! image
! image
! image
“Harus, ya, kayak gini?” tanya June ketika Tzuyu membungkus dirinya dengan selimut.
Perempuan berambut pirang sebahu itu mengangguk. “Harus, yang penting telinga sama ekor kamu gak kelihatan.”
June sebenarnya bingung karena tiba-tiba diajak keluar. Saat Tzuyu kerja saja dan dia ingin ikut, perempuan itu tidak memperbolehkannya. Lalu, kenapa sekarang ketika June ada dalam wujud setengah binatangnya Tzuyu ingin membawanya keluar?
“Kita mau ke mana?” tanya June sekali lagi.
“Ke lantai atas, ke tempat teman. Aku, 'kan, tadi udah bilang?”
Tzuyu tersenyum puas ketika tubuh June sudah terbungkus oleh selimut tipis miliknya. Unit Eunha hanya berjarak satu lantai, tapi mengingat sekarang adalah waktu kebanyakan penghuni di sini pulang. Jadi, Tzuyu harus memastikan kalau ekor dan telinga June tertutupi.
“Teman siapa? Temanku cuma Juju.”
“Iya? Sebelum ke sini kamu punya temen, 'kan?”
June memiringkan kepalanya. “Siapa?”
Tzuyu meringis tanpa sadar karena walau sudah terbungkus masih terlihat jelas kalau laki-laki itu menggoyangkan ekornya. “Kamu selama di luar jangan gerakin ekor sama telinga, oke? Soal temen, nanti lihat sendiri aja.”
“Kenapa gak boleh gerak?”
“Kalau gerak berarti nanti kamu gak dirawat sama aku lagi.” Ucapan Tzuyu itu langsung membuat June berdiri dengan kaku. Ekornya yang semula bergerak aktif kini berhenti bagai patung.
Tzuyu meraih tangan June. “Udah, ayo ke sana. Kalau udah sampe, selimutnya aku buka lagi nanti. Sekarang nurut apa kataku aja, oke?”
Wajah Ochi yang makin terlihat membulat kala Sana mempererat tali hoodie yang dikenakannya kini menunjukkan raut bingung. Sebenarnya sedari tadi juga dia sudah begitu, tapi ketika mereka berhenti di depan sebuah pintu ia terlihat seperti orang linglung.
“Ini siapa?”
Sana menatapnya bingung. “Siapa apanya?”
Ochi menunjuk pintu berwarna putih itu. “Ini.”
“Oh ... punya Eunha. Kita mau main di sini, tapi kenapa gak dibuka-buka, ya?” Sana kembali menekan bel. Ini sudah lumayan lama sejak kaki mereka berhenti melangkah, tapi pintu itu tak kunjung dibuka.
Ochi mengambil langkah mundur, lalu mendekat pada Sana. Tangannya melingkari pinggang perempuan itu, memeluknya.
“Shasha,” panggilnya terdengar takut. “Mau buang aku di sini, ya?”
“Enggak, Ochi. Kita mau main di sini.”
Sebenarnya, Sana merasa malu dipeluk dari belakang seperti sekarang. Jika ini di dalam ia tak begitu masalah, tapi kalau di luar Sana takut ada yang melihat.
“Kak Sana!” Suara Tzuyu itu membuat Sana menoleh ke belakang.
Tzuyu berlari kecil mendekat ke arahnya, June yang tangannya sedang dipegang oleh Tzuyu mau tak mau ikut berlari. June terlihat kerepotan dengan selimut yang menutupi tubuhnya.
“Beneran pake selimut,” celetuk Sana tak percaya kalau Tzuyu akan menuruti perkataan Eunha. Tzuyu cuma tertawa sebagai tanggapan.
Ochi dan June kini saling bertatapan.
Kedipan pertama, masih diam.
Kedipan kedua, Sana dapat merasakan tubuh Ochi yang merapat padanya dan Tzuyu dapat mendengar suara geraman dari June.
Kedipan ketiga, lumayan kacau.
Ochi memanjat pada tubuh Sana dan menempel layaknya koala. Sana sempat kewalahan, tapi pada akhirnya walau berat ia bisa menjaga keseimbangan agar mereka berdua tidak terjatuh. Di sisi lain, selimut June terlepas disusul dengan telinga dan ekornya yang menegak dengan bulu-bulu yang berdiri. Tzuyu buru-buru menutupi kembali tubuh itu dengan selimut, tapi June malah melemparnya ke sembarang arah.
Kedua perempuan itu meneriakkan nama kucing masing-masing hampir secara bersamaan. Namun, June dan Ochi malah saling melempar geraman setelahnya.
“Ini ... kenapa?” tanya Jennie yang baru datang. Ia sebenarnya hampir tak bisa berkata-kata melihat bagaimana pemandangan di depan tempat tinggal Eunha saat ini.
Wonu di belakangnya tampak tak minat. Laki-laki itu kemudian bergumam, “Gitu lagi.”
Jennie menoleh ke arahnya. “Lagi?”
“Mereka suka berisik.”
Perkataan Wonu barusan tak membantu Jennie sama sekali untuk memahami apa yang sedang terjadi.
“Berisik gimana, Wonu?”
“Ochi, turun, dong! Berat tahu.”
“June, pake selimutnya! Aku takut ada yang lihat. Astaga!”
“Sorry, lama.”
Jennie, Sana, dan Tzuyu kompak melihat ke arah pintu yang entah sejak kapan sudah terbuka. Ada Eunha dengan rambut yang terlihat acak-acakan dan napas yang terengah.
“Gue harus ngebangunin, nih, kucing satu dulu.”
Ketiganya menunduk mengikuti arah telunjuk Eunha. Tangan kanan Eunha sedang memegangi kerah belakang Uji yang terduduk membelakangi mereka. Eunha yang terlihat lelah, Uji yang terlihat pasrah, dan tampilan keduanya yang acak-acakan. Membuat mereka yakin kalau Eunha menyeret kucingnya sampai ke sini.
Belum apa-apa, sudah sekacau ini.
Mereka berempat duduk melingkar di lantai dengan masing-masing yang mendapat sepotong salmon panggang yang sengaja Jennie bawa. Keempatnya memakan makanan masing-masing tanpa kata, tapi ekor tak diam karena antusias dengan makanan masing-masing.
Ada jarak antara June dan Ochi setelah keduanya dipaksa oleh Tzuyu dan Sana untuk duduk bersebelahan. Uji dan Wonu yang pada awalnya malas-malasan, setelah diberi salmon seperti diberi alasan untuk bertahan.
Sementara para pemilik mengamati dari sofa sambil memakan cemilan yang Eunha sediakan.
“Encok gak?” tanya Eunha pada Sana. Yang ditanya menggeleng. “Enggak, kok.”
“Aneh, padahal tadi lo ngegendong makhluk segede itu.” Eunha menunjuk Ochi dengan dagunya.
Sana terkekeh. “Cuma sebentar.”
“Tadi June sampai berdiri gitu, mereka kenapa, ya, Kak?” tanya Tzuyu ikut bergabung dengan pembicaraan yang terjadi.
Eunha mengendikkan bahunya. “Mungkin mereka pernah rebutan ikan asin.”
“Ngaco,” balas Jennie. “Tadi lo cakar-cakaran dulu sama Uji?”
“Gitu, deh. Dia kalau lagi tidur dibangunin, suka jadi monster. Sekali dua kali gak papa, tapi dia kerjaannya tidur terus.”
“Turut bersuka cita,” celetuk Tzuyu dengan nada meledek. Eunha langsung menatapnya jengah.
Sana yang tak ingin mendengar perdebatan kedua orang itu langsung bertanya, “Terus kalau udah makan, kita mau suruh mereka ngapain?”
Pertanyaannya itu tak langsung mendapat jawaban. Keempatnya sama-sama berpikir tentang apa yang akan dilanjutkan selanjutnya.
“Kita suruh mereka mewarnai aja gimana? Gue ada alat sama gambarnya, soalnya gue suka iseng nge-print gambar gue yang belum diwarnain,” usul Eunha sambil menatap ketiganya bergantian.
“Kayak anak TK,” balas Tzuyu tanpa ekspresi. Eunha memutar bola matanya malas. “Ya, kita bilang ada hadiah aja buat yang paling bagus. Siapa tahu pas ngewarnain mereka ngobrol tentang masa lalu?”
“Boleh, deh,” ucap Jennie.
“Lo gimana?” tanya Eunha pada Sana.
Sana mengangguk. “Hadiahnya nanti dari gue aja.”
Puas hanya dengan dua suara, Eunha langsung berdiri untuk mengambil barang-barang yang tadi sempat ia sebutkan.
“Aku, kok, gak ditanya?” protes Tzuyu.
“Lo gak setuju pun udah kalah suara!” sahut Eunha tanpa melihat ke belakang.
Tzuyu mendengus dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Padahal aku juga setuju, dasar nyebelin!”
“Debat mulu lo berdua,” kata Jennie.
Saat Eunha kembali, piring yang semula terisi salmon itu kini sudah kosong. Sana berinisiatif mengumpulkan bekas mereka.
“Jangan lupa minum, ya,” ucap Sana.
“Makasih, Shasha!” sahut Ochi dengan antusias. Untuk sejenak, ia melupakan siapa yang ada di sebelahnya.
“Habis ini mewarnai, oke? Nanti yang bagus bakal dikasih hadiah,” ucap Eunha seraya memberikan masing-masing selembar kertas dengan buku sebagai alas.
Eunha juga meletakkan pensil warna yang berjumlah 24 buah itu di tengah-tengah June, Ochi, Wonu, dan Uji. “Pensil warnanya harus berbagi, yang rebutan sampai berantem nanti disimpen di tong sampah.”
“Hadiahnya apa?” tanya Wonu.
“Yang enak dan bikin kenyang,” sahut Sana.
Mendengar kata enak dan kenyang, membuat keempatnya yakin kalau yang dimaksud adalah makanan. Jika berhadapan dengan makanan, mereka akan selalu menjadi antusias.
Sebenarnya agak lucu melihat orang-orang bertubuh besar itu mewarnai gambar layaknya anak TK. Sesekali ada perdebatan kecil akibat ingin memakai pensil warna yang sama, tapi tak ada pertengkaran karena tak ingin dibuang ke tong sampah.
Eunha memberikan gambar tokoh komiknya yang belum sempat diberi detail. June memilih warna yang cukup beragam, Ochi didominasi oleh jingga dan hitam, Wonu kebanyakan menggunakan warna biru, dan Uji yang asal memilih. Jelmaan kucing putih itu meyakini kalau rapih ia akan menang, pilihan warna bukan masalah.
“Dulu kita gambar,” celetuk Uji membuat keempat perempuan yang sedari tadi diam itu sama-sama menajamkan pendengaran.
“Wonu nulis,” sahut Wonu.
“Terus jalan-jalan, naik mobil besar biru.” June yang mengatakan ini.
“Pas minum, bobo, deh,” ucap Ochi. Ia memiringkan kepalanya. “Terus udah itu apa lagi?”
Tiga lawan bicaranya terdiam, berusaha mengingat apa yang Ochi maksud.
“Wonu lupa,” balas Wonu.
“June juga,” sahut June sambil meniru gaya bicara Wonu.
Uji menyentuh ekornya sendiri. “Ada ini.”
Genera Colorum.
Nama itu lama-lama menjadi akrab di telinga. Nama dari toko unik yang terpencar di beberapa daerah. Keunikannya adalah dari jam buka di malam hari, di mana biasanya toko akan tutup. Belum lagi dengan para pegawainya yang memiliki warna rambut berbeda-beda.
Teman-temanmu selalu membicarakan toko itu akhir-akhir ini. Mereka belum berani untuk pergi ke sana karena toko itu hanya bisa dikunjungi saat malam. Namun, kabar tentang para pegawainya yang memiliki visual menarik membuat mereka berniat untuk nekat malam ini.
Kamu yang awalnya tidak tertarik, jadi terpaksa untuk ikut serta. Di sini lah kamu berada, di depan sebuah toko yang masih tutup karena langit masih menunjukkan jingganya.
Kamu melihat ke sekitar, sudah cukup banyak orang yang menunggu. Kamu berjinjit guna melihat lebih jelas tulisan yang ada di depan pintu.
“Genera Colorum,” ucapmu dengan pelan. “Silahkan datang bersama gelap dan ikut pulang bersamanya ....”
Kamu terdiam memikirkan apa maksud dari kalimat itu. Namun, belum sempat menyimpulkan, langit sudah menggelap. Bersamaan dengan perubahan warna itu, pintu yang sedari tadi tertutup dibuka dengan perlahan.
Dari sana, muncul dua orang laki-laki dengan warna rambut yang mencolok. Yang satu berwarna abu-abu dan yang satu lagi berwarna ungu.
“Selamat datang di Genera Colorum,” sambut si ungu yang tampak lebih menarik dari rekannya. Hal itu terbukti karena beberapa pengunjung menunjukkan raut kagum mereka.
“Saya Wonwoo dan saya mungkin bisa menarik perhatian kalian. Saya juga mungkin bisa membuat kalian sendirian.”
Perkataan Wonwoo barusan membuat kamu menahan napas tanpa sadar. Itu terdengar seperti ancaman, tapi kamu tidak bisa mengalihkan pandanganmu darinya.
“Saya Soonyoung,” ucap laki-laki satunya. “Sesuai kebiasaan kami dan ciri khas toko ini, kita akan bermain dulu sebelum masuk. Permainannya hanya tebak-tebakan. Siapa cepat, dia dapat. Siapa benar, dia dengar.”
Soonyoung memberikan senyuman tipis. “Bisa kita mulai?”
“Bisa!”
Jawaban serentak yang terdengar begitu antusias itu membuat senyuman Soonyoung semakin melebar. Wonwoo yang di sebelahnya hanya diam mengamati.
“Baiklah, yang pertama. Aku memiliki banyak warna dan aku bisa berubah. Ketika ditutup, aku akan berubah menjadi tongkat. Ketika dibuka, aku akan berubah menjadi tenda. Jadi, aku siapa?”
Ada jeda cukup lama setelah Soonyoung mengatakan itu. Soonyoung kembali berkata, “Tidak ada yang bisa menjawab?”
“Ganti saja, itu sulit!” sahut seseorang yang berdiri cukup ujung. Soonyoung dan Wonwoo melihat ke arahnya secara bersamaan.
Soonyoung memiringkan kepalanya, memberikan tatapan meremehkan. “Sulit? Itu bahkan semudah membuatmu pergi dari sini.”
Tak lama dari ucapannya, sosok yang mengajukan protes tadi berbalik. Ia tiba-tiba berlari dari sana, ada teriakan tidak jelas yang ia keluarkan. Namun, kamu bisa menangkap kalau dia berkata, “Hey! A-aku tak bisa mengendalikan tubuhku.”
“Lupakan dia.” Secara ajaib, para pengunjung kembali memberikan perhatiannya pada Wonwoo.
“Ada yang bisa menjawab atau kalian tidak ingin masuk ke dalam?” tanya Soonyoung sekali lagi.
Kamu dengan sedikit ragu mengangkat tangan. Soonyoung dan Wonwoo sama-sama menatapmu sekarang, begitu juga dengan pengunjung lain.
“Apa jawabannya, manis?”
“Payung.”
Soonyoung tersenyum puas. “Betul. Aku tidak pernah mengajukan pertanyaan sulit, kalian saja yang tidak mau mendengar.”
Wonwoo dan Soonyoung kompak memiringkan badannya, menciptakan ruang agar kamu bisa memasuki toko itu.
“Silahkan masuk dan pergunakan telingamu dengan baik,” bisik Wonwoo ketika kamu melewatinya.
Kamu menelan ludah gugup. Berharap kalau di dalam sana tak ada hal aneh lain.
Kesan pertama yang kamu dapatkan dari toko itu adalah colorful. Setiap lorong memiliki barang-barang dengan warna yang berbeda.
Matamu yang masih sehat membuat kamu bisa membaca siapa nama dua laki-laki berambut pirang yang berdiri di dekat lorong kuning. “Jun dan Joshua?”
“Ya? Apakah Anda mau melihat barang-barang kami?” sahut yang bernama Jun.
“Di sini banyak yang menarik dan bisa membuatmu bahagia. Namun, berubah bukan hal yang membahagiakan.” Ucapan Joshua itu membuat kamu menggeleng seketika.
“Ah tidak, saya hanya ingin melihat sekilas saja.”
“Baiklah, silahkan datangi lorong yang lain.”
Di sebelah lorong kuning, ada lorong cokelat yang dijaga oleh dua orang bernama Seokmin dan Vernon. Mereka juga menyapa dirimu seperti yang dilakukan oleh Jun dan Joshua. Melihat di lorong itu lebih banyak barang dibanding makanan, kamu pun memilih untuk mengunjungi lorong yang lain.
Kamu memasuki lorong biru, tak ada pegawai seperti dua lorong sebelumnya. Kamu melihat ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang. Namun, tampaknya lorong ini memang tidak dijaga.
Kamu sedikit membungkuk untuk melihat lebih jelas pada jajaran cupcake dengan krim biru yang terlihat menggiurkan. Saking fokusnya, kamu tidak menyadari kalau ada seseorang yang berdiri di sebelahmu.
“Hai, saya Seungkwan. Penjaga di lorong ini. Bukankah di sini begitu menenangkan?”
Kamu terlonjak kaget dan spontan membuat jarak antara dirimu dan laki-laki tadi. Seungkwan juga menunjukkan raut terkejutnya.
“Ah, maaf mengejutkanmu. Jangan lupa untuk bernapas.”
Seungkwan memperagakan bagaimana mengambil napas, itu membuatmu tertawa karena merasa lucu. Seungkwan ikut tertawa dan kamu kembali merasa tenang ada di sini.
“Di sana ada Chan dan Minghao, rekanku di lorong ini.” Seungkwan menunjuk ke belakang. Di sana ada dua orang lain yang juga sedang berbincang dengan pengunjung.
Rambut ketiganya sama-sama berwarna biru.
“Apakah semua pegawai di sini harus mewarnai rambut mereka sesuai dengan lorong di mana mereka berada?”
“Begitulah.” Seungkwan mengendikkan bahunya. “Kamu mau beli cupcake ini?”
Kamu kembali melihat pada kue itu. “Iya, apakah rasanya enak?”
“Sangat enak, blueberry di atasnya menambah kesan tersendiri saat memakannya.”
Kamu mengambil sebanyak dua buah, lalu menatap pada Seungkwan. “Aku akan membeli ini, terima kasih.”
“Kembali kasih, di lorong merah banyak yang menarik. Mungkin kamu bisa mengunjunginya dulu sebelum membayar ke kasir.”
Kamu mengangguk dan menuruti apa kata Seungkwan barusan. Berbeda dengan yang lain, di lorong merah tak hanya satu warna. Selain merah, ada warna merah muda juga di sana.
Satu orang-orang laki-laki berambut merah muda menghampirinya. Untuk beberapa detik, kamu terpesona olehnya.
“Selamat datang di lorong merah, saya Jeonghan,” ucap Jeonghan, dia lalu menunjuk pada dua laki-laki lain yang ada di ujung ruangan. Dua laki-laki itu memiliki rambut merah yang mencolok. “Mereka Jihoon dan Mingyu, penjaga di sini juga. Tapi, aku sarankan untuk tidak berinteraksi dengan mereka karena mereka menyebalkan.”
Kamu mengangguk, memilih untuk menurut. Jeonghan melirik pada cupcake yang ada di tanganmu. “Oh, kamu sudah membeli kue dari lorong biru.”
“A-ah iya, aku menyukai ini.”
Jeonghan kini berdiri di sebelahmu. “Kamu lihat laki-laki itu? Dia sering berkunjung ke sini dan dia juga menyukai cupcake.”
Kamu menatap pada laki-laki yang Jeonghan tunjuk. Laki-laki itu sedang melihat-lihat pada jajaran buku yang ada di sana.
“Dia tampan bukan? Coba sapa dia, dia tadi bilang padaku kalau ada seseorang yang menarik di lorong biru dan itu kamu! Lumayan, 'kan? Beli cupcake bonus kekasih.”
Kamu terdiam sebelum akhirnya melangkah mendekati laki-laki tersebut. Jeonghan di belakangmu diam-diam tersenyum.
“Hai,” sapamu.
Laki-laki itu melihat padamu. “Oh, hai.”
Kamu terdiam, merasa canggung dan malu di saat yang sama. “Aku dengar kamu suka cupcake.”
Laki-laki itu tersenyum dan menatapnya dalam. “Benar. Tapi aku lebih menyukaimu.”
Kamu bisa merasakan wajahmu memanas. “A-aku?”
“Iya, kamu.”
Setelah ucapannya barusan, kamu merasakan sesuatu melilit kakimu. Matamu membulat melihat sebuah tentakel yang entah datang dari mana. Kamu kembali melihat pada laki-laki tadi, tapi dia sudah berubah menjadi makhluk yang menyeramkan.
Mulutmu ditutup paksa agar tak bisa berteriak, sesaat setelah itu tubuhmu ditarik masuk ke sebuah ruangan yang entah sejak kapan ada di sana.
Ruangan itu menghilang dan laki-laki tadi kembali ada di sana. Jeonghan tersenyum puas saat Mingyu yang merasa tertarik kini ada di dekatnya.
“Malam ini kamu berburu cukup banyak,” ucap Mingyu.
“Hebat bukan?”
Kamu tak bisa bangkit, tubuhmu menempel dengan lantai yang dingin. Ada lebih dari lima orang di sana, mungkin lebih dari sepuluh. Kamu tak peduli, kamu hanya ingin keluar dari sana.
Kamu mendongak ketika ada tiga pasang kaki yang berhenti di depanmu. Ada Soonyoung yang menyambut pengunjung dengan teka-tekinya, lalu ada Jihoon yang kamu lihat di lorong merah tadi, dan ada seseorang berambut hitam yang kamu lihat di meja kasir sebelum menelusuri toko itu.
“Kak Seungcheol, ini terlalu banyak untuk kita,” ucap Jihoon.
“Tak apa, jadi kita bisa menutup toko ini untuk sebulan ke depan,” balas Soonyoung diakhiri dengan tawa yang menggelegar.
Seungcheol menghela napas. “Kita mengambil secukupnya saja, sisanya kita berikan pada kelompok lain yang tak mendapatkan buruan.”
Soonyoung berdecak. “Selalu saja kaku seperti itu.”
“Diam atau kamu mau aku masak bersama mereka?”
“Oh tentu saja tidak, Jihoonku sayang. Buat makanan yang enak, ya. Biasanya mereka yang ditangkap oleh Kak Jeonghan memiliki daging yang enak.”
Tunggu, apa?
Hoshi membenarkan topinya setelah berhasil mendapatkan sebuah kentang tornado. Ia mencari keberadaan Woozi dan mendapati temannya itu masih mengantri.
Di pasar malam ini, cuacanya cukup mendukung. Hoshi sendiri sudah melepaskan kemejanya dan membiarkan benda itu menggantung di lehernya.
Dia mencicipi makanan yang baru saja ia beli. Memutuskan untuk tetap berdiri di sana sembari menunggu Woozi. Saking asiknya menikmati kentang yang ada di tangannya, Hoshi tidak sigap ketika seorang perempuan yang tengah berlari sambil melihat ke belakang itu akan menabraknya.
“Duh! Hati-hati, dong!” protes Hoshi sembari berbalik.
Perempuan dengan napas terengah itu menundukkan kepalanya, berusaha menetralkan napasnya lagi.
“Ma-maaf ... aku gak bermaksud.”
Hoshi mengerjapkan matanya begitu melihat penampilan perempuan itu. Apa yang Hoshi pakai, hampir semuanya dipakai juga oleh perempuan itu. Mulai dari topi berwarna hitam, kemeja dengan warna yang hampir sana, dalaman berwarna putih, celana jeans, bahkan kaki mereka pun ditutupi oleh sepatu putih.
Heran karena laki-laki di depannya tak berbicara lagi, ia mendongakkan kepalanya. Ketika mata keduanya bertemu, ada rasa tersengat di lengan kanan atas masing-masing. Tempat di mana tato yang baru keduanya dapatkan semalam berada.
Mereka refleks memegangi lengan masing-masing. Mata keduanya membulat karena gerakan tubuh yang kompak barusan.
“Kamu ... Sana—”
“Ssst, ayo pindah. Jangan bicara di sini!” potong Sana sambil menarik tangan Hoshi. Laki-laki Gemini itu tak sempat membalas, membiarkan dirinya mengikuti Sana ke mana pun perempuan itu mau.
Kentang tornado di tangan Hoshi tak begitu menarik lagi ketika ia sudah memastikan kalau perempuan ini adalah Sana. Tadi ia sempat mengabari Woozi untuk tak menunggunya karena Sana membawanya ke sebuah restoran dan kini mereka duduk di private room.
Topi dan masker yang semula sangat mereka butuhkan jika ada di luar, kini sudah tak begitu dibutuhkan. Setidaknya selama mereka masih ada di sini.
Hoshi melepaskan kentang tornado di tangannya, tak peduli kalau makanan itu akan terjatuh. Sana yang melihatnya malah meringis karena masih banyak tersisa.
“Ini beneran Sana Twice? Bukan hasil operasi biar mirip dia, 'kan?” tanya Hoshi masih dengan raut tak percayanya.
“Ini beneran aku, Hosh—”
“Soonyoung.”
“Hah?”
“Kita lagi gak kerja, jadi aku lebih nyaman dipanggil pakai nama asliku. Terus gak usah formal-formal, karena kita bisa dibilang udah kenal cukup lama,” papar Hoshi diakhiri dengan sebuah tawa yang canggung.
Sana mengangguk paham. “Aku beneran Sana, kok. Bukan seseorang yang nyamar jadi dia.”
Hoshi mengusap leher belakangnya. “Aneh ... kenapa baru sekarang?”
“Aku juga bingung,” ucap Sana. “Padahal kita pernah interview bareng, 'kan? Terus beberapa kali juga ketemu karena jadwal comeback yang hampir selalu bareng, belum kalau ada acara akhir tahun.”
“Aku boleh lihat tatonya? Siapa tahu tadi kayak gitu karena soulmate yang asli ada di sekitar kita?*
Sana meringis, tadi saat menarik Hoshi ia juga sempat berpikir seperti itu. Namun, ketika menyadari kalau tatonya adalah harimau dan orang yang di hadapannya adalah Hoshi. Sosok yang sering menyangkut pautkan dirinya dengan hewan itu membuat Sana tetap menarik Hoshi hingga ke tempat ini.
“Tatoku harimau.” Sana menaikkan sebelah lengan kemejanya. “Sama kayak punya kamu?”
Hoshi menatap gambar harimau yang tengah terduduk itu lekat sebelum mengangguk. Ia melepaskan kemeja yang menggantung dan memindahkannya pada pangkuannya. Hoshi sedikit menyingkap bagian atas kaos tanpa lengan yang ia gunakan guna memperlihatkan tatonya yang ada di pundak kirinya.
“Sama.”
Sana mengerjapkan matanya melihat tato itu, sama persis dengan yang ada di lengannya. Matanya kemudian mengikuti gerak jari Hoshi yang berhenti di lengan kanannya, menunjuk pada tato hamster di sana.
“Ini juga sama?”
“Sama,” ucap Sana. Ia hendak sedikit menyingkap atasanya menunjukkan tato yang sama yang berada di perutnya. Namun, Hoshi langsung menghentikannya.
“Gak papa, gak usah kasih aku lihat kalau di situ. Aku percaya.”
Hoshi kembali memakai kemejanya. Agak canggung memakai atasan tanpa lengan dengan seorang perempuan di hadapannya.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Hoshi menatap pada Sana penuh arti.
“Aku boleh minta kontak kamu? Kita mau gak mau harus sering berkomunikasi mulai sekarang.”
Hoshi mengambil jeda sejenak. Merasa malu dengan kalimat yang selanjutnya akan ia katakan.
“K-kita soulmate sekarang. Kita bisa mencoba untuk menerima hubungan ini secara bersama-sama.”
Hanan bukan tipe orang yang mau melibatkan dirinya dalam setiap hal. Terlebih semenjak perceraian kedua orang tuanya terjadi. Namun, ketika keinginan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan dirinya ada di keluarga yang perlu usaha lebih untuk mewujudkan keinginannya. Hanan berusaha membuat dirinya sendiri aktif.
Ikut organisasi, aktif berinteraksi ketika di kelas, merubah dirinya menjadi sedikit menyenangkan, dan menjual sesuatu sebagai tambahan. Harusnya, jika mau Hanan bisa mengejar kuliah tahun ini, tapi mungkin itu bisa membuatnya kewalahan. Jadi, Hanan memutuskan untuk menundanya.
Hanan terlalu fokus dengan sifatnya, hingga sedikit abai dengan pembelajaran yang ada. Itu yang membuatnya kewalahan. Hanan kurang percaya diri dengan kemampuannya yang sekarang.
“Hanan cuma bisa bawa ini,” ucap Hanan terdengar canggung sambil menyerahkan satu kantong plastik hitam pada ibunya.
“Gak papa, makasih banyak, Hanan. Ayo masuk dulu.”
Langkah Hanan tertahan, tak memberi tanggapan atas ajakan ibunya.
“Nan?”
“Dia ... ada?” tanya Hanan, padahal jawabannya sudah jelas dengan keberadaan sandal dan motor di depan rumah baru ibunya.
“Ada.”
“Hanan gak mampir dulu, ya, Bu. Maaf,” ucap Hanan dan ibunya tak membalas lagi. Ia mengangguk walau berat hati. Setidaknya, Hanan sudah sudi untuk menemuinya.
Hanan memberi salam pada ibunya. Ketika punggung tangan perempuan itu menjauh dari keningnya, Hanan menahan agar tangan mereka tetap saling menggenggam.
“Waktu ibu pergi, Hanan gak nangis. Jadi, pas Hanan pergi ibu juga jangan nangis, oke?”
Ibunya menggeleng. “Memang Hanan mau ke mana?”
“Maksudnya kalau Hanan balik ke Cimahi, jangan sedih-sedih lagi, ya. Ibu harusnya seneng sama rumah ibu yang sekarang. Ibu ninggalin Hanan sama bapak, karena gak seneng di sana, 'kan?”
“Ih, Hanan!” Rengekkan itu berasal dari Elina yang pipinya baru saja dicolek oleh jari Hanan yang sengaja ia lumuri dengan es krim.
Hanan tertawa kecil. “Maaf, ini pake ini.”
Hanan menyerahkan bungkus tisu yang tersisa sedikit lagi. Bungkus yang selalu ada dalam saku jaketnya.
Elina menerimanya dan membersihkan pipinya. “Tumben kamu nyimpen ginian, Nan.”
“Iya, kemarin lagi butuh soalnya.”
“Pilek?”
“Gitu, deh.”
Elina tak membalas lagi, perempuan itu membuang bekas tisunya ke tong sampah yang ada di dekat mereka lalu kembali menikmati es krim yang ada di tangannya. Keduanya kini sama-sama memandang ke arah depan.
“Dipikir lucu juga, ya, Lin?”
Elina menoleh dengan wajah bingungnya karena ucapan Hanan yang tiba-tiba itu. “Apa?”
“Ya, lucu. Waktu kecil kita mengharapnya bisa jadi orang gede. Tapi, pas udah gede, kita malah merasa kecil.”
Hanan mengaduk es krimnya dengan asal. “Waktu kecil kita berharap banyak,terlebih soal mimpi-mimpi kita. Gak ada yang salah sama mimpi. Tapi, ketika tahu kalau gak semua mimpi bisa diraih dengan mudah, sedihnya gak bisa bohong.”
Elina ikut memainkan sendok es krim miliknya. “Tapi, bukannya harus begitu? Kalau kita punya mimpi dan harapan, secara gak langsung kita punya tujuan yang jadi alasan buat bertahan di dunia ini.”
“Iya, memang harus begitu. Aku ngomongin ini biar ada topik obrolan aja,” balas Hanan diakhiri tawa khasnya. Elina ikut tertawa.
“Serius banget,” balas Elina.
“Ya masa aku bahas apa yang dipikirin kecoa kalau sama kita disiram pakai air?”
Elina tergelak seketika. Hanan yang melihat itu mengukir sebuah senyuman lagi.
“Lin, boleh gak kalau rambutnya aku pegang?”
“Eh?” Elina menjadi salah tingkah. Dia mengangguk dengan kaku dan berkata, “Bo-boleh, kok.”
Tangan Hanan yang tak memegang es krim bergerak untuk menyampirkan rambut Elina ke telinganya. Itu sukses membuat Elina membeku seketika padahal es krimnya sudah tak sedingin tadi lagi.
Hanan menatap Elina dan senyum itu muncul lagi. Wajah mereka yang cukup dekat, membuat Hanan sadar akan keberadaan rona merah di pipinya.
“Lin, makasih banyak karena udah bertahan sampai sekarang, ya? You're good enough. Jadi, jatah mikir buruknya mulai dikurangi, oke?”
Elina mengangguk.
“Hanan—”
“Jaga diri juga jangan lupa. Gak selamanya kita bisa duduk sedekat ini, Lin. Entah kamu atau aku yang pergi nanti, yang jelas aku tahu kalau aku pernah kenal sama orang sekeren ini,” ucap Hanan sambil menatap Elina dengan lekat.
Elina terdiam. Keduanya kini saling menatap.
“Aku bersyukur bisa kenal orang sebaik kamu, Nan. Jangan ke mana-mana, ya?”
Elina terbiasa ada di tempat ramai, sempat menjadi anggota OSIS dan bekerja di tempat yang pegawainya mencapai puluhan tak membuatnya merasa asing. Elina mampu bergaul, tapi tak mampu untuk membuka diri. Jadi, apa yang ia tunjukkan pada yang lain tak benar-benar nyata.
Kecuali pada Hanan.
Tak ada yang tahu kalau Elina pindah karena diskriminasi dari keluarganya selain Hanan. Tak ada yang tahu apa alasan Elina menunda kuliahnya selain Hanan. Hanan mungkin terlalu banyak tahu tentangnya, tapi Elina tak bisa berhenti untuk tak bergantung pada laki-laki itu bahkan setelah mereka bekerja di daerah yang berbeda sekalipun.
Elina memang terbiasa dengan keramaian, tapi tidak jika keramaian itu terjadi di rumah. Elina merasa asing dan tertekan disaat yang sama.
Perempuan itu meremas ujung hoodie yang ia kenakan. Setelah menahan diri selama acara berlangsung, kini ia ditahan untuk tak pulang lebih dulu. Elina tidak terlalu bermasalah saat acara tadi karena semua orang tentu fokus pada hal itu. Namun, jika sudah selesai seperti ini, perasaannya menjadi tidak enak.
“Elina, kenapa gak kuliah?”
“Mau kerja dulu anaknya, padahal udah ada tabungan kalau mau kuliah tahun ini.”
Kedua tangan Elina saling meremas mendengar jawaban yang ibunya suarakan. Lidahnya menjadi kelu dan tanpa sadar dia menatap ke arah kakaknya yang sama sekali tak tersinggung dengan topik ini.
“Loh? Sayang sekali, Elina. Awas, loh, malah keasikan kerja.”
“Biarin aja, aku udah gak bisa ngasih tahu dia. Terserah dia mau jadi apa.”
Cukup.
“Enggak, Tante. Aku mau kuliah tahun ini, aku juga mau pakai tabungannya. Tapi, mama malah pakai tabungannya buat biayain nikah orang ini.”
Elina menunjuk pada Haikal tanpa keraguan.
“Dek, apa sih?!”
“Sekarang aku udah kerja, tapi uangku masih diminta buat biayain dia. Dia yang nikah pake uang kuliahku, masih minta uangku buat biayain hidupnya. Terus nanti playing victim, kayak apa yang mama bilang barusan ke kalian.”
“Eli—”
“Kak Haikal bahkan belum kerja sampai sekarang, tapi kenapa semuanya harus dibuat seolah aku yang salah? Aku udah biayain pernikahan dia, tapi kenapa masih aku yang harus dipojokin?”
Elina menatap pada ibunya dengan napas yang memburu. “Ma, aku juga anak mama. Sebentar aja akunya dikasih apresiasi, gak bisa, ya? Aku udah berusaha buat gak jadi beban kalian lagi.”
Hening. Suasana yang menjadi diam seketika membuat Elina tak bisa untuk tak menahan kakinya untuk tak pergi dari sana. masa bodoh dengan namanya yang diteriakkan secara bergantian, Elina tak ingin ada di sana.
“Kenapa kamu mau menulis?” tanya Hanan. Laki-laki itu tadi datang tanpa mengajukan pertanyaan sama sekali. Membawa Elina menjauh dari sana, membiarkannya melepaskan perasaan sedihnya.
Ketika tangisan Elina mulai mereda, barulah laki-laki itu mengajukan pertanyaan tadi.
“N-nulis?”
Hanan mengangguk seraya menghapus jejak air matanya. “Kamu, 'kan, udah banyak menulis cerita. Kenapa kamu mau buat semua itu?”
Ada jeda sebelum Elina menjawab, “Aku suka bercerita, tapi gak ada yang mendengarkan sebelum kamu datang. Jadi, aku menulis.”
Elina mulai menulis ketika temannya menyinggung tentang salah satu aplikasi dengan warna jingga yang sudah menjadi khasnya. Itu sekitar lima tahun yang lalu, ketika rok sekolah yang Elina kenakan baru berwarna biru.
Awalnya ia merasa antusias dalam menulis. Menyalurkan sembari isi pikiran dan perasaannya di sana. Kesedihannya, kesenangan, segalanya. Ia kemas dengan tokoh-tokoh baru tanpa memperdulikan tanggapan yang ia dapatkan.
Namun, ketika satu ceritanya mulai mendapat cukup banyak tanggapan. Elina tanpa sadar menjadi butuh hal itu hingga ia kewalahan.
Tanggapan dari pembacanya berhasil mengalihkan pikirannya dari apa yang terjadi di rumah. Lama-lama, ia menulis sebagai pelarian hingga ia bertemu dengan Hanan di kelas 8.
Elina mulai mengurangi porsi menulisnya karena sudah menemukan teman cerita yang nyata.
Hanan mengangguk paham. “Sekarang, mau cerita?”
Elina terdiam sebelum memberikan gelengan pada Hanan. “Enggak dulu, deh. Kamu juga kayaknya udah bisa nebak aku kenapa. Sekarang ayo cari buku aja.”
“Ya udah, ayo naik ke motor lagi,” tanya Hanan tanpa ingin memaksa.
Elina menuruti apa kata Hanan. Naik ke motor laki-laki itu setelah pemiliknya. Elina memegang ujung jaket yang Hanan kenakan, kepalanya maju ke depan, dagunya nyaris mengenai pundak yang lebih tua beberapa bulan darinya itu.
“Hanan, boleh, ya?”
Hanan awalnya diam, tapi ia mulai paham apa maksud Elina ketika perempuan itu memainkan bagian jaket yang ia pegang. Hanan mengangguk.
“Boleh.”
Selanjutnya, tangan Elina melingkari pinggang Hanan. Dagunya ia tumpukan pada pundak laki-laki itu.
“Hanan, makasih ... karena selalu ada.”
Hanan menyalakan mesin motornya tanpa kata. Dia mengelus sebentar tangan Elina yang ada di perutnya. “Berangkat, ya.”
“Iyaa.”
Jennie mengatur posisi ponselnya agar bisa dilihat dengan nyaman oleh penontonnya. Cahaya dan posisi sudah aman.
Perempuan itu kemudian merapikan poninya. Gerakannya kemudian terhenti mengingat permintaan pengikutnya untuk mengajak Wonu di live kali ini.
“Wonu, ke sini sebentar. Nanti aku masakin salmon buat kamu pas jadi manusia.”
Yang dipanggil dengan tawaran menggiurkan itu jelas langsung menghampiri Jennie. Kucing dengan bulu hitam itu mendekat lalu mengusakkan kepalanya pada paha Jennie.
Jennie menggendongnya. “Sapa followers aku, ya. Aku mau live.“
“Meow.”
Merasa kalau Wonwoo akan menurutinya, Jennie pun memulai live-nya. Jennie tersenyum lebar melihat satu per satu pengikutnya yang bergabung.
“Hello, guys. How are you?“
Jennie menggerakkan satu kaki depan Wonu, membuatnya seolah tengah melambaikan tangan. “Sekarang aku live-nya gak sendirian, tapi sama Wonu.”
“Halo teman-temannya Jennie,” ucap Jennie dengan suara yang diimut-imutkan. Wonu mengeong setelah itu. Ia lalu menjilati kakinya yang barusan dipegang oleh si pemilik.
Kehidupan Jennie beberapa tahun ke belakang tak pernah jauh dari kamera. Selain melakukan live untuk berinteraksi dengan pengikutnya. Jennie pun membuat konten rutin tentang kecantikan yang akan diunggah seminggu sekali di channel Youtube-nya. Terkadang ia juga akan mengunggah kesehariannya jika sedang kehabisan ide.
Sudah cukup banyak produk kecantikan yang Jennie review. Sudah cukup banyak pula yang memintanya agar mempromosikan suatu produk.
Jennie menikmati pekerjaannya. Walau terkadang ia akan berat karena selalu merasa diikuti. Jennie pun perlu memastikan kalau tips dan produk yang ia promosikan berguna untuk yang lain.
Setiap hari pemikirannya terus bekerja agar bisa membuat konten yang tidak membosankan.
Untungnya Jennie mempunyai lingkungan yang mendukung pekerjaannya. Orang tuanya membebaskan dirinya untuk melakukan apa pun selama itu bukan hal negatif. Teman-temannya pun selalu senantiasa diminta bantuan, Sana sebagai salah satu contohnya. Walau Jennie perlu membayarnya, tapi itu bukan masalah karena mereka saling menguntungkan.
“Live hari ini sampai di sini dulu, ya! See you next time!“
Paham kalau Jennie sudah selesai, Wonu pun memaksa turun dari gendongan. Kemudian pergi begitu saja.
Jennie menggeleng kecil. Dia sebenarnya tak menduga Wonu mau menemani sampai akhir. Tampaknya kucing itu memang sangat menyukai ikan yang Jennie janjikan.
Setelah sedikit membereskan barang-barang yang ia gunakan saat live tadi. Jennie langsung pergi ke dapur untuk memanggang salmon, memenuhi janjinya pada Wonu.
Untuk dirinya sendiri, Jennie lebih memilih untuk membuat pasta instan. Stoknya masih agak banyak di laci, jadi Jennie berpikir untuk memasak itu saja.
Mudah dan cukup mengenyangkan untuknya.
Wonu datang dengan pakaian yang tidak dikancingkan. Jennie mengernyit melihat itu.
“Aku, 'kan, udah ajarin gimana pakai ini kemarin,” ucap Jennie seraya mengancingkan piyama yang Wonu kenakan.
“Wonu lupa.”
“Kalau lupa gak usah pake ini. 'Kan, masih ada yang lain.”
“Wonu mau makan,” jawab Wonu dengan mata yang melirik ke arah meja makan.
Jennie menggeleng karena Wonu terkesan mengalihkan pembicaraan. Jennie kemudian berjalan mendahului Wonu dan laki-laki itu mengikutinya.
“Itu apa?” tanya Wonu sambil menunjuk isi piring Jennie. Padahal mulutnya sedang penuh, untung Jennie masih bisa menangkap itu dengan jelas.
“Ini namanya pasta. Kamu mau nyoba?”
Mata Wonu berbinar. “Satu kali.”
Jennie tersenyum geli. Ia kemudian menyuapkan pastanya pada Wonu. Telinga kucing Wonu sedikit bergerak kala merasakan makanan itu, lalu terangkat dengan sempurna.
“Enak!”
Jennie mengangguk menyetujui itu. “Memang, tapi ini punya aku. Kamu habisin ikannya, ya.”
“Iya ... makasih ... Jen,” balasnya dengan tanpa mengalihkan pandangan dari piring milik Jennie.
Perempuan kelahiran Januari itu tersenyum geli. “Mau lagi?”
“Mau.”
“Ini terakhir, oke?”
Wonu mengangguk. Ia menerima dengan lahap suapan Jennie kali ini.
“Semua yang Jen buat ... uhm... e-enak!”
Jennie tertawa kecil. “Terima kasih.”
Keduanya pun melanjutkan memakan makanan masing-masing. Jennie makan sembari memainkan ponselnya.
“Ada yang bilang live tadi ngebosenin,” gumamnya. Tanpa ia sadari, Jennie juga mengerucutkan bibirnya.
Wonu mengamati itu dengan baik. Laki-laki itu menahan sendok di mulutnya, lalu mengusap kepala Jennie. Jennie menatap Wonu heran setelah itu.
“Tadi gak bosen,” kata Wonu. “Jen, hebat.”
Wonu memiringkan kepalanya. “Tadi banyak cintanya di HP Jen, itu orang-orang suka sama Jen, 'kan?”
Jennie terdiam, memikirian perkataan Wonu. Pengolahan kalimat Wonu terkadang bisa buruk, membuat Jennie perlu memikirkan lebih lama apa maksudnya.
“Oh, love tadi? Itu mereka suka sama live aku.”
Wonu tersenyum. “Itu banyak, terus yang bosen satu, Jen.”
Jennie mengangkat kepalanya, kini sudah bisa menangkap apa yang sedang Wonu ingin ungkapkan.
Wonu kini menepuk pelan pucuk kepalanya. “Banyak yang suka sama Jen. Wonu juga suka sama Jen.”
Eunha meregangkan tubuhnya setelah mencari tahu persoalan asisten yang sepertinya memang ia butuhkan. Kecintaannya pada anime membuat Eunha menikmati kegiatan menggambar. Awalnya hanya komik iseng yang ia publikasikan lewat instagram. Lalu akunnya menjadi ramai dan Eunha mendapat tawaran.
Eunha pikir, hobi yang menghasilkan uang akan lebih dinikmati. Memang begitu pada awalnya, tapi lama kelamaan malah seperti sekarang. Agak menekan.
Menekannya pun belum dengan tanggapan yang pembaca berikan. Eunha terkadang sengaja tidak membacanya karena sering menemukan komentar yang menagih agar satu bagiannya bisa lebih panjang.
Eunha menghembuskan napasnya. Untuk sekarang, ia harus menyelesaikan pekerjaannya baru mencari yang lain. Toh, orang tuanya juga tak terlalu peduli asalkan ia masih hidup.
Perempuan itu menoleh pada genangan air lalu pada ponselnya untuk melihat jam. Seharusnya Uji sudah berubah jam segini.
Dia mematikan komputernya lalu berjalan menuju kamar. Keberadaan Uji kadang membuatnya kesal, tapi Eunha tak akan mengelak kalau kucing itu bisa mengalihkan pikirannya.
Sesuai dugaan Eunha, Uji terbaring nyaman di atas tempat tidur. Mengingat Uji lebih suka tidur ketika mode manusianya, jadi Eunha membelikannya beberapa piyama.
Uji tak terlalu memperdulikan itu. Meski yang tengah ia kenakan sekarang adalah piyama merah muda dengan gambar stoberi.
Eunha menahan tawanya, tapi ia mengakui kalau Uji tampak gemas. Perempuan itu berjalan mendekat ke arah Uji lalu menarik tangannya agar bangkit.
“Bangun, jangan tidur dulu. Beresin kekacauan yang lo buat.”
Uji berdecak. “Ganggu.”
Eunha melotot. “Cepet, ih! Pelnya ada di kamar mandi luar. Sekalian lo harus makan dulu. Tidur mulu, dah, perut lo sakit tahu rasa.”
Uji dengan malas-malasan bangun dari tempat tidur. Dia juga mengepel air yang ia tumpahkan dengan malas.
Eunha membiarkan Uji bekerja dengan lamban. Dirinya sendiri malah membuat sandwich tuna untuk dirinya dan Uji. Memang cukup aneh memakan roti di malam hari, tapi yang penting perut mereka terisi.
Uji menghampiri Eunha dengan wajah mengantuk. Eunha mencubit pipi laki-laki berambut platinum blonde itu.
“Buka matanya, nanti lo malah nyuap ke hidung lagi.”
Uji mendelik pada Eunha, tapi tak mengeluarkan protesan apa pun lagi.
“Makasih,” ucap Uji sebelum mengambil gigitan besar.
Eunha tersenyum. Walau Uji terlihat kesal ketika ia ganggu tidurnya, tapi Uji tak pernah lupa mengucapkan kata itu ketika diberi makan. Saat mode kucing pun, dia akan mengeong setelah mangkuknya diisi penuh oleh Eunha.
Selesai makan, Eunha langsung menyodorkan segelas air pada Uji. “Jangan ditumpahin,” ucap Eunha.
“Iya,” balas Uji singkat dan menenggak hingga habis air itu.
“Sekarang boleh tidur?” tanya Uji kemudian.
Eunha mengangguk. “Tidur di kamar yang gue tunjukkin kemarin.”
Uji menatap tidak terima. Kamar yang Eunha maksud adalah kamar yang berbeda dengan yang biasa ia tempati. Eunha baru membereskannya, sengaja agar Uji bisa tidur di sana.
“Mau sama Una.”
Eunha menatap Uji heran. “Lo udah gede, tidur sendiri aja. Masa sama gue terus, sih? Lagian kita tuh beda jenis! Kalau lo mode kucing, sih, gak pala tidur sama gue.”
Ekor Uji bergerak resah. “Mau sama Una,” ulangnya.
“Kenapa mau banget sama gue?”
“Peluk ....” Uji menggantungkan kalimatnya. “Waktu tidur ... una pernah bilang mau peluk mama. Jadi, aku peluk.”
Eunha terdiam. Jadi, Uji pernah mendengar dirinya mengingau seperti itu?
Perempuan itu kemudian menggeleng. “Enggak, ya! Pokoknya lo tetap tidur di kamar satu lagi.”
Uji mendengus. “Iya, deh.”
Eunha menatap kepergian Uji, ia yakin laki-laki itu akan menurut kali ini. Setelah itu, Eunha memutuskan untuk mencuci piring terlebih dahulu baru pergi tidur. Mumpung masih sedikit, kalau sudah banyak yang ada ia malah malas.
Selesai mencuci piring, Eunha memastikan pintu telah terkunci lalu berjalan menuju kamarnya. Kakinya tertahan di ambang pintu begitu melihat sebuah gundukan di atas tempat tidur.
“Uji, gue bilang jangan tidur di sini, ih!”
Eunha menarik tangan Uji agar bangun, tapi laki-laki itu masih diam. Uji membuka matanya dan menatap Eunha dengan sayu.
“Pindah, U—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Uji sudah menarik Eunha membuat tubuh perempuan itu menindihnya. Mata Eunha melotot karena terkejut dengan aksi Uji.
Baru akan mengajukan protes, Uji sudah mendorong tubuhnya ke samping. Laki-laki itu kemudian menarik Eunha ke dalam pelukannya dan mengusapi kepalanya.
“Una ... tidur ... Una tidur.” Uji menyenandungkan itu dengan nada yang asal.
Sementara Eunha malah menenggelamkan kepalanya ke dada Uji.
Bisa gila gue kalau gini terus.
Sebenarnya, Tzuyu tak pernah memperkirakan dirinya akan merawat kucing seperti maine coon. Sejak kecil, perempuan itu selalu merawat kucing yang ia temukan di jalan. Namun, tak semuanya bisa menemani Tzuyu hingga akhir.
Beberapa di antaranya pergi tanpa kembali, beberapa yang lain menyerah dengan hidup mereka. Makanya, semenjak memutuskan untuk merantau, Tzuyu tak pernah berniat memelihara hewan lagi. Paling-paling dia hanya akan melakukan street feeding.
Perempuan berambut pirang itu mencolek dagu June yang masih enggan ber-interaksi dengannya. June tak menanggapi, masih asik memejamkan matanya.
“June ... udahan, dong, marahnya.”
Tzuyu kembali diabaikan. Perempuan itu melirik ke arah jam lalu bangkit dari duduknya. “Ya udah lah, aku mau masak aja,” katanya lalu meninggalkan June.
Sebelum ke dapur, Tzuyu menyempatkan dirinya untuk mengambil ponsel yang semula tengah dia isi dayanya. Setelah itu, barulah dia pergi ke tempat yang biasa digunakan untuk memasak sembari menghubungi seseorang.
“Ibu, apa kabar?” sapa Tzuyu setelah wajah seseorang yang dia hubungi muncul di layar ponselnya.
“Ibu sudah merasa lebih baik, Nak.”
Tzuyu tersenyum mendengar itu, ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dengan menyandarkannya ke tempat sendok agar bisa berdiri.
“Ibu, lagi sibuk gak? Kalau enggak, tolong temenin aku masak, ya.”
“Silakan, Nak. Ibu temani.”
Tzuyu langsung mengikat rambutnya secara asal. Dia mencuci tangan dan mengambil beberapa bahan makanan yang akan ia gunakan.
“Kamu mau buat apa?”
“Mau buat yang gampang aja, Bu. Nasi goreng. Tapi sayurnya mau aku banyakin.”
“Hati-hati potongnya, ya.”
“Siap, Bu.”
Tzuyu begitu fokus dengan apa yang tengah ia lakukan hingga tak menyadari kalau June sudah memasuki dapur. Kucing itu masih menciptakan jarak cukup jauh, duduk di sana dan mengamati setiap gerak-gerik pemiliknya.
Untuk membuat nasi goreng tak membutuhkan waktu banyak. Kini, Tzuyu sudah duduk di hadapan ponselnya. Panggilan video bersama ibunya masih tersambung.
“Uang bulanannya tidak kurang, 'kan, Nak?”
Tzuyu menggeleng. “Enggak, kok, Bu. Masih banyak sisanya. Kalau bisa, ibu sama ayah gak perlu kirim uang lagi ke aku. Aku, kan, udah kerja sekarang.”
“Kami gak bisa lepas kamu gitu aja, Nak.”
“Uangnya mending dipake buat ibu berobat. Gajiku cukup, Bu.”
“Selagi kami bisa, tolong terima, ya, Nak. Kamu jauh di sana, ibu gak tahu harus apa lagi supaya yakin kamu aman di sana.”
Tzuyu terdiam. Cukup susah membujuk ibunya tentang hal ini. Padahal Tzuyu sadar betul kalau di keadaan ini, yang lebih membutuhkan uang adalah ibunya.
“Gini aja, Bu. Kurangi jumlah uangnya, ya? Kalau masih kebanyakan bakal aku transfer balik. Serius, lebih baik uangnya di fokusin buat pengobatan ibu aja. Apa ibu mau aku pulang ke sana?”
“Tidak perlu, Nak. Ibu baik-baik saja. Di kota itu, 'kan, ada mimpi kamu.”
“Ibu lebih penting,” ucap Tzuyu.
“Ibu masih sanggup, Nak. Ibu gak akan mengalah sama penyakit.”
Tzuyu terdiam dan mengusap wajahnya. Perasaannya tak menentu sekarang. Nasi goreng yang ada di hadapannya pun tak semenarik tadi.
“Udah malam, Bu. Lebih baik ibu segera istirahat, ya?”
“Iya, Nak. Kamu juga jangan tidur larut malam, ya. Jaga kesehatan dan terus kabari kami.”
“Iya, Bu. Mungkin akhir bulan nanti aku pulang, Bu.”
“Boleh, Nak. Kalau gitu ibu tutup, ya?”
Tzuyu mengangguk dan panggilan video itu pun terputus. Perempuan itu menarik napasnya dalam-dalam, berusaha mendamaikan isi kepalanya.
Tzuyu memang sedang tak fokus pada sekitarnya hingga tak menyadari kalau June sudah berubah. Entah kapan kucing itu masuk ke kamar dan memakai pakaiannya. Yang pasti, laki-laki tinggi itu kini tengah menghampiri Tzuyu.
“Juju ...,” panggil June.
Tzuyu langsung mendongak, dia tersenyum tipis. “June, mau nasi goreng?”
“Kenapa Juju mau rawat aku?”
Tzuyu mengerjap karena June tak membalas yang berhubungan dengan apa yang dia tawarkan. June memainkan ujung pakaiannya dengan kepala yang menunduk.
“Aku, 'kan, nyusahin. Ibu Juju sakit ... terus Juju juga rawat aku.”
Tzuyu menggeleng. “Ngomong apa, sih, kamu? Sini makan dulu atau mau yang lain?”
June menggeleng, enggan teralih.
Tzuyu menghela napasnya. “Kamu tahu ibu aku sakit dan dia masih mau aku di sini buat kejar mimpi. Aku merasa ditekan dari dua arah, June. Aku butuh teman supaya tetap waras. Aku gak bisa percaya terlalu dalam sama manusia, jadi aku mutusin buat pelihara kucing lagi.”
June memiringkan kepalanya. “Memangnya kamu mau jadi apa?”
“Aku mau punya toko kue sendiri, terkenal dan dapat pengakuan. Tapi itu butuh perjalanan panjang, sementara aku baru mulai,” balas Tzuyu.
“Berarti Juju mau aku temenin?”
Tzuyu mengangguk dengan senyuman yang meyakinkan. “Iya, aku butuh temen buat lewatin perjalanan itu. June mau, 'kan?”
June mengangguk antusias. “Mau!”
Tzuyu tersenyum lebar melihat itu. “Makasih banyak! Sekarang kamu makan dulu, mau nasi goreng juga?”
June sekali lagi mengangguk, kali ini sembari duduk di kursi sebelah Tzuyu. Sementara itu, Tzuyu malah bangkit untuk mengalas sisa nasi goreng yang masih ada di wajan.
“Untung aku buat lumayan banyak.”
Mata June berbinar melihat apa yang Tzuyu taruh di depannya. Ekornya bergerak antusias, tapi sebelum melahap makanannya dia perlu melakukan satu hal lagi.
“Juju, maaf, ya, tadi aku malah marah ....”
Tzuyu tertawa kecil. “Gak papa, aku paham, kok.”
“Juju kalau bisa jangan dekat-dekat hewan, ya? Baunya jadi gak enak.”
Tzuyu mengangkat kedua alisnya. “Berarti sama kamu juga jangan?”
June langsung menggeleng keras. “Sama aku boleh.”
June menunjuk dirinya sendiri. “Juju, dekatnya sama aku aja. Jangan yang lain.”