan ini dihabiskan dengan mood yang jelek. Tapi daripada penasaran pada akhirnya gue tanya, “Cowok yang waktu itu kabarnya gimana?”

Kak Sana yang semula lagi sibuk ngemilin yupi langsung diem. Aduh, kayaknya gue salah nanya.

“Dia gitu aja.”

“Gitu gimana? Udah gak dijodoh-jodohin lagi, 'kan?”

Dia menyandarkan kepalanya pada bahu gue. Ini mah sambil ngebujuk supaya gue gak ngambek.

“Iya, udah enggak.”

“Terus gimana?”

“Dia sempat ... apa, ya, kesel? Pas tahu kalau aku pacarnya kamu. Kemarin waktu aku nyelametin kamu pertama kali juga dia bales judes gitu, deh.”

Bentar, kok lawak, ya?

“Dia kesel karena kalah sama brondong?”

Kak Sana ngangguk. “Kayaknya, sih, gitu.”

Gue gak bisa buat gak ketawa, lalu ikut menyandarkan kepala gue di atas kepalanya. Kak Sana lanjut ngemilin makanan kenyalnya itu.

Sekali-kali kayak gini di tempat umum gak papa kali, ya? Toh tempat makannya juga belum begitu rame.

Mari kita nikmatin aja.


Gue sama dia gak sekamar, kok, beda lantai pula. Ini udah sore dan gue yang baru selesai mandi diminta untuk jadi fotografer dadakannya. Kayaknya ini udah jadi kebiasaan kami semenjak pacaran dah.

Beda dengan tadi pagi, Kak Sana tampak lebih modis sekarang. Dia pakai kemeja yang tak dikancing dengan dalaman berwarna putih. Dia pakai celana jeans dan di kepalanya ada topi beret berwarna cokelat.

Dia juga sempat main sama anjing yang dibawa pengunjung lain. Gue cuma senyum-senyum lihatnya dan jaga jarak karena juju gue gak berani sama anjing yang gede gitu.

Selesai main sama anjing, gue menarik tangannya untuk mendekat ke arah pantai. Dia awalnya menolak, tapi gue malah bersenandung dan itu membuat dia tertawa geli.

Baby, I'm dancing in the dark.

Angin meniupi kami. Turut menggoda agar perasaan bahagia ini semakin kencang keluar.

With you between my arms. Barefoot on the grass.

Gue menarik tangannya, menciptakan jarak antara kami berdua sebelum membiarkan tubuhnya untuk berputar mendekati gue. Lalu memerangkapnya dalam sebuah pelukan.”

Listening to our favourite song.

Tawanya terdengar lagi setelah gue mengikuti gerakannya barusan. Dia menepuk perut gue sebagai pelampiasan dan gue ikut tertawa karena itu.

When you said you looked a mess. I whispered underneath my breath. But you heard it.

Dagu beristirahat di atas pundak. Hidung menemui aroma kesukaannya. Tangan memeluk pinggang yang terasa pas. Sempitnya jarak yang membuat kami kebal dengan rasa dingin yang ada.

Darling, you look perfect tonight.

Gue mencuri satu kecupan di pipinya dan dia sekali lagi mengeluarkan tawa indahnya. Sumpah ... cantik, cantik banget.

Tuhan lagi senang pas nyiptain Kak Sana. Gue beruntung bisa merengkuh tubuhnya. Rasanya gue ingin menjadi angkuh setiap mengaku kalau dia adalah milik gue. Dia memberi gue cinta, membawa kebahagiaan, dan hangat yang entah kapan hilangnya.

“Hahaha, ngapain, sih?”

“Biar romantis, Kak. Dansa di pantai.”

“Lagunya tonight, tapi ini belum malem.”

Kami tertawa bersama lagi.

Selesai dengan itu, kami kemudian membeli kelapa. Belum lengkap rasanya kalau ke pantai gak minum itu dan makan seafood. Makannya nanti malem bareng yang lain, jadi sekarang minum dulu sambil lihat lautan yang nampak biru. Makin indah dibalut cahaya jingga dari langit sore.

“Cantik, dah,” kata gue sambil menyampirkan rambutnya ke telinga. Kalian harus percaya kalau itu adalah salah satu kalimat paling jujur yang pernah gue ucapin seumur hidup.

“Apaan, sih?”

Baiklah, tampaknya beliau sedang gengsi untuk dipuji.

Gue cuma ketawa, merasa gemas dengan reaksi yang dia tunjukkan. Kali ini kami lebih banyak diem, benar-benar mau menikmati waktu. Entah kapan lagi bisa ke sini, terlebih kalau udah gue kerja nanti.

Dia gak menuntut, tapi gue tahu gue perlu buru-buru.

“Kak.”

“Hm?”

“Makasih, ya.”

Kak Sana menatap gue dengan bingung. “Makasih kenapa?”

“Udah mau mengunjungi duniaku, juga berkenan buat bawa aku ke dunianya Kakak.”

Dia senyum. Es kelapa yang ada di tangan gue kalah manis.

“Ya udah, aku juga makasih kalau gitu.”

Kak Sana lagi-lagi nyenderin kepalanya setelah nyimpen minumannya di atas meja, kayaknya ini emang posisi favorit beliau. Tangannya mengajak tangan gue untuk saling bertautan, sesekali akan dia mainin.

“Seneng gak diajak ke sini?”

“Seneng, Dek.”

“Masih mau sama aku?”

Gue bisa merasakan dia mengangguk. “Masih.”

“Sip.”

Dia ketawa, merasa terhibur dengan balasan gue barusan. Gue juga ikut tertawa. Tawa kami di hari itu berpadu. Layaknya lagu favorit, gue gak akan pernah bosen dengerinnya.

Mungkin, emang masih perlu jalanan panjang supaya bisa nemu tujuan yang sama. Gue merasa gak keberatan sama sekali untuk memperjuangkan hal itu.

Gue tahu jalanannya gak akan mulus. Gue juga tahu kalau ini bukan hal yang mudah. Namun, sekarang gue gak lagi melangkah sendirian. Ada sepasang kaki lain yang juga turut mengejar tujuan itu.

Sekarang, baik gue atau Kak Sana sama-sama berjuang.